kategori-akhlak

Rabu, 11 Desember 2013

Raja’ [Berharap Kepada Allah]



Raja’ dan Khauf merupakan 2 sayap (janaahaan) yang dengannya terbang para muqarrabiin ke segala tempat yang terpuji. Kedua sifat ini sangat penting untuk didefinisikan, karena jika tidak akan terjadi dua kesalahan yang sangat berbahaya. Pertama, adalah sikap berlebihan (ghuluww) sebagaimana yang dialami oleh sebagian kaum sufi yang menjadi sesat karena mendalami lautan ma’rifah tanpa dilandasi oleh syari’ah yang memadai [2]. Sedangkan kesalahan yang kedua, adalah sikap mengabaikan (tafriith), sebagaimana orang-orang yang beribadah tanpa mengetahui kepada siapa ia beribadah dan tanpa merasakan kelezatan ibadahnya, sehingga ibadahnya hanyalah berupa rutinitas yang kering dan hampa dari rasa harap, cemas dan cinta. 

Raja’ adalah sikap mengharap dan menanti-nanti sesuatu yang sangat dicintai oleh si penanti. Sikap ini bukan sembarang menanti tanpa memenuhi syarat-syarat tertentu, sebab penantian tanpa memenuhi syarat ini disebut berangan-angan (tamniyyan). Orang-orang yang menanti ampunan dan rahmat ALLAH tanpa amal bukanlah Raja’ namanya, tetapi berangan-angan kosong.

Ketahuilah bahwa hati itu sering tergoda oleh dunia, sebagaimana bumi yang gersang yang mengharap turunnya hujan. Jika diibaratkan, maka hati ibarat tanah, keyakinan seseorang ibarat benihnya, kerja/amal seseorang adalah pengairan dan perawatannya, sementara hari akhirat adalah hari saat panennya. Seseorang tidak akan memanen kecuali sesuai dengan benih yang ia tanam, apakah tanaman itu padi atau semak berduri ia akan mendapat hasilnya kelak, dan subur atau tidaknya berbagai tanaman itu tergantung pada bagaimana ia mengairi dan merawatnya.

Dengan mengambil perumpamaan di atas, maka Raja’ seseorang atas ampunan ALLAH adalah sebagaimana sikap penantian sang petani terhadap hasil tanamannya, yang telah ia pilih tanahnya yang terbaik, lalu ia taburi benih yang terbaik pula, kemudian diairinya dengan jumlah yang tepat, dan dibersihkannya dari berbagai tanaman pengganggu setiap hari, sampai waktu yang sesuai untuk dipanen. Maka penantiannya inilah yang disebut Raja’.

Sedangkan petani yang datang pada sebidang tanah gersang lalu melemparkan sembarang benih kemudian duduk bersantai-santai menunggu tanpa merawat serta mengairinya, maka hal ini bukanlah Raja’ melainkan bodoh (hamqan) dan tertipu (ghuruur). Berkata Imam Ali ra tentang hal ini:
“Iman itu bukanlah angan-angan ataupun khayalan melainkan apa-apa yang menghunjam di dalam hati dan dibenarkan dalam perbuatannya.”
Maka renungkanlah wahai saudaraku !
Maka seorang hamba yang yang memilih benih iman yang terbaik, lalu mengairinya dengan air ketaatan, lalu mensucikan hatinya dari berbagai akhlaq tercela, ia tekun merawat dan membersihkannya, kemudian ia menunggu keutamaan dari ALLAH tentang hasilnya sampai tiba saat kematiannya maka penantiannya yang panjang dalam harap dan cemas inilah yang dinamakan Raja’. Berfirman ALLAH SWT:
“Orang-orang yang beriman, dan berhijrah dan berjihad dijalan ALLAH, mereka inilah yang benar-benar mengharapkan rahmat ALLAH.” (QS. Al-Baqarah, 2: 218).

Sementara orang yang tidak memilih benih imannya, tidak menyiraminya dengan air ketaatan dan membiarkan hatinya penuh kebusukan, darah dan nanah serta kehidupannya asyik mencari dan menikmati syahwat serta kelezatan duniawi lalu ia berharapkan ALLAH akan mengampuni dosa-dosanya maka orang ini bodoh dan tertipu. Berfirman ALLAH SWT tentang mereka ini:
“Maka setelah mereka digantikan dengan generasi yang mewarisi Kitab yang menjualnya dengan kerendahan, lalu mereka berkata ALLAH akan mengampuni kita.” (QS. Al’A’raaf, 7: 169).

Dan mereka juga berkata:
“Jika seandainya saya dikembalikan kepada RABB-ku maka aku akan mendapat tempat yang lebih baik dari ini.” (QS. Al-Kahfi, 18: 36).

Bersabda Nabi SAW:
“Orang yang pandai adalah yang menjual dirinya untuk beramal untuk hari akhirat, sementara orang yang bodoh adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya di dunia lalu berangan-angan kepada ALLAH akan mengampuninya.” (HR Tirmidzi 2459, Ibnu Majah 4260, Al-Baghawiy, Ahmad 4/124, Al-Hakim 1/57).

Keutamaan Raja’ yang lainnya adalah sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi SAW sbb:
“Seorang hamba ALLAH diperintahkan untuk masuk ke neraka pada hari Kiamat, maka iapun berpaling maka ditanya ALLAH SWT (padahal IA Maha Mengetahui): ‘Mengapa kamu menoleh?’ Ia menjawab: ‘Saya tidak berharap seperti ini’. ALLAH berfirman: ‘Bagaimana harapanmu?’ Jawabnya: ‘ENGKAU mengampuniku’. Maka firman ALLAH: ‘Lepaskan dia’.”

Raja’ hanya bermanfaat bagi orang yang sudah berputus asa karena dosanya sehingga meningggalkan ibadah, serta orang yang demikian khauf pada ALLAH SWT sehingga membahayakan diri dan keluarganya. Sedangkan bagi orang yang bermaksiat, sedikit ibadah dan berharap ampunan ALLAH, maka Raja’ tidak berguna, melainkan harus diberikan khauf.

Sebab-sebab Raja’ adalah pertama dengan jalan i’tibar yaitu merenungkan berbagai nikmat ALLAH yang telah ditumpahkan-NYA setiap waktu pada kita yang tiada sempat kita syukuri ditengah curahan kemaksiatan kita yang tiada henti pada-NYA, maka siapakah yang lebih lembut dan penuh kasih selain DIA? Apakah terlintas bahwa IA yang demikian lembut dan penuh kasih akan menganiaya hambanya?
Adapun jalan yang kedua adalah jalan khabar, yaitu dengan melihat firman-NYA, antara lain:

“Wahai hambaku yang telah melampaui batas pada dirinya sendiri, janganlah kamu putus asa akan rahmat ALLAH, sesungguhnya ALLAH mengampuni seluruh dosa-dosa.” (QS. Az-Zumar, 39: 53).
dan hadits-hadits Nabi SAW:

“Berfirman ALLAH SWT kepada Adam as: ‘Bangunlah! Dan masukkan orang-orang yang ahli neraka’. Jawab Adam as: ‘Labbbaik, wa sa’daik, wal-khoiro fi yadaik, ya Rabb berapa yang harus dimasukkan ke neraka?’ Jawab ALLAH SWT: ‘Dari setiap 1000, ambil 999!’ Ketika mendengar itu maka anak-anak kecil beruban, wanita hamil melahirkan dan manusia seperti mabuk (dan wanita yang menyusui melahirkan bayinya, dan kamu lihat menusia mabuk, padahal bukan mabuk melainkan adzab ALLAH di hari itu sangat keras. QS. Al-Hajj, 21: 2). Maka berkatalah manusia pada Nabi SAW: ‘Ya Rasulullah! Bagaimana ini?’ Jawab Nabi SAW: ‘Dari Ya’juj wa ma’juj 998 orang dan dari kalian 1 orang’. Maka berkatalah manusia: ‘ALLAHU Akbar!’ Maka berkatalah Nabi SAW pada para sahabat ra: ‘Demi ALLAH saya Raja’ bahwa kalian merupakan 1/4 dari ahli jannah! Demi ALLAH saya Raja’ kalian merupakan 1/3 ahli jannah! Demi ALLAH saya Raja’ kalian menjadi 1/2 ahli jannah!’ Maka semua orangpun bertakbir, dan Nabi SAW bersabda: ‘Keadaan kalian di hari itu seperti rambut putih di Sapi hitam atau seperti rambut hitam di Sapi putih’.” (HR Bukhari 6/122 dan Muslim 1/139)
Wallahu waliyyut taufiiq .
——————————————————————————–
[1] Disarikan dari Kitab Mukhtashar Minhaajul Qaasidiin, Syaikh Ahmad bin Abdirrahman bin Qudamah al-Maqdisiy rahimahullah.
[2] Lihat Kitab Talbiisu Ibliis (kesurupan Iblis), Syaikh al ‘Aalim Jamaaluddiin Ibnul Jauziy rahimahullah.
Renungan
Berikut ini adalah tulisan singkat yang saya buat untuk mengisi salah satu rubrik dalam newsletter priority di kantor saya:
Content:
Perenungan menjadi hal mewah di zaman serba instan ini. Cyberspace, jarak yang dilipat dan dunia yang berkejaran kencang, tampaknya menyudutkan perenungan pada kotak waktu yang besarnya hampir ternihilkan.
Renungan beda dengan lamunan. Merenung adalah hal produktif, yaitu menginvestasikan waktu dengan berpikir mendalam (deep thinking) untuk tercapainya perbaikan berkesinambungan (continous improvement) di masa mendatang. Dari renungan, lahirlah breakthrough dan solusi dari berbagai permasalahan. Adapun melamun maka bersifat konsumtif, yaitu membelanjakan dan memboroskan waktu untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. Dalam hadits nabawi, melamun diistilahkan dengan thūlu’l amal (panjang angan-angan).
Islam menganjurkan perenungan. Dalam teks-teks keagamaan didapati anjuran untuk merenungkan dan memikirkan ayat-ayat-Nya, baik qauliyyah, yang tertuang Kitab Suci dan hadits nabawi, maupun kauniyyah, yang terhampar dalam bentangan semesta raya. Bahkan, mungkin dapat dikatakan bahwa salah satu hikmah dianjurkannya bangun malam untuk beribadah (di antaranya shalat Tahajjud) adalah karena waktu tersebut juga merupakan momen yang paling tepat untuk merenung dan berpikir. Hal sebaliknya, terdapat kecaman bagi mereka yang tidak mau merenung dan berpikir.
Dalam dimensi yang lebih sempit, renungan kadang diistilahkan dengan muhāsabah. Secara etimologis, muhāsabah berasal dari huruf h s b yang berasosiasi dengan perhitungan atau memperhitungkan. Jadi, makna muhāsabah kurang lebih adalah membuat perhitungan terhadap diri sendiri atas kondisi dan kekurangan di masa lampau untuk koreksi, peningkatan dan perbaikan di masa mendatang, sebelum datangnya perhitungan hakiki dari Allah pada hari Kiamat. Dalam bahasa Indonesia, muhāsabah sering diterjemahkan dengan introspeksi.

Diriwayatkan bahwa `Umar ibn al-Khaththab r.a. berkata,
حَاسِبُوْا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوْا

“Buatlah perhitungan atas diri-diri kalian, sebelum kalian diperhitungkan (oleh Allah).” [Riwayat Ibn Abī Syaibah dalam al-Mushannaf VII/96/34459. Secara sanad, sebagian ahli hadits mencacat validitas riwayat tersebut. Namun tidak diragukan bahwa maknanya benar.]
Memperhitungkan kesalahan dan kekurangan diri sendiri secara jujur dan benar umumnya merupakan hal yang sulit, karena manusia sering dikalahkan oleh hawa nafsu, subyektifitas dan vested interest. Kecuali mereka yang merendahkan dirinya dengan sebenarnya di hadapan keagungan dan kemahasempurnaan Rabbnya.
Setidaknya ada lima hal yang harus diperhitungkan, yaitu sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi s.a.w. berikut:

لاَ تَزُوْلُ قَدَمَا ابْنُ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عِنْدِ رَبِّهِ حَتَّى يُسْأَلُ عَنْ خَمْسٍ: عَنْ عُمْرِهِ فِيْمَ أَفْنَاه، وَعَنْ شَبَابِهِ فِيْمَ أَبْلاَه، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيْمَ أَنْفَقَهُ، وَمَاذَا عَمِلَ فِيْمَا عَلِمَ

“Tidaklah kedua kaki seorang hamba itu bergerak dari sisi Rabbnya pada hari Kiamat, hingga ia ditanya tentang lima hal: (1) tentang umurnya, untuk apa ia gunakan; (2) tentang masa mudanya, untuk apa ia habiskan; (3) tentang hartanya, dari mana ia dapatkan, dan (4) kemana ia belanjakan harta tersebut; serta (5) apa yang ia amalkan atas hal-hal yang sudah diketahuinya.” [Riwayat at-Tirmidzi IV/612/2416 dan lain-lain.]

Tentunya kita pun tidak dilarang untuk merenung dan memperhitungkan hal-hal yang bersifat duniawi, sebagaimana firman Allah:

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari dunia, serta berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu.” [QS. Al-Qashash (28): 77.]
Zaman berlari, bulan berganti, tahun berlalu. Masa lalu adalah partikel-partikel anggota tubuh manusia yang tertanggalkan di belakang. Imam al-Hasan al-Bashri berkata,

ابْنَ آدَمَ إِنَّمَا أَنْتَ أَيَّامٌ، كُلَّمَا ذَهَبَ يَوْمُ ذَهَبَ بَعْضُكَ

Hai anak Adam, hanyasanya engkau adalah hari-hari berbilang. Jika satu hari pergi, maka hilang pula sebagian dirimu.” [Hilyah al-Auliyā' II/148.]
Akhirnya, semoga kita dapat memperhitungkan dan merenungkan jejak waktu yang telah kita lewatkan guna memperbaiki kondisi diri ke depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar