Ibnu
Katsiir rahimahullah dalam kitabnya Al-Bidaayah wa An-Nihaayah bercerita
tentang kisah Ibnu Taimiyyah.
Sulthon
An-Nashir Ibn Qolawuun memiliki para petinggi dari kalangan para ulama bid’ah
yang memusuhi Ibnu Taimiyyah, dan mereka berfatwa kepada sang Sulthoon agar
membunuh Ibnu Taimiyyah. Akan tetapi sang sulthoon hanya memenjarakan Ibnu
Taimiyyah dan tidak membunuhnya. Maka pada suatu saat datanglah Al-Jaasyinkir
kemudian menggulingkan dan merebut kekuasaan sang Sulthoon. Akhirnya para
petinggi tersebut berkhianat dan membelot meninggalkan sang sulthoon dan
membai’at Al-Jaasyinkiir. Tentu hal ini membuat murka sang sulthoon. Maka sang
sulthoon akhirnya berusaha merebut kembali kekuasaannya dan akhirnya ia
berhasil. Ternyata para petinggi tersebut kembali kepada sang sulthoon, yang
hal ini membuat sang sulthoon marah dan mengetahui bahwasanya mereka adalah
para penjilat. Akhirnya sang suthoonpun mengeluarkan Ibnu Taimiyyah dari
penjara dan menyambut Ibnu Taimiyyah dengan pernuh penghormatan di hadapan para
petinggi tersebut yang pernah berfatwa untuk membunuh Ibnu Taimiyyah. Lantas
sang sulthoon mengeluarkan secarik kertas dari kantongnya yang ternyata isi
kertas tersebut adalah fatwa para petinggi tersebut untuk membunuh Ibnu
Taimiyyah. Tentunya sang sulthoon sudah menyimpan dendam yang sangat besar, dan
berharap agar Ibnu Taimiyyah berfatwa sebaliknya untuk membunuh para petinggi
tersebut.
Ibnu
Taimiyyah berkata, “Akupun faham maksud sang Sulthoon, dan aku tahu bahwasanya
ia menyimpan dendam dan kemarahan yang sangat dalam terhadap para ptinggi
tersebut, karena mereka telah membelot darinya dan membai’an Al-Jasyinkir…,
maka akupun mulai memuji para ulama, yaitu para petinggi tersebut, dan
menyebutkan jasa mereka, dan seandainya mereka pergi maka sang sulthoon tidak
akan mendapatkan petinggi-petinggi yang seperti mereka”. Sang sulthoon berkata,
“Mereka (para ulama dan petinggi) tersebut telah menyakitimu dan berulang-ulang
ingin agar engkau dibunuh”. Ibnu Taimiyyah berkata, “Barangsiapa yang
menyakitiku maka aku telah memafkannya, dan barangsiapa yang menyakiti Allah
dan RasulNya maka Allah akan membalasnya, aku tidak akan membela diriku
sendiri”. Akhirnya hilanglah kemarahan sang sulthoon. (Lihat kisah ini
Al-Bidaayha wa An-Nihaayah 18/93-95 (tahqiq At-Turki) dan juga Al-’Uquud
Ad-Durriyyah hal 221)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar