Saudaraku,
Manusia tidak memiliki kuasa untuk menentukan takdir bagi dirinya sendiri. Apa yang ditentukan oleh Allah bagi manusia, harus mampu diberdayakan oleh dirinya sendiri sebagai kekuatan dalam kehidupannya. Ketentuan yang menetapkan kondisi social yang berbeda-beda diantara makluk-Nya sepatutnya tidak membuat manusia berkeluh kesah tentang beban kehidupan yang dipikulnya.
Manusia tidak memiliki kuasa untuk menentukan takdir bagi dirinya sendiri. Apa yang ditentukan oleh Allah bagi manusia, harus mampu diberdayakan oleh dirinya sendiri sebagai kekuatan dalam kehidupannya. Ketentuan yang menetapkan kondisi social yang berbeda-beda diantara makluk-Nya sepatutnya tidak membuat manusia berkeluh kesah tentang beban kehidupan yang dipikulnya.
Allah
SWT telah berfirman -yg artinya- “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat
haluu’a (keluh kesah lagi kikir). Apabila ia ditimpa kesusahan, ia berkeluh
kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan, ia amat kikir. Kecuali, orang-orang yang
mengerjakan salat. Yang mereka itu tetap mengerjakan salatnya. Dan orang-orang
yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu. Bagi orang (miskin) yang meminta
dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta).” (QS.
Al-Ma’aarij: 19-25).
Ayat
ini menerangkan kecenderungan manusia bersikap haluu’a. Apakah itu? Ia ditafsirkan
dengan arti sebuah perangai buruk yang suka berkeluh kesah lagi kikir. Ketika
ia tertimpa kesulitan, hatinya terasa sempit, goncang, dan mudah berputus asa.
Ketika beroleh nikmat dan kebaikan, ia bersikap kikir. Yaitu, kikir dari hak
Allah dan kikir dari hak sesama.
Tentu
tidak semua manusia berperilaku demikian. Seorang muslim semestinya tidak
haluu’a, mengapa? Karena, seorang muslim itu ajeg menjaga salatnya. Dengan
salat, hati menjadi tenteram. Juga, dengan salat perbuatan keji dan mungkar
dapat ditahan. Maka, seorang mukmin yang salatnya ajeg dan benar, ia tidak
gampang berkeluh kesah. Karena, kesulitan atau kemudahan baginya mengandung
hikmah. Sebagian sahabat bahkan memandang kesulitan sebagai nikmat, seperti
perkataan Abu Dzar al-Ghifari, “Miskin lebih aku sukai daripada kaya, dan sakit
lebih aku sukai daripada sehat.”
Seorang
muslim semestinya tidak haluu’a, mengapa? Karena, seorang mukmin menyadari pada
hartanya ada hak bagi orang yang meminta (as-sail) dan orang yang tidak
mempunyai apa-apa (al-mahruum). “Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia
bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak
mempunyai apa-apa.” As-sail adalah orang yang meminta. Terhadap orang semacam
ini terdapat hak bagi dia.
Adapun
al-mahrum, seperti didefinisikan Ibnu Abbas, adalah orang yang bernasib buruk.
Ia tidak memiliki bagian dalam baitul mal, tidak memiliki pendapatan, dan tidak
memiliki pekerjaan yang dapat menopang. Rasulullah pernah bersabda, “Orang
miskin bukanlah orang yang keliling dan engkau memberinya sesuap atau dua suap
makanan dan sebutir atau dua butir kurma, akan tetapi orang miskin adalah orang
yang tidak memiliki kekayaan yang mencukupinya sedangkan orang lain tidak
mengetahuinya sehingga bersedekah kepadanya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Jadi,
seorang muslim semestinya dermawan, tidak kikir dan tidak bakhil. Karena,
seorang muslim senantiasa merenungkan ayat-ayat Allah, seperti dalam ayat
berikut.
“Dan belanjakanlah
sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian
kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: ‘Ya Rabku, mengapa Engkau
tidak menangguhkan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar