Metode
untuk mengatasi kekuasaan nafsu ammarah atas hati seorang mukmin adalah dengan
selalu mengintrospeksi dan menyelisihinya. Imam Ahmad meriwayatkan, Umar bin
Khaththab berkata, “Hisablah dirimu sebelum dihisab! Sesungguhnya berintropeksi
bagi kalian pada hari ini lebih ringan daripada hisab di kemudian hari. Begitu
juga dengan hari ‘aradl (penampakan amal) yang agung.”
Hasan
al-Bashri berkata, “Seorang mukmin itu pemimpin bagi dirinya sendiri. Ia
mengintrospeksi dirinya karena Allah. Sesungguhnya hisab pada hari kiamat nanti
akan ringan bagi mereka yang telah mengadakannya di dunia. Dan sebaliknya hisab
akan berat bagi kaum yang menempuh urusan ini tanpa pernah berintrospeksi.
Seorang mukmin itu bisa saja dikejutkan oleh sesuatu dan ia takjub kepadanya.
Lalu berkatalah ia, ‘Demi Allah, aku benar-benar menginginkanmu. Begitupun kamu
adalah bagian dari kebutuhanku. Tetapi, allah tidak memberi alasan bagiku untuk
mencapaimu. Duhai, ada jurang diantara kau dan aku!’ Maka sesuatu itu pun
lenyap dari hadapannya. Kemudian si mukmin akan kembali kepada dirinya dan
berkata, ‘aku tidak menginginkan hal ini! Apa peduliku dengan semua ini! Demi
Allah aku tidak akan mengulanginya selama-lamanya!’ Orang-orang yang beriman
adalah orang-orang yang ditopang oleh Al-Qur’an. Al-Qur’an menghalangi
kehancurannya. Seorang mukmin adalah tawanan di dunia yang berusaha membebaskan
diri (menuju negerinya: akhirat). Dia tidak merasa aman sampai berjumpa dengan
Allah. Dia tahu bahwa pendengaran, penglihatan, lisan, dan anggota badan, semuanya
akan dimintai pertanggungjawaban.”
Malik bin
Dinar bertutur,”Semoga Allah merahmati seseorang yang berkata kepada diri
(nafsu)nya, ‘Bukankah kamu pelaku ini? Bukankah kamu pelaku itu?’ Lalu ia
mencelanya dan mengalahkannya. Kemudian dia memulazamahkan dirinya kepada kitab
Allah, sehingga menjadi pemimpinnya.”
Adalah benar
bagi setiap orang yang beriman kepada Allah subhanahu wa taala dan hari akhir
untuk tidak melupakan introspeksi kepada nafsunya, menyempitkan ruang geraknya,
dan menahan gejolaknya. Sehingga, setiap hembusan nafas adalah mutiara yang
bernilai tinggi, dapat ditukar dengan perbendaharaan yang kenikmatannya tak
akan pernah sirna sepanjang masa. Menyia-nyiakan nafas ini, atau menukarnya
dengan sesuatu yang mendatangkan kecelakaan adalah kerugian yang sangat besar.
Tidak dapat mentolerirnya kecuali manusia paling bodoh dan paling tolol. Hanya
saja, hakekat kerugian ini baru benar-benar tampak nanti di hari kiamat.
“Pada hari
setiap jiwa mendapati segala kebaikan yang dilakukannya dihadirkan dan juga
segala kejahatan yang dilakukannya. Ia ingin ada penghalang yang panjang antara
dia dan kejahatannya.”(QS Ali Imran: 30)
Muhasabah
(menginstrospeksi diri) itu ada dua macam, sebelum beramal dan sesudahnya.
Muhasabah
sebelum beramal yaitu hendaknya seseorang berhenti sejenak, merenung di saat
pertama munculnya keinginan untuk melakukan sesuatu. Tidak bersegera kepadanya
sampai benar-benar jelas baginya bahwa melakukannya lebih baik daripada
meninggalkannya.
Hasan
al-Bashri berkata, “Semoga Allah merahmati seorang hamba yang berpikir di saat
pertama ia ingin melakukan sesuatu. Jika itu karena Allah ia lanjutkan dan jika
bukan karena-Nya ia menangguhkannya.”
Sebagian ulama
menjelaskan penuturan al-Hasan ini dengan, ‘Apabila diri tergerak untuk
melakukan sesuatu, pertama-tama ia harus merenung, apakah amalan itu mampu ia
kerjakan atau tidak. Jika tidak ada kemampuan untuk itu hendaknya ia berhenti.
Tetapi jika ia mampu, hendaknya ia berpikir, apakah melakukannya lebih baik
daripada meninggalkannya, ataukah sebaliknya. Jika yang ada adalah kemungkinan
kedua, maka ia mesti meninggalkannya. Tetapi jika yang pertama, hendaknya ia
bertanya, apakah faktor pendorongnya adalah untuk mendapatkan wajah Allah
subhanahu wa ta’ala dan pahalanya, ataukah untuk mendapatkan kehormatan, pujian
dan harta benda. Jika jawaban yang kedua yang muncul, hendaknya ia
meninggalkannya. Meskipun jika ia melakukannya ia akan mendapatkan apa yang
dicarinya. Ini sebagai pelatihan bagi diri agar tidak terbiasa dengan
kesyirikan dan supaya takut beramal untuk selain Allah.
Semakin takut
seseorang untuk beramal karena selain Allah, semakin ringan baginya untuk
beramal karena Allah subhanahu wa ta’ala. Tetapi jika yang muncul adalah
jawaban yang pertama, sekali lagi ia harus bertanya, apakah dia mendapatkan
bantuan untuk itu? Atau adakah teman-teman yang akan membantu dan menolongnya-
jika amalan itu tidak bisa dikerjakan sendirian? Jika tidak ada, ia harus
menahan diri sebagaimana Nabi shalallahu alaihi wa sallam telah menahan diri
dari memerangi musyrikin Mekah sampai terkumpul kekuatan dan kaum penolong.
Adapun jika ia dibantu, hendaknya ia maju beramal, dengan izin Allah subhanahu
wa ta’ala ia akan mendapat kemenangan. Dan adalah kemenangan itu tidak akan
terlepas kecuali jika salah satu dari perkara-perkara di atas terlepas. Sekali
lagi, dengan mengadakan hal-hal di atas kemenangan tidak akan terlepas. Itulah
empat perkara yang harus dicermati oleh seorang hamba sebelum ia beramal.
Muhasabah
sesudah beramal itu ada tiga:
1. Introspeksi diri atas berbagai ketaatan yang telah dilalaikan, yang itu adalah hak Allah subhanahu wa ta’ala. Bahwa ia telah melaksanakannya dengan serampangan, tidak semestinya. Padahal hak Allah subhanahu wata’ala berkaitan dengan satu bentuk ketaatan itu ada enam. Yaitu, ikhlas dan setia kepada Allah subhanahu wa ta’ala di dalamnya, mengikuti Rasulullah shalallahu alaihi wa salam, menyaksikannya dengan persaksian ihsan, menyaksikannya sebagai anugerah Allah subhanahu wa ta’ala baginya, dan menyaksikan kelalaian dirinya di dalam mengamalkannya. Demikian, ia harus melihat apakah dirinya telah memenuhi keseluruhannya?
1. Introspeksi diri atas berbagai ketaatan yang telah dilalaikan, yang itu adalah hak Allah subhanahu wa ta’ala. Bahwa ia telah melaksanakannya dengan serampangan, tidak semestinya. Padahal hak Allah subhanahu wata’ala berkaitan dengan satu bentuk ketaatan itu ada enam. Yaitu, ikhlas dan setia kepada Allah subhanahu wa ta’ala di dalamnya, mengikuti Rasulullah shalallahu alaihi wa salam, menyaksikannya dengan persaksian ihsan, menyaksikannya sebagai anugerah Allah subhanahu wa ta’ala baginya, dan menyaksikan kelalaian dirinya di dalam mengamalkannya. Demikian, ia harus melihat apakah dirinya telah memenuhi keseluruhannya?
2. Introspeksi
diri atas setiap amalan yang lebih baik ditinggalkan daripada dikerjakan.
3. Introspeksi diri atas perkara yang mubah, karena apa ia melakukannya. Apakah dalam rangka mengharap Allah subhanahu wa ta’ala dan akhirat, sehingga ia beruntung? Ataukah untuk mengharapkan dunia dan keserbabinasaannya, sehingga ia merugi?
3. Introspeksi diri atas perkara yang mubah, karena apa ia melakukannya. Apakah dalam rangka mengharap Allah subhanahu wa ta’ala dan akhirat, sehingga ia beruntung? Ataukah untuk mengharapkan dunia dan keserbabinasaannya, sehingga ia merugi?
Akhir dari
perkara yang dilalaikan, tidak disertai dengan muhasabah, dibiarkan begitu
saja, dianggap mudah dan disepelekan adalah kehancuran. Ini adalah keadaan
orang-orang yang tertipu. Ia pejamkan matanya dari berbagai akibat kebejatannya
sambil berharap Allah subhanahu wa ta’ala mengampuninya. Ia tidak pernah peduli
kepada muhasabah dan akibat kejahatannya. Pun jika ia melakukannya, dengan
segera ia akan berbuat dosa, menekuninya dan ia akan sangat kesulitan
meninggalkannya.
Kesimpulan
dari uraian ini, hendaknya seseorang itu mengintrospeksi diri lebih dahulu pada
hal-hal yang fardlu. Bila ia melihat ada kekurangan padanya, ia akan
melengkapinya dengan qadla’ (penggantian) atau ishlah (perbaikan). Lalu kepada
hal-hal yang diharamkan. Bila ia merasa pernah melakukannya, ia pun bersegera
untuk bertaubat, beristighfar, dan mengamalkan perbuatan-perbuatan baik yang
dapat menghapuskan dosa. Kemudian kepada kealpaan. Bila ia mendapati dirinya
telah alpa berkenaan dengan tujuan penciptaannya, maka ia segera memperbanyak
dzikir dan menghadap Allah subhahanu wa ta’ala. Lalu kepada ucapan-ucapannya,
atau kemana saja kakinya pernah berjalan, atau apa saja yang tangannya pernah
memegang, atau telinganya pernah mendengar. Apa yang diinginkan dari semua ini?
Mengapa ia melakukannya? Untuk siapa? Dan sesuaikah dengan petunjuk?
Sesungguhnya
setiap gerakan atau ucapan itu akan dihadapkan pada dua pertanyaan, untuk siapa
dikerjakan? dan bagaimana cara pengerjaannya? Pertanyaan pertama tentang ikhlas
dan yang kedua tentang mutaba’ah (kesesuaian dengan sunnah)
Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Supaya (Allah) memintai pertanggungjawaban orang-orang yang benar tentang kebenaran mereka.” (QS Al-Ahzab 8).
“Supaya (Allah) memintai pertanggungjawaban orang-orang yang benar tentang kebenaran mereka.” (QS Al-Ahzab 8).
Apabila
orang-orang yang benar saja dimintai pertanggungjawaban atas kebenarannya, dan
dihisab atasnya, lalu bagaimana dengan orang-orang yang dusta?
Faedah
Muhasabah
1. Mengetahui
aib diri
Barangsiapa tidak mengetahui aib dirinya sendiri, tidak mungkin mampu membuangnya. Yunus bin ‘Ubaid berkata, “Aku benar-benar mendapati seratus bentuk kebajikan. Tetapi kulihat, tidak ada satu pun yang ada pada diriku.”
Barangsiapa tidak mengetahui aib dirinya sendiri, tidak mungkin mampu membuangnya. Yunus bin ‘Ubaid berkata, “Aku benar-benar mendapati seratus bentuk kebajikan. Tetapi kulihat, tidak ada satu pun yang ada pada diriku.”
Muhammad bin
Wasi’ berkata, “seandainya dosa-dosa itu mempunyai bau, sungguh tidak ada
seorang pun yang sanggup duduk di dekatku.”
Imam Ahmad
meriwayatkan, Abu Darda’ berkata, “Seseorang itu tidak memahami agama ini
dengan baik sampai ia membenci orang lain karena Allah subhanahu wa ta’ala,
kemudian ia kembali kepada nafsunya dan ia lebih membencinya lagi.”
2. Mengetahui
hak Allah terhadapnya.
Hal itu akan
membuatnya mencela nafsunya sendiri serta membebaskannya dari ujub dan riya’.
Juga membukakan pintu ketundukan, penghinaan diri, kepasrahan dihadapan-Nya,
dan keputusasaan terhadap dirinya sendiri. Sesungguhnya keselamatan itu hanya
dapat dicapai dengan ampunan dari Allah subhanahu wa ta’ala dan rahmat-Nya.
Merupakan hak Allah subhanahu wa ta’ala untuk ditaati dan tidak dimaksiati,
diingat dan tidak dilupakan, serta disyukuri dan tidak dikafiri.
Diambil dari:
Tazkiyah An-Nafs, Konsep Penyucian Jiwa Menurut Para Salaf; Ibnu Qoyyim
al-Jauziyah, Ibnu Rajab al-Hambali, Imam Ghazali; Penerbit Pustaka Arafah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar