SUBSTANSI KOMPETENSI :
PENGANTAR
2. Kesederhanaan
3. Keberanian
4. Kedermawanan
5. Keadilan
Muhammad Iqbal menjelaskan bahwa untuk mencapai martabat manusia sempurna, manusia harus memiliki syarat syarat sebagai berikut :
- Menjelaskan tentang Konsep Akhlak Islam
- Menjelaskan tentang Sumber Akhlak
- Menjelaskan tentang Hubungan Akhlak dengan Aqidah
- Menjelaskan tentang Ciri dan Macam-Macam Aklakul Karimah
- Menjelaskan tentang Ancaman Akhlak dalam Kehidupan Modern
PENGANTAR
Akhlak merupakan salah satu dari pilar ajaran Islam yang memiliki
kedudukan yang sangat penting. Akhlak merupakan buah yang dihasilkan
dari proses menerapkan aqidah dan syariah/ibadah. Ibarat pohon, akhlak
merupakan buah kesempurnaan dari pohon tersebut setelah akar dan
batangnya kuat. Jadi, tidak mungkin akhlak ini akan terwujud pada diri
seseorang jika dia tidak memiliki aqidah dan syariah yang baik.
Akhir-akhir ini istilah akhlak lebih didominasi istilah karakter yang
sebenarnya memiliki esensi yang sama, yakni sikap dan perilaku
seseorang.
Nabi Muhammad saw. dalam salah satu sabdanya mengisyaratkan bahwa
kehadirannya di muka bumi ini membawa misi pokok untuk menyempurnakan
akhlak mulia di tengah-tengah masyarakat. Misi Nabi ini bukan misi yang
sederhana, tetapi misi yang agung yang ternyata untuk merealisasikannya
membutuhkan waktu yang cukup lama, yakni lebih dari 22 tahun. Nabi
melakukannya mulai dengan pembenahan aqidah masyarakat Arab, kurang
lebih 13 tahun, lalu Nabi mengajak untuk menerapkan syariah setelah
aqidahnya mantap. Dengan kedua sarana inilah (aqidah dan syariah), Nabi
dapat merealisasikan akhlak yang mulia di kalangan umat Islam pada waktu
itu.
Tujuan dari kajian tentang akhlak ini adalah agar para mahasiswa
memiliki pemahaman yang baik tentang akhlak Islam (moral knowing), ruang
lingkupnya, dan pada akhirnya memiliki komitmen (moral feeling) untuk
dapat menerapkan akhlak yang mulia dalam kehidupan sehari-hari (moral
action). Dengan kajian ini diharapkan mahasiswa dapat memiliki sikap,
moral, etika, dan karakter keagamaan yang baik yang dapat dijadikan
bekal untuk mengamalkan ilmu yang ditekuninya di kehidupannya kelak di
tengah masyarakat.
PENGERTIAN AKHLAK
Secara etimologi, istilah Akhlak berasal dari bentuk jamak khuluk yang
berarti watak, tabiat, perangai dan budi pekerti. Imam al-Ghazali
memberi batasan khuluk sebagai : “Khuluk adalah sifat yang tertanam
dalam jiwa yang mendorong lahirnya perbuatan dengan mudah dan ringan
tanpa pertimbangan dan pemikiran mendalam”. Dari pengertian ini, suatu
perbuatan dapat disebut baik jika dalam melahirkan perbuatan-perbuatan
baik itu dilakukan secara spontan dan tidak ada paksaan atau intervensi
dari orang lain.
Ibnu Miskawaih dalam kitab Tahdzibul Akhlak menjelaskan bahwa “khuluk
ialah keadaan gerak jiwa yang mendorong kearah melakukan perbuatan tanpa
pertimbangan dan pemikiran”. Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa gerak
jiwa meliputi dua hal. Pertama, alamiah dan bertolak dari watak seperti
adanya orang yang mudah marah hanya karena masalah sepele atau tertawa
berlebihan karena mendengar berita yang tidak memprihatinkan. Kedua,
keadaan jiwa yang tercipta melalui kebiasaan, atau latihan. Pada awalnya
keadaan tersebut terjadi karena dipikirkan dan dipertimbangkan, namun
pada tahapan selanjutnya keadaan tersebut menjadi satu karakter yang
melekat tanpa dipertimbangkan dan dipikirkan masak-masak. Oleh karena
itu, pendidikan akhlak sangat diperlukan untuk mengubah karakter manusia
dari keburukan ke arah kebaikan.
HUBUNGAN ANTARA AKIDAH DENGAN AKHLAK
Sesuai dengan pengertian di atas, akhlak merupakan manifestasi iman,
Islam dan Ikhsan sebagai refleksi sifat dan jiwa yang secara spontan dan
terpola pada diri seseorang sehingga melahirkan perilaku yang konsisten
dan tidak tergantung pada pertimbangan berdasarkan keinginan tertentu.
Semakin kuat dan mantap keimanan seseorang, semakin taat beribadah maka
akan semakin baik pula akhlaknya. Dengan demikian, akhlak tidak dapat
dipisahkan dengan ibadah dan tidak pula dapat dipisahkan dengan akidah
karena kualitas akidah akan sangat berpengaruh pada kualitas ibadah yang
kemudian juga akan sangat berpengaruh pada kualitas akhlak.
Akidah dalam ajaran Islam merupakan dasar bagi segala tindakan muslim
agar tidak terjerumus kedalam perilaku-perilaku syirik. Syirik disebut
sebagai kezaliman karena perbuatan itu menempatkan ibadah tidak pada
tempatnya dan memberikannya kepada yang tidak berhak menerimanya. Oleh
karena itu muslim yang baik akan menjaga segala ryang memiliki akidah
yang benar, ia akan mampu mengimplementasikan tauhid itu dalam bentuk
akhlak yang mulia (akhlakul karimah). Allah berfirman dalam surat
Al-An’am (06) : 82 :
Artinya : Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman
mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan
dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.
Orang yang mendapat petunjuk adalah mereka yang tahu bersyukur, sehingga
perbuatan mereka senantiasa sesuai dengan petunjuk Allah. Inilah yang
dimaksud dengan akhak mulia. Dengan demikain ada hubungan yang amat erat
antara akidah dengant akhlak, bahkan keduanya tidak dapat dipisahkan.
SUMBER AKHLAK
Pembicaraan tentang Akhlak berkaitan dengan persoalan nilai baik dan
buruk. Oleh karena itu ukuran yang menjadi dasar penilaian tersebut
harus merujuk pada nilai-nilai agama Islam. Dengan demikian, ukuran baik
buruknya suatu perbuatan harus merujuk pada norma-norma agama, bukan
sekedar kesepakatan budaya. Kalau tidak demikian, norma-norma akan
berubah seiring dengan perubahan budaya, sehingga sesuatu yang baik dan
sesuai dengan agama bisa jadi suatu saat dianggap buruk pada saat
bertentangan dengan budaya yang ada.
Dalam Islam, akhlak menjadi salah satu inti ajaran. Fenomena ini telah
dicontohkan oleh Rasulullah SAW, sebagaimana disebutkan dalam Al Qur’an
surat al–Qalam (4) :
Artinya : “Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.”
Keseluruhan akhlak Rasulullah ini juga diungkapkan oleh Aisyah r.a. saat
ditanya tentang akhlak Nabi. Saat itu Aisyah berkata : “Akhlak Nabi
adalah Al Qur’an”. Demikian juga disebutkan dalam Al Qur’an surat Al
Ahzab (33) : 21.
Artinya : Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri
teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat)
Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.
Dengan demikian bagi umat Islam, untuk menunjuk siapa yang layak
dicontoh tidak perlu sulit sulit, cukuplah berkiblat kepada akhlak yang
ditampilkann oleh Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadis dinyatakan :
“orang-orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik
budi pekertinya” (HR. Ahmad dari Abu Hurairah). Dalam hadis yang lain
yang diriwayatkan oleh at Turmudzi dari Jabir r.a., Rasulullah
menyatakan : “Sungguh di antara yang paling aku cintai, dan yang paling
dekat tempat duduknya dengan aku kelak pada hari kiamat adalah orang
yang paling baik akhlaknya diantara kamu”.
Merujuk pada paparan di atas, sumber akhlak bagi setiap muslim jelas
termuat dalam Al Qur’an dan hadis Nabi. Selain itu, sesuai dengan
hakekat kemanusiaan yang dimilikinya, manusia memiliki hati nurani
(qalbu) yang berfungsi sebagai pembeda antara perbuatan baik dan buruk.
Hal tersebut sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada
sahabat Wabishah tatkala beliau bertanya tentang kebaikan (al-birr) dan
dosa (al-itsm) dalam dialog seperti yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad
sebagai berikut :
“Hai Wabishah, bertanyalah kepada hatimu sendiri, kebaikan adalah
sesuatu yang jika kamu lakukan, jiwamu merasa tentram, sedang dosa
adalah sesuatu yang jika kamu lakukan, jiwamu bergejolak dan hatimu pun
berdebar debar meskipun orang banyak memberi tahu kepadamu (lain dari
yang kamu rasakan).”
Berkaitan dengan hati nurani, muncul persoalan, dapatkah dijamin bahwa
hati nurani selalu dominan dalam jiwa manusia sehingga suaranya selalu
didengar, mengingat dalam diri manusia terdapat dua potensi yang selalu
bertolak belakang yaitu potensi yang mengarah kepada kebaikan (taqwa)
dan potensi yang mengarah pada keburukan (al-fujur), dimana kekuatan
yang lebih menonjol tentunya menjadi dominan dalam mempengaruhi
keputusan suatu persoalan.
Oleh karena itu, agar hati nurani seorang muslim selalu dalam kondisi
kepada kebaikan, maka ia harus selalu disucikan. Seorang muslim perlu
menjaga rutinitas dan kontinuitas ibadah, berusaha untuk selalu
mendekatkan diri (taqarub) kepada Allah, membaca sejarah orang orang
terdahulu serta selalu berusaha untuk saling menasehati dengan
sesamanya.
CIRI DAN MACAM-MACAM AKHLAKUL KARIMAH
Dalam Al Qur’an dan hadis banyak dijelaskan bagaimana perilaku (akhlak)
yang sesuai dengan aturan Islam. Seperti misalnya di dalam Al Qur’an
surat Asy-Syams (91) : 7-10 yang berbunyi :
Artinya : “Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah
mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya,
Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, Dan
Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”
Ayat di atas menjelaskan bahwa barang siapa ingin mencapai kebahagiaan
hidup, hendaknya dia mensucikan jiwanya dari sifat sifat tercela dan
berusaha memiliki ketakwaan yang tinggi. Artinya, dia harus selalu
berusaha meningkatkan ketakwaan dengan cara yang benar.
Ayat lain di dalam Al Qur’an mengajarkan kepada manusia untuk menahan
hawa nafsunya, sebagaimana terdapat dalam surat an-Naazi’at (79) : 40-41
yang berbunyi :
Artinya : “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran
Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, Maka
Sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya).”
Dalam Al Qur’an surat Ali Imron (3) : 200, Allah swt berfirman
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, Bersabarlah kamu dan
kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan
negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.”
Ayat di atas mengajarkan kepada manusia untuk tetap tabah dan sabar
dalam menghadapi berbagai ujian dan cobaan yang menimpa dirinya dalam
kehidupannya.
Al Qur’an surat at-Taubah (09) : 119 mengajarkan kepada manusia untuk bertakwa dan jujur dalam setiap perbuatan.
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.”
Jujur hendaknya tidak hanya kepada orang lain, tetapi juga terhadap diri
sendiri. Salah satu perilaku jujur misalnya saat menjalani ujian
semester. Sebagai seorang muslim, hendaklah mahasiswa tidak tergoda
untuk berlaku curang dengan cara menyontek atau menekan dosen yang
mengajar untuk memberi nilai yang diinginkannya, padahal tidak sesuai
dengan kemampuan dirinya.
Dalam hal mencukupi kebutuhan hidupnya, Islam mengajarkan kepada umatnya
untuk bekerja profesional sesuai dengan ilmu dan ketrampilan yang
dimilikinya. Salah satu hadis yang diriwayatkan oleh imam Malik, Imam
Bukhori, Imam Muslim, Imam Turmudzi dan Nasa’i dari Abu Hurairah yang
menyatakan : “Sungguh, seandainya kamu mencari kayu seikat yang dibawa
di atas punggung (untuk kemudian dijual) , lebih baik bagimu daripada
minta minta kepada seseorang yang mungkin diberi atau ditolak.”
Hadis ini dengan tegas melarang umat Islam untuk menjadi pengemis, yang bekerja dengan mengandalkan belas kasihan orang lain.
Berkaitan dengan berbagai bentuk akhlakul karimah, Ibnu Miskawaih menunjukkan berbagai macam kebajikan sebagai berikut :
1. Kearifan
- Pandai (al-dzaka), kecepatan dalam mengembangkan kesimpulan yang melahirkan pemahaman
- Ingat (al-dzikru), kecepatan dan kemampuan berimajinasi
- Berfikir (al-ta’aqqul), kemampuan untuk menyesuaikan antara ide dengan realitas
- Kejernihan pikiran (shafau al-dzihni), kesiapan jiwa menyimpulkan hal yang dikehendaki.
- Ketajaman dan kekuatan otak (jaudat al-dzihni), kemampuan jiwa untuk merenungkan masa lalu atau sejarah.
- Kemampuan belajar dengan mudah (suhulat at-ta’allum), kekuatan dan ketajaman jiwa dalam memahami sesuatu.
2. Kesederhanaan
- Rasa malu (al-haya’)
- Tenang (al-da’at)
- Sabar (as-shabru)
- Dermawan (al-sakha’)
- Integritas (al-hurriyah)
- Puas (al-qana’ah)
- Loyal (al-damatsah)
- Berdisiplin diri (al-intizham)
- Optimis atau berpengharapan baik (husn-al-huda)
- Kelembutan (al-musalamah)
- Anggun berwibawa (al-wiqar)
- Wara’
3. Keberanian
- Kebesaran jiwa
- Tegar
- Ulet
- Tabah
- Menguasai diri
- Perkasa
4. Kedermawanan
- Murah hati (al-karam)
- Mementingkan orang lain (al-itsar)
- Rela (al-nail)
- Berbakti (al-muwasah)
- Tangan terbuka (al-samahah)
5. Keadilan
- Bersahabat
- Bersemangat sosial (al-ulfah)
- Silaturrahmi
- Memberi imbalan (mukafa’ah)
- Baik dalam bekerja sama (husn al-syarikah)
- Kejelian dalam memutuskan persoalan (husn al-qadha)
- Cinta (tawaddu)
- Beribadah kepada Allah
- Taqwa kepada Allah
Muhammad Iqbal menjelaskan bahwa untuk mencapai martabat manusia sempurna, manusia harus memiliki syarat syarat sebagai berikut :
- Isyqo Muhabbat, artinya kecintaan yang sangat mendalam kepada Allah yang akan melahirkan rasa kasih sayang terhadap makhluk-makhluk-Nya.
- Syaja’ah, artinya keberanian yang tertanam di dalam pribadi seseorang sehingga berani beramar ma’ruf nahi munkar.
- Faqr, artinya orang yang memiliki pendirian yang teguh dan perwira sehingga mempunyai rasa kemandirian yang tinggi, tidak suka tergantung kepada orang lain.
- Tasamuh (toleransi), artinya semangat tenggang rasa yang ditebarkan diantara sesama manusia sehingga mencegah terjadinya konflik yang berkepanjangan.
- Kasbi halal, artinya usaha-usaha yang sesuai dengan ketentuan agama (halal).
- Kreatif, artinya selalu mencari hal-hal barun untuk meingkatkan kualitas kehidupan.
ANCAMAN AKHLAK DALAM KEHIDUPAN MODERN
Yusuf Qardhawi menyebutkan bahwa paling tidak ada tiga macam ancaman
terhadap akhlak manusia dalam kehidupan modern dewasa ini, yaitu
ananiyyah, madiyyah dan naf’iyyah.
Ananiyyah artinya individualisme, yaitu faham yang bertitik tolak dari
sikap egoisme, mementingkan dirinya sendiri, sehingga mengorbankan orang
lain demi kepentingannya sendiri. Orang orang yang berpendirian semacam
ini tidak memiliki semangat ukhuwah Islamiyah, rasa persaudaraan dan
toleransi (tasamuh) sehingga sulit untuk merasakan penderitaan orang
lain. Padahal seseorang baru dikatakan berakhlak mulia tatkala ia
memperhatikan nasib orang lain juga.
Madiyyah artinya sikap materialistik yang lahir dari kecintaan pada
kehidupan duniawi yang berlebihan. Hal demikian dijelaskan oleh Allah
dalam Al Qur’an surat Hud (11) : 15-16 yang berbunyi :
Artinya : “Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan
perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan
mereka di dunia dengan Sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan
dirugikan., Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali
neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang Telah mereka usahakan di
dunia dan sia-sialah apa yang Telah mereka kerjakan.”
Naf’iyyah artinya pragmatis yaitu menilai sesuatu hanya berdasarkan pada
aspek kegunaan semata. Ketiga ancaman terhadap akhlak mulia ini hanya
akan dapat diatasi manakala manusia memiliki pondasi aqidah yang kuat
dan senantiasa melakukan amal ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah
SWT.
REFERENSI
- Al-Qur’an al-Karim
- Marzuki, Dr. M.Ag, Buku PAI UNY.
- M. Junaidi Sahal, 1421 H, Seri Kumpulan Materi Aqidah Islam, Surabaya : MPPU Madani .
- Nasruddin Razak, 1996, Dienul Islam, Bandung : PT. Alma’arif. Cet. 13.
- Tim UII, 2002, Menuju Kemantapan Tauhid dengan Ibadah dan Akhlakul Karimah, Yogyakarta : UII Press Jogjakarta.
- Zaki Mubarok Latif, dkk., 2001, Akidah Islam, Yogyakarta : UII Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar