Jihad fii
sabîlillâh dalam syari’at Islam, tidak hanya memerangi orang-orang kafir
saja, bahkan jihad menurut kacamata syari’at dalam pengertian umum meliputi
beberapa perkara :
Pertama : Jihâdun Nafs (Jihad dalam memperbaiki diri
sendiri)
Kedua : Jihâdusy Syaithôn (Jihad melawan syaithôn)
Ketiga : Jihâdul Kuffâr wal Munâfiqîn (Jihad melawan
orang-orang kafir dan kaum munâfiqîn)
Keempat : Jihâd Arbâbuzh Zholmi wal Bida’ wal Munkarât
(Jihad menghadapi orang-orang zholim, ahli bid’ah, dan pelaku kemungkaran)
Setiap perkara
dari empat macam jihad ini, terdiri dari beberapa tingkatan lagi yang berkaitan
dengannya. Dan menurut keterangan Ibnul Qayyim, seluruh tingkatan jihad itu
berjumlah tiga belas tingkatan.
Dan perlu
diingat, bahwa junjungan kita yang mulia, Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa
‘alâ âlihi wa sallam adalah orang yang berada pada tingkatan tertinggi
dalam jihad fi sabilillah, dimana beliau telah berjihad di jalan-Nya
dengan sebenar-benar jihad, dan beliau telah melaksanakan seluruh bentuk jihad
yang ada, dan mewaqafkan seluruh detik-detik kehidupannya untuk berjihad, baik
dengan hati, lisan maupun dengan tangannya. Karena itulah beliau yang paling
tinggi derajatnya dan termulia nilai dan kedudukannya di sisi Allah ‘Azza wa
Jalla. [1]
1. Jihâdun
Nafs (Jihad dalam memperbaiki diri)
Syari’at Jihadun
Nafs ini diterangkan pentingnya dalam hadits Fudhâlah bin ‘Ubaid radhiyallâhu
‘anhu, dimana Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam
bersabda,
اَلْمُجَاهِدُ
مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي طَاعَةِ اللهِ
“Seorang
mujahid adalah orang yang berjihad memperbaiki dirinya dalam ketaatan kepada
Allah”. [2]
Jihâdun Nafs ini mempunyai empat tingkatan :
Tingkatan
pertama : Jihad memperbaiki diri dengan mempelajari ilmu
syari’at; Al-Qur’ân dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman Salaf.
Karena Allah Subhânahu
wa Ta’âlâ memerintahkan untuk mempelajari agama dan menyiapkan pahala yang
sangat besar bagi para penuntut ilmu dan orang-orang yang berilmu. Allah Jalla
Jalâluhu berfirman,
“Maka ilmuilah,
bahwa sesungguhnya tidak ada sembahan (Yang Haq) melainkan Allah dan mohonlah
ampunan bagi dosamu.” (QS.
Muhammad : 19 )
Dan Allah ‘Azza
wa Jalla berfirman,
“Niscaya Allah
akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang
diberi ilmu beberapa derajat .” (QS.
Al-Mujadilah : 11)
Dan Rasulullâh shollallâhu
‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bersabda,
طَلَبُ الْعِلْمِ
فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu
adalah wajib atas setiap muslim.” [3]
Tentunya
dalil-dalil tentang keutamaan ilmu dan orang yang berilmu sangatlah banyak.
Silahkan baca kitab Miftâh Dârus Sa’âdah 1219-496.
Tingkatan kedua
: Berjihad dalam mengamalkan ilmu yang telah
dipelajarinya.
Allah Ta’âlâ
berfirman,
“Dan
sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka,
tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan
(iman mereka), dan kalau
demikian, pasti Kami berikan kepada mereka pahala yang besar dari sisi Kami,
dan pasti Kami tunjuki mereka kepada jalan yang lurus.” (QS. An-Nisâ`
: 66-68)
Dan siapa yang
beramal dengan ilmunya, maka Allah Jalla Tsanâ`uhu akan memberikan
kepadanya ilmu yang ia tidak ketahui. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah Ta’âlâ
dalam firman-Nya,
“Dan
orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan
memberikan kepada mereka (balasan) ketaqwaannya .” (QS. Muhammad : 17)
Dan tidak
beramal dengan ilmu merupakan sebab terlantar dan hilangnya ilmu tersebut,
sebagaimana dalam firman-Nya,
“(Tetapi)
karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mereka, dan Kami jadikan hati
mereka keras membatu. Mereka suka merobah perkataan (Allah) dari
tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka
telah diperingatkan dengannya.” (QS.
Al-Mâ`idah : 13)
Karena mereka
melanggar janji yang mereka ketahui dan menelantarkannya, maka Allah Ta’âlâ
menjadikan mereka kehilangan dari sebagian ilmu yang mereka ketahui.
Tingkatan
ketiga : Berjihad dalam mendakwahkan ilmu tersebut.
Allah Jalla
Sya`nuhu berfirman,
“Dan andaikata
Kami menghendaki, benar-benarlah Kami utus pada tiap-tiap negeri seorang yang
memberi peringatan (rasul). Maka
janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka
dengan Al-Qur`an dengan jihad yang besar.” (QS. Al-Furqân : 51-52)
Dan Allah ‘Azza
wa Jalla berfirman,
“Dan
berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya.” (QS. Al-Hajj : 78)
Dua ayat di
atas tertera dalam dua surah yang keduanya adalah surah Makkiyah. Dan telah
kita ketahui bersama bahwa jihad melawan orang kafir secara fisik disyari’atkan
di Madinah, maka tentunya perintah jihad di sini adalah perintah jihad dengan
hujjah, dakwah, penjelasan dan penyampaian Al-Qur’an. [4]
Kemudian berdakwah
di jalan Allah tentunya harus dengan ilmu dan bashirah, sebagaimana perintah
Allah kepada Rasul-Nya,
“Katakanlah:
“Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku berdakwah kepada
Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk
orang-orang yang musyrik”.” (QS. Yûsuf
: 108)
Tingkatan
Keempat : Jihad dalam menyabarkan diri ketika mendapat cobaan
dalam menjalani tingkatan-tingkatan di atas.
Allah Subhânahu
wa Ta’âlâ mengingatkan dalam firman-Nya yang mulia,
“Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan
(saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan
sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka
sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia
mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al-‘Ankabût : 1-3)
2. Jihâdusy
Syaithân (Jihad melawan syaithân)
Hal ini
sebagaimana dalam firman-Nya yang agung,
“Sesungguhnya
syaitan itu adalah musuh bagi kalian, maka jadikanlah ia sebagai musuh
(kalian), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya
supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS. Fâthir : 6)
Ibnu Qayyim
Al-Jauziyyah rahimahullâh berkata : “Perintah (Allah) untuk menjadikan
syaithân sebagai musuh merupakan peringatan (akan harusnya) mencurahkan segala
kemampuan dalam memerangi dan berjihad melawan (syaithân). Karena ia laksana
musuh yang tidak kenal letih, dan tidak pernah kurang memerangi seorang hamba
dalam selang beberapa (tarikan) nafas.” [5]
Kemudian
syaithân memerangi manusia untuk merusak agama dan ibadah mereka kepada Allah Subhânahu
wa Ta’âlâ dengan dua cara :
Pertama : Melemparkan berbagai keraguan dan syubhat yang
membahayakan keimanan seorang hamba.
Keraguan yang
dilemparkan oleh syaithân ini kadang berbentuk keraguan dalam Dzat Allah Ta’âlâ
sebagaimana dalam hadits Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa
sallam,
يَأْتِي
الشَّيْطَانُ أَحَدَكُمْ فَيَقُوْلُ : مَنْ خَلَقَ كَذَا وَكَذَا ؟. حَتَّى
يَقُوْلَ لَهُ : مَنْ خَلَقَ رَبَّكَ ؟. فَإِذَا بَلَغَ ذَلِكَ فَلْيَسْتَعِذْ
بِاللهِ وَلْيَنْتَهِ
“Syaithân
datang kepada salah seorang dari kalian lalu berkata : “Siapa yang menciptakan
ini dan itu ?”, sampai ia berkata : “Siapa yang menciptakan Rabbmu?”. Maka
apabila ia telah sampai kepada hal tersebut, hendaknya ia berlindung kepada
Allah dan berhenti.” [6]
Dan target
utama syaithân adalah menanamkan keraguan dalam masalah aqidah (keyakinan) dan
terkadang juga dalam perkara ibadah, mu’âmalât, dan sebagainya.
Kedua : Memberikan kepadanya berbagai keinginan syahwat
sehingga manusia mengikuti hawa nafsunya, walaupun dalam bermaksiat kepada
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ.
Allah Jalla
Jalâluhu menjelaskan hal tersebut dalam firman-Nya,
“Maka datanglah
sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang melalaikan shalat dan
memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (QS. Maryam : 59)
Maka menghadapi
syaithân dengan dua serangannya di atas merupakan dua tingkatan jihad dalam hal
ini. Untuk itu, manusia perlu mempersiapkan dua senjata dalam dua tingkatan
jihad tersebut guna mengobarkan peperangan menghadapi syaithân yang durjana.
Dua senjata
tersebut bisa kita ambil dari firman-Nya,
“Dan Kami
jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan
perintah Kami ketika mereka bersabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat
Kami.” (QS. As-Sajadah : 24)
Dalam ayat di
atas, Allah Subhânahu wa Ta’âlâ mengabarkan bahwa kepemimpinan dalam
agama bisa dicapai dengan dua perkara :
1. Dengan kesabaran, yang mana kesabaran ini merupakan
senjata ampuh untuk menangkis berbagai macam keinginan syahwat yang dilontarkan
oleh syaithân.
2. Dengan keyakinan, yang mana keyakinan ini adalah
senjata yang paling kuat guna menghancurkan berbagai macam keraguan dan syubhat
yang disusupkan oleh syaithân. Tidaklah seseorang sampai ke derajat yakin
kepada ayat-ayat Allah kecuali setelah ia berilmu, mempelajari dan menelaahnya.
Setelah kita
mengetahui hal di atas, maka akan menjadi jelas bagi kita bersama eratnya
hubungan jihad memerangi syaithân ini dengan Jihâdun Nafs. Wallâhul
muwaffiq.
3. Jihâdul
Kuffâr wal Munâfiqîn (Jihad melawan orang-orang kafir dan kaum munâfiqîn)
Jihad melawan
orang-orang kafir termasuk jihad yang paling banyak disebutkan dalam nash-nash
Al-Qur`ân dan As-Sunnah. Dan jihad terhadap kaum munâfiqîn adalah memerangi
orang-orang yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekufuran di dalam
hatinya. Jihâdul munâfiqîn ini tidak kalah pentingnya dari jihad-jihad
yang disebutkan sebelumnya karena terlalu banyak orang yang ingin menghancurkan
Islam dari dalam, dengan merusak, memutarbalikkan ajaran Islam atau menjadikan
kaum muslimin ragu terhadap Dien mereka yang mulia.
Allah Subhânahu
wa Ta’âlâ berfirman,
“Hai Nabi,
berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan
bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah neraka Jahannam. Dan
itulah tempat kembali yang seburuk-buruknya.”(QS. At-Taubah : 73, At-Tahrîm : 9)
Berjihad
menghadapi mereka dengan empat tingkatan :
1. Memerangi
mereka dengan menanamkan kebencian di dalam hati terhadap perilaku,
kesewenang-wenangan mereka dan sikap mereka yang menodai kemuliaan syari’at
Allah Azzat ‘Azhomatuhu.
2. Memerangi
mereka dengan lisan dalam bentuk menjelaskan kesesatan mereka dan menjauhkan
mereka dari kaum muslimin.
3. Memerangi
mereka dengan menginfakkan harta dalam mendukung kegiatan-kegiatan untuk
mematahkan segala makar jahat dan permusuhan mereka terhadap Islam dan kaum
muslimin.
4. Memerangi
mereka dalam arti yang sebenarnya, yaitu dengan membunuh mereka kalau terpenuhi
syarat-syarat yang disebutkan oleh para ulama dalam perkara tersebut.
4. Jihâd
Arbâbuzh Zholmi wal Bida’ wal Munkarât (Jihad menghadapi orang-orang
zholim, ahli bid’ah, dan pelaku kemungkaran)
Ibnul Qayyim
menyebutkan bahwa jihad dengan jenis ini mempunyai tiga tingkatan :
- Berjihad dengan tangan. Dan ini bagi siapa yang mempunyai kemampuan untuk merubah dengan tangannya, sesuai dengan batas kemampuan yang Allah berikan kepada mereka.
- Berjihad dengan lisan (nasehat). Dan hal ini juga bagi siapa yang punya kemampuan merubah dengan lisannya.
- Berjihad dengan hati. Yaitu mengingkari kezholiman, bid’ah dan kemungkaran yang ia lihat bila ia tidak mampu merubahnya dengan tangan atau lisannya.
Diantara dalil
untuk tiga tingkatan di atas adalah hadits Abu Sa’îd Al-Khudry radhiyallâhu
‘anhu, beliau berkata : saya mendengar Rasulullâh shollallâhu ‘alahi wa
sallam bersabda,
مَنْ رَأَى
مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ
الْإِيْمَانِ
“Siapa di
antara kalian yang melihat suatu kemungkaran, maka hendakkah dia mengubah
dengan tangannya, jika dia tidak mampu, maka dengan lisannya, jika dia tidak
mampu, maka dengan hatinya dan itulah selemah-lemahnya keimanan.” [7]
Demikian tiga
tingkatan jihad dalam maknanya yang umum. Dan menurut Ibnul Qayyim rahimahullâh,
tiga belas tingkatan di atas semuanya tercakup dalam hadits Rasulullâh shollallâhu
‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam.
مَنْ مَاتَ وَلَمْ
يَغْزُ وَلَمْ يُحَدِّثْ نَفْسَهُ بِهِ مَاتَ عَلَى شُعْبَةٍ مِنْ نِفَاقٍ
“Siapa yang
mati, dan belum berjihad, dan tidak mencita-citakan dirinya untuk hal tersebut,
maka ia mati di atas suatu cabang kemunafikan.” [8]
Kemudian kami
ingatkan disini, bahwa keterangan-keterangan di atas adalah bantahan terhadap
mereka yang membatasi jihad hanya dalam Jihâdun Nafs dan Jihâdusy
Syaithân atau mereka yang menganggap bahwa dua jihad inilah yang merupakan
jihad terbesar dan mengecilkan makna jihad yang lainnya. Harus kami tegaskan
disini, bahwa jihad dengan seluruh pembagian dan tingkatan-tingkatannya di
atas, semuanya adalah penting dalam syari’at, dan kadang sebahagiannya lebih
penting dari sebahagian yang lainnya pada kondisi, keadaan, atau waktu
tertentu.
Adapun yang
laris dikalangan banyak penceramah, khatib jum’at dan masyarakat umum bahwa
Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam berucap ketika kembali
dari perang Tabuk dengan konteks :
رَجَعْنَا مِنَ
الْجِهَادِ الْأَصْغَرِ إِلَى الْجِهَادِ الْأَكْبَرِ جِهَادُِ النَّفْسِ
“Kita telah
kembali dari jihad kecil menuju jihad besar (yaitu) melawan diri sendiri”.
Syaikhul Islâm
Ibnu Taimiyah rahimahulläh berkomentar tentang hadits di atas dalam Majmû’
Al-Fatâwâ 11/197, “La ashla lahu [9] (hadits tidak
asalnya), dan tidak seorangpun dari Ahlul Ma’rifah (orang-orang yang
punya pengetahuan) terhadap ucapan-ucapan Nabi shollallâhu ‘alaihi wa sallam
dan perbuatannya yang meriwayatkannya. Dan jihad (melawan) orang kafir adalah
termasuk amalan yang paling agung bahkan ia seutama-utama yang seorang insan
bertathawu’ (beribadah sunnah) dengannya…”.
Hal yang serupa
dikemukakan oleh Syaikh Muhammad ‘Amr bin ‘Abdul Lathîf hafizhohulläh
dalam Tabyîdh Ash-Shohîfah Bi Ushûl Al-Ahâdîts Adh-Dho’îfah hal
76 hadits no. 25.
Dan asal hadits
di atas adalah ucapan Ibrahim bin Abi ‘Ublah (w. 152 H) sebagaimana dalam
biografi beliau dari kitab Tahdzîbul Kamâl karya Al-Hâfizh
Al-Mizzy (w. 742 H) dan Siyar A’lâm An-Nubalâ` karya Al-Hâfizh
Adz-Dzahaby (w. 748 H). Berkata Al-Hâfizh Ibnu Hajar dalam Tasdîdul Qaus
sebagaimana dalam Kasyful Khafâ` 1/434-435/1362 karya Al-‘Ajlûny
(w. 1162 H), “Ia (hadits ini) adalah masyhur pada lisan-lisan manusia dan ia
adalah dari ucapan Ibrahim bin Abi ‘Ublah dalam Al-Kunâ karya
An-Nasâ`i (w. 303 H).”
Dan Syaikh
Muhammad ‘Amr bin ‘Abdul Lathif menyebutkan bahwa perkataan Ibrahim bin Abi
‘Ublah diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asâkir dari jalan An-Nasâ`i dan beliau
menghasankan sanadnya.
Adapun konteks
yang termaktub dalam buku-buku hadits, adalah dengan konteks lain. Berkata Ibnu
Rajab (w. 795 H) dalam Jâmi’ul ‘Ulûm Wal Hikam hal. 369 (Tahqîq
Thôriq bin ‘Iwadhullah) : “Ini diriwayatkan secara marfû’ dari hadits
Jâbir dengan sanad yang lemah, dan lafazhnya :
قَدِمْتُمْ مِنَ
الْجِهَادِ الْأَصْغَرِ إِلَى الْجِهَادِ الْأَكْبَرِ قَالُوْا وَمَا الْجِهَادُ
الْأَكْبَرُ قَالَ مُجَاهَدَةُ الْعَبْدِ لِهَوَاهُ
“Kalian datang
dari jihad kecil menuju jihad besar. (Mereka) berkata : “Apakah jihad besar itu
?”. beliau menjawab : “Jihadnya seorang hamba melawan hawa nafsunya”.”
Dan Syaikh
Al-Albâny (w. 1420 H) rahimahullâh menyebutkan hadits di atas dalam Silsilah
Ahâdîts Adh-Dha’îfah no. 2460 dan memberikan vonis terhadap hadits
tersebut sebagai hadits “Mungkar”. [10]
[1] Baca : Zâdul
Ma’âd 3/5-9.
[2] Hadits riwayat
Ibnul Mubarak dalam Musnad-nya no. 29, dan dalam Al-Jihad
no. 175, serta dalam Az-Zuhd no.141 dan 826, Ahmad 6/20,
21, 22, At-Tirmidzy no. 1621, Ibnu Abi ‘Âshim dalam Al-Jihâd no.
14, Ibnu Nashr Al-Marwazy dalam Ta’zhîm Qadrish Sholât no.
640-641, Ibnu Hibbân no. 4623, 4706 dan 4862, Al-Hâkim 1/54,
Al-Baihaqy dalam Syu’abil Îmân no. 11123, Ibnu Mandah dalam
Al-Îmân no. 315, Ath-Thabarâny no. 796, Al-Qodhô’iy dalam Musnadusy
Syihâb no. 131, 183 dan 184 dan As-Sahmy dalam Târîkh
Jurjân hal. 201. Dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullâh
dalam Silsilah Al-Ahâdîts Ash-Shohîhah no. 549 dan Syaikh Muqbil rahimahullâh
dalam Ash-Shohîh Al-Musnad 2/156.
[3] Hadits hasan
dari seluruh jalan-jalannya. As-Suyûthi punya risalah tersendiri (diterbitkan oleh
Dar ‘Ammar, cet. Pertama, tahun 1988M/1408H) seputar jalan-jalan hadits ini,
dimana beliau menyebutkan hampir 50 jalan bagi hadits di atas. Dan beliau
menyebutkan bahwa Al-Hâfizh Al-Mizzi menghasankannya. Demikian pula disetujuai
keabsahannya oleh Syaikh Al-Albani dalam ta’lîq beliau terhadap Hidâyatur
Ruwâh Ilâ Takhrîj Ahâdîts Al-Mashôbîh Wa Al-Misykâh 1/153-154 dan
Syaikh Muqbil Al-Wâdi’iy –sebagaimana yang kami dengar langsung dari beliau-.
[4] Lihat Zâdul
Ma’âd 3/5.
[5] Baca : Zâdul
Ma’âd 3/6.
[6] Hadits riwayat
Al-Bukhâry no. 3276, Muslim no. 134, Abu Daud no. 4721 dan An-Nasâ`i dalam Amalul
Yaum wal Lailah no. 663 dari hadits Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu.
[7] Hadits riwayat
Muslim no. 49, Abu Dâud no. 1140, 4340, At-Tirmidzy no. 2177, An-Nasâ`i
8/11-112 dan Ibnu Mâjah no. 1275, 4013.
[8] Hadits riwayat
Muslim no. 1910, Abu Daud no. 2502 dan An-Nasa`i 6/7.
[9] Kata Lâ ashla lahu dalam istilah ulama hadits,
digunakan pada tiga makna :
* Tidak punya
sanad sama sekali.
* Tidak
mempunyai asal secara marfû’ dari ucapan Nabi shollallâhu ‘alaihi wa
‘alâ âlihi wa sallam, tetapi mungkin mempunyai asal dari ucapan selain
beliau.
* Tidak punya
asal dalam hadits yang shohîh, tetapi mungkin ada asalnya dari jalan
hadits yang lemah yang tidak bisa saling menguatkan.
[10] Dan dari
uraian Al-Albâny diketahui bahwa hadits ini dikeluarkan oleh Abu Bakr Asy-Syafi’iy
dalam Al-Fawâ`id Al-Muntaqôh, Al-Baihaqy dalam Az-Zuhd,
Al-Khatîb dalam Târîkh-nya dan Ibnul Jauzy dalam Dzammul
Hawâ`, dan juga dipahami dari keterangan beliau bahwa selain dari Ibnu
Rajab, hadits ini juga dilemahkan oleh Al-Baihaqy, Al-‘Irâqy dalam Takhrîjul
Ihyâ` dan Al-Hâfizh Ibnu Hajar dalam Takhrîjul Kasysyâf. Wallâhu
Ta’âlâ A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar