kategori-akhlak

Kamis, 12 Desember 2013

Berkata yang Baik atau Diam



Kaum muslimin dalam kehidupan
bermasyarakatnya memiliki keistimewaan yang menjadi ciri khas mereka, yaitu adanya sifat kasih sayang dan persaudaraan, yang mana sifat kasih sayang tersebut menghiasi mereka sementara wajah mereka dihiasi dengansenyuman.
Dasar kehidupan sesama mukmin adalah persaudaraan dan persahabatan yang baik. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:”Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara.” (Al Hujurat: 10) Allah subhanahu wa ta’ala telah mengharamkan atas kaum mukminin untuk melakukan sesuatu yang dapat menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala yang berbunyi:
”Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamr/arak dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat, maka berhentilah kamu (dari melakukan perbuatan itu).” (Al-Maidah: 91) Dan Allah subhanahu wa ta’ala telah memberi karunia kepada hamba-hambaNya dengan menumbuhkan rasa kesatuan di dalam hati mereka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
”Dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa
jahiliyah) kamu bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara.” (AliImran: 103)
Dan Allah subhanahu wa ta’ala berfirman pula: ”Dialah yang memperkuatmu dengan pertolonganNya dan dengan para mukmin. Dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka.” (Al-Anfal: 62-63).Adalah selayaknya setiap pribadi muslim untuk menjaga lidahnya sehingga tidak berkata-kata kecuali untuk kebaikan, dan berkata-kata itu sama baiknya dengan tidak berkata-kata, maka agama menganjurkan untuk tidak berkata-kata, karena terkadang perbincangan yang halal dapat berubah menjadi perbincangan yang makruh dan bahkan menjadi perbincangan yang haram, inilah yang sering terjadi di antara manusia. Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, dari Nabi shalallahu alaihi wa salam, beliau bersabda:
”Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka hendaklah ia berkata-kata yang baik atau hendaklah ia diam.” (HR Bukhari dan Muslim) Dalam hadits yang telah disepakati keshahihannya ini disebutkan bahwa tidak layak seseorang berbicara kecuali jika kata-katanya itu mengandung kebaikan, yaitu perkataan yang mendatangkan kebaikan. Untuk itu jika seseorang ragu tentang ada atau tidaknya kebaikan pada apa yang akan diucapkannya maka hendaklah ia tidak berbicara. Orang yang beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala tentu dia takut kepada ancaman-Nya, mengharapkan pahala-Nya, bersungguh-sungguh melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan-Nya. Yang terpenting dari semuanya itu ialah mengendalikan gerak-gerik seluruh anggota badannya karena kelak dia akan dimintai tanggung jawab atas perbuatan semua anggota badannya, sebagaimana tersebut pada firman
Allah: ”Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya kelak pasti akan dimintai tanggung jawabnya” (Al Isra’ ayat 36) Bahaya lisan itu sangat banyak, Rasulullah shalallahu alaihi wa salam juga bersabda: ”Bukankah manusia terjerumus ke dalam neraka karena tidak
dapat mengendalikan lidahnya” (HR Timridzi)
Beliau juga bersabda:
”Tiap ucapan anak Adam menjadi tanggung jawabnya, kecuali menyebut nama Allah, menyuruh berbuat ma’ruf, dan mencegah kemungkaran.” (HRTirmidzi) Barang siapa memahami hal ini dan beriman kepada-Nya dengan yang sungguh-sungguh, maka Allah akan memelihara lidahnya sehingga dia tidak akan berkata kecuali perkataan yang baik atau diam. Yang terakhir, nasehat dari Imam Syafi’i yang mengatakan: ”Jika seseorang akan berbicara hendaklah ia berfikir sebelum berbicara, jika yang akan diucapkannya itu mengandung kebaikan maka ucapkanlah, namun jika ia ragu (tentang ada atau tidaknya kebaikan pada apa yang akan ia ucapkan) maka hendaklah tidak berbicara hingga yakin bahwa apa yang akan diucapkan itu mengandung kebaikan
 Maraji’:
1. Abdul Malik Abdul Qosim, Bagaimana Menjaga Hati,
Darul Haq
2. Ibnu Daqiq Al ‘ied, Syarah Hadits Arbain, Media
Hidayah

Berpegang Teguh pada Kebenaran



Allah berfiman
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ

Dia-lah yang mengutus Rasulnya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama, meskipun orang-orang musyrik benci. [Ash Shaf:9]
Dalam ayat ini, Allah memberikan nikmat kepada semua manusia dengan mengutus Rasul dan Nabi terbaik kepada mereka dengan membawa sebaik-baik kitab dan risalahNya; yang mencakup penjelasan antara yang haq dan bathil, ilmu yang bermanfaat, amal shalih dan semua yang dibutuhkan oleh hamba demi kemaslahatannya di dunia dan akhirat, agar Allah meninggikan di atas semua agama dengan hujjah (argumen) dan penjelasan, dan agar Allah memenangkan orang-orang yang teguh melaksanakannya dengan pedang dan panah.
Allah memerintahkan kepada kaum mukminin agar berpegang teguh dengan agama yang benar dan manhaj yang jelas ini, dalam semua urusan mereka, supaya mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Allah memperingatkan kepada mereka agar tidak berpaling atau berpegang dengan agama yang lain. Allah Azza wa Jalla berfirman.
اتَّبِعُوا مَآأُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُمْ وَلاَتَتَّبِعُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَآءَ قَلِيلاً مَاتَذَكَّرُونَ

Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainNya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari padanya). [Al A’raf :3].
Para ahli tafsir mengatakan, yang dimaksud (dengan kata maa, Red) adalah Al Qur’an dan Sunnah; karena ia sebagai penjelas dan tafsir bagi Al Qur’an.
Firman Allah :
وَلاَتَتَّبِعُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَآءَ
dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainNya
Maksudnya ialah janganlah kalian menjadikan mereka sebagai pemimpin dan mengikuti hawa nafsu mereka dan meninggalkan al haq karenanya.
Banyak dalil-dalil syara’, atsar dari para sahabat, para tabi’in dan para imam kaum muslimin yang memotivasi agar berpegang teguh dengan wahyu dan petunjuk yang dibawa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa membantahnya dengan perkataan manusia, meskipun orang itu memiliki derajat dan kedudukan tinggi. Apalagi sampai mendahulukan perkataan dan pendapat mereka daripada firman Allah Azza wa Jalla dan sabda Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bagi setiap mukallaf, wajib untuk mengikuti kebenaran apabila jelas baginya tanpa tergantung kepada seseorang dalam menerima kebenaran. Banyak nash-nash (teks-teks) yang menunjukkan, bahwa jalan keselamatan bisa dicapai dengan berpegang kepada kebenaran, bukan kepada pribadi-pribadi (tertentu, Red). Berdasarkan dengan kebenaran, perkataan-perkataan dan pendapat-pendapat itu ditimbang, sehingga menjadi jelas benar atau salahnya suatu perkataan dan pendapat.
Adapun bergantung kepada orang-orang tertentu, mengikuti perkataan, pendapat dan ijtihad mereka kemudian langsung menerimanya tanpa melihat kesesuaiannya dengan kebenaran yang dibawa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Allah, maka demikian ini merupakan cara yang berbahaya dan bertentangan dengan petunjuk Salafush Shalih.
Dikatakan oleh Imam Syatibi, ”Menjadikan seseorang sebagai hakim, tanpa memandang keberadaannya sebagai perantara hukum syar’i yang dituntut secara syar’i, sesungguhnya merupakan kesesatan. Dan hujjah penentu dan hakim tertinggi adalah syari’at, bukan yang lainnya. Kemudian kami katakan, demikianlah manhaj para sahabat Rasulullah, dan siapa saja yang membaca sejarah dan nukilan-nukilan dari mereka serta mempelajari keadaan mereka, pasti akan mengetahui hal ini dengan ilmu yang yakin.”
Beliau juga berkata,”Sungguh, kebanyakan orang tersesat akibat berpaling dari dalil-dalil dan (kemudian) bergantung kepada manusia. Mereka keluar dari (pemahaman, Pent) para sahabat dan tabi’in. Mereka memperturutkan hawa nafsu dengan tanpa ilmu, sehingga keluar dari jalan yang lurus.”
Beliau juga mengatakan, bahwa mengekor kepada pribadi-pribadi merupakan ciri orang sesat.
DALIL-DALIL WAJIBNYA BERPEGANG KEPADA KEBENARAN
Di bawah ini, terdapat beberapa dalil syari’i dan atsar-atsar tentang kewajiban berpegang teguh kepada kebenaran dan mengenyampingkan ketergantungan kepada pribadi-pribadi tertentu.
Allah berfirman,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمُُ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan RasulNya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [Al Hujurat:1].
Syaikh Abdurrahman As Sa’di berkata,”Ayat ini memuat adab kepada Allah, RasulNya, mengagungkan, menghormati serta memuliakanNya. Allah memerintahkan kepada kaum mukminin dengan sesuatu yang menjadi konsekwensi keimanan mereka kepada Allah dan RasulNya. Yaitu dengan menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi laranganNya. Dan hendaknya mereka berjalan mengikuti perintah Allah, mengikuti Sunnah Rasulullah n dalam semua urusan, tidak mendahului Allah dan RasulNya; tidak mengatakan sesuatu, sehingga Allah mengatakannya. Mereka tidak memerintahkan, sehingga Allah memerintahkannya.
Disini juga terdapat larangan yang keras mendahulukan perkataan selain Rasulullah daripada sabdanya. Apabila Sunnah Rasulullah telah jelas, maka wajib mengikuti dan mendahulukannya daripada perkataan yang lainnya, siapapun juga.
Allah berfirman.

وَمَا مُحَمَّدٌ إِلاَّ رَسُولُُ قَدْ خَلَتْ مِن قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِن مَّاتَ أَوْ قُتِلَ انقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَن يَنقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَن يَضُرَّ اللهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللهُ الشَّاكِرِينَ

Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad). Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. [Ali Imran:144].
Syaikh Abdurrahman As Sa’di mengatakan : “Dalam ayat yang mulia ini terdapat petunjuk dari Allah untuk para hamba agar kokoh dalam satu kondisi, tidak goyah keimanannya atau sebagian konsekwensi keimanannya akibat kevakuman pemimpin, walaupun itu sulit. Dmikian ini tidak dapat direalisir, kecuali dengan mempersiapkan semua urusan agama dengan sejumlah orang yang memiliki kemampuan. Apabila hilang salah satunya, maka ada orang lain yang menggantikan. Dan hendaknya semua kaum mukmin memiliki tujuan menegakkan agama Allah dan berjihad semampunya. Dan hendaknya mereka tidak memiliki tendensi pemimpin tertentu, dengan demikian semua urusan mereka menjadi stabil”.
Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكِتَابٍ أَصَابَهُ مِنْ بَعْضِ أَهْلِ الْكُتُبِ فَقَرَأَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَغَضِبَ فَقَالَ أَمُتَهَوِّكُونَ فِيهَا يَا ابْنَ الْخَطَّابِ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ جِئْتُكُمْ بِهَا بَيْضَاءَ نَقِيَّةً لَا تَسْأَلُوهُمْ عَنْ شَيْءٍ فَيُخْبِرُوكُمْ بِحَقٍّ فَتُكَذِّبُوا بِهِ أَوْ بِبَاطِلٍ فَتُصَدِّقُوا بِهِ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ مُوسَى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ حَيًّا مَا وَسِعَهُ إِلَّا أَنْ يَتَّبِعَنِي

Umar bin Khathab (datang) kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil membawa sebuah kitab yang ia dapatkan dari sebagian Ahli Kitab. Kemudian Nabi dibacakan kitab tersebut. Nabi marah dan bersabda,”Apakah engkau merasa bingung dengan apa yang ada di dalamnya, wahai putra Khathab? Demi Dzat, yang jiwaku berada di tanganNya. Sungguh aku telah datang kepada kalian dengan membawa sesuatu yang jelas. Janganlah kalian bertanya kepada Ahli Kitab tentang satu hal, karena (mungkin, Red) mereka akan memberitahu kalian satu kebenaran, akan tetapi kalian mendustakannya. Atau mereka mengabarkan satu kebatilan, akan tetapi kalian percaya. Demi Dzat, yang jiwaku berada di tanganNya. Seandainya Musa masih hidup, maka wajib baginya untuk mengikutiku. [HR Ahmad, Ibnu Abi Ashim, dan dinyatakan hasan oleh Al Albani]
Dari Anas bin Malik berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

لَا تَعْجَبُوا بِعَمَلِ أَحَدٍ حَتَّى تَنْظُرُوا بِمَا يُخْتَمُ لَهُ فَإِنَّ الْعَامِلَ يَعْمَلُ زَمَانًا مِنْ دَهْرِهِ أَوْ بُرْهَةً مِنْ دَهْرِهِ بِعَمَلٍ صَالِحٍ لَوْ مَاتَ عَلَيْهِ دَخَلَ الْجَنَّةَ ثُمَّ يَتَحَوَّلُ فَيَعْمَلُ عَمَلًا سَيِّئًا وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَعْمَلُ زَمَانًا مِنْ دَهْرِه بِعَمَلٍ لَوْ مَاتَ عَلَيْهِ دَخَلَ النَّارَ ثُمَّ يَتَحَوَّلُ فَيَعْمَلُ عَمَلًا صَالِحًا فَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدٍ خَيْرًا اسْتَعْمَلَهُ قَبْلَ مَوْتِهِ فَوَفَّقَهُ لِعَمَلٍ صَالِحٍ

Janganlah kalian merasa heran dengan amalan seseorang, sehingga kalian melihat amalan akhir hayatnya, karena mungkin seseorang beramal pada suatu waktu dengan amalan yang shalih, yang seandainya ia mati, maka ia masuk surga. Akan tetapi ia berubah dan mengamal perbuatan yang jelek. Dan mungkin seseorang beramal pada suatu waktu dengan suatu amalan jelek, yang seandainya ia mati, maka akan masuk neraka. Akan tetapi ia berubah dan beramal dengan amalan shalih. Maka apabila Allah menginginkan satu kebaikan kepada seorang hamba, Allah akan menunjukinya sebelum ia meninggal dan memberikan taufik kepadanya untuk beramal shalih. [Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Ashim dalam kitab As Sunnah 1/174. Syaikh Al Albani mengatakan,”Sanadnya shahih]
Juga dari beliau, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

لَا عَلَيْكُمْ أَنْ لَا تَعْجَبُوا بِأَحَدٍ حَتَّى تَنْظُرُوا بِمَ يُخْتَمُ لَهُ

Janganlah kalian merasa heran dengan seseorang sampai kalian mengetahui dengan amal apa ia mengakhiri hidupnya. [Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Ashim, Syaikh Al Albani mengatakan,”Sanadnya shahih.”]
Juga dari beliau.

يَخْرُجُ فِيكُمْ أَوْ يَكُوْنُ فِيكُمْ قَوْمٌ يَتَعَبَّدُونَ وَيَتَدَيَّنُوْنَ حَتَّى يُعْجِبُوكُم وَتُعْجِبُهُمْ أَنْفُسُهُمْ يَمْرُقُونَ مِنْ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنْ الرَّمِيَّةِ

Akan keluar atau akan ada pada kalian satu kaum yang beribadah dan taat beragama, sehingga kalian merasa takjub dengan mereka dan mereka bangga dengan diri mereka. Mereka keluar dari agama seperti keluarnya anak panah dari busurnya. [Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Ashim, Syaikh Al Albani mengatakan,”Sanadnya shahih.”]
`
TIGA HAL YANG MENGHANCURKAN AGAMA
Dari Umar bin Khathab, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

ثَلاَثٌ يَهْدِمَنَّ الدِّيْنَ : زَلَّةُ عَالِمٍ وَجِدَالُ مُنَافِقٍ بِالْقُرْآنِ وَأَئِمَّةٌ مُضِلَّوْنَ

Tiga hal yang menghancurkan agama; kesalahan seorang ‘alim, perdebatan orang munafiq dengan menggunakan Al Qur’an dan para imam yang menyesatkan. [Dikeluarkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam kitab Jami’ Bayan Ilmu Wa Fadlihi].
Dari Abu Darda’, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

إِنَّ مِمَّا أَخْشَى عَلَيْكُمْ زَلَّةَ الْعَالِمِ وَجِدَالَ الْمُنَافِقِ بِالْقُرْآنِ وَالْقُرْآنُ الْحَقُّ وَعَلَى الْقُرْآنِ مَنَارٌ كَأَعْلاَمِ الطَّرِيْقِ

Sesungguhnya diantara yang aku khawatirkan atas kalian, adalah kesalahan orang yang ‘alim, perdebatan orang munafiq dengan Al Qur’an. Sementara Al Qur’an adalah sebuah kebenaran, di atasnya ada cahaya seperti rambu-rambu bagi jalan. [Dikeluarkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam kitab Jami’ Bayan Ilmu Wa Fadlihi].
Dan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, dia mengatakan,”Celakalah orang-orang yang mengekor karena kesalahan-kesalahan orang ‘alim.” Beliau ditanya : “Bagaimana itu bisa terjadi?” Ia berkata,”Seorang ‘alim berkata tentang sesuatu berdasarkan pendapatnya, kemudian sang pengikut mendapatkan orang yang lebih tahu tentang Rasulullah dari imamnya, tapi ia meninggalkan perkataan orang yang lebih tahu tersebut, kemudian pengikut itu berlalu.”
Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu berkata,”Janganlah kalian mengambil seseorang sebagai tauladan, karena kadang seseorang beramal dengan amalan ahli surga, kemudian ia berbalik karena ilmu Allah dan beramal dengan amalan ahli neraka, kemudian ia mati, sehingga menjadi ahli neraka. Dan kadang seseorang beramal dengan amalan ahli neraka, kemudian ia berbalik karena ilmu Allah dan beramal dengan amalan ahli surga, kemudian ia mati, lalu ia menjadi ahli surga. Kalaupun engkau harus mengikuti seseorang, maka ikutilah orang-orang yang sudah mati bukan orang yang masih hidup. [Al Jami’, Ibnu Abdil Barr].
TAULADAN TERBAIK
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu berkata,”Ingatlah. Jangan sekali-kali salah seorang diantara kalian bertaqlid kepada seseorang dalam masalah agama; jika panutannya beriman, ia ikut beriman; dan jika panutannya kufur, ia ikut kufur. Sesungguhnya tidak ada tauladan pada manusia”.
Beliau juga berkata: “Barangsiapa diantara kalian yang ingin menjadikan seseorang sebagai panutan, maka jadikanlah orang yang sudah mati sebagai panutan. Karena yang masih hidup tidak aman dari fitnah. Mereka (yang sudah mati itu, Red) adalah para sahabat Rasulullah. Mereka adalah orang-orang yang paling utama (generasi terbaik) dari umat ini, hati mareka paling bertaqwa, paling dalam ilmunya, dan paling sedikit menyusahkan diri. Allah memilih mereka untuk menemani NabiNya, menegakkan agamaNya. Maka, fahamilahlah keutamaan mereka dan ikutilah jejak mereka. Sesungguhnya mereka berada diatas jalan yang lurus.”
Abdullah bin Mubarak berkata,”Bisa jadi seseorang yang memiliki kebaikan dan atsar yang baik dalam Islam, terjatuh kepada kekeliruan dan kesalahan, maka janganlah diikuti kesalahan serta kekeliruan orang tersebut.”
Imam Malik berkata: Tidaklah setiap perkataan orang itu harus diikuti, walaupun ia memiliki keutamaan, berdasarkan Allah berfirman.

الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ

Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. [Az Zumar:18].
Az Zuhri berkata: Para ulama kita terdahulu mengatakan,”Berpegang teguh dengan Sunnah adalah keselamatan, dan ilmu akan dicabut dengan cepat. Hidupnya ilmu, berarti kekokohan agama dan dunia, sedangkan hilangnya ilmu, berarti kepunahan semua itu.”
Al Auza’i mengatakan, ”Dikatakan, lima hal yang ditempuh oleh sahabat Nabi dan para tabi’in ; berpegang teguh dengan jama’ah, mengikuti Sunnah, memakmurkan masjid, membaca Al Qur’an dan berjihad dijalan Allah.”
Mujahid mengatakan,’Tidak ada seorangpun perkataannya (boleh, Red) diambil dan ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Ibnu Khuzaimah berkata,”Tidaklah ada seseorangpun yang boleh berkata, kecuali bila telah benar kabar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
BERPEGANG TEGUH DENGAN SUNNAH
Selayaknya bagi yang ingin mencari kebenaran dan mengikuti Sunnah agar mengikatkan dirinya dengan dasar yang agung dan jalan yang jelas ini. Yaitu berpegang teguh dengan Sunnah dan peri hidup para salafush shalih, berupa pengagungan terdahap dalil-dalil dan tidak mempertentangkannya dengan perkataan sipapun, apalagi mendahulukan perkataan orang atas dalil tersebut. Dan hendaknya tidak tertipu dengan kebaikan seseorang ataupun dengan amalan seseorang. Karena orang yang masih hidup tidak aman dari fitnah. Sesungguhnya sebaik-baik orang yang diikuti adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, yang Allah telah memberikan tazkiyah (pengakuan, Red.) kepada mereka.
Allah telah berfirman di dalam kitabNya dan Nabi telah wafat. Dia ridha atas mereka dan para tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik. Rasulullah telah bersabda tentang mereka.

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian yang setelahnya, kemudian yang setelahnya. [Muttafaq ‘alaih]
Semoga bermanfaat.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun VIII/1425H/2004M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647,

Bersatu dan Tidak Berpecah Belah



Oleh
Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi Al-Atsari

URGENSI PERSATUAN ISLAM
Persatuan Islam termasuk dari maqoshid syar’iyyah (tujuan syari’at) yang paling penting yang terkandung dalam agama ini. Al Qur`an dan Rasulullah senantiasa menyerukannya. Persatuan dalam masalah aqidah, ibadah, dan akhlak, semuanya diperhatikan dan diserukan oleh Islam. Diharapkan akan terbentuk persatuan di atas petunjuk dan kebenaran. Bukan persatuan semu, yang tidak ada kenyataan, karena tidak ada faidahnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala satu, Nabi kita satu, kiblat dan aqidah kita juga satu, ini semua termasuk dari salah satu sisi persatuan dalam berakidah. Begitu juga persatuan dalam masalah ibadah. Kita dapat melihat, bagaimana kaum Muslimin berkumpul setiap harinya sebanyak lima kali di masjid-masjid mereka; ini adalan salah satu fonemena dari persatuan. Juga bagaimana mereka berkumpul dengan jumlah yang lebih besar pada setiap hari Jum’at, berpuasa secara serempak di seluruh penjuru dunia dalam waktu yang sama, atau mereka saling memanggil ke suatu tempat bagi orang yang mampu untuk melaksanakan kewajiban haji, dengan menggabungkan usaha harta dan badan di satu tempat dan waktu yang sama; ini semua adalah bagian dari fonemena persatuan Islam di dalam mewujudkan hakekat akidah yang terbangun atas dasar tauhid. Karena sesungguhnya persatuan kalimat tidaklah akan menjadi benar, melainkan dengan kalimat tauhid, dengan fenomena persatuan akidah dan ibadah seperti yang telah ditunjukkan di atas.
Sebenarnya telah ada fonemena persatuan di dalam perilaku kaum Muslimin, antara satu dengan yang lainnya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ الْوَاحِدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى

“Perumpamaan kaum Muslimin dalam saling mengasihi, saling menyayangi, dan saling menolong di antara mereka seperti perumpamaan satu tubuh. Tatkala salah satu anggota tubuh merasakan sakit, maka anggota tubuh yang lainnya akan merasakan pula dengan demam dan tidak bisa tidur” [1].

الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا

“Seorang mukmin terhadap mukmin lainnya seperti satu bangunan, sebagiannya menguatkan yang lainnya.”[2]
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Salah seorang dari kalian tidak beriman (dengan sempurna, Red) sampai ia mencintai (kebaikan) untuk saudaranya dengan apa yang dia dicintai dirinya” [3].

الْمُؤْمِنُ مِرْآةُ الْمُؤْمِنِ

“Seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya”.

الْمُؤْمِنُ أَخُو الْمُؤْمِنِ لَا يخذلهُ ولا يحقره وَلَا يُسْلِمُهُ

“Seorang mukmin adalah saudara bagi mukmin lainnya, dia tidak membiarkannya (di dalam kesusahan), tidak merendahkannya, dan tidak menyerahkannya (kepada musuh)”.
Semua ini adalah pemandangan yang mengkuatkan dan menyatukan hati, menghantarkan kepada anggota tubuh lainnya. Bahkan apabila kita memperhatikan firman Allah :
“Demi masa. Sesungguhnya semua manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, dan mengerjakan amal shalih, dan nasihat-menasihati supaya mentaati kebenaran, dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran”. [al ‘Ashr : 1-3].
Jika kita memperhatikan firman Allah di atas (yang artinya) “dan mereka saling memberikan nasihat ”, ini juga termasuk fonemena persatuan. Karena saling menasihati tidak akan terjadi pada satu orang saja, akan tetapi terjadi pada suatu kelompok antara satu dengan yang lain, saling mengingatkan, menasehati dan saling meluruskan.
Allah berfirman:
#(
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai”. [Ali Imran: 103]
Ini juga fonemena persatuan. Berpegang teguhlah dengan tali persatuan, kesatuan dan kebersamaan.
CARA DAN LANDASAN MEWUJUDKAN PERSATUAN
Tetapi bagaimanakah cara mewujudkan persatuan dan atas dasar apa? Apakah kebersamaan dan berkelompok berdasarkan (persamaan) ras, negara, daerah, warna (kulit) atau bahasa? Ataukah berkumpul atas dasar agama?.
Pertama kali yang difirmankan Allah dalam ayat di atas:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ
Berpegang teguh dengan Tali Allah!
Yaitu dengan agama Allah, Kitab Allah, syariat Allah, dan Sunnah NabiNya. Allah tidak menyerahkan perkara (persatuan ini) pada akal, sehingga bisa memilih apa yang dikehendaki. Akan tetapi Allah menegaskan “berpegang teguhlah kalian semua dengan tali Allah”.
Sesungguhnya firman Allah “berpegang teguhlah” telah mengandung makna, berkumpul dan bersatu, akan tetapi Allah menekankannya lagi sebagai tambahan penjelasan “berpegang teguhlah kamu semua dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai- berai”.
Terdapat tiga penekanan dalam satu nash [4], semuanya mempunyai makna persatuan dan kesatuan. Dan persatuan ini tidak akan terwujud, kecuali atas dasar tauhid diikat dengan tali Allah. Maka berpegang teguhlah kalian semua dengan tali Allah dan jangan bercerai berai.
Persatuan yang ada hendaknya atas dasar agama, akidah dan mengikuti Sunnah Rasulullah. Makna ini telah dijelaskan dalam banyak nash. Di antaranya firman Allah dalam kitabNya :
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa” [al An’am :153]
Allah telah menjadikan jalanNya dibangun di atas Sunnah, yang mana ia adalah jalan Islam atau ditafsirkan dengan al Qur`an dengan segala kandungan hukum-hukumnya, yang di dalamnya terdapat argumen dan penjelasan. Allah berfirman (artinya): Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain)!
Tatkala Rasulullah bersama para sahabatnya, ia menggaris di atas tanah garis yang lurus dan menggariskan garis-garis lain di kanan dan kirinya. Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjuk garis lurus tersebut seraya berkata: “Ini adalah jalan Allah”. Dan beliau menunjuk garis-garis yang bercabang di kanan dan di kirinya dengan mengatakan: ”Ini adalah jalan-jalan sesat, di setiap ujung jalan-jalan ini terdapat setan yang menyeru kepadanya”. Kemudian beliau membaca ayat ini (QS al An’am : 153). [5]
Oleh karena itu, setiap hawa-nafsu, pendapat, bid’ah dan perkara baru (dalam agama), pemikiran yang menyeleweng dan jauh dari al Kitab dan as Sunnah, jauh dari dalil dan hujjah, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Katakanlah: “Tunjukkanlah bukti kebenarannmu jika kamu orang-orang yang benar”. [an Naml : 64].
Itu semua memisahkan dan menjauhkan dari kebenaran yang ada, serta mengikuti hawa nafsu belaka.
Seorang hamba diperintahkan untuk mengikuti perintah Allah dan RasulNya, agar ia menjadi seorang hamba yang mengikuti jalan Allah yang lurus. Bagaimana dia tidak mengamalkan perintah ini? Dan bagaimana mungkin ia tidak ingin melakukan dan berusaha untuk mengikutinya? Sementara ia telah berdo’a siang dan malam kepada Rabb-nya dalam setiap shalatnya, minimal 17 kali dengan mengatakan :

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ


“Tunjukilah kami jalan yang lurus”. [Al Fatihah:6]
Bagaimana mungkin ia meminta hidayah untuk ditunjukkan jalan yang lurus? Padahal ia sendiri menyelisihi dan mengikuti hawa nafsunya, mengikuti perkara-perkara baru (dalam agama), mengikuti fikiran dan akal yang dangkal dan kurang sehat.
Allah telah menjadikan hidayah kepada jalan lurus ini terikat dengan dua perkara:
Pertama dan yang paling penting adalah, taat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana firman Allah, di dalam kitab yang menerangkan syarat hidayah ini:
وَإِن تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا
“Dan jika kamu ta’at kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk”. [an Nuur : 54].
Dan ketaatan ini tidak akan bisa dilakukan dengan sempurna oleh seseorang, kecuali bila ia beriman sebagaimana para sahabat beriman, bermanhaj dan berpaham seperti manhaj dan pemahaman para sahabat, sebagaimana firman Allah:
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan dia mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami akan memasukkannya ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali”. [an-Nisa':115]
Bahkan Allah Azza wa Jalla mengaitkan syarat hidayah dengan keimanan sebagaimana keimanan para sahabat. Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk”. [al Baqarah : 137].
Maksudnya, apabila mereka beriman -yakni orang-orang setelah kalian- seperti iman kalian terhadapnya, yakni seperti para sahabat Rasul, maka mereka akan mendapatkan hidayah. Ini adalah syarat dan pondasi pokok. Apabila hilang syarat ini, maka janji dan hasil yang dikatakan serta permintaaan kita terhadap hidayah tidak ada faidahnya dan sia-sia belaka.
Dengan ini semuanya, hendaknya kita mengoreksi diri dengan segala apa yang kita lakukan, kita pikirkan dan kita bicarakan. Sehingga kita akan tetap terus berada di atas jalan Allah yang lurus untuk terus melakukan ketaatan kepadaNya, mengikuti kebenaran, untuk menuju kebenaran, yaitu Sunnah Nabi kita.
Terdapat dalam Sunnah Rasulullah yang menyebutkan secara jelas tentang gambaran dan ibrah perpecahan yang ada, ia Shallallahu ‘alaihi wa sllam bersabda :

افْتَرَقَتْ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَتَفَرَّقَتْ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَسَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً , قَالُوا مَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ هي الجماعة (وفي رواية) هِيَ التي مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي

“Kaum Yahudi terpecah menjadi 71 golongan, kaum Nashara terpecah menjadi 72 golongan, dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya di neraka kecuali satu. Para sahabat bertanya,“Siapakah mereka, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,“Satu golongan itu adalah jama’ah.” (Dalam riwayat lain): “Mereka itu adalah orang-orang yang berjalan di atas jalan yang pernah aku tempuh”.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :

الْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ

“Al jama’ah adalah rahmat dan perpecahan adalah azab”
Ini semua menunjukkan penekanan terhadap makna persatuan umat. Dan persatuan ini tidak akan terbangun kecuali di atas kebenaran yang berdasarkan Kitab Allah dan Sunnah RasulNya, di atas manhaj para sahabat Rasul yang masih belum terlumuri dengan perkara- perkara bid’ah dan kesesatan. Para sahabat adalah manusia paling baik hatinya dibandingkan manusia lain, paling dalam ilmu, paling besar kecintaan dan ittiba` kepada Rasulullah. Karena kecintaan yang murni adalah kecintaan yang terbangun di atas ittiba`, sebagaimana firman Allah Ta’ala :
“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. [Ali Imran : 31].
Jadi, asas cinta kepada Rasulullah adalah ittiba’ (mengikuti) rasul dalam segala ajarannya.
Adapun kecintaan yang dibarengi dengan penyelewengan, rasa cinta dan melakukan bid’ah, maka hal ini tidaklah akan bertemu. Sebagaimana perkataan syair:
Kamu bermaksiat kepada Rasul, dan kamu mengaku mencintai beliau
Demi Allah, ini adalah permisalan yang sangat jelek.
Persatuan dalam Islam terbangun atas tauhid, ittiba` Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan manhaj Salaf dari para sahabat, tabiin dan tabiut tabiin yang merupakan manusia terbaik, sebagaimana yang dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

خَيْرُالناس قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

“Sebaik-baik manusia adalah manusia pada zamanku, kemudian yang berikutnya dan berikutnya”.
Dan ada tambahan di selain Shahihain :

ثُمَّ يَأْتِي أَقْوَامٌ لاَ خَيْرَ فِيْهِمْ

“Kemudian datang suatu kaum yang tidak ada kebaikan di dalamnya”.
Kenapa hal ini bisa terjadi? Karena kaum ini telah menyelisihi manhaj generasi terbaik yang telah mengikuti dan berjalan di atas petunjuk Rasul. Maka dicabutlah kebaikan dari mereka sesuai dengan penyelewengan mereka dari para salaf.
Persatuan dalam Islam adalah hal utama yang diminta dari umat, dan wajib bagi kita terus bersemangat untuk merealisasikannya, menjalankan dan menyerukan persatuan tersebut.
Di dalam al Qur`an banyak contoh yang menerangkan kepada kita hakikat persatuan, antara ada dan tiada.
Contoh yang menjelaskan, bagaimana persatuan dalam berakidah dan manhaj yang benar telah menjadikan satu orang bisa dianggap satu jamaah. Dan contoh yang menjelaskan, bagaimana kelemahan dan kegagalan bisa menjadikan suatu jamaah dianggap seperti satu orang, bahkan individu-individu yang saling bertikai antara satu dengan yang lainnya, Allah Azza wa Jalla menceritakan tentang bapaknya para nabi, yaitu Nabi Ibrahim Alaihissalam :
“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif”. [an Nahl : 120].
Padahal beliau Alaihissallam hanya seorang diri. Akan tetapi, seakan ia bagaikan satu umat, umat yang menjadi panutan atau umat bagi dirinya sendiri. Sebaliknya, Allah menyebutkan mencotohkan lawan dari sebelumnya, gambaran dari sifat teman-teman kera, babi yang telah membunuh para nabi, menyelewengkan aqidah yang benar dan merubah agama mereka. Dalam firmanNya, Allah mengkabarkan :

تَحْسَبُهُمْ جَمِيعًا وَقُلُوبُهُمْ شَتَّى

“Kamu kira mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah-belah”. [al Hasyr : 14].
Kemudian contoh ketiga adalah gambaran untuk para sahabat nabi, yang mana persatuan mereka adalah anugerah dari Rabb mereka, karena mereka sebaik-baik orang yang telah melanjutkan tongkat estafet kebenaran setelah para nabi, semoga Allah meridhai mereka semua. Allah berfirman :
“Walaupun kamu membelanjakan (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka”. [al Anfal : 63].
Sungguh, hati dan badan-badan mereka saling bersatu. Dalam firman Allah “kalau seandainya kalian menginfakkan seluruh isi dunia”, hal ini termasuk mengaitkan sesuatu dengan hal yang mustahil bagi seorang manusia untuk melakukannya, karena tidak mungkin ada seseorang yang bisa menginfakkan semua itu, baik emas, uang dan barang berharga lainnya.
Kalaupun kamu bisa menginfakkan itu semua, maka kamu tidak akan dapat menyatukan hati mereka, hati-hati mereka akan tetap bercerai-berai.
Bangsa Arab sebelum Islam termasuk dari umat yang tidak punya persatuan, bahkan tidak dikenal kecuali dengan peperangan di antara mereka dan saling membanggakan diri satu sama lain di dalam perkara atau sebab yang banyak. Peperangan-peperangan ini merupakan bukti kuat, bahwa bangsa Arab sebelum Islam tidaklah berarti. Kemudian datang Islam, turun kepada mereka al Qur`an dan petunjuk yang benar, serta diutusnya Rasul Allah yang haq, merupakan nikmat dari Allah dan Ia pun menyatukan hati-hati mereka.
Bagian awal dari ayat, Allah Azza wa Jalla menyebutkan “kamu tidak akan dapat menyatukan hati-hati mereka”, lalu di bagian akhir disebutkan “akan tetapi Allah menyatukan mereka”. Allah telah menganugerahkan kepadamu, sesuatu yang lebih besar dari yang engkau inginkan. Engkau ingin menyatukan hati-hati mereka, akan tetapi Allah menganugerahkan penyatuan hati dan badan. Tidak hanya hati mereka, bahkan Allah telah menyatukan di antara mereka (hati dan badan mereka), sehingga itu merupakan anugerah umatnya dari Allah, dengan bergabungnya antara persatuan dengan tauhid. Allah berfirman :
وَمَابِكُم مِّن نِّعْمَةٍ فَمِنَ اللهِ


“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya)”. [an Nahl : 53].
Dan firmanNya :
وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللهِ لاَتُحْصُوهَا

“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah kamu dapat menghitungnya”. [Ibrahim : 34].
Pembicaraan masalah persatuan dan kesatuan umat sangatlah luas, dalil-dalil yang berkenaan dengan itu juga sangat banyak, akan tetapi karena perbedaan kaumlah yang telah melupakan satu dengan yang lainnya.
Karena itu aku tutup pembicaraan ini dengan mengingatkan hadits Tamim ad Daariy, ia berkata: bersabda Rasulullah :

الدِّينُ النَّصِيحَةُ ثَلَاثَ مِرَارٍ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ لِمَنْ قَالَ لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ

“Din (agama) ini adalah nasihat” (tiga kali). Para sahabat bertanya : “Nasihat bagi siapa, wahai Rasulullah?”. Nabi menjawab,”Nasihat terhadap Allah (maksudnya dengan mentauhidkan Allah dan mengikhlaskan niat dalam beribadah, Red), nasihat terhadap kitabNya (maksudnya, dengan mengimaninya dan mengamalkan isinya, Red), nasihat terhadap para pemimpin kaum Muslimin (maksudnya, dengan mentaati mereka dan tidak memberontak) dan nasihat bagi kaum Muslimin secara umum”.
Juga, tauhid mengantarkan kepada tauhid (persatuan), persatuan akidah menyeru kepada persatuan kata. Sehingga mereka saling bersatu sebagaimana yang diperintahkan Allah k . Dan saling tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan takwa, dan jangan saling membantu dalam hal dosa dan permusuhan.
Di suatu hadits Abdullah bin Jarir berkata : Rasullah bersabda,”Baaya`na Rasulullah ala sami wa toat … … wannush likulli muslim”. ia menambahkan,”Rasulullah membebankan kepada kita dengan apa yang kita mampu”.
Semuai ini bertujuan untuk mengagungkan persatuan dalam jiwa-jiwa. Dan hendaknya diketahui, bahwa hak saudaramu padamu, sama seperti hakmu pada mereka. Dan sesungguhnya tidaklah sempurna iman seseorang, sampai ia mencintai bagi saudaranya dengan apa yang ia cintai untuk dirinya.
Renungkanlah, betapa indahnya tatanan masyarakat ini, yang saling mencintai satu sama lain, saling menolong, mengingatkan, menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar, dengan penuh kecintaan, kasih-sayang, rahmat dan kelembutan. Membayangkan bagaimana bersatunya masyarakat dengan menampakkan persatuan kata yang hanya dilandasi atas persatuan tauhid.
Saya berdoa kepada Allah agar menyatukan kaum Muslimin di atas Kitab dan Sunnah RasulNya, menjauhkan dari segala fitnah yang ada, baik yang nampak atau yang tidak, menghilangkan setiap bentuk kesyirikan, bidah dan perbedaan. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :
“Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”. [al Anfal : 46].
Firman Allah :
“Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka”. [Ar Ruum : 31-32]
Allah telah menjadikan sikap perpecahan sebagai ciri dari orang musyrik; bertauhid dan bersatu sebagai ciri dari kaum Mukminin. Semoga Allah menjadikan kita semua dari orang-orang yang selalu berpegang teguh di atas kebenaran, mewafatkan kita di atasnya dan Sunnah RasulNya dengan tidak melakukan bid’ah, penyelewengan, kerusakan dan kehinaan. Maha suci Allah yang kuasa untuk melakukan ini semua.
Wasallahu ‘alan nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wasahbihi ajma’in.
Wa akhiru dakwana alhamdulillhi rabbil ‘alamin.
[Diangkat dari ceramah Syaikh Ali Hasan –hafizhahullah- di Masjid al Muhajirin Malang, Kamis, 16 Februari 2006M]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun X/1427H/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnotes
[1]. HR Imam Muslim dalam Shahih-nya.
[2]. HR Bukhari dan Muslim.
[3]. HR Bukhari dan Muslim.
[4]. Yaitu : 1) Firman Allah “berpegang teguhlah”, perintah ini sudah mencakup semua umat Islam. 2) FirmanNya “kamu semua”. 3) FirmanNya : “janganlah kamu bercerai-berai”. (Red).
[5]. HR Ibnu Majah.