Hak
yang ketujuh
Termasuk
hak-hak persaudaraan adalah memaafkan saudara yang bersalah. Pembahasan ini
sangatlah luas. Pembahasan ini merupakan pembahasan yang agung, karena tidaklah
ada dua orang sahabat, atau dua orang saudara, atau lebih, kecuali pasti ada di
antara mereka yang berbuat kesalahan. Pasti salah satu melihat kesalahan yang
lain, ketergelinciran yang lain, dan darinya pasti akan timbul luka, karena
mereka adalah manusia, sedangkan manusia pasti bersalah.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّكُمْ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخّطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ
“Masing-masing
kalian pasti bersalah dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang
bertaubat.”[1]
Karena
itu, termasuk hak-hak persaudaraan adalah engkau maafkan kesalahan saudaramu.
Kesalahan
itu ada dua macam: kesalahan dalam masalah agama dan kesalahan yang menyangkut
hakmu. Atau dengan kata lain, kesalahan yang berkaitan dengan hak Allah dan
kesalahan yang berkaitan dengan hakmu.
Jika
kesalahan menyangkut masalah agama, apabila saudaramu meninggalkan suatu
kewajiban dan bermaksiat maka bentuk maafnya adalah engkau tidak menyiarkan dan
membeberkannya. Engkau berusaha untuk meluruskannya karena kecintaanmu
kepadanya hanya karena Allah. Dan jika semata-mata karena Allah, maka hendaknya
engkau menegakkan saudaramu di atas syari’at dan peribadahan kepada Allah. Ini
merupakan konsekuensi cinta karena Allah.
Menjadi
kewajibanmu untuk berusaha meluruskannya. Jika nasihat bisa meluruskannya maka
nasihatilah. Jika yang meluruskannya adalah hajr (memutuskan hubungan) maka
hajr-lah dia. Hajr ada dua macam: hajr ta’dib (untuk mendidik) dan hajr ‘uqubah
(sebagai hukuman). Ada hajr untuk kemaslahatanmu dan ada hajr untuk
kemaslahatan orang banyak.[2]
Jika
saudaramu melakukan kemaksiatan, apabila hajr bermanfaat baginya, maka hajr-lah
dia. Seandainya terjalin persaudaraan dan persahabatan sejati di antara dua
orang, salah satu tidak bisa lepas dan membutuhkan yang lain, kemudian salah
satunya melihat yang lain berbuat kesalahan sangat besar yang menyangkut hak
Allah, sementara ia tahu bahwa jika dia meninggalkan saudaranya yang bersalah
maka akan membuat saudaranya bersedih, di mana jika ia bertemu dengannya dengan
raut wajah yang tidak biasanya maka akan timbul perasaan di hati saudaranya
bahwa ia telah bermaksiat, ia merasa bahwa maksiat tersebut besar, hal ini
disebabkan saudaranya tersebut masih membutuhkannya, maka yang seperti ini
diterapkan hajr kepadanya. Karena hajr dalam kondisi seperti ini memperbaiki
keadaan.
Adapun
jika hajr tersebut tidak bermanfaat maka janganlah dihajr. Sebab, hajr adalah
sejenis pengajaran untuk memperbaiki. Karena itu sikap Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bervariasi terhadap orang-orang yang bersalah dan bermaksiat. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam menghajr sebagian dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak menghajr sebagian yang lain. Ulama berkata: “Hajr diterapkan
kepada orang yang mendapat manfaat kalau ia dihajr, yaitu jika hajr tersebut
meluruskannya. Jika tidak, maka tidak diterapkan hajr.”
Selanjutnya,
jika kesalahan tersebut menyangkut hakmu, maka hak ukhuwwah yang pertama adalah
jangan engkau besar-besarkan kesalahan tersebut. Lalu datanglah syaitan. Ia
hembuskan di hati, ia ulang-ulangi perkataan (saudaranya yang salah), ia
ulang-ulangi tindakan (saudaranya yang keliru), sehingga ia pun merasa bahwa
kesalahan tersebut sangat besar, kemudian terputuslah tali cinta dan tali
persaudaraan yang sebelumnya terjalin. Hubungan itu akhirnya terputus hanya
karena dunia, bukan karena Allah.
Cara
mengobati hal ini adalah engkau ingat dan lihat kebaikan-kebaikannya. Engkau
katakan kepada dirimu: “Kesalahannya itu merupakan musibah bagiku. Ia salah kepadaku
kali ini. Ia telah menghinaku dengan perkataannya -baik di hadapanmu atau
dibelakangmu-, namun lihatlah kebaikan-kebaikannya.” Ingatlah bagaimana ia
telah bergaul denganmu secara baik. Ingatlah persahabatannya yang sejati selama
bertahun-tahun silam denganmu atau pada kondisi-kondisi yang lampau. Engkau
membesar-besarkan kebaikannya dan meremehkan kesalahannya, sehingga tetap
terjalin tali persaudaraan di antara kalian, dan cinta kasih yang telah lama
terjalin tidak terputus.
Hak
kedelapan
Termasuk
hak-hak persaudaraan adalah gembira dengan karunia yang Allah berikan kepada
saudaranya.
Allah
telah membagi-bagi akhlak-akhlak manusia sebagaimana Dia membagi rizki mereka.
Allah memuliakan sebagian mereka di atas sebagian yang lain. Karena itu, hak
seseorang terhadap saudaranya, jika Allah memberikan pada salah seorang dari
saudara-saudaramu karunia dan kenikmatan, adalah engkau turut gembira dengan
hal itu. Seolah-olah Allah juga memberikan karunia itu kepadamu. Ini merupakan
konsekuensi ukhuwwah dan hal ini mejauhkan rasa hasad (dengki).
Barangsiapa
yang tidak gembira dengan karunia yang Allah berikan kepada saudaranya, maka
mungkin ia hanya sekedar tidak turut gembira, atau bisa jadi hal itu diiringi
dengan hasad.[3] Ini merupakan perusak persaudaraan. Sesungguhnya engkau
terkadang bisa melihat bahwa seseorang jika melihat saudaranya mendapatkan
kenikmatan atau ia melihat saudaranya mendapatkan kebaikan, karunia, dan
kenikmatan khusus dari Allah, yang dengannya dia menjadi istimewa di kalangan
orang-orang yang ada di sekitarnya atau menjadi istimewa di antara para
sahabatnya maka orang ini pun mengakui kenikmatan yang ada pada saudaranya,
(namun dia berkata), “Kenapa ia diberikan kenikmatan yang khusus ini?” Atau dia
memandang bahwa saudaranya tersebut tidak berhak mendapatkan semua itu, atau
yang semisalnya. Ini merupakan perusak tali persaudaraan. Wajib atasmu untuk
terbebaskan dari kedengkian (hasad) dan gembira demi saudaramu. Engkau
menginginkan kebaikan baginya sebagaimana engkau menginginkannya untuk dirimu.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidaklah beriman salah seorang dari kalian hingga dia menyukai (menginginkan) bagi saudaranya apa yang dia sukai bagi dirinya sendiri.”
Para
ulama berkata, (لاَ يُؤْمِنُ) “Tidaklah
beriman”, yaitu iman yang sempurna,
(حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ )
“hingga dia menyukai (menginginkan)
bagi saudaranya apa yang dia sukai bagi dirinya sendiri.” Engkau suka apabila
dirimu kaya, berilmu, dan mendapat pujian maka engkau juga suka bila saudaramu
kaya, berilmu, dan mendapat pujian. Demikianlah seterusnya, untuk semua perkara
yang beraneka ragam.
Untuk
menghilangkan hasad, engkau turut gembira terhadap karunia yang Allah berikan
kepada saudaramu seolah-olah Allah mengkhususkan karunia itu kepadamu.
Seorang
mukmin selayaknya, disunnahkan, bahkan wajib baginya untuk menginginkan bagi
saudaranya apa yang ia inginkan untuk dirinya. Sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam :
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidaklah beriman salah seorang dari kalian hingga dia menyukai (menginginkan) bagi saudaranya apa yang dia sukai bagi dirinya sendiri”
Maksudnya
adalah apa saja yang berbentuk kebaikan, sebagaimana dijelaskan pada riwayat
yang lain; yaitu perkara-perkara kebaikan secara umum. Karena itu, inginkanlah
kebaikan bagi saudaramu sebagiamana kau menginginkannya untuk dirimu. Janganlah
engkau hasad kepada seorang pun dalam perkara apa saja dari karunia yang Allah
berikan kepadanya.
Berkaitan
dengan harta, misalnya. Jika Allah memberi harta kepada saudaramu, sementara
engkau tidak berharta, atau hartamu sedikit, saudaramu terpandang dan memiliki
banyak harta, sehingga engkau terperangah melihat tindak-tanduknya, takjub
dengan benda-benda yang dibelinya, terheran-heran dengan kondisi dan
kedermawanannya, dan seterusnya, maka pujilah Allah yang telah menjadikan
saudaramu berada pada martabat seperti ini, seolah-olah engkau juga berada pada
martabat tersebut. Kondisikanlah dirimu untuk merasakan apa yang Allah
karuniakan kepada saudaramu seolah-olah Allah juga mengaruniakannya kepadamu.
Contoh
lain berkaitan dengan ilmu. Sebagian manusia tidak gembira dengan ilmu yang
Allah anugerahkan kepada saudaranya. Ia mendengar saudaranya membahas sebuah
masalah dengan baik, menjadi pembicara yang baik di tempat tertentu, berkhutbah
dengan bagus, memberi pengaruh kepada masyarakat dengan ilmunya, menyampaikan
ilmu dengan baik, dan yang semisalnya, maka semua kelebihan ini terbayang dalam
batinnya, sehingga ia tidak suka saudaranya berada pada martabat tersebut,
dalam kondisi seperti itu. Hal ini tidak dibolehkan. Termasuk hak persaudaraan
adalah engkau gembira jika saudaramu berilmu. Apabila engkau tidak seperti dia
dalam keilmuan, ilmumu berada di bawahnya, ia lebih tajam pemahamannya, lebih
kuat hafalannya, atau yang semisalnya, maka pujilah Allah yang telah menjadikan
dan menyiapkan dari umat Islam seseorang yang menunaikan kewajiban ini (yaitu menuntut
ilmu dan menyebarkannya, pen), sementara ia sangat cemerlang dalam ilmu.
Janganlah engkau dengki kepada saudara-saudaramu pada ilmu mereka.
Hasad
(dengki) adalah penyakit yang membinasakan sekaligus menghilangkan kebaikan.
Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِيَّاكُمْ وَالتَّحَاسُدَ فَإِنَّهُ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارَ الْحَطَبَ
“Hati-hatilah
kalian terhadap saling hasad, karena hasad memakan kebaikan sebagaimana api
memakan kayu bakar.”[4]
Hasad
itu terkadang pada ilmu, harta, atau kedudukan. Banyak perkara yang bisa
menimbulkan hasad.
Dua
orang yang bersaudara dan bersahabat. Yang satu memandang bahwa saudaranya
lebih diutamakan darinya, lebih didengar dalam majelis, lebih terpandang, dan
lebih dimuliakan, padahal pada hakekatnya tidak demikian (itu hanyalah
perasaannya saja, pen), maka perasaannya ini menjadikan hatinya tidak sreg
terhadap saudaranya. Hal ini tidak boleh dan termasuk hasad. Sementara wajib
baginya adalah untuk membebaskan diri dari hasad, karena hasad hukumnya haram.
Semestinya ia menginginkan bagi saudaranya apa yang ia inginkan bagi dirinya
berupa kebaikan-kebaikan, dan bersikap seolah-olah kenikmatan yang Allah
anugerahkan kepada saudaranya itu Allah anugerahkan kepadanya.
Begitu
juga dalam agama dan keshalihan. Sebagian manusia mendapat anugerah dari Allah
dengan dibukakan salah satu pintu ibadah, sehingga ia menjadi orang yang banyak
puasa atau shalat.
Imam
Malik pernah ditanya, “Engkau adalah seorang Imam. Kedudukanmu mulia di hadapan
manusia. Namun sepertinya kami tidak melihatmu banyak beribadah, banyak shalat,
banyak puasa, dan tidak berjihad di jalan Allah.” Maka berkatalah Imam Malik
kepada orang tadi, “Sesungguhnya di antara manusia ada yang Allah bukakan
baginya pintu shalat, ada yang Allah bukakan baginya pintu puasa, ada yang
Allah bukakan baginya pintu sedekah, ada yang Allah bukakan baginya pintu jihad
di jalan Allah, dan ada yang Allah bukakan baginya pintu ilmu. Telah dibukakan
bagiku pintu ilmu, dan saya ridha dengan apa yang Allah bukakan bagiku.”
Manusia
itu beraneka ragam.
Jika
seseorang melihat saudaranya banyak beribadah sehingga orang-orang pun
memujinya, sedangkan ia tidak gembira terhadap hal itu, maka bisa saja ia
kemudian menyebarkan aib saudaranya, atau perkataan saudaranya yang keliru.
Pokoknya ia menyebarkan sesuatu yang bisa mengurangi martabat saudaranya. Hal
ini tidaklah semestinya ia lakukan. Semestinya ia mencintai saudaranya
sebagaimana mencintai dirinya. Ia berusaha agar saudaranya dipuji orang,
meskipun saudaranya tidak tahu usaha baiknya tersebut. Sebab, perkaranya
bukanlah di hadapan manusia, namun di hadapan Allah. Bahkan perkaranya adalah
mengikhlaskan hati dan membersihkan jiwa, sehingga tidak ada tujuan jiwa
kecuali Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أِنَّ اللهَ لاَيَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَلاَ إِلَى أَجْسَامِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَ أَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidaklah memandang kepada rupa-rupa kalian, juga tidak pada jasad-jasad kalian tetapi Allah melihat pada hati-hati kalian dan amal perbuatan kalian.”[5]
Allah
melihat hati dan melihat amal perbuatan. Terkadang ada orang yang tidak dikenal
dan tersembunyi, tiada seorang pun yang mengetahuinya, namun ternyata di sisi
Allah ia berada pada tempat yang agung. Sebagaimana disebutkan dalam hadits:
إِنَّ مِنْ عِبَادِ اللهِ مَنْ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللهِ لَأَبَرَّهُ
“Sesungguhnya
di antara hamba-hamba Allah terdapat orang-orang yang kalau dia bersumpah atas
nama Allah, maka Allah akan menunaikan (mengabulkan) sumpahnya.”[6]
Masih
ada hak-hak persaudaraan lain yang akan saya sebutkan dua di antaranya, yaitu
hak kesembilan dan kesepuluh. Kalian perhatikan kedua hak tersebut, lalu kalian
jabarkan sendiri sebagaimana penjelasan kami.
Hak kesembilan
Hak kesembilan
Hendaknya
antara engkau dan saudaramu terjalin kerjasama dalam kebaikan dan kebajikan. Allah telah
memerintahkan hal ini dalam firman-Nya:
“Dan
tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebaikan dan ketakwaan dan
janganlah kalian saling tolong-menolong dalam (mengerjakan) dosa dan
pelanggaran” (al-Maa-idah: 2)
Hak kesepuluh
Hak kesepuluh
Terakhir,
hendaknya di antara sesama saudara terjadi musyawarah dan kesatuan. Janganlah salah
seorang dari mereka memutuskan perkaranya sendiri, namun hendaknya
dimusyawarahkan. Allah telah memuji orang-orang beriman yang bermusyawarah dalam
firman-Nya:
وَأَمْرُهُمْ شُوْرَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُوْنَ
“Dan
urusan mereka (diputuskan) dengan bermusyawarah di antara mereka, dan mereka
menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka” (asy-Syuura:
38)
Dua
hak ini, yaitu hak kesembilan dan kesepuluh, butuh penjelasan panjang lebar,
namun sayangnya waktu terbatas.[7]
Saya
mohon kepada Allah agar menjadikan kita semua sebagai orang-orang yang saling
mencintai karena Allah, yang Allah nantinya berkata kepada mereka:
أَيْنَ الْمُتَحَابُّوْنَ بِجَلَالِي, الْيَوْمَ أُظِلُّهُمْ فِيْ طِلِّي يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلِّي
“Dimanakah
orang-orang yang saling mencintai karena Aku, maka pada hari ini Aku naungi
mereka dibawah naungan-Ku, di hari yang tidak ada naungan kecuali
naungan-Ku.”[8]
Aku
mohon kepada Allah agar menjadikan aku dan kalian termasuk orang-orang yang
saling tolong-menolong dalam mengerjakan kebajikan dan taqwa, termasuk
orang-orang yang saling nasihat-menasihati dalam hal ini, orang-orang yang
berkorban demi kebaikan, membuka pintu-pintu kebaikan dan menutup pintu-pintu
kejelekan, menjadikan kita termasuk orang-orang yang mencari wajah Allah dengan
amalan mereka, dan mengaruniakan semua itu kepada kita. Sesungguhnya tidak ada
daya dan upaya kecuali dengan idzin-Nya. Kita mohon kepada Allah agar
mengampuni kita, kedua orang tua kita, dan saudara-saudara kita yang telah
mendahului kita dengan keimanan, juga mengampuni saudara-saudara kita kaum
muslimin secara umum. Semoga Allah memberi petunjuk kepada kita menuju apa yang
diridhai-Nya. Shalawat, salam, dan keberkahan semoga tercurahkan kepada Nabi
kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.[9]
Yogyakarta,
15 Agustus 2005
Penerjemah
: Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
Catatan
Kaki:
[1]
HR At-Tirmidzi (2499), dan beliau berkata, “Hadits hasan gharib,” serta Ibnu
Majah (4251).
[2]
Lihat pembahasannya lebih lanjut pada risalah kami yang berjudul Kaidah-Kaidah
Hajr Menurut Ibnu Taimiyyah.
[3]
Berkata Syaikh Ibnu ‘Utsaimin: “Para ulama berselisih tentang definisi hasad.
Sebagian ulama mendefinisikan hasad adalah keinginan agar kenikmatan yang ada
pada orang lain (saudaranya) hilang (baik kenikmatan tersebut berupa harta,
kedudukan, atau ilmu). Ulama yang lainnya mendefinisikan bahwa hasad adalah
benci terhadap kenikmatan yang Allah karuniakan kepada orang lain (saudaranya).
Definisi kedua inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Beliau
berkata, ‘Jika seorang hamba benci terhadap kenikmatan yang Allah anugerahkan
kepada selainnya, maka dia telah hasad terhadapnya, walaupun dia tidak
berkeinginan agar kenikmatan tersebut hilang darinya’. Beliau juga berkata,
‘Merupakan hal yang maklum bahwa konsekuensi dari membenci yaitu keinginan agar
kenikmatan tersebut hilang (dari saudaranya)’. Definisi Ibnu Taimiyyah ini
lebih detail. Hanya sekedar engkau benci bahwa Allah telah memberi suatu
kenikmatan terhadap saudaramu berarti engkau telah hasad kepadanya” Syarh
al-Arba’iin an-Nawawiyyah.
[4]
HR. Abu Dawud (4903).
Hadits
ini dha’if. Di dalam sanadnya terdapat rawi yang majhul.
Lihat
penjelasaan al-Arna-uth dalam komentarnya terhadap Jaami’ al-’Ulum (II/261).
[5]
HR Muslim (2564).
[6]
HR Al-Bukhari (6894). Lihat al-Fath (XII/279).
[7]
Karena risalah ini pada asalnya adalah ceramah beliau dalam satu majelis.
[8]
HR Muslim (2566), dari hadits Abu Hurairah, kitab al-Adab, bab Fadhlul Hubb
fillah.
[9]
Sampai di sini akhir nasehat dari Syaikh Shalih Alu Syaikh –hafizhahulllah-.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar