Kebiasaan malas
banyak disebabkan oleh lingkungan. Berteman dengan para pemalas, tinggal dalam
keluarga dengan kadar etos kerja yang rendah, atau karena biasa dimanjakan
orangtua. Kurangnya penghayatan terhadap pentingnya suatu tujuan juga menjadi
sebab hadirnya rasa malas. Begitupun dengan akibat buruk sifat malas yang tidak
diperhitungkan.
Jika kita ingin
kebiasaan buruk ini enyah dari kehidupan kita, hendaknya kita pikirkan akibat
yang akan timbul di kemudian hari. Seorang ahli bijak berkata, “Jika kamu tak
turut menanam benih saat orang lain menanamnya, niscaya kamu akan menyesal saat
melihat mereka panen.” Betapa banyak orang yang menyesal karena sifat malas
ini. Andai dahulu aku rajin menuntut ilmu, Andai dahulu aku mau bekerja keras,
Andai dahulu aku tak menyia-nyiakan masa mudaku, dan penyesalan lain yang
banyak dialami para pemalas.
Sedikit memaksa
diri untuk berbuat, bisa menjadi shock terapi dari kemalasan. Seorang salaf,
Amru bin Qais al-Mala’i berkata, “Jika sampai di hadapanmu suatu bentuk
kebaikan, maka kerjakanlah meskipun berat, niscaya kelak kamu akan senang
menjalaninya.”
Benarlah apa
yang beliau katakan. Suatu kemasalahatan, awalnya berat diterima oleh nafsu.
Tapi kesungguhan dan kemauan yang kuat, juga ketekunan dalam menjalaninya akan
mengubahnya menjadi sesuatu yang menyenangkan. Bahkan jika suatu kali
terlewatkan olehnya, ia akan merasa kecewa. Bukti dan kisah tentang hal ini
bisa Anda baca kembali di rubrik ini, yang berjudul ‘Menikmati Kesungguhan’.
Biasakan pula
untuk bergerak cepat dalam setiap aktivitas. Ada hikmah di balik kebiasaan Nabi
yang biasa berjalan dengan cepat. Dari Abu Hurairah berkata,
وَمَا رَأَيْتُ أَحَدًا أَسْرَعَ فِي مِشْيَتِهِ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Dan tidaklah aku melihat seorangpun yang jalannya
lebih cepat dari Rasulullah.” (HR. Tirmidzi)
Banyak peneliti
menyebutkan, bahwa membiasakan berjalan cepat bisa meningkatkan etos kerja
dalam semua aktivitas. Ternyata, kebanyakan para ulama yang sukses dengan
perolehan ilmu di atas rata-rata juga memiliki kebiasaan cepat dalam berjalan.
Al-Hafizh Abu Isma’il al-Anshari menyebutkan, “Seorang pakar hadits memiliki
kebiasaan cepat dalam berjalan, cepat dalam menulis, dan cepat dalam membaca.”
Berkaca pada
kesuksesan orang-orang yang bersemangat juga menjadi pemicu untuk bekerja
keras. Renungkanlah etos yang dimiliki oleh Ibnu Uqail Rahimahullah, di mana
beliau berkata, “Tidak aku halalkan diriku menyia-nyiakan sesaatpun dari
umurku. Meski nantinya lisanku tak bisa lagi untuk berdiskusi, mataku tak lagi
mampu untuk membaca, maka aku akan berdayakan seluruh pikiranku saat aku
berdiam diri dan hanya mampu berbaring di ranjang.”
Bagitulah,
rehatnya jasad lantaran sakit atau tua tak sedikitpun mengundang rasa malas
untuk melakukan hal yang bermanfaat. Seperti juga yang dialami Abu Yusuf,
Ya’kub al-Anshari. Ibrahim bin al-Jarah menjenguk beliau saat sakit. Begitu
masuk, ia dapatkan Abu Yusuf tengah pingsan karena sakitnya. Ketika bangun dan
melihat Ibrahim di sampingnya, beliau bertanya, “Wahai Ibrahim, maukah kamu
berdiskusi denganku tentang satu masalah?” “Dalam keadaan seperti ini?” jawab
Ibrahim. Abu Yusuf berkata, “Tidak apa-apa, kita belajar, semoga kita sukses
karenanya.” Lalu keduanya berdiskusi perihal pelaksanaan haji. Sejurus
kemudian, Ibrahim minta ijin undur diri. Tapi belum lagi melewati pintu keluar,
Abu Yusuf telah menghembuskan nafas terakhir.
Tokoh yang lain,
Waki’ bin al-Jarah, salah satu guru Imam asy-Syafi’i tak hanya rajin
menggunakan waktu siangnya. Di waktu malam, beliau belum tidur sebelum
menghabiskan bacaan sepertiga al-Quran di hari itu. Setelah tidur sejenak,
beliau bangun untuk shalat malam, lalu istighfar hingga datang waktu fajar,
lalu beliau shalat. Beranikah kita mencobanya?!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar