Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman menyebut mereka
dengan sifat paling mulia , yang artinya ,” Dan hamba-hamba yang baik dari
Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan diatas bumi
dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka (dengan
katata-kata yang menghina), mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung )
keselamatan ,” (Al-Furqan : 63)
Secara etimologis al-ikhbat, berarti tempat yang
rendah dibumi. Oleh karena itu, Ibn abbas dan Qatadah mengartikan kata
Al-Mukhbitina sebagai orang-orang yang merendahkan diri. Al-Mukhbit dikatakan
sebagai orang yang tenang bersama allah. Mujahid berkata, bahwa Al-Khubtu
adalah tempat yang tenang di bumi. Sementara al-akhfay mengartikan sebagai
orang-orang yang khusyuk. Ketika merendahkan diri dan rasa tunduk menjadi
tanda-tanda mayoritas dari kekhusyukan, maka arti khusyu secara etimologis
terbatas pada tanda tersebut. Ibn Faris dalam Maqasiyu al-Lughah bahwa Khussyu
terdapat materi pada huruf Kha, Syin, ‘Ain yang menunjukkan satu makna , yaitu
kerelaan. Jika diucapkan khasya’a fulanun artinya ketika dia rela dan
menundukkan kepalanya
Hasan al-Basri berkata, sesungguhnya orang mukmin
didunia itu seperti orang asing, dia tidak cemas terhadap kehinaan dunia, dan
dia tidak ikut berlomba dalam mencapai kemuliaannya……
Asad bin Musa dalam Wira’I bercerita, bahwa kami
mendengar Mubarak bin Fadhalah berkata bahwa Hasan telah berkata bahwa
sesungguhnya panggilan Allah datang kepada hamba beriman. Sementara aku ,demi
Allah , ketika aku melihat mereka, maka aku seolah melihat suatu kaum yang
tidak suka berdebat, dan bukan pula orang yang gemar berbuat kebatilan. Mereka
tidak berpaling kecuali kepada kitab Alah, mereka tidak menampakkan apa yang
tiada dalam hati mereka. Apa yang berada di hati mereka datang dari Allah, dan
kemudian mereka membenarkannya.
Ibrahim an-Nakha’I mengartikan mereka sebagai
orang-orang yang menunaikan shalat dengan ikhlas. Sedangkan al-Kalbi diartikan
sebagai kelembutan hati mereka.
Kaitannya dengan sifat merendahkan diri, Ibn Qayyim
berpendapat , bahwa semua pendapat itu berkisar pada arti merendahkan diri dan
ketenangan bersama Allah. Sedangkan syaikh Mu’min Fathi al-Haddad, dalam Jaddid
Shalataka, Kaifa Takhsya’u fi Shalatika wa Tadfa’u min Wasawisika , menyatakan
bahwa kata ila menjadikan jaminan bahwa kata itu berarti ketentraman, berserah
diri dan ketenangan kepada Allah.
Bila kita melihat dalam Al- Qur’an , kata al-Ikhbat mempunyai tiga arti
antara lain :
1. mempunyai arti kediaman, (atau tinggal dalam nyala api nereka),
sebagaimana firman-Nya saat mengabarkan tentang neraka, yang artinya ,” Tempat
kediaman mereka adalah neraka jahanam. Tiap-tiap kali nyala api jahanam itu
akan padam, Kami tambah lagi bagi mereka nyalanya,” (Qs. Al-Isra’ : 97).
2. Mempunyai arti merendahkan diri kepada Tuhan mereka atau orang-orang
yang tunduk dan patuh kepada Rabb-nya, sebagaimana firman-Nya , yang artinya, ”
Yaitu orang-orng yang merendahkan diri “, (Qs. Hud : 23). Sebagaimana
firman-Nya, yang artinya ,” Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang
tunduk patuh (kepada Allah),” (Qs. Al Hajj : 34).
3. Menerima (pasrah), sebagaimana firman-Nya, yang artinya ,” dan agar
orang-orang yang telah diberi ilmu meyakini bahwa (Al-Qur’an) itu benar dari
Tuhan-mu, lalu mereka beriman dan hati mreka tunduk kepadanya. Dan sungguh
Allah pemberi petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus ,”
(Qs. Al-Hajj : 54).
Sementara itu munculnya sifat kerendahan diri dan
pujian kepada Allah berasal dari pengaruh Kekhusyukan. Menjatuhkan hati
bersimpuh di hadapan Allah dengan penuh kerendahan diri, dan menampakkan
kefakiran dihadapan-Nya.
Firman-Nya, yang artinya ,” Maka mengapa mereka tidak
memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan
Kami kepada mereka, bahkan hati mereka telah menjadi keras dan
setanpunmenjadikan teara indah bagi mereka apa yang selalu mereka kerjakan ,”
(Qs. Al-An’am : 43).
Allah menekankan kepada hamba-Nya agar sikap merendahkan diri lebih ditekankan pada saat menerima bencana, supaya bisa menjadi doa penghapus bencana. Jika seorang hamba merendahkan diri tidak bersamaan dengan ujian yang menimpa, maka dia kana mengetahui bahwa dia telah gagal dalam melaksanakan uji coba.
Allah menekankan kepada hamba-Nya agar sikap merendahkan diri lebih ditekankan pada saat menerima bencana, supaya bisa menjadi doa penghapus bencana. Jika seorang hamba merendahkan diri tidak bersamaan dengan ujian yang menimpa, maka dia kana mengetahui bahwa dia telah gagal dalam melaksanakan uji coba.
Sebagaimana firman-Nya , yang artinya .” .. yang kamui
berdoa kepada-Nya dengan berendah diri dan dengan usara yang lembut ,” (Qs.
Al-An’am : 63).
Menurut Manazilus-Sa’irin, ikhbat ini didasarkan
kepada tiga derajat:
- Memperkuat penjagaan dalam menghadapi syahwat, menjaga hasrat agar tidak lalai dan kecintaan yang dapat mengalahkan kesenangan. Dimanal, perlindungan dan penjagaannya dapat mengalahkan syahwat, hasratnya dapat mengalahkan kelalaian, dan kecintaannya dapat mengalahkan kesenangan.
- Hasratnya tidak digugurkan satu sebab pun, hatinya tidak diusik satu penghambat pun, dan jalannya tidak dipotong satu rintangan pun. Ini tiga masalah lain yang dihadapi orang yang sedang berjalan kepada Allah dan yang berada di tempat persinggahan ikhbat. Tapi selagi hasratnya sudah bulat dan perjalanannya dilakukan secara sungguhsungguh,tentu tidak ada satu sebab pun yang bisa menghambat perjalanannya. Penghambat yang paling berat ialah kesepian saat berjalan sendirian. Maka hal ini janganlah dianggap sebagai penghambat,sebagaimana yang dikatakan seseorang yang lurus, “Kesendirianmu dalam mencari sesuatu merupakan bukti benarnya apa yang kamu cari.” , “Janganlah engkau merasa kesepian karena sedikitnya orang yang berjalan bersamamu dan janganlah terkecoh karena banyaknya orang yang binasa.” Sedangkan rintangan yang bisa memotong perjalanan ialah hal-hal yang masuk kedalam hati seseorang sehingga dapat menghambatnya untuk mencari dan mengikuti kebenaran. Bila seorang hamba sudah mantap berada di tempat persinggahan ikhbat, hasrat dan pencariannya sudah kuat, maka tidak ada rintangan yang bisa menghambatnya.
- Sama bagi dia saat mendapat pujian ataupun celaan, senantiasa mencela diri sendiri, dan tidak melihat kekurangan orang lain yang di bawah dia derajatnya.
Hamba yang sudah mantap berada di tempat persinggahan
ikhbat, tidak lagi terpengaruh oleh pujian dan celaan. Dia tidak menjadi
gembira karena pujian manusia dan juga tidak sedih karena celaan mereka. Inilah
sifat orang yang bisa melepaskan diri dari bagian yang seharusnya diterimanya.
Jika seseorang terpedaya oleh pujian dan celaan manusia, maka itu merupakan
pertanda bagi hatinya yang terputus, tidak memiliki ruh cinta kepada Allah dan
belum merasakan manisnya kebergantungan kepada-Nya.
“Tidak melihat kekurangan orang lain karena derajat
yang didapatkannya”, artinya tidak memperhatikan keadaan orang lain, karena
disibukkan oleh urusannya sendiri dengan Allah, dan hatinya yang dipenuhi
kecintaan kepada-Nya, sekalipun derajatnya lebih tinggi dari orang-orang lain.
Andaikan dia sibuk memperhatikan keadaan orang lain, maka hal ini justru akan
menurunkan derajatnya dan membuatnya mundur ke belakang.
Ikhbat merupakan permulaan dari ketentraman”, seperti ketenangan, keyakinan dan kepercayaan kepada Allah, atau juga merupakan rasa percaya diri bagi musafir untuk tidak surut ke belakang atau ragu-ragu menuju ridha Allah.
Ikhbat merupakan permulaan dari ketentraman”, seperti ketenangan, keyakinan dan kepercayaan kepada Allah, atau juga merupakan rasa percaya diri bagi musafir untuk tidak surut ke belakang atau ragu-ragu menuju ridha Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar