kategori-akhlak

Rabu, 11 Desember 2013

Salah Satu Pondasi Akhlak Mulia: Meneladani [Ittiba'] Rasulullah



Ittiba’ kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah salah satu inti dan pondasi dasar agama islam. Juga merupakan syariat paling agung yang diterima dan diketahui dengan pasti. Dalil-dalil syar’i yang shahih, yang menjelaskan dan menegaskan hal ini sangat banyak. Di antaranya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:

وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

“Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (Qs. Al-Hasyr: 7)
Dan firman Allah subhanahu wa ta’ala:

مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا

“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (Qs. An-Nisaa: 80)
Akan tetapi ketika pemahaman telah kacau dan kaki telah tergelincir, hal itu tidak menghalangi adanya kelompok-kelompok dari kaum muslimin yang menyimpang dari meniti dan menetapi jalan tengah yang lurus. Sehingga kebutuhan untuk menjelaskan dan menerangkan hal ini menjadi lebih besar dan lebih wajib.
Oleh karena itu, di dalam pelajaran ini aku akan berusaha memberikan perhatian kepadanya untuk menampakkan hakikat dan hukum ittiba’, menerangkan kedudukan dan tanda-tandanya serta menjelaskan jalan yang membantu untuk mewujudkannya dan sebagian penghalang-penghalangnya. Dengan berharap kepada Rabbku (Penguasaku) Yang maha pengampun agar memberikan petunjuk kepada kebaikan dan memperbaiki niat ini. Sesungguhnya Dia maha berkuasa atas segala sesuatu dan berhak menjawab do’a.
Ittiba’ Menurut Bahasa
Ittiba’ adalah mashdar (kata bentukan) dari kata ittaba’a (mengikuti). Dikatakan mengikuti sesuatu jika berjalan mengikuti jejaknya dan mengiringinya. Dan kata ini berkisar pada makna menyusul, mencari, mengikuti, meneladani dan mencontoh.
Dikatakan ittiba’ kepada al-Qur’an, yaitu mengikutinya dan mengamalkan kandungannya. Dan ittiba’ kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu meneladani, mencontoh dan mengikuti jejak beliau. (1)
Ittiba’ Menurut Istilah Syar’i
Yaitu meneladani dan mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam keyakinan, perkataan, perbuatan dan di dalam perkara-perkara yang ditinggalkan. Beramal seperti amalan beliau sesuai dengan ketentuan yang beliau amalkan, apakah wajib, sunnah, mubah, makruh atau haram. Dan disertai dengan niat dan kehendak padanya.
Ittiba’ kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam keyakinan akan terwujud dengan meyakini apa yang diyakini oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuai dengan bagaimana beliau meyakininya – apakah merupakan kewajiban, kebid’ahan ataukah merupakan pondasi dasar agama atau yang membatalkannya atau yang merusak kesempurnaannya – dengan alasan karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam meyakininya.
Ittiba’ kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam perkataan akan terwujud dengan melaksanakan kandungan dan makna-makna yang ada padanya. Bukan dengan mengulang-ulang lafadz dan nashnya saja. Sebagai contoh sabda Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:

صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي

“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (2)
Ittiba’ kepadanya adalah dengan melaksanakan shalat seperti shalat beliau.
Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ تَحَاسَدُوا وَلاَ تَنَاجَشُوا
“Janganlah kalian saling hasad dan janganlah kalian berbuat najasy.” (3)
Ittiba’ kepadanya adalah dengan meninggalkan hasad dan najasy.
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلمٍ عَلِمَهُ ثُمَّ كَتَمَهُ أُلْجِمَ يَوْمَ الْقِياَمَةِ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ

“Barangsiapa ditanya tentang suatu ilmu yang dia ketahui kemudian dia menyembunyikannya maka pada hari kiamat dia dikekang dengan tali kekang dari api.” (4)
Ittiba’ kepadanya adalah dengan menyebarkan ilmu yang shahih dan bermanfaat serta tidak menyembunyikannya.
Sebagaimana ittiba’ kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam perbuatan adalah dengan melakukan amalan seperti yang beliau lakukan, sesuai ketentuan yang beliau lakukan dan dengan sebab karena beliau melakukannya.
Kami katakan “seperti yang beliau lakukan” karena meneladani sesuatu tidak akan terwujud jika terdapat perbedaan bentuk dalam tatacara perbuatan.
Makna perkataan kami “sesuai dengan ketentuan yang beliau lakukan” adalah adanya kesamaan di dalam tujuan dan niat perbuatan itu – berupa keikhlasan dan pembatasan terhadap perbuatan itu dari segi wajib atau sunnahnya – karena tidak dapat dikatakan meneladani jika berbeda tujuan dan niatnya meskipun sama bentuk perbuatannya.
Dan kami katakan “dengan sebab karena beliau melakukannya” karena meskipun sama bentuk dan niat perbuatannya, jika maksud melakukannya bukan untuk meneladani dan mencontoh maka tidak akan dikatakan sebagai ittiba’.
Sebagai contoh untuk menjelaskan ittiba’ di dalam perbuatan; Jika kita ingin meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam puasa beliau maka kita harus berpuasa sebagaimana tatacara puasa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yaitu menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa sejak terbitnya fajar shadiq sampai terbenamnya matahari, dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Maka jika salah seorang di antara kita menahan dirinya hanya dari sebagian perkara yang membatalkan puasa berarti dia belum ittiba’. Sebagaimana jika dia menahan diri pada sebagian waktu saja.
Dan kita juga harus berpuasa sesuai dengan ketentuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berpuasa dari segi niatnya. Yaitu dengan puasa ini kita mengharapkan wajah Allah dan untuk melaksanakan kewajiban atau sebagai qadha atau sebagai nadzar. Atau meniatkannya sebagai puasa sunnah sesuai dengan alasan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa. (5)
Sebagaimana juga kita melakukan puasa tersebut dengan alasan karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya. Oleh karena itu seseorang yang melakukan amalan yang sama bentuk dan tujuannya dengan orang lain – selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam – tidaklah dianggap meneladani orang tersebut jika keduanya sama-sama melakukannya dengan niat melaksanakan perintah Allah dan ittiba’ kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sedangkan ittiba’ kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam perkara-perkara yang ditinggalkan adalah dengan meninggalkan perkara-perkara yang beliau tinggalkan, yaitu perkara-perkara yang tidak disyariatkan. Sesuai dengan tatacara dan ketentuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam meninggalkannya, dengan alasan karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallammeninggalkannya. Dan ini adalah batasan yang sama dengan batasan ittiba’ di dalam perbuatan.
Sebagai contoh untuk menjelaskannya; Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan (tidak melakukan) shalat ketika terbit matahari. Maka seorang yang meneladani beliau juga meninggalkan shalat pada waktu itu sesuai dengan ketentuan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam meninggalkannya, dengan alasan karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkannya. (6)
Footnote:
(1) Lihat Lisanul ‘Arab (1/416-417), al-Mu’jamul Wasith (1/81)
(2) Al-Bukhari no. 631 lihat Fath al-Bari (2/131-132)
(3) Muslim (4/1986) no. 2564
(4) At-Tirmidzi (5/29) no. 2649 dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi (2/336) no. 2135
(5) Jika ada tatacara dan tujuan yang khusus bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti puasa wishol (puasa sejak terbit fajar sampai waktu sahur -pen) atau kewajiban shalat malam, maka tidak boleh menyamai beliau di dalam kekhususan tatacara dan tujuan ini. Akan tetapi perkara ittiba’ berkaitan dengan tujuan-tujuan dan tatacara yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam syariatkan kepada umatnya.
(6) Lihat al-Fatawa karya Ibnu Taimiyah (10/409) dan al-Ihkam karya al-Amidi (1/226, 227)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar