kategori-akhlak

Rabu, 11 Desember 2013

Pengaruh Keimanan Terhadap Kehidupan Seorang Muslim

بسم الله الرحمن الرحيم
الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلىَ رَسُوْلِ لله وَعَلىَ آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالاَهُ، أَمَّا بَعْدُ
Mengenal lebih dalam iman dan rukun-rukunnya menjadi keharusan. Karena buah dari memahami keimanan secara benar akan berdampak langsung bagi kehidupan seseorang.
Dalam kitab-Nya, Allah subhanahu wata’ala telah menyebutkan banyak sekali hal tentang keimanan, antara lain definisinya yang Allah subhanahu wata’ala firmankan :
“Rasul telah beriman kepada Al-Qur`an yang diturunkan kepadanya dari Rabbnya. Demikian pula orang-orang yang beriman semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): ‘Kami tidak membeda-bedakan antara seorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya.’ Dan mereka mengatakan: ‘Kami dengar dan kami taat.’ (Mereka berdoa): ‘Ampunilah kami ya Rabb kami dan kepada Engkaulah tempat kembali’.” (Al-Baqarah: 285)
Allah subhanahu wata’ala berfirman (yang artinya red):
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” (An-Nisa`: 136)
Kemudian Allah subhanahu wata’ala juga menjelaskan bahwa keimanan adalah karunia yang Allah subhanahu wata’ala berikan untuk Rasul-Nya.
Allah subhanahu wata’ala berfirman (yang artinya red):
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al-Qur`an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab (Al-Qur`an) dan tidak pula mengetahui apa iman itu, tetapi Kami menjadikan Al-Qur`an itu dengan cahaya, yang Kami tunjuki dengannya siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Asy-Syura: 52)
Selanjutnya Allah subhanahu wata’ala menerangkan balasan yang diperoleh orang-orang beriman di dunia maupun di akhirat. Adapun balasan di dunia, Allah subhanahu wata’ala berfirman (yang artinya red):
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan ke dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.” (Maryam: 96)
Sedangkan balasan di akhirat, Allah subhanahu wata’ala berfirman (yang artinya red):
“Dan orang-orang yang beriman dan beramal shalih, benar-benar akan Kami hapuskan dari mereka dosa-dosa mereka dan benar-benar akan Kami beri mereka balasan yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.” (Al-‘Ankabut: 7)
Iman adalah agama. Nabi subhanahu wata’ala telah membagi agama menjadi tiga tingkatan (yaitu islam, iman dan ihsan red). Dalam sebuah hadits, ‘Umar Ibnul Khaththab radiyallahu’anhu berkata: “Ketika kami duduk-duduk di samping Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam, tiba-tiba datang seorang laki-laki yang berpakaian sangat putih dan berambut sangat hitam. Pada dirinya tidak nampak bekas melakukan perjalanan jauh dan tak seorangpun di antara kami mengenalnya. Ia pun duduk di hadapan Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam dengan menempelkan kedua lututnya ke kedua lutut beliau sambil meletakkan dua telapak tangannya pada kedua paha beliau shallallahu ’alaihi wasallam, lantas bertanya: ‘Hai Muhammad, beritahu aku tentang Islam.’ Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam menjawab: ‘Islam adalah engkau bersaksi tidak ada sembahan yang haq kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan shaum Ramadhan serta haji ke Baitullah jika engkau punya kemampuan untuk itu.’ Laki-laki itu berkata: ‘Engkau benar’.” (‘Umar berkata): “Kami merasa heran kepadanya, ia yang bertanya namun ia juga yang membenarkannya. Selanjutnya dia bertanya: ‘Beritahu aku tentang iman.’ Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam menjawab: ‘Iman adalah engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan beriman kepada hari akhir serta kepada takdir yang baik dan yang buruknya.’ Laki-laki itupun kembali membenarkannya. Kemudian dia bertanya: ‘Beritahukan kepadaku tentang ihsan.’ Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam menjawab: “(Ihsan) adalah engkau beribadah kepada Allah seolah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, maka Dia melihatmu’.” (HR. Muslim no. 93)
Hadits ini menerangkan tentang hakikat keimanan, yaitu beriman terhadap rukun-rukunnya yang enam.
Agar kita dapat mengetahui apa dampak keimanan dalam kehidupan seorang muslim atau masyarakatnya, maka kita harus mengetahui makna-makna keimanan terhadap enam rukunnya ini.

Makna Beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
Beriman kepada Allah subhanahu wata’ala adalah hubungan yang kuat antara manusia dengan Sang Penciptanya. Hubungan itu tertanam di dalam hati, sementara hati adalah sesuatu yang berharga yang dimiliki oleh manusia, sedangkan yang paling berharga dalam hati manusia adalah keimanan.
Oleh sebab itulah, hidayah iman merupakan nikmat yang paling besar. Allah subhanahu wata’ala berfirman (yang artinya red):
“Mereka merasa telah memberi nikmat kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah: ‘Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan keislamanmu. Sebenarnya Allah Dialah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjuki kamu kepada keimanan, jika kamu adalah orang-orang yang benar’.” (Al-Hujurat: 17)
Allah subhanahu wata’ala berfirman (yang artinya red):
“Orang-orang Arab Badui itu berkata: ‘Kami telah beriman.’ Katakanlah (kepada mereka): ‘Kamu belum beriman, tetapi katakanlah: ‘Kami telah tunduk.’ Karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu, dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tiada akan mengurangi sedikitpun (pahala) amalanmu, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’.” (Al-Hujurat: 14)
Beriman kepada Allah subhanahu wata’ala meliputi iman terhadap wujud-Nya. Secara pasti, fitrah maupun akal manusia mengakui eksistensi Allah subhanahu wata’ala sebagai pencipta dan tidak mungkin segala sesuatu yang ada terjadi dengan sendirinya. Terlebih segala sesuatu yang ada ini, yang sudah tertata sedemikian rupa, pada asalnya dalam keadaan tidak ada. Maka tidak akan mungkin tercipta begitu saja dalam keadaan sudah sempurna. Ini semua memberikan ketentuan yang jelas akan wujud Allah subhanahu wata’ala Rabb semesta alam.
Di dalam Al-Qur`an Allah subhanahu wata’ala berfirman (yang artinya red):
“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu? Sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan). Ataukah di sisi mereka ada perbendaharaan Rabbmu atau merekakah yang berkuasa?” (Ath-Thur: 35-37)
Kemudian iman kepada Allah subhanahu wata’ala juga mencakup iman terhadap Rububiyah-Nya. Kata Rububiyyah adalah penisbatan kepada nama Allah ‘Ar-Rabb’ yang bermakna Pendidik, Penolong, Pemelihara, Yang Merajai, dan lain sebagainya.
Iman kepada Rububiyyah Allah maknanya beriman bahwa Allah Maha Pencipta, Yang Menguasai dan Mengatur segala urusan, Menghidupkan dan Mematikan serta perbuatan-perbuatan Allah subhanahu wata’ala lainnya. Maka keimanan dalam Rububiyyah ini mengandung beberapa hal, antara lain iman terhadap perbuatan-perbuatan Allah subhanahu wata’ala secara umum, iman terhadap qadha dan qadar Allah subhanahu wata’ala serta iman terhadap keesaan Dzat-Nya. (Al-Madkhal li Ad-Dirasatil ‘Aqidah Al-Islamiyyah hal. 87)
Allah subhanahu wata’ala berfirman (yang artinya red):
“Ingatlah menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Rabb semesta alam.” (Al-A’raf: 54)
“Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka: ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?’ Niscaya mereka akan menjawab: ‘Semuanya diciptakan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui’.” (Az-Zukhruf: 9)
“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: ‘Siapakah yang menciptakan mereka’, niscaya mereka menjawab: ‘Allah’, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah subhanahu wata’ala)?” (Az-Zukhruf: 87)
Selanjutnya, yang termasuk bagian dari keimanan kepada Allah subhanahu wata’ala adalah iman terhadap Uluhiyyah dan Asma` wa Shifat-Nya. Iman terhadap uluhiyyah Allah subhanahu wata’ala maknanya ialah meyakini bahwa Allah subhanahu wata’ala sebagai satu-satunya sesembahan yang haq, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dengan kata lain, mengesakan Allah subhanahu wata’ala dalam ibadah dan ketaatan.
Allah subhanahu wata’ala berfirman (yang artinya red):
“Dan Ilah kalian adalah Ilah Yang Maha Esa, tidak ada Ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (Al-Baqarah: 163)
“Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (sesembahan) Yang Haq, dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah adalah yang batil, dan sesungguhnya Allah Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Al-Hajj: 62)
Adapun iman terhadap Asma` wa Shifat-Nya adalah meyakini dan menetapkan apa yang terdapat dalam kitab Allah subhanahu wata’ala dan Sunnah Rasulullah berupa nama-nama-Nya yang paling baik dan sifat-sifat-Nya yang paling tinggi. Allah subhanahu wata’ala berfirman (yang artinya red):
“Hanya milik Allah Asma`ul Husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asma`ul Husna itu.” (Al-A’raf: 180)
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syura: 11)

Buah Keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
Keimanan yang benar kepada Allah subhanahu wata’ala akan menumbuhkan rasa cinta yang kuat kepada-Nya dan mengagungkan-Nya. Juga akan nampak sekali dalam diri setiap manusia rasa khasy-yah dan takut dari-Nya serta selalu berharap kepada-Nya, yang kemudian mendorongnya untuk beribadah.
Sebagian salaf berkata: “Siapa yang menyembah Allah subhanahu wata’ala karena rasa cinta semata, maka dia seorang zindiq. Dan siapa yang menyembah-Nya karena penuh harap (raja`) semata, maka dia seorang Murji`. Sedangkan yang menyembah-Nya karena rasa takut saja, maka dia Khariji. Adapun yang menyembah-Nya karena cinta, takut, dan penuh harap, maka dia seorang mukmin ahli tauhid.” (Al-Madkhal li Ad-Dirasatil Aqidah Al-Islamiyyah hal. 120)

Makna Beriman kepada Para Malaikat
Kata malaikat adalah bentuk jamak dari malak. Asal katanya adalah ma`lak, dari kata Al-Alukah yang bermakna delegasi. (Shahih Al-Bukhari bi syarhil Imam Al-Kirmani, 1/194)
Iman kepada malaikat meliputi keimanan terhadap seluruh malaikat, baik yang diketahui nama dan tugasnya ataupun tidak. Juga mengimani bahwasanya mereka adalah makhluk yang Allah subhanahu wata’ala ciptakan dari cahaya dengan tujuan agar beribadah kepada-Nya dan menjalankan perintah-Nya. Allah subhanahu wata’ala berfirman (yang artinya red):
“Dan (malaikat-malaikat) yang di sisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya dan tiada pula merasa letih. Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya.” (Al-Anbiya`: 19-20)

Buah Beriman kepada Malaikat
Ketika seorang muslim meyakini adanya makhluk yang disebut malaikat dengan keyakinan yang benar, maka akan tertanam dalam jiwanya pengetahuan terhadap keagungan Allah subhanahu wata’ala, kekuatan dan kekuasaan-Nya. Sebab kebesaran yang ada pada makhluk adalah gambaran akan kebesaran sang Khaliq. Selanjutnya akan muncul pula darinya rasa syukur karena perhatian Allah subhanahu wata’ala atas segenap Bani Adam, di mana Allah subhanahu wata’ala menugasi mereka untuk menjaganya dan mencatat amalannya serta kemaslahatan lainnya. Di samping itu, tumbuh pula kecintaan kepada para malaikat atas apa yang mereka lakukan berupa beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala. (Tsalatsatul Ushul bi Syarh Asy-Syaikh Ibni ‘Utsaimin hal. 92)

Makna Iman kepada Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala
Iman kepada kitab-kitab Allah subhanahu wata’ala meliputi keimanan akan beberapa hal. Di antaranya, beriman bahwa semuanya turun dari sisi Allah subhanahu wata’ala, beriman kepada kitab-kitab-Nya yang telah diketahui namanya, seperti Al-Qur`an, Taurat, Injil, dan Zabur, maupun yang tidak diketahui namanya. Serta membenarkan berita-beritanya, seperti pemberitaan dalam Al-Qur`an dan kitab-kitab sebelumnya yang tidak diubah atau dipalingkan maknanya. Selanjutnya mengamalkan hukum-hukumnya yang tidak dihapus (mansukh), ridha, dan menerima sepenuhnya. (Tsalatsatul Ushul bi Syarh Ibni Utsaimin, hal. 94)
Kitab-kitab sebelum Al-Qur`an semuanya telah di-mansukh (dihapus) oleh Al-Qur`an. Karena itu tidak boleh beramal dengan hukum yang ada pada kitab-kitab tersebut kecuali yang shahih darinya dan diakui oleh Al-Qur`an.

Buah Iman kepada Kitab-Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala
Seorang hamba akan semakin menyadari betapa besar perhatian Allah subhanahu wata’ala, sehingga Dia menurunkan kitab yang menjadi petunjuk bagi setiap kaum. Inilah dampak terbesar dari keimanan kepada seluruh kitab-Nya, di samping hikmah yang nyata berupa syariat yang Allah subhanahu wata’ala tetapkan untuk setiap kaum yang mencocoki keadaan mereka.
Allah subhanahu wata’ala berfirman (yang artinya red):
“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.” (Al-Ma`idah: 48)

Makna Beriman kepada Rasul-Rasul Allah Subhanahu wa Ta’ala
Para rasul Allah subhanahu wata’ala adalah orang-orang pilihan yang diutus kepada kita untuk menyampaikan syariat-Nya. Karena itu beriman kepada para rasul berarti mengimani bahwa risalah yang mereka bawa adalah haq dari Allah subhanahu wata’ala, beriman kepada tiap-tiap dari mereka secara menyeluruh baik yang diketahui namanya maupun yang tidak, tanpa membeda-bedakannya, kemudian membenarkan seluruh berita yang shahih yang telah mereka sampaikan, serta mengamalkan syariat Rasul (Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam) yang telah diutus ke tengah-tengah kita.

Buah Beriman kepada Rasul Allah Subhanahu wa Ta’ala
Tanpa kehadiran seorang rasul, tak seorangpun di antara manusia yang mengetahui bagaimana cara menyembah Allah subhanahu wata’ala dan menuju jalan Allah subhanahu wata’ala yang lurus. Padahal itu semua merupakan tugas yang harus dijalankan oleh segenap manusia. Keimanan kepada para rasul juga membuat seorang muslim menguatkan rasa syukurnya akan nikmat yang besar ini, karena ia mengetahui kasih sayang dan perhatian Allah subhanahu wata’ala kepadanya. Rasa cinta, pujian, dan sanjungan yang pantaspun akan mengalir pada para rasul karena mereka adalah utusan Allah subhanahu wata’ala, beribadah kepada-Nya, menyampaikan risalah-Nya, dan penasihat bagi umatnya.

Makna Beriman kepada Hari Akhir
Beriman kepada hari akhir maknanya adalah keyakinan yang pasti bahwa hari akhir itu haq adanya, tiada keraguan tentangnya. Allah subhanahu wata’ala berfirman (yang artinya red):
“Allah, tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Sesungguhnya Dia akan mengumpulkan kamu di hari kiamat, yang tidak ada keraguan terjadinya. Dan siapakah yang lebih benar perkataannya daripada Allah?” (An-Nisa`: 87)
Keimanan ini mencakup iman terhadap hari kebangkitan setelah kematian serta iman kepada semua yang akan terjadi pada hari itu.

Buah Beriman kepada Hari Akhir
Adanya hari akhir dan beriman kepadanya tentu saja menjadi motivasi tersendiri bagi seorang muslim untuk semakin senang dan bersemangat melakukan berbagai macam ketaatan, sebagai puncak harapan terhadap pahala yang disiapkan di hari itu. Adanya siksa dan ancaman pada hari itu juga membuat seorang muslim takut dan lari dari kemaksiatan di dunia. Kemudian akan muncul kebahagiaan dalam dirinya ketika mengingat hari akhir sebagai kenikmatan dan perhiasan pengganti perhiasan dunia. (Taisirul Wushul hal. 81)

Makna Beriman kepada Takdir Baik dan Buruk
Seseorang yang beriman kepada takdir, maknanya dia harus mengimani bahwa Allah Maha Mengetahui segala sesuatu yang global maupun yang terperinci, baik yang terkait dengan perbuatan-perbuatan-Nya atau perbuatan-perbuatan hamba-Nya, beriman bahwa Allah subhanahu wata’ala telah menuliskan itu semua di Lauhul Mahfudz, beriman bahwa seluruh yang terjadi di alam ini dengan kehendak Allah subhanahu wata’ala serta beriman bahwa semua yang ada di alam ini adalah makhluk bagi Allah subhanahu wata’ala, baik dzatnya, sifatnya, dan juga gerakan-gerakannya. Dalil-dalil tentang hal ini banyak Allah subhanahu wata’ala sebutkan dalam kitab-Nya.

Buah Beriman kepada Takdir
Ketetapan Allah subhanahu wata’ala atas makhluk-Nya pasti terjadi. Sehingga iman kepada takdir menuntut seorang muslim untuk bersandar diri sepenuhnya kepada Allah subhanahu wata’ala ketika melakukan suatu sebab dan tidak bersandar kepada sebab itu sendiri. Seorang muslim tidak akan memiliki perasaan ujub tatkala mampu meraih apa yang diinginkan, karena pencapaiannya tersebut hanyalah semata-mata nikmat dari Allah subhanahu wata’ala. Bahkan hatinya akan menjadi tenang dan lega manakala takdir Allah subhanahu wata’ala menimpanya. Tidak menjadi goyah keimanannya dikarenakan lenyapnya apa-apa yang dicintai dan datangnya yang dibenci. Semuanya karena dia yakin bahwa itu terjadi dengan takdir Allah subhanahu wata’ala.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar