kategori-akhlak

Rabu, 11 Desember 2013

Optimisme Seorang Muslim



Dalam penggalan sejarah Rasulullah SAW kita kenal satu masa yang disebut dengan “amul huzni” (tahun berduka cita). Yaitu ketika dua orang yang sangat beliau cintai sekaligus sangat berjasa dalam perjalanan kehidupan (baca: dakwah) beliau meninggalkan beliau untuk selamanya dalam waktu yang relatif bersamaan. Dua orang itu adalah, istri beliau tercinta, Siti Khadijah ra, dan paman beliau Abu Thalib.
Sebagi manusia normal, ada gurat duka di wajah Rasulullah saw, ketika ditinggal pergi istri tercinta. Sungguh, penggalan indah dan penuh makna dari setiap detik kehidupan beliau dengan Siti Kahdijah ra tak kan pernah bisa tergantikan oleh istri-istri beliau yang lain.
Seperti kita tahu, Khadijah adalah istri yang begitu beliau sayangi yang selama ini telah menopang perjuangan kehidupan beliau, baik secara psikologis maupun ekonomis. Tak hanya itu, Khadijah juga tercatat sebagai orang pertama yang mengimani dakwah yang dibawa Rasulullah SAW. Tanpa ragu Khadijah membenarkan misi kenabian yang beliau emban sebelum ada orang lain yang meyakininya. Betapa besarnya cinta beliau kepada Khadijah bisa kita rasakan ketika beliau pernah mengungkapkan, “ Sungguh, Khadijah adalah anugrah Allah terbesar kepadaku. Dia mengimani ku saat orang lain mengingkariku, dan dia melindungiku saat orang lain memusuhiku”.
Tak lama waktu berselang, goresan kesedihan itu beliau rasakan semakin dalam, tatkala paman yang beliau hormati, Abu Thalib, juga kembali pada Allah SWT untuk selamanya. Meskipun sampai akhir hayatnya, Abu Thalib tak pernah mau bersyahadat untuk memeluk Islam, dari sejarah kita tahu bahwa beliau tidak hanya telah berjasa dalam mengasuh beliau semenjak ibunya Aminah meninggal, tapi juga telah menjadi tameng hidup kelancaran dakwah yang dilakukan Rasulullah SAW dari rongrongan kaum kafir Qurais.
Abu Thalib pergi di saat kuncup dakwah yang beliau semai belum begitu mekar. Paman yang beliau hormati itu meninggal saat beliau masih sangat membutuhkan sosok yang begitu tegar dan berani berdiri di shaf depan melindungi diri beliau dari kejaran kafir Quraisy yang sekaligus juga bisa diartikan untuk memagari proses dakwah yang sedang beliau lakukan.
Demi mengobati luka duka itu, beliau memutuskan untuk hijrah ke Tha’if. Beliau pergi dengan membawa segumpal harap, penduduk Tha’if akan menerima beliau dengan hangat dan terbuka. Namun sesampai di Tha’if, harapan tersebut hilang bagai embun yang disapu sinar mentari. Bukan sapa hangat yang beliau terima, tapi cemooh dan lemparan batu yang didapat. Dalam sejarah disebutkan bahwa lemparan batu itu sampai membuat satu gigi Rasulullah SAW patah. Masyarakat Tha’if mengusir Rasulullah keluar dari kota. Kejadian ini tentu menambah goresan luka itu semakin dalam.
Menerima perlakuan kasar, dalam kesedihan yang mendalam, marahkah beliau? Putus asakah beliau? Apakah beliau kemudian merencanakan aksi balas dendam? TIDAK, dengan sabar beliau malah mendoakan : “Allahummahdi qaumi fainnahum la ya’alamuun”. (Ya Allah, berilah kaumku hidayah, karena sesungguhnya mereka belum mengetahui).
Kemudian sejarah menceritakan sepuluh tahun kemudian, dengan berbondong-bondong masarakat Tha’if masuk Islam. Bahkan pada zaman khalifah Abu Bakar, disaat beberapa golongan tidak mau membayar zakat, masyarakat Thai’if lah yang bersegera menunaikan pembayaran zakat.
Rasulullah yang mulia, melalui sepenggal sirahnya, mengajarkan kepada kita tentang satu mentalitas atau karakter yang seharusnya dimiliki oleh seorang muslim yang beriman, yaitu satu nilai yang kita sebut dengan optimisme. Secara sederhana optimisme bisa kita pahami sebagai sikap mental yang selalu penuh harap dan keyakinan tentang masa depan yang lebih baik.
Potret optimisme Rasullulah SAW ketika menghadapi penolakan masyarakat Tha’if, tergambar jelas dalam untaian doa yang beliau lantunkan. Rasulullah mengajarkan, sesulit dan seberat apapun kondisi yang kita hadapi, harus tetap ada optimisme, karena optimisme bagi seorang muslim merupakan manifestasi keyakinan akan keberadaan dan pertolongan Allah SWT.
Optimisme seorang muslim bukanlah optimisme yang didirikan diatas tanah kosong, tapi optimisme tersebut didirikan di atas kekokohan iman kepada Allah SWT. Dengan kata lain, sikap mental yang selalu optimis dengan masa depan yang lebih itu adalah konsekwensi logis dari keimanan dan keistqamahan kita dalam mengamalkan ajaran dinul Islam ini.
Sebagaimana Allah berfirman, “ Sesungguhnyaorang-orang yang berkata bahwa tuhan kami adalah Allah dan mereka istqamah, maka malaikat akan turun kepada mereka (dan berkata), “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu bersedih hati; dan bergembiralah kamu (memperoleh) sorga yang telah dijanjikan kepadamu”. (Fusshilat:30).
Kalau kita melihat berbagai kenyataan yang ada di depan mata kita hari ini, maka kita akan menemukan bahwa ada begitu banyak masalah yang bisa saja membuat kita begitu tertekan. Beragam permasalahan hidup itu bisa kita rasakan baik dalam lingkar kita sebagai individu, sebagai bagian dari masyarakat, sebagai bagian dari anak bangsa, maupun permaslahan kita sebagai satu ummah.
Di level individu, sangat mungkin ada diantara kita yang senantiasa bergulat dengan permasalahan pribadinya setiap harinya. Masalah itu bisa terkait dengan masalah keluarga, hubungan dengan anak dan istri yang tidak harmonis, sakit yang tak kunjung sehat, susahnya mencari pekerjaan,  studi yang tak juga selesai, atau masalah doa dan impian yang tak kunjung terwujud.
Semua problema itu sangat mungkin menjebak kita untuk berkeluh kesah dan bahkan mungkin sampai pada situasi dimana kita merasa hopeless, putus asa, dan frustasi. Bahkan bisa sampai pada titik ekstrim, yaitu ketika kita mulai mempertanyakan pertolongan dan keadilan Allah. Nauzubillahi min zalik.
Pada tataran masyarakat, saat ini kita juga harus berhadapan dengan seabrek problema sosial yang semakin hari justru makin mengkhawatirkan. Semakin meningkatnya tindak kejahatan dalam berbagai bentuk dalam masyarakat kita, misalnya, kadang membuat kita cendrung “kehilangan akal” untuk menghadapinya. Atau ketika aktifitas dakwah cukup marak hadir di tengah masyarakat kita hari ini, pada saat yang sama fenomena maksiatpun juga merajalela dalam berbagai bentuk dan modus operandi yang “lebih canggih”.
Apalagi kalau kita melihat diri kita dalam lingkaran yang lebih luas, sebagai bagian dari anak bangsa yang bernama Indonesia. Sungguh, cerita keseharian kita sebagai bangsa dipenuhi oleh cerita-cerita sedih  dan paradoks. Sebuah realitas yang membuat potret negeri dengan komunitas muslim terbesar di dunia ini semakin buram.
Kisah kita sebagai bangsa sampai hari ini masih berkisar tentang  tingginya angka kemiskinan, rendahnya kualitas pendidikan, buruknya pelayanan birokrasi, rusaknya mentalitas sebagian anak bangsa, dan (masih) maraknya prilaku korupsi. Tak sampai di sini, musibah dalam bentuk bencana alampun datang silih berganti. Belum sembuh luka saudara-saudara kita di Aceh pasca Tsunami, berturut-turut belahan negeri Indonesia yang lain seperti Jogya, Pengandaran, dan Sidoardjo juga harus merasakan pedihnya luka ini. Maka, sepertinya lengkap sudah “derita” kita sebagai anak bangsa yang bernama Indonesia.
Sampai di sini, pertanyaan kita adalah Kapan semua cerita sedih ini akan berakhir, atau masih adakah harapan tentang masa depan yang lebih baik itu?
Kalau kita telusuri kisah orang-orang yang tersesat mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri, maka kita akan temukan salah satu peyebabanya adalah ketika yang bersangkutan telah kehilangan harapan tentang jalan keluar dari permasalahan yang dia hadapi. Orang yang kehilangan harapan, sesungguhnya yang bersangkutan telah kehilangan hidup itu sendiri. Karena harapan adalah sumber energi kehidupan. Harapan berfungsi layaknya bensin sebagai sumber energi yang bisa membuat mobil bisa berjalan. Mobil secantik apapun tak akan berarti apa-apa tanpa bensin.
Maka menjawab pertanyaan diatas, sebagai muslim yang beriman tentu seharusnya jawaban kita adalah bahwa kita tidak boleh berhenti berharap. Kita tidak boleh berputus asa dengan rahmat Allah. Kita harus yakin dengan janji Allah SWT yang menegaskan bahwa Dia akan memberikan pertolongan (40:51), penjagaan (10:98), perlindungan, 2:257), jalan keluar dari segenap permaslahan (65:2) dan juga rezki (35:3) kepada hamba-Nya yang senantiasa beriman dan bertaqwa kepada-Nya.
Dengan demikian, kalau kita masih menemukan diri kita, baik dalam skala personal maupun sebagai bagian dari satu ummah yang besar, masih berkutat dengan berbagai permasalahan yang pelik, mengacu kembali pada firman Allah dalam surat Fusshilat ayat 30 di atas, yang harus kita interospeksi adalah sampai dimana kadar keistiqmahan kita sebagai seorang yang telah meyakini Allah sebagai Rabb kita. Sebagi seorang yang telah memilih Islam sebagai way of life kita.
Istiqamah yang dimaksud di sini tentu saja dia tidak hanya berarti mengerjakan ibadah mahdah (seperti shalat, puasa, dll) secara konsisten, namun dia harus dipahami dalam konteks yang lebih luas bagaimana kita sebagai muslim konsisten menjalankan semua aspek dinnul Islam yang kaffah itu dalam semua aspek kehidupan kita. Istiqamah di sini juga berarti bagaimana kita secara terus menerus mengembalikan semua permasalahan kita tersebut kepada (tuntunan) Allah dan Rasulnya secara proporsional.
Terkait masalahan kemiskinan, misalnya, apakah kita sudah menjalankan perintah Allah tentang berusaha mencari karunia Allah secara maksimal, atau yang terjadi justru sebaliknya, kita cendrung menjadi orang yang malas dan menghabiskan sebagian waktu kita untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. Padahal Allah sudah janji bahwa Allah akan menjamin rezki semua makhluknya (17:31) . Tapi rezki itu tak kan pernah turun dengan sendirinya bagaikan turunnya embun di pagi hari. Dia haru dicari dan dijemput dalam bentuk usaha yang sungguh-sungguh.
Bagi kita yang sudah berkecukupan, sudahkah kita, selain menjadi seorang muslim yang sholeh secara pribadi, juga sholeh secara social. Apakah ada setitik kesedihan dan empati di hati kita saat kita makan dengan lahap, sementara ada begitu banyak saudara-saudara kita yang lain selalu hidup dalam berkekurangan. Sudahkah kita khawatir digolongkan Allah ke dalam golongan yang mendustakan agama (107:1-3), lantaran kita membiarkan kemiskinan di hadapan kita. Pendeknya, apa yang telah kita lakukan dalam rangka memerangi kemiskinan ini sebagi bentuk istiqamah kita menjalankan ajaran dinnul Islam, yang tidak hanya mengajarkan kita sholeh secara pribadi tapi juga secara social?
Sungguh, tulisan yang pendek tak cukup untuk mengurai secara detail beragam permasalahan yang kita hadapi. Poin penting yang saya ingin tegaskan adalah bahwa kalau kita konsisten mempraktekkan ajaran Islam ini secara kaffah dalam setiap gerak kehidupan kita, maka InsyaAllah memang kita tidak perlu bersedih dengan setiap problema kehidupan ini. Kita tak kan pernah kehilangan harapan tentang masa depan yang lebih baik itu. Kita akan selalu optimis dengan segenap pertolongan Allah, karena memang Allah tak kan pernah mengingkari janji-Nya. Marilah belajar kepada tetes-tetes air yang mampu melubangi batu karang yang keras, hanya kerena air yang sesungguhnya lembut itu menjalankan sunnatullah, secara konsisten, tanpa henti menetes dan menetes. Wallahu a’lam bissawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar