Oleh
Ismail bin Marsyud bin Ibrahim Ar-Rumaih
Ismail bin Marsyud bin Ibrahim Ar-Rumaih
[1].
Do’a adalah ibadah berdasarkan firman Allah :
“Artinya : Berdo’alah kepadaKu, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk Neraka Jahannam dalam keadaan hina dina”. [Ghafir : 60].
Imam
Hafizh Ibnu Hajar menuturkan bahwa Syaikh Taqiyuddin Subki berkata : Yang
dimaksud doa dalam ayat di atas adalah doa yang bersifat permohonan, dan ayat
berikutnya ‘an ‘ibaadatiy menunjukkan bahwa berdoa lebih khusus daripada
beribadah, artinya barangsiapa sombong tidak mau beribadah, maka pasti sombong
tidak mau berdoa.
Dengan
demikian ancaman ditujukan kepada orang yang meninggalkan doa karena sombong
dan barangsiapa melakukan perbuatan itu, maka dia telah kafir. Adapun orang
yang tidak berdoa karena sesuatu alasan, maka tidak terkena ancaman tersebut.
Walaupun demikian memperbanyak doa tetap lebih baik daripada meninggalkannya
sebab dalil-dalil yang menganjurkan berdoa cukup banyak. [Fathul Bari 11/98].
Dari
Nu’man bin Basyir bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
:
“Artinya
: Doa adalah ibadah”, kemudian beliau membaca ayat : “Sesungguhnya orang-orang
yang menyombongkan diri dari menyembahKu”. [Ghafir : 60].
Imam
Hafizh Ibnu Hajar menuturkan bahwa Imam At-Thaibi berkata : Sebaiknya hadits
Nu’man di atas difahami secara arti bahasa, artinya berdoa adalah
memperlihatkan sikap berserah diri dan membutuhkan Allah, karena tidak
dianjurkan ibadah melainkan untuk berserah diri dan tunduk kepada Pencipta
serta merasa butuh kepada Allah. Oleh karena itu Allah mengakhiri ayat tersebut
dengan firman-Nya : “Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari
menyembahKu”. Dalam ayat ini orang yang tidak mau tunduk dan berserah diri
kepada Allah disebut orang-orang yang sombong, sehingga berdoa mempunyai
keutamaan di dalam ibadah, dan ancaman bagi mereka yang tidak mau berdoa adalah
hina dina. [Fathul Bari 11/98].
Catatan
:
Hadits yang berbunyi :
Hadits yang berbunyi :
“Artinya
: Doa adalah initi ibadah” [Hadits Dhaif]
[Didhaifkan Al-Albani, Ta'liq 'ala Misykatul Masabiih 2/693 No. 2231]
[Didhaifkan Al-Albani, Ta'liq 'ala Misykatul Masabiih 2/693 No. 2231]
[2].
Doa adalah ibadah yang paling mulia di sisi Allah, dari Abu Hurairah Radhiyallahu
‘anhu berkata bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Artinya
: Tidak ada sesuatu yang paling mulia di sisi Allah daripada doa”. [Sunan
At-Timidzi, bab Do'a 12/263, Sunan Ibnu Majah, bab Do'a 2/341 No. 3874. Musnad
Ahmad 2/362].
Syaikh
Al-Mubarak Furi berkata bahwa makna hadits tersebut adalah tidak ada sesuatu
ibadah qauliyah (ucapan) yang lebih mulia di sisi Allah daripada doa, sebab
membandingkan sesuatu harus sesuai dengan substansinya. Sehingga pendapat yang
mengatakan bahwa shalat adalah ibadah badaniyah yang paling utama sehingga hal
ini tidak bertentangan dengan firman Allah.
“Artinya
: Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah
orang yang paling bertakwa diantara kamu”. [Al-Hujurat : 13].
[3].
Allah murka terhadap orang-orang yang meninggalkan doa, berdasarkan hadits
bahwa Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata bahwasanya Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya
: Barangsiapa yang tidak meminta kepada Allah, maka Allah akan memurkainya”.
[Sunan At-Tirmidzi, bab Do'a 12/267-268].
Imam
Hafizh Ibnu Hajar menuturkan bahwa Imam At-Thaibi berkata : “Makna hadits di
atas yaitu barangsiapa yang tidak meminta kepada Allah, maka Dia akan murka
begitu pula sebaliknya Dia sangat senang apabila diminta hamba-Nya”. [Fathul
Bari 11/98]
Imam
Al-Mubarak Furi berkata bahwa orang yang meninggalkan doa berarti sombong dan
merasa tidak membutuhkan Allah.
Imam
At-Thaibi berkata bahwa Allah sangat senang tatkala dimintai karunia-Nya, maka
barangsiapa yang tidak memohon kepada Allah, maka berhak mendapat murka-Nya.
Dari
hadits di atas menunjukkan bahwa permohonan hamba kepada Allah merupakan
kewajiban yang paling agung dan paling utama, karena menghindar dari murka
Allah adalah suatu yang menjadi keharusan. [Mura'atul Mashabih 7/358]
[4].
Doa mampu menolak takdir Allah, berdasarkan hadits dari Salman Al-Farisi
Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya
: Tidak ada yang mampu menolak takdir kecuali doa”. [Sunan At-Tirmidzi, bab
Qadar 8/305-306]
Syaikh
Al-Mubarak Furi berkata bahwa yang dimaksud adalah, takdir yang tergantung pada
doa dan berdoa bisa menjadi sebab tertolaknya takdir karena takdir tidak
bertolak belakang dengan masalah sebab akibat, boleh jadi terjadinya sesuatu
menjadi penyebab terjadi atau tidaknya sesuatu yang lain termasuk takdir. Suatu
contoh berdoa agar terhindar dari musibah, keduanya adalah takdir Allah. Boleh
jadi seseorang ditakdirkan tidak berdoa sehingga terkena musibah dan seandainya
dia berdoa, mungkin tidak terkena musibah, sehingga doa ibarat tameng dan
musibah laksana panah. [Mura'atul Mafatih 7/354-355].
Syaikh
Utsaimin ditanya : “Kita sering mendengar orang berdoa : Ya Allah kami tidak
memohon agar takdir kami dirubah akan tetapi kami meminta kelembutan dalam
takdir tersebut. Apakah doa tersebut dibolehkan .?”
Jawaban
:
Berdoa seperti itu dilarang dan haram sebab doa bisa merubah takdir seperti yang telah disebutkan dalam hadits di atas. Bahkan orang yang berdoa seperti itu menantang Allah dan seakan mengatakan : “Ya Allah takdirkanlah kepadaku apa saja yang Engkau kehendaki tetapi berilah kelembutan dalam takdir tersebut”.
Berdoa seperti itu dilarang dan haram sebab doa bisa merubah takdir seperti yang telah disebutkan dalam hadits di atas. Bahkan orang yang berdoa seperti itu menantang Allah dan seakan mengatakan : “Ya Allah takdirkanlah kepadaku apa saja yang Engkau kehendaki tetapi berilah kelembutan dalam takdir tersebut”.
Seharusnya
orang yang berdoa berketetapan hati dalam doanya, seperti berdoa : Ya Allah
kami memohon rahmat-Mu dan kami berlindung dari siksaan-Mu, dan doa semisalnya.
Apabila seorang berdoa kepada Allah agar tidak dirubah takdirnya, maka apa
manfaatnya sementara doa bisa merubah takdir, dan bisa jadi takdir tersebut
hanya bisa berubah lantaran doa. Yang penting doa tersebut di atas tidak boleh
dan hendaknya dihindarkan serta barangsiapa yang mendengar doa seperti itu
sebaiknya menasehatinya. [Liqa' Babul Maftuh 5/45-46]
5].
Orang yang paling lemah adalah orang yang tidak mampu berdoa berdasarkan hadits
Nabi bahwasanya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya
: Orang yang lemah adalah orang yang meninggalkan berdoa dan orang yang paling
bakhil adalah orang yang bakhil terhadap salam”. [Al-Haitsami, kitab Majma'
Az-Zawaid. Thabrani, Al-Ausath. Al-Mundziri, kitab At-Targhib berkata :
Sanadnya Jayyid (bagus) dan dishahihkan Al-Albani,As-Silsilah Ash-Shahihah
2/152-153 No. 601].
Imam
Manawi berkata bahwa yang dimaksud dengan ‘Ajazu an-naasi adalah orang yang
paling lemah akalnya dan paling buta penglihatan hatinya, dan yang dimaksud
dengan Min ‘ajzin ‘an ad-dua’i adalah lemah memohon kepada Allah terlebih pada
saat kesusahan dan demikian itu bisa mendatangkan murka Allah karena dia
meninggalkan perintah-Nya padahal berdoa adalah perkerjaan yang sangat ringan.[Faidhul
Qadir 1/556].
Ahli
syair berkata.
Janganlah kamu meminta kepada manusia, memintalah
kepada Dzat yang pintu-Nya tidak pernah tertutup.
Janganlah kamu meminta kepada manusia, memintalah
kepada Dzat yang pintu-Nya tidak pernah tertutup.
Allah
akan murka jika engkau tidak meminta-Nya,
sementara manusia marah jika sering diminta.
Syair di atas menjadi bantahan terhadap anggapan bahwa yang lebih baik tidak berdoa.
sementara manusia marah jika sering diminta.
Syair di atas menjadi bantahan terhadap anggapan bahwa yang lebih baik tidak berdoa.
[6].
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan berdoa, barangsiapa yang meninggalkan
doa berarti menentang perintah Allah dan barangsiapa yang melaksanakan berarti
telah memenuhi perintah-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya
: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah),
bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa
apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala
perintah)Ku, dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada
dalam kebenaran”. [Al-Baqarah : 186].
Syaikh
Sa’di mengatakan bahwa ayat di atas sebagai jawaban atas pertanyaan para
sahabat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka bertanya : Wahai
Rasulullah, apakah Allah dekat sehingga kami memohon dengan berbisik-bisik
ataukah Dia jauh sehingga kami memanggil-Nya dengan berteriak ? Maka turunlah
ayat Allah. [Tafsir At-Thabari dan didhaifkan oleh Imam Ahmad 3/481].
“Dan
apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah),
bahwasanya Aku adalah dekat”. Karena Allah adalah Dzat Yang Maha Melihat, Maha
Mengetahui dan Maha Menyaksikan terhadap sesuatu yang tersembunyi, rahasia dan
mengetahui perubahan pandangan mata serta isi hati. Allah juga dekat dengan
hamba-Nya yang meminta dan selalu sanggup mengabulkan permintaan. Maka Allah
berfirman : “Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon
kepada-Ku”.
Doa
adalah dua macam yaitu doa ibadah dan doa permohonan. Kedekatan Allah dengan
hamba-Nya terbagi dua macam yaitu ; kedekatan ilmu-Nya dengan setiap mahluk-Nya
dan kedekatan dengan hamba-Nya dalam memberikan setiap permohonan, pertolongan
dan taufik kepada mereka.
Barangsiapa
yang berdoa kepada Allah dengan hati yang khusyu’ dan berdoa sesuai dengan
aturan syariat serta tidak ada penghalang diterima doa tersebut seperti makan
makanan yang haram atau semisalnya, maka Allah berjanji akan mengabulkan
permohonan tersebut. Apalagi bila disertai hal-hal yang menyebabkan terkabulnya
doa seperti memenuhi perintah Allah, meninggalkan larangan-Nya baik secara
ucapan maupun perbuatan dan yakin bahwa doa tersebut akan dikabulkan. Maka
Allah berfirman : “Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)Ku dan
hedaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”.
Artinya
orang yang berdoa akan berada dalam kebenaran yaitu mendapatkan hidayah untuk
beriman dan berbuat amal shalih serta terhindar dari kejahatan dan kekejian.
[Tafsir As-Sa'di 1/224-225].
[7].
Imam Zarkasi berkata bahwa konsentrasi dalam berdoa serta menunjukkan sikap
rendah, tunduk, penghambaan dan merasa membutuhkan Allah adalah merupakan
ibadah yang paling agung bahkan demikian itu menjadi syarat sahnya ibadah.
Allah
berjanji akan memberikan pahala orang yang berdoa, meskipun tidak dikabulkan
doanya.
[8].
Berdoa adalah menyibukkan diri untuk mengingat Allah sehingga timbul dalam hati
rasa pengagungan terhadap kebesaran Allah dan ingin kembali kepada-Nya berhenti
dari maksiat. Sering mengetuk pintu mempunyai kesempatan besar untuk masuk,
sehingga ada pepatah bahwa barangsiapa yang sering mengetuk pintu, maka suatu
saat akan diberi izin masuk sehingga dikatakan :”Diberi kesempatan berdoa lebih
baik daripada diberi sesuatu”.
[9].
Banyak berdoa bisa menghindarkan bencana dan musibah, sebagaimana firman Allah
yang mengkisahkan tentang Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam :
“Artinya
: Dan aku akan berdoa kepada Tuhanku, mudah-mudahan aku tidak akan kecewa
dengan berdoa kepada Tuhanku”. [Maryam : 48]
Dan
firman Allah tentang Nabi Zakaria ‘Alaihis Salam.
“Artinya
: Ia berkata :’Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah
ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, ya
Tuhanku”. [(Maryam : 4) Al-Azhiyah fi Ahkamil Ad'iyah hal. 38-42].
[10].
Sebagian orang hanya berdoa sekali atau dua kali dan setelah merasa tidak
dikabulkan, lalu berhenti berdoa. Jelas tindakan seperti itu adalah tindakan
yang keliru bahkan dia harus terus menerus mengulangi doanya hingga Allah
mengabulkannya.
Dari
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda.
“Artinya
: Do’a seorang hamba akan selalu dikabulkan selagi tidak memohon sesuatu yang
berdosa atau pemutusan kerabat, atau tidak tergesa-gesa. Mereka bertanya : Apa
yang dimaksud tergesa-gesa ? Beliau menjawab : ” Dia berkata ; Saya berdoa
berkali-kali tidak dikabulkan, lalu dia merasa menyesal kemudian meninggalkan
doa”. [Shahih Muslim, kitab Dzikir wa Do'a 4/87].
Menurut
Imam An-Nawawi yang dimaksud menyesal adalah meninggalkan doa. [Syarh Shahih
Muslim 17/52].
Maka
seharusnya seorang hamba harus terus berdoa dan tidak boleh bosan serta merasa
tidak dikabulkan doanya. Dalam ucapan : “Saya berdoa berkali-kali tetapi tidak
dikabulkan”.
Syaikh
Al-Mubarak Furi mengatakan bahwa Syaikh Al-Qari berkata : “Yang dimaksud dengan
kalimat tersebut adalah tidak melihat hasil doa saya. Terkadang merasa doanya
lambat dikabulkan atau putus asa dari berdoa dan keduanya tercela. Perlu
diketahui, ada waktu tertentu untuk terkabulnya doa, sebagaimana yang
diriwayatkan bahwa doa Musa dan Harun agar Fir’aun dihancurkan oleh Allah baru
terkabul setelah empat puluh tahun. Adapun berputus asa dari rahmat Allah tidak
akan terjadi kecuali atas orang-orang kafir”. [Mura'atul Mafatih 7/348].
Imam
Hafizh Ibnu Hajar berkata bahwa di dalam hadits di atas terdapat etika berdoa
yaitu terus mengajukan permohonan dan tidak berputus asa dalam berdoa sebab
demikian itu merupakan bagian dari sikap ketundukan dan penyerahan diri kepada
Allah serta merasa membutuhkan Allah, oleh karena itu sebagian ulama salaf
berkata : “Kami lebih takut dihalangi untuk berdoa daripada dihalangi
terkabulnya doa”.
Imam
Ad-Dawudi berkata : “Dikhawatirkan orang yang mengatakan bahwa dia selalu
berdoa tetapi tidak dikabulkan maka doanya benar-benar tidak dikabulkan, atau
benar-benar tidak dikabulkan penangguhan siksa akhirat atau pengampunan
dosa-dosanya”.
Imam
Ibnul Jauzi berkata : “Ketahuilah bahwa doa orang mukmin tidak mungkin ditolak,
boleh jadi ditunda pengkabulannya lebih baik atau digantikan sesuatu yang lebih
maslahat dari pada yang diminta baik di dunia atau di akhirat. Sebaiknya
seorang hamba tidak meninggalkan berdoa kepada Rabbnya sebab doa adalah ibadah
yaitu ibadah penyerahan dan ketundukan kepada Allah”. [Fathul Bari 7/348 ]
Dari
Aisyah Radhiyallahu ‘anha bahwa beliau berkata : “Tatkala Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam terkena sihir orang Yahudi bernama Lubaid bin
A’sham, beliau berkata sehingga seakan-akan Rasulullah melakukan sesuatu
padahal tidak melakukannya hingga pada suatu malam Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam berdoa kemudian berdoa dan terus berdoa”. [Shahih Muslim,
kitab Salam bab Sihir 7/14]
Imam
An-Nawawi berkata bahwa hadits di atas menekankan kepada setiap hamba tatkala
tertimpa bencana atau musibah untuk memperbanyak doa dan terus berserah diri
kepada Allah. [Syarh Shahih Muslim 7/14].
Dari
Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa tatkala saya mulai
bertempur saat perang Badr saya kembali dengan cepat untuk melihat apa yang
dikerjakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ternyata beliau sedang
bersujud dan membaca : Wahai Dzat Yang Maha Hidup dan Maha Kekal, Wahai Dzat
Yang Maha Hidup dan Maha Kekal, kemudian saya kembali bertempur, lalu saya
kembali lagi ke tempat Rasulullah, saya temui beliau dalam keadaan sujud,
kemudian saya kembali bertempur lalu saya kembali ke tempat beliau dan saya
temui masih membaca doa tersebut sehingga Allah memberikan kemenangan”. [Sunan
At-Tirmidzi, bab Doa 13/78. Dishahihkan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 11/98]
Dari
Ubadah bin Shamit Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda.
“Artinya
: Tidak ada seorang muslim berdoa kepada Allah di dunia dengan suatu permohonan
kecuali Allah akan mengabulkannya atau menghilangkan daripadanya keburukan yang
semisalnya, selagi tidak berdoa sesuatu dosa atau pemutusan kerabat. Ada
seorang laki-laki dari suatu kaum berkata : Jikalau begitu saya akan
memperbanyak (doa). Beliau bersabda : ‘”Allah mengabulkan doa lebih banyak
daripada yang kalian minta”. [Sunan At-Tirmidzi, bab Doa 13/78. Dishahihkan
oleh Ibnu Hajar dalam Fathul bari 11/98].
[11].
Hadits yang berbunyi.
“Artinya
: Allah mencintai orang-orang yang bersungguh-sungguh dalam berdoa”. [Hadits
Dhaif, Al-Albani berkata dalam Silsilah Dhaifah bahwa hadits ini bathil
2/96-97].
[Disalin
dari buku Jahalatun nas fid du'a, edisi Indonesia Kesalahan Dalam Berdoa, oleh
Ismail bin Marsyud bin Ibrahim Ar-Rumaih, hal 37-42, terbitan Darul Haq, penerjemah
Zaenal Abidin, Lc.]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar