Imam an-Nawawi rahimahullah
membuat sebuah bab khusus di dalam kitab Riyadhush Shalihin yang
berjudul Bab Husnul Khuluq (Akhlak mulia). Maksud penyusunan bab ini
oleh beliau ialah dalam rangka memotivasi agar kita memiliki akhlak yang mulia.
Di dalam bab ini beliau juga hendak menerangkan keutamaan-keutamaannya serta
siapa sajakah di antara hamba-hamba Allah yang memiliki sifat-sifat mulia itu.
Husnul khuluq meliputi berakhlaq mulia kepada Allah dan berakhlaq mulia kepada
hamba-hamba Allah.
Berakhlaq mulia
kepada Allah yaitu senantiasa ridha terhadap ketetapan hukum-Nya, baik yang
berupa aturan syari’at maupun ketetapan takdir, menerimanya dengan dada yang
lapang tanpa keluh kesah, tidak berputus asa ataupun bersedih. Apabila Allah
menakdirkan sesuatu yang tidak disukai menimpa seorang muslim maka hendaknya
dia ridha terhadapnya, pasrah dan sabar dalam menghadapinya. Dia ucapkan dengan
lisan dan hatinya: radhiitu billaahi rabban ‘Aku ridha Allah sebagai
Rabb’. Apabila Allah menetapkan keputusan hukum syar’i kepadanya maka dia
menerimanya dengan ridha dan pasrah, tunduk patuh melaksanakan syari’at Allah
‘Azza wa Jalla dengan dada yang lapang dan hati yang tenang, inilah makna
berakhlak mulia terhadap Allah ‘Azza wa Jalla.
Adapun
berakhlak mulia kepada sesama hamba ialah dengan menempuh cara sebagaimana yang
dikatakan oleh sebagian ulama, yaitu yang tercakup dalam tiga ungkapan berikut
ini:
- Kafful adza (menahan diri dari mengganggu): yaitu dengan tidak mengganggu sesama baik melalui ucapan maupun perbuatannya.
- Badzlu nada (memberikan kebaikan yang dipunyai): yaitu rela memberikan apa yang dimilikinya berupa harta atau ilmu atau kedudukan dan kebaikan lainnya.
- Thalaqatul wajhi (bermuka berseri-seri, ramah): dengan cara memasang wajah berseri apabila berjumpa dengan sesama, tidak bermuka masam atau memalingkan pipi, inilah husnul khuluq.
Orang yang
dapat melakukan ketiga hal ini niscaya dia juga akan bisa bersabar menghadapi
gangguan yang ditimpakan manusia kepadanya, sebab bersabar menghadapi gangguan
mereka termasuk husnul khuluq juga. Bahkan jika dia mengharapkan pahala dari
Allah atas kesabarannya tentulah itu akan membuahkan kebaikan di sisi Allah
Ta’ala (semua paragraf di atas disarikan dari Syarah Riyadhush Shalihin
Syaikh al-Utsaimin, II/387)
Bagaimana
berakhlak mulia kepada sesama?
Di dalam sebuah
ayat Allah telah menghimpun beberapa kunci pokok untuk bisa meraih akhlak yang
mulia kepada sesama. Barangsiapa mempraktekkannya niscaya akan merasakan
kenikmatan buahnya. Allah Ta’ala berfirman,
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
“Jadilah Engkau
Pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari
pada orang-orang yang bodoh.” (Qs.
al-A’raaf: 199)
Ayat yang mulia
ini telah merangkum kandungan makna-makna husnul
khuluq kepada sesama
serta apa saja yang sepantasnya dilakukan oleh seorang hamba dalam hal mu’amalah
dan pergaulan hidup mereka. Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk melakukan
tiga hal:
- Menjadi pema’af.
- Menyuruh orang agar mengerjakan yang ma’ruf.
- Berpaling dari orang-orang yang bodoh.
Pengertian
pema’af di sini luas. Ia mencakup segala bentuk perbuatan dan akhlak yang dapat
membuat hati mereka lapang dan memberikan kemudahan untuk orang lain. Sehingga
dia tidak membebankan perkara-perkara sulit yang tidak sesuai dengan tabi’at
mereka. Bahkan dia mampu mensyukuri (berterima kasih) terhadap apa saja yang
mereka berikan baik berwujud ucapan maupun perbuatan yang santun atau bahkan
yang lebih rendah darinya. Hal itu juga disertai dengan sikap memaklumi
kekurangan dan kelemahan yang ada pada diri orang lain. Dia tidak menyombongkan
diri di hadapan yang kecil dan yang lemah akalnya karena kelemahan-kelemahan
mereka. Begitu pula, dia tidak sombong kepada orang yang miskin disebabkan
kemiskinannya. Bahkan dia mampu berinteraksi dengan semuanya dengan lemah
lembut dan melapangkan dada-dada mereka. Ia memilih sikap yang tepat menurut
situasi dan kondisi yang ada.
Pengertian
mengerjakan yang ma’ruf adalah segala ucapan dan perbuatan yang baik, budi
pekerti yang sempurna, terhadap orang yang memiliki hubungan dekat maupun jauh.
Hendaknya kamu bersikap baik kepada mereka dengan mengajarkan ilmu yang kamu
miliki, menganjurkan kebaikan, menyambung tali silaturahim, berbakti kepada
kedua orang tua, mendamaikan persengketaan yang terjadi di antara sesama, atau
menyumbangkan nasihat yang bermanfaat, pendapat yang jitu, memberikan bantuan
demi kebaikan dan takwa, menghalangi terjadinya suatu keburukan atau dengan
memberikan arahan untuk meraih kebaikan diniyah (agama) maupun duniawiyah
(dunia).
Berpaling dari
orang-orang yang bodoh artinya tidak melayani atau ikut larut dalam kebodohan
mereka. Jika mereka mengusik anda dengan kata-kata atau dengan tindakan bodoh
maka menyingkirlah. Anda tidak perlu membalas dendam dengan mengganggu mereka
pula. Barangsiapa yang memutuskan hubungan dengan anda maka sambunglah hubungan
dengannya. Dan barangsiapa yang menzhalimi anda maka berbuat adillah kepadanya.
Dengan cara itulah anda akan memperoleh limpahan pahala dari Allah, hati
menjadi tentram dan tenang, bebas dari ulah orang-orang bodoh, bahkan dengan
cara itu dapat merubah orang yang semula musuh menjadi teman (diramu dari Taisir
al-Karim ar-Rahman hal. 313 dan Taisir Lathif al-Mannan hal. 83-84)
Orang yang
paling dekat dengan Nabi di hari kiamat
Diriwayatkan
dari Jabir radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلَاقًا وَإِنَّ أَبْغَضَكُمْ إِلَيَّ وَأَبْعَدَكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُونَ وَالْمُتَفَيْهِقُونَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ عَلِمْنَا الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُونَ فَمَا الْمُتَفَيْهِقُونَ قَالَ الْمُتَكَبِّرُونَ
“Sesungguhnya
orang yang paling aku cintai di antara kalian dan yang paling dekat
kedudukannya denganku di hari kiamat kelak adalah orang yang terbaik akhlaqnya.
Dan orang yang paling aku benci dan paling jauh dariku pada hari kiamat kelak
adalah tsartsarun, mutasyaddiqun dan mutafaihiqun.” Sahabat berkata: “Ya
Rasulullah… kami sudah tahu arti tsartsarun dan mutasyaddiqun, lalu apa arti mutafaihiquun?”
Beliau menjawab, “Orang yang sombong.” (HR. Tirmidzi, ia berkata ‘hadits ini hasan gharib’. Hadits ini
dishahihkan oleh al-Albani dalam kitab Shahih Sunan Tirmidzi)
Di dalam hadits
ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan bahwa orang
yang paling dekat dengan beliau adalah orang-orang yang paling baik akhlaknya.
Maka apabila akhlak Anda semakin mulia niscaya kedudukan anda di hari kiamat
kelak akan semakin dekat dengan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
dibandingkan selain Anda. Sedangkan orang yang terjauh posisinya dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam pada hari kiamat kelak adalah tsartsarun,
mutasyaddiqun dan mutafaihiqun (Syarh Riyadhush Shalihin, hal.
396-397)
Syaikh Muhammad
bin Shalih al-’Utsaimin rahimahullah menerangkan bahwa makna tsartsarun
adalah orang yang banyak bicara dan suka menyerobot pembicaraan orang lain.
Apabila dia duduk ngobrol dalam suatu majelis dia sering menyerobot pembicaraan
orang lain, sehingga seolah-olah tidak boleh ada yang bicara dalam majelis itu
selain dia. Dia berbicara tanpa membiarkan orang lain leluasa berkata-kata.
Perbuatan seperti ini tidak diragukan lagi termasuk kesombongan. Yang dimaksud
majelis dalam konteks ini adalah pembicaraan-pembicaraan sehari-hari bukan
majelis ilmu atau pengajian, sebab jika suatu saat Anda mendapat kesempatan
untuk memberikan nasihat atau mengisi kajian di depan mereka lalu Anda
sendirian yang lebih banyak berbicara maka hal ini tidaklah mengapa (lihat Syarh
Riyadhush Shalihin, hal. 397)
Syaikh Muhammad
bin Shalih al-’Utsaimin rahimahullah menerangkan bahwa makna mutasyaddiqun
adalah orang yang suka berbicara dengan gaya bicara yang meremehkan orang lain
seolah-olah dia adalah orang paling fasih, itu dilakukannya karena kesombongan
dan bangga diri yang berlebihan. Seperti contohnya berbicara dengan menggunakan
bahasa Arab di hadapan orang-orang awam, sebab kebanyakan orang awam tidak
paham bahasa Arab. Seandainya Anda mengajak bicara mereka dengan bahasa Arab
maka tentulah hal itu terhitung sikap berlebihan dan memaksa-maksakan dalam
pembicaraan. Adapun jika Anda sedang mengajar di hadapan para penuntut ilmu
maka biasakanlah berbicara dengan bahasa Arab dalam rangka mendidik dan melatih
mereka agar sanggup berbicara dengan bahasa Arab. Adapun terhadap orang awam
maka tidak selayaknya Anda berbicara dengan mereka dengan bahasa Arab, tetapi
bicaralah dengan mereka dengan bahasa yang mereka pahami dan jangan banyak
memakai istilah-istilah asing, artinya janganlah Anda menggunakan kata-kata
asing yang sulit mereka mengerti, karena hal itu termasuk berlebihan dan angkuh
dalam pembicaraan (lihat Syarh Riyadhush Shalihin, hal. 397)
Syaikh Muhammad
bin Shalih al-’Utsaimin rahimahullah menerangkan makna mutafaihiqun:
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkannya yaitu
orang-orang yang sombong. Orang sombong ini bersikap angkuh di hadapan
orang-orang. Jika berdiri untuk berjalan seolah-olah dia berjalan di atas
helaian daun (dengan langkah kaki yang dibuat-buat –pent) karena adanya
kesombongan di dalam dirinya. Perilaku ini tak diragukan lagi termasuk akhlak
yang sangat tercela, wajib bagi setiap orang untuk menghindarinya. Karena yang
namanya orang tetap saja manusia biasa, maka hendaklah dia mengerti ukuran
dirinya sendiri. Meskipun dia telah dikaruniai sekian banyak harta, kedalaman
ilmu atau kedudukan yang tinggi oleh Allah, seyogyanya dia merendahkan diri
(tawadhu’). Sikap tawadhu’ orang-orang yang telah mendapat anugerah harta,
ilmu, atau kedudukan tentu lebih utama nilainya daripada tawadhu’nya
orang-orang yang tidak seperti mereka. Oleh sebab itu terdapat dalam sebuah
hadits yang memberitakan orang-orang yang tidak akan diajak bicara oleh Allah
dan tidak disucikan-Nya pada hari kiamat, diantara mereka adalah: “Orang
miskin yang sombong” Sebab orang miskin tidak mempunyai faktor pendorong
(modal) untuk sombong…. Sudah semestinya orang-orang yang diberi anugerah
nikmat oleh Allah semakin meningkatkan syukurnya kepada Allah serta semakin
tambah tawadhu’ kepada sesama, semoga Allah memberikan taufiq kepada saya dan
seluruh umat Islam untuk memiliki akhlak yang mulia dan amal yang baik,
dan semoga Allah menjauhkan kita dari akhlak-akhlak yang buruk dan amal-amal
yang jelek, sesungguhnya Dia Maha dermawan lagi Maha mulia (lihat Syarah
Riyadhush Shalihin, hal. 397-398)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar