kategori-akhlak

Kamis, 12 Desember 2013

Menjadi Muslim yang Dermawan



Saudaraku,   
Manusia tidak memiliki kuasa untuk menentukan takdir bagi dirinya sendiri. Apa yang ditentukan oleh Allah bagi manusia, harus mampu diberdayakan oleh dirinya sendiri sebagai kekuatan dalam kehidupannya. Ketentuan yang menetapkan kondisi social yang berbeda-beda diantara makluk-Nya sepatutnya tidak membuat manusia berkeluh kesah tentang beban kehidupan yang dipikulnya.

Allah SWT telah berfirman -yg artinya- “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat haluu’a (keluh kesah lagi kikir). Apabila ia ditimpa kesusahan, ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan, ia amat kikir. Kecuali, orang-orang yang mengerjakan salat. Yang mereka itu tetap mengerjakan salatnya. Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu. Bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta).” (QS. Al-Ma’aarij: 19-25).

Ayat ini menerangkan kecenderungan manusia bersikap haluu’a. Apakah itu? Ia ditafsirkan dengan arti sebuah perangai buruk yang suka berkeluh kesah lagi kikir. Ketika ia tertimpa kesulitan, hatinya terasa sempit, goncang, dan mudah berputus asa. Ketika beroleh nikmat dan kebaikan, ia bersikap kikir. Yaitu, kikir dari hak Allah dan kikir dari hak sesama.

Tentu tidak semua manusia berperilaku demikian. Seorang muslim semestinya tidak haluu’a, mengapa? Karena, seorang muslim itu ajeg menjaga salatnya. Dengan salat, hati menjadi tenteram. Juga, dengan salat perbuatan keji dan mungkar dapat ditahan. Maka, seorang mukmin yang salatnya ajeg dan benar, ia tidak gampang berkeluh kesah. Karena, kesulitan atau kemudahan baginya mengandung hikmah. Sebagian sahabat bahkan memandang kesulitan sebagai nikmat, seperti perkataan Abu Dzar al-Ghifari, “Miskin lebih aku sukai daripada kaya, dan sakit lebih aku sukai daripada sehat.”

Seorang muslim semestinya tidak haluu’a, mengapa? Karena, seorang mukmin menyadari pada hartanya ada hak bagi orang yang meminta (as-sail) dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (al-mahruum). “Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa.” As-sail adalah orang yang meminta. Terhadap orang semacam ini terdapat hak bagi dia.

Adapun al-mahrum, seperti didefinisikan Ibnu Abbas, adalah orang yang bernasib buruk. Ia tidak memiliki bagian dalam baitul mal, tidak memiliki pendapatan, dan tidak memiliki pekerjaan yang dapat menopang. Rasulullah pernah bersabda, “Orang miskin bukanlah orang yang keliling dan engkau memberinya sesuap atau dua suap makanan dan sebutir atau dua butir kurma, akan tetapi orang miskin adalah orang yang tidak memiliki kekayaan yang mencukupinya sedangkan orang lain tidak mengetahuinya sehingga bersedekah kepadanya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Jadi, seorang muslim semestinya dermawan, tidak kikir dan tidak bakhil. Karena, seorang muslim senantiasa merenungkan ayat-ayat Allah, seperti dalam ayat berikut.
“Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: ‘Ya Rabku, mengapa Engkau tidak menangguhkan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar