Sungguh amat
pantas apabila Allah subhanahu wata’ala menempatkan para Shahabat
Radhiyallahu’anhum di tempat yang mulia setelah Rasulullah shallallahu’alaihi
wasallam dan memberikan jaminan akan kehidupan yang penuh dengan kebaikan dan
keberkahan, khususnya kehidupan di akhirat kelak berupa surga yang selalu
didambakan oleh setiap mu’min, sebagaimana yang telah diabadikan di dalam
Firman Allah subhanahu wata’ala yang mulia, artinya,
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka denga baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. at-Taubah: 100)
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka denga baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. at-Taubah: 100)
Apakah yang
mengantarkan mereka sehingga dapat meraih apa yang ingin diraih oleh setiap
insan. Tentunya karena ada sesuatu yang ajaib pada mereka. Sesuatu yang
mengagumkan di balik kehidupan dan kepribadian mereka yang sarat dengan
kebaikan dan keteladanan yang pantas untuk dicontoh dan diikuti. Bahkan
mengikuti dan meneladani mereka adalah suatu yang niscaya dan wajib bagi setiap
muslim. Dan sebaliknya tidak mau mengikuti dan meneladani mereka adalah suatu
kehancuran, merupakan bentuk kesombongan serta penolakan terhadap seruan Ilahi.
Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam, “Tidak
masuk surga seseorang yang di dalam dirinya masih terdapat kesombongan walaupun
hanya sebesar dzarroh. Bertanya seseorang: apa itu sombong? Lalu Rasulullah
menjawab: menolak kebenaran dan merendahkan manusia.” (HR. Muslim)
Hati siapa yang tidak akan terkesan dan tergugah
ketika kembali menelusuri dan menapaktilasi kehidupan para sahabat. Sifat dan
akhlak yang mulia menghiasi hari-hari mereka, ibadah yang tulus dan ikhlas
memenuhi relung-relung kehidupan mereka. Tentunya tidak cukup untuk dilukiskan
dan dipaparkan semua kehidupan mereka dalam media ini. Mari kita ambil satu
saja dari sifat-sifat mereka yang agung sebagai contoh dan bukti bahwa betul
ungkapan di atas yang mengawali tulisan ini. Yakni sebagaimana kisah yang
terdapat dalam hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, “Seorang
lelaki datang kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, lalu dia berkata,
“Sungguh aku ini miskin dan sangat lapar.” Lalu Rasulullah n menyampaikan hal
tersebut kepada sebagian istri beliau. Maka mereka berkata, “Demi Dzat yang telah
Mengutusmu dengan hak, saya tidak memiliki apa-apa kecuali air. Kemudian
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam menyampaikan hal itu kepada istri-istri
beliau yang lain. Sampai semuanya mengatakan jawaban yang sama, “Demi Dzat yang
telah Mengutusmu dengan hak, saya tidak memiliki apa-apa kecuali air. Maka
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam pun bertanya kepada para sahabat,
“Siapakah kiranya yang sudi menjamu tamuku malam ini? Maka berkatalah seorang
dari kalangan Anshar, “Saya wahai Rasulullah.” Kemudian sahabat tersebut
membawa tamunya ke rumahnya. Lalu berkata kepada istrinya, “Muliakanlah tamu
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam.”
Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa shahabat
tersebut bertanya kepada istrinya, “Apakah kamu memiliki sesuatu (untuk menjamu
tamu Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam). Istrinya pun menjawab, “Tidak
ada, hanya makanan yang cukup untuk anak-anak kita. Lalu sahabat tersebut
berkata, “Sibukkanlah anak-anak kita dengan sesuatu (ajak main), kalau mereka
ingin makan malam, ajak mereka tidur. Dan apabila tamu kita masuk (ke ruang
makan), maka padamkanlah lampu. Dan tunjukkan kepadanya bahwa kita sedang makan
bersamanya. Mereka duduk bersama, tamu tersebut makan, sedangkan mereka tidur
dalam keadaan menahan lapar. Tatkala pagi, pergilah mereka berdua (sahabat dan
istrinya) menuju Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Lalu Rasulullah
shallallahu’alaihi wasallam memberitakan (pujian Allah subhanahu wata’ala
terhadap mereka berdua), “Sungguh Allah merasa heran/kagum dengan perbuatan
kalian berdua terhadap tamu kalian).”(Muttafaqun ‘alaih)
Subhanallah wa maa sya’allah, mungkin kalimat inilah yang pertama kali pantas diucapkan. Bukan hanya
Allah subhanahu wata’ala yang kagum melihat peristiwa semacam ini tentunya,
tapi siapa pun yang membaca dan mendengar kisah ini juga akan turut
terkagum-kagum. Ya, memang sangat pantas kalau mereka diistimewakan oleh Allah
subhanahu wata’ala. Kita pasti sadar dan mengakui tidak semua orang mampu
melakukan perbuatan tersebut. Terlebih lagi di tengah himpitan ekonomi yang
membuat hati kehilangan rasa belas kasihan terhadap orang yang boleh jadi jauh
lebih sulit dan susah hidupnya, karena merasa “toh saya juga susah”. Dia
lupa atau mungkin tidak tahu kalau hidup ini sebuah ujian Allah, dunia adalah
tempat berinvestasi kebaikan dan pahala. Atau mungkin dia lupa bahwa surga
diperuntukkan bagi orang-orang yang bukan saja mampu menyedekahkan hartanya
saat dia memiliki kelapangan rizki, tapi juga mampu memberikannya kepada orang
lain saat ia juga sangat membutuhkan.
Allah subhanahu wata’ala berfirman bahwa perbuatan di atas merupakan bagian dari ciri-ciri atau sifa-sifat orang yang bertakwa atau penghuni surga,
“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit.” (QS. Ali Imron: 134).
Allah subhanahu wata’ala berfirman bahwa perbuatan di atas merupakan bagian dari ciri-ciri atau sifa-sifat orang yang bertakwa atau penghuni surga,
“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit.” (QS. Ali Imron: 134).
Sifat inilah yang dikenal dengan ‘al-Itsar’, di
mana para ulama mendefinisi kannya (di antaranya Syaikh Ibnu Utsaimin) adalah
mengutamakan kepentingan orang lain atas kepentingan pribadi. Sebagaimana yang
difirmankan oleh Allah subhanahu wata’ala tentang sifat atau perbuatan yang
terpuji ini, yang dimiliki oleh para shahabat Anshar, artinya,
“Dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.”(QS. al-Hasyr: 9)
“Dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.”(QS. al-Hasyr: 9)
Hukum Seputar Al-Itsar
Tidak semua yang baik akan selamanya menjadi baik,
misalnya ketika diletakkan pada tempat yang tidak baik atau tidak sebagaimana
mestinya. Apalagi kalau hal itu dikaitkan dengan hukum-hukum syar’i atau
ditinjau dari perspektif hukum Islam. Seperti perkataan hak yang tidak
diucapkan pada tempat yang hak, maka ia tidak dikatakan dengan “al-Qoul
as-Sadid” (ucapan yang benar), karena dampaknya bukan suatu yang
mendatangkan maslahat dan kebaikan, justru sebaliknya yang ada hanya fitnah dan
madharat baik bagi orang yang mengucapkannya atau bagi orang yang
mendengarkannya. Begitu juga dengan “al-Itsar”, tidak semua mengutamakan
orang lain atas diri kita itu menjadi kebaikan atau ternilai ibadah, tatkala
mengutamakan di sini justru bertentangan dengan ketentuan-ketentuan agama yang
ada. Maka dari hal ini Syaikh Ibnu Utsaimin membagi al-Itsar menjadi 3 macam
hukumnya:
Yang pertama; Haram.
Kapan sifat atau
perbuatan yang pada asalnya adalah terpuji ini, justru dihukumi haram ketika
dilakukan. Yakni ketika seseorang mengutamakan orang lain atas dirinya dalam
perkara-perkara yang diwajibkan Allah subhanahu wata’ala atas dirinya. Contoh:
seorang yang belum berwudhu dan hanya memiliki air yang cukup untuk dirinya
sendiri, sementara ada orang lain yang juga belum berwudhu dan tidak memiliki
air. Dalam hal ini haram baginya memberikan air tersebut untuk saudaranya.
Karena kewajiban orang yang memiliki air saat masuk waktu sholat adalah
berwudhu dengan air tersebut, sedangkan saudaranya, maka gugurlah kewajiban nya
untuk berwudhu dengan air, karena ketidakadaannya. Dan dalam hal ini ia
bertayammum dengan debu sabagai ganti air.
Yang ke dua; Makruh atau Mubah
Yakni mengutamakan orang lain atas dirinya dalam
perkara-perkara yang mustahab atau sunnah. Di mana para ulama berselisih
pendapat dalam hal ini. Sebagian menghukumi makruh dan sebagian lain menghukumi
mubah, tetapi meninggalkan nya adalah lebih utama kecuali di dalamnya ada
maslahat. Contoh: seorang yang mempersilahkan orang lain pada tempatnya di shaf
yang pertama dalam shalat. Maka perbuatan seperti ini dianggap makruh oleh
sebagian ahlul ilmi. Alasannya karena orang tersebut berarti tidak mencintai
kebaikan, sedang tidak cinta kepada kebaikan adalah perbuatan yang makruh.
Sebagian lain berpendapat mubah tetapi meninggalkannya (al-itsar dalam perkara
yang mustahab) adalah lebih utama (aula) kecuali ada maslahatnya. Contoh:
seorang yang mempersilahkan bapaknya pada tempatnya di shaf pertama, karena
khawatir tersinggung dan lain sebagainya (menimbulkan fitnah), maka dalam hal
ini dibolehkan.
Yang ke tiga; Mubah
Yakni mengutamakan orang lain atas dirinya dalam
perkara-perkara yang bukan ibadah. Dan terkadang hukumnya menjadi mustahab
(sangat dianjurkan dan terpuji). Contoh seorang yang memiliki makanan dan ia
dalam keadaan lapar, sementara saat itu ada saudaranya yang juga lapar, maka
jika seorang tersebut mengutamakan saudaranya atas dirinya padahal ia juga
dalam keadaan yang sama (lapar) tentunya hal ini perbuatan yang sangat terpuji
(mahmud), sebagaimana telah disebutkan di atas dalam surat al-Hasyr ayat: 9,
bagaimana Allah subhanahu wata’ala memuji para sahabat Anshar yang memiliki
sifat al-Itsar tersebut. Dan juga seperti perbuatan seorang sahabat anshar
dalam hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam di atas yang diriwayatkan
secara Muttafaq ‘alaih.
Semoga kita semua dapat mengambil manfaat dari uraian di atas dan juga bisa meneladani sifat-sifat atau perbuatan-perbuatan terpuji yang dimiliki Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dan para sahabat beliau sehingga bisa menjadi salah satu sebab kita dicintai oleh Allah subhanahu wata’ala dan dimasukkan ke dalam surga Nya. Amin. (Abu Nabiel)
Semoga kita semua dapat mengambil manfaat dari uraian di atas dan juga bisa meneladani sifat-sifat atau perbuatan-perbuatan terpuji yang dimiliki Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dan para sahabat beliau sehingga bisa menjadi salah satu sebab kita dicintai oleh Allah subhanahu wata’ala dan dimasukkan ke dalam surga Nya. Amin. (Abu Nabiel)
Sumber:
- Tafsir Ibnu Katsir, surat al-Hasyr ayat: 9
- Riyadhush Shalihin, syarah Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin.
- Tafsir Ibnu Katsir, surat al-Hasyr ayat: 9
- Riyadhush Shalihin, syarah Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin.
———————————————————————————————————
Lembaran kita
kali ini akan mengangkat sebuah tema yang mengingatkan kita kepada salah satu
sisi kehidupan para shahabat dan pengikut mereka as salafus shalih.
Hadits-hadits yang akan kami kemukakan kepada para pembaca merupakan sebuah
sikap dan perangai yang secara langsung telah diterjemahkan oleh para shahabat
Nabi Shalallaahu alaihi wasalam di dalam kehidupan mereka. Sikap dan perilaku
tersebut tak lain adalah “itsar” yakni mendahulukan kepentingan dan kebutuhan
orang lain sekalipun dia sendiri sangat membutuhkannya, dan ini merupakan
tingkatan tertinggi dari sifat derma. Sebab memberikan sesuatu yang sangat
dibutuhkan merupakan hal yang amat berat. Allah Subhannahu wa Ta’ala telah
memuji para shahabat ra karena sikap itsar yang melekat pada diri mereka,
sebagaimana firmannya:
“Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri.Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. 59:9)
“Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri.Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. 59:9)
Itsar adalah salah satu akhlaq mulia dan luhur, ia
merupakan salah satu sifat Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam sehingga Allah
menyebut beliau sebagai ‘ala khuluqin ‘adzim, senantiasa berada di atas akhlaq
yang luhur. Maka tidak mengherankan jika para shahabat yang merupakan hasil
didikan dan gemblengan beliau menjadi manusia-manusia pilihan. Sehingga sejarah
kemanusiaan rasanya sulit sekali dapat melahirkan manusia-manusia semisal
mereka.
Hal itu sangatlah berbeda jauh dengan realita
kehidupan di masa kini, dimana egoisme, individualisme, mau menang sendiri dan
tidak memikirkan orang lain benar-benar telah melanda sebagian besar umat
manusia, tak terkecuali umat Islam pun banyak yang terkena virus ini. Asalkan
dirinya telah kaya raya, dapat menumpuk harta, hidup serba enak dan kecukupan,
maka sudah cukup, itulah kira-kira prinsip mereka. Orang lain susah, tetangga
kelaparan, miskin dan menderita itu urusan mereka sendiri, tidak ada urusan
dengan dirinya. Jangankan sampai ke tingkat itsar, sekedar sedikit membantu
atau meringankan beban saja terkadang enggan, alasannya karena harta yang
didapat adalah hasil kerja dan usahanya sendiri, sehingga sayang kalau
diberikan dengan percuma dan cuma-suma kepada orang lain. “Enak saja, saya yang
bekerja mengapa orang lain ikut-ikutan menik-matinya,” demikian kira-kira
ungkapan yang mungkin keluar dari mereka. Sungguh memprihatinkan memang.!!
Maka membuka kembali lembar kehidupan para shahabat
yang menggambarkan sikap pengorbanan, mendahulukan orang lain dan mengalah
adalah sangat perlu bagi kita, apalagi ketika krisis dan kemiskinan tengah
melanda bangsa kita seperti saat ini. Dari mereka dan juga para ulama, kita
akan mendapatkan pelajaran dan teladan yang berharga, sebagaimana tersebut di
dalam riwayat-riwayat berikut ini.
Seorang Shahabat dengan Tamunya
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu bahwa
suatu ketika ada seorang tamu datang kepada Nabi Shalallaahu alaihi wasalam,
seluruh istri beliau tidak memiliki apa-apa, kecuali hanya air. Maka Nabi
Shalallaahu alaihi wasalam bersabda,
“Barang siapa di antara kalian yang mau menjamu tamu ini, maka Allah akan merahmatinya.” Seorang laki-laki kaum Anshar berdiri dan berkata, “Saya akan menjamunya wahai Rasulullah.” Maka diajaknya tamu tersebut ke rumahnya. Sesampai di rumah dia berkata kepada istrinya, “Apakah engkau masih memiliki sesuatu? Sang istri menyahut, “Tidak, selain sedikit jatah buat anak kita.” Maka diapun berkata kepada istrinya, “Bujuk dan iming-imingi anak-anak dengan sesuatu, kemudian apabila tamu kita masuk rumah matikanlah lampu dan buatlah kesan, bahwa kita juga sedang makan. Apabila nanti tamu sudah siap makan, maka kamu segera mematikan lampu tersebut. Berkata perawi, “Mereka sekeluarga hanya duduk-duduk saja (tidak makan), sedangkan tamunya makan. Lalu pada pagi harinya orang tersebut datang kepada Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam, Nabi bersabda, “Allah heran dengan tingkah kalian berdua terhadap tamu kalian tadi malam,” maka Allah menurunkan ayat (QS. Al Hasyr ayat 9).
(HR. Al Bukhari dan Muslim)
“Barang siapa di antara kalian yang mau menjamu tamu ini, maka Allah akan merahmatinya.” Seorang laki-laki kaum Anshar berdiri dan berkata, “Saya akan menjamunya wahai Rasulullah.” Maka diajaknya tamu tersebut ke rumahnya. Sesampai di rumah dia berkata kepada istrinya, “Apakah engkau masih memiliki sesuatu? Sang istri menyahut, “Tidak, selain sedikit jatah buat anak kita.” Maka diapun berkata kepada istrinya, “Bujuk dan iming-imingi anak-anak dengan sesuatu, kemudian apabila tamu kita masuk rumah matikanlah lampu dan buatlah kesan, bahwa kita juga sedang makan. Apabila nanti tamu sudah siap makan, maka kamu segera mematikan lampu tersebut. Berkata perawi, “Mereka sekeluarga hanya duduk-duduk saja (tidak makan), sedangkan tamunya makan. Lalu pada pagi harinya orang tersebut datang kepada Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam, Nabi bersabda, “Allah heran dengan tingkah kalian berdua terhadap tamu kalian tadi malam,” maka Allah menurunkan ayat (QS. Al Hasyr ayat 9).
(HR. Al Bukhari dan Muslim)
Kisah Sa’ad bin ar-Rabi’ dengan Abdur Rahman bin Auf
Abdur Rahman bin Auf mengisahkan, “Ketika kami sampai
di Madinah, Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam mempersaudarakan aku dengan
Sa’ad bin ar Rabi’, maka Sa’ad bin ar Rabi’ mengatakan, “Sesungguhnya aku
adalah orang Anshar yang paling kaya, maka aku akan bagikan untukmu separuh
hartaku, dan silakan kau pilih mana di antara dua istriku yang kau inginkan,
maka akan aku lepaskan dia untuk engkau nikahi. Perawi mengatakan, “Abdur
Rahman berkata, “Tidak usah, aku tidak membutuhkan yang demikian itu.”
(HR al Bukhari dan Muslim, lafal hadits milik al Bukhari)
(HR al Bukhari dan Muslim, lafal hadits milik al Bukhari)
Umar Ibnul Khaththab dengan saudaranya Zaid Ibnul
Khaththab
Diriwayatkan dari Abdullah Ibnu Umarzdia berkata,
“Umar bin Khaththab berkata kepada saudaranya Zaid Ibnul Khaththab pada waktu
perang Uhud,” Aku bersumpah agar kamu mau memakai baju besiku ini, maka Zaid
pun memakai baju besi itu namun ia melepaskannya lagi. Maka Umar berkata
kepadanya, “Ada apa denganmu (mengapa kau lepas)?“ Maka zaid menjawab, “Aku
menghendaki terhadap diriku sebagaimana yang engkau kehendaki terhadap dirimu.”
(HR Ibnu Sa’d dan ath Thabrani dalam al Ausath)
(HR Ibnu Sa’d dan ath Thabrani dalam al Ausath)
[Tiga Shahabat Menjelang Naza'
Dari Abdullah bin Mush’ab Az Zubaidi dan Hubaib bin
Abi Tsabit, keduanya menceritakan, “Telah syahid pada perang Yarmuk al-Harits
bin Hisyam, Ikrimah bin Abu Jahal dan Suhail bin Amr. Mereka ketika itu akan
diberi minum, sedangkan mereka dalam keadaan kritis, namun kesemuanya saling
menolak. Ketika salah satu dari mereka akan diberi minum dia berkata, “Berikan
dahulu kepada si fulan, demikian seterusnya sehingga semuanya meninggal dan
mereka belum sempat meminum air itu. Dalam versi lain perawi menceritakan,
“Ikrimah meminta air minum, kemudian ia melihat Suhail sedang memandangnya,
maka Ikrimah berkata, “Berikan air itu kepadanya.” Dan ketika itu Suhail juga
melihat al-Harits sedang melihatnya, maka iapun berkata, “Berikan air itu
kepadanya (al Harits). Namun belum sampai air itu kepada al Harits, ternyata
ketiganya telah mening-gal tanpa sempat merasakan air tersebut (sedikitpun).
(HR Ibnu Sa’ad dalam ath Thabaqat dan Ibnu Abdil Barr dalam at Tamhid, namun Ibnu Sa’ad menyebutkan Iyas bin Abi Rabi’ah sebagai ganti Suhail bin Amr)
(HR Ibnu Sa’ad dalam ath Thabaqat dan Ibnu Abdil Barr dalam at Tamhid, namun Ibnu Sa’ad menyebutkan Iyas bin Abi Rabi’ah sebagai ganti Suhail bin Amr)
Abu Thalhah dengan Nabi Shalallaahu alaihi wasalam
Diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa Abu Thalhah
pada perang Uhud menjadi pasukan panah dengan posisi di depan Nabi Shalallaahu
alaihi wasalam, dia memang seorang yang ahli memanah. Apabila Abu Thalhah
memanah maka Rasulullah memperhatikan kemana sasaran anak panahnya mengena.
Maka Abu Thalhah mengangkat dadanya (untuk melindungi Nabi) seraya berkata,
“Begini wahai Rasulullah, supaya engkau tidak terkena sasaraan panah musuh,
biarlah yang terkena adalah leherku bukan lehermu.”
(HR Ahmad dan selainnya, sanadnya shahih)
(HR Ahmad dan selainnya, sanadnya shahih)
Hadiah Kembali Kepada si Pemberi
Dari Ibnu Umar Radhiallaahu anhu berkata, “Salah
seorang dari shahabat Nabi Shalallaahu alaihi wasalam diberi hadiah kepala
kambing, dia lalu berkata, “Sesungguhnya fulan dan keluarganya lebih
membutuhkan ini daripada kita.” Ibnu Umar mengatakan, “Maka ia kirimkan hadiah
tersebut kepada yang lain, dan secara terus menerus hadiah itu di kirimkan dari
satu orang kepada yang lain hingga berputar sampai tujuh rumah, dan akhirnya
kembali kepada orang yang pertama kali memberikan.”
(Riwayat al Baihaqi dalam asy Syu’ab 3/259)
(Riwayat al Baihaqi dalam asy Syu’ab 3/259)
Ibnu Umar dan Pengemis
Nafi’ maula (klien) Ibnu Umar meriwayatkan, “Ibnu Umar
suatu ketika sakit, dia sangat menginginkan anggur pada awal musimnya. Maka dia
mengutus Shafiyah (istrinya) dengan membawa satu dirham untuk membeli anggur
segar. Ketika pelayan (utusan) mengantarkan anggur, dia diikuti oleh seorang
pengemis. Setelah sampai di pintu rumah, maka utusan masuk. Dari luar berkata
pengemis, “Ada pengemis.” Maka Ibnu Umar berkata, “Berikan anggur itu
kepadanya.” Maka utusan itu memberikan anggur tersebut kepada si pengemis.(HR
al Baihaqi dalam asy Syu’ab 3/260).
Dan demikian itu terulang hingga dua kali, sehingga Shafiyah meminta agar pengemis itu tidak kembali lagi untuk ketiga kalinya.
Dan demikian itu terulang hingga dua kali, sehingga Shafiyah meminta agar pengemis itu tidak kembali lagi untuk ketiga kalinya.
Ummul Mukminin Aisyah Radhiallaahu anha dan Orang
Miskin
Anas bin Malik meriwayatkan dari Aisyah Radhiallaahu
anha, bahwa ada seorang miskin meminta-minta kepadanya padahal dia sedang
berpuasa, sementara di rumahnya tidak ada makanan selain sekerat roti kering,
berkata Aisyah kepada pembantunya, “Berikan roti itu kepadanya,” si pembantu
menyahut, “Anda nanti tidak memiliki apa-apa untuk berbuka puasa. Maka beliau
berkata lagi, “Berikan roti itu kepadanya.” Perawi mengatakan, “Maka pembantu
itu melakukannya, dan dia berkata, “Belum menjelang sore ada salah satu dari
keluarga Nabi, atau seseorang yang pernah memberi hadiah mengantarkan daging
kambing (masak) yang telah ia bungkus. Maka beliau memanggilku dan berkata,
“Makanlah engkau, ini lebih baik daripada rotimu tadi.”
(HR Malik dalam al Muwaththa’ 2/997)
(HR Malik dalam al Muwaththa’ 2/997)
Bersama Para Salaf.
- Al-Haitsam bin Jamil meriwayatkan bahwa Fudhail bin Marzuq datang kepada al Hasan bin Huyaiy karena ada kebutuhan yang sangat mendesak, sedangkan dia tidak punya apa-apa. Maka al Hasan memberikan enam dirham dan dia memberitahukan, bahwa ia tidak memiliki selain itu. Maka Fudhail berkata, “Subhanallah, Saya mengambil semuanya sedangkan engkau tidak punya yang lain?” Namun al Hasan enggan mengambil semua nya, dan Fudhail juga enggan. Akhirnya dinar itu dibagi dua, dia ambil tiga dinar dan dia tinggalkan tiga dinar.(Tahdzib al Kamal 23/308)
- Diriwayatkan dari Yahya bin Hilal al Warraq dia berkata,”Saya datang kepada Muhammad bin Abdullah bin Numair untuk mengadukan sesuatu kepadanya, maka dia mengeluarkan empat atau lima dirham seraya berkata, “Ini separuh harta yang ku miliki. Dan dalam kesempatan lain aku mendatangi Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal, dia mengeluarkan empat dirham dan berkata, “Ini keseluruhan yang aku miliki.” (riwayat Ibnul Jauzi dalam Manaqib Imam Ahmad hal 320)
- Dari Aun bin Abdullah dia berkata, “Seseorang
yang sedang berpuasa berteduh, ketika menjelang berbuka seorang pengemis
datang kepadanya, ketika itu dia memiliki dua potong kue. Maka salah
satunya diberikan kepada si pengemis, namun sejenak ia berkata, “Sepotong
tidaklah membuatnya kenyang, dan sepotong lagi tidak membuatku kenyang,
maka kenyang salah satu lebih baik daripada kedua-duanya lapar.” Akhirnya
ia berikan yang sepotong lagi kepada si pengemis. Kemudian ketika tidur
dia bermimpi didatangi seseorang dan berkata, “Min-talah apa saja yang kau
kehendaki.” Dia menjawab, “Aku minta ampunan. Orang tersebut berkata,
“Allah telah melakukan itu untukmu, mintalah yang lain lagi!” Dia berkata,
“Aku memohon agar orang-orang mendapatkan pertolongan.” (riwayat ad
Dainuri dalam al Mujalasah 3/47)
Wallahu a’lam bish shawab
Sumber : Kutaib
“Mawaaqif min Itsar as-Shahabah was salafus shaleh” al-Qism al-Ilmi Darul
Wathan, bittasharruf wazziyadah (Ibnu Djawari) (18 Sya’ban 1424 H)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar