Cerdas
atau berakal dalam Al Qur’an adalah ketika berpadunya pikir dengan dzikir dalam
diri seorang muslim sejati. Pikir adalah kerja otak dan dzikir merupakan kerja
hati, hati yang sehat dan hidup yakni selalu ingat kepada Allah SWT.
Didalam
Al Qur’an penyebutan kata berakal atau berfikir tersebar tidak kurang dalam 19
ayat, Seperti Firman Allah SWT dalam QS.Ar Ra’d ayat : 19
أَفَمَنْ يَعْلَمُ أَنَّمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ الْحَقُّ كَمَنْ هُوَ أَعْمَى إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الألْبَابِ
”
Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? hanyalah orang-orang yang
berakal saja yang dapat mengambil pelajaran”
Ternyata
orang-orang yang berakal bukanlah orang-orang yang hanya mengandalkan pikir
otak saja. Bahkan orang-orang yang hanya mau menggunakan pikir saja tanpa
menggunakan hati bisa disebut sebaliknya yakni orang yang bodoh. Dan
kedudukan manusia yang mengedepankan logika pikir saja ternyata hanya
berselisih sedikit dengan seekor hewan ternak.
أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلا كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلا
“atau
Apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. mereka
itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat
jalannya (dari binatang ternak itu)” QS. Al Furqan :44
Seseorang
yang hatinya tidak hidup, akan sangat kesulitan dalam mengendalikan pikir.
Faktanya adalah banyak sekali orang-orang yang pintar menggunakan otak tetapi
tidak mau menggunakan hati. Yang terjadi adalah mereka selalu melogika apa yang
dia lihat dan ucapkan.
- “Dimanakah Allah, bukankah bumi ini berputar dengan sendirinya, sebagai bagian dari hukum alam?”
- “Jangan berkhayal, apakah mungkin tulang-belulang (andai tersisa) dari seorang manusia bisa hidup kembali bahkan berkumpul di suatu padang keadilan?”
- “Lia eden itu sama dengan Nabi Muhammad lho, sebab ketika awal berdakwah mendapat tantangan dahsyat dari umat””
- “Porno atau tidak itu sangat relatif, sebab sangat tergantung dari apa yang terpikir dalam otak manusia nya masing-masing”
- “Kerudung (jilbab) itu bagian dari budaya, jadi bukanlah suatu keharusan..yang penting tetap sopan”
- “Kebohongan yang kita lakukan ini boleh dilakukan yang penting demi kemaslahatan orang banyak..”
- “Lebih baik bapak dan ibu kita pindahkan dipanti jompo saja, selain lebih terawat maka akan lebih senang karena berkumpul dengan orang-orang yang sama dan sebaya..”
Itulah
beberapa ungkapan dan masih banyak sekali yang lain. Yang menunjukkan sebuah
pola pikir pinter yang tidak padu dengan hati yang hidup sehingga menjadi
keblinger.
Realita
di masyarakat yang terjadi adalah danya manusia yang secara pikir ‘lebih
pandai’ tetapi hatinya tidak hidup. Atau orang dengan kemampuan berpikir
‘kurang’ tetapi hatinya tetap hidup. Nah inilah yang lebih baik dan
selamat. Idealnya sih seseorang dikaruniai kecerdasan otak yang handal tetapi
hatinya juga hidup, selalu ingat kepada Allah SWT, dan itulah yang paling baik.
Tetapi
akan menjadi sangat berbahaya, ketika manusia yang moncer dengan otaknya tetapi
hatinya tidak tersentuh atau terbimbing nilai-nilai agama. Contoh yang terjadi
adalah jika mereka menempati posisi lebih tinggi dalam masyarakat, akan
menindas dan juga mengakali/minteri
orang-orang yang bodoh dan lemah dalam kekuasaanya.
Ini
berbeda dengan orang yang secara kekuatan otak minim dan hatinyapun jauh dari
Allah SWT. Efeknya bagi manusia lain tidak akan secelaka yang dilakukan orang
yang pintar minus moral.
Kasus
Century yang telah selesai memasuki babak final (dan belum selesai) sebenarnya
tidak perlu menunggu berlarut-larut andaikan orang-orang yang pandai (secara
pikir) itu tidak goroh (bohong)
dari awal. Dana trilyunan milik rakyat yang dikeluarkan secara bermasalah ini,
harus meminta tambahan milyaran rupiah lagi untuk mendanai operasional pansus
dalam mengusut kasus ini. Dan hasilnya adalah …. (belum jelas juga) baru
sebatas menyimpulkan apakah ini kasus kejahatan atau bukan kejahatan.
مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ اُرْسِلاَ فِى غَنَمٍ بِاَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ اْلمَرْءِ عَلَى اْلمَالِ وَ الشَّرَفِ لِدِيْنِهِ. الترمذى
“Kerusakan
agama seseorang yang disebabkan oleh sifat thama’ dan rakus terhadap harta dan
kedudukan lebih parah daripada kerusakan yang timbul dari dua serigala yang
lapar yang dilepaskan dalam rombongan kambing”. [HR. Tirmidzi]
Resiko
yang didapati ketika mata (dari kepala) seseorang buta hanya akan
menendang/menabrak disekitarnya. Tidak seberapa dibandingkan dengan butanya
hati yang ada pada seseorang, karena akan memberikan mudhorot yang lebih hebat
sehingga dimurkai Allah SWT karena telah mendholimi dirinya dan orang-orang
banyak disekitarnya.
Menjadi Muslim yang paling Cerdas
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رض قَالَ: اَتَيْتُ النَّبِيَّ ص عَاشِرَ عَشْرَةٍ فَقَامَ رَجُلٌ مِنَ اْلاَنْصَارِ فَقَالَ: يَا نَبِيَّ اللهِ، مَنْ اَكْيَسُ النَّاسِ وَ اَحْزَمُ النَّاسِ؟ قَالَ: اَكْثَرُهُمْ ذِكْرًا لِلْمَوْتِ، وَ اَكْثَرُهُمْ اِسْتِعْدَادًا لِلْمَوْتِ، اُولئِكَ اْلاَكْيَاسُ ذَهَبُوْا بِشَرَفِ الدُّنْيَا وَ كَرَامَةِ اْلآخِرَةِ. ابن ابى الدنيا فى كتاب الموت و التطبرانى فى الصغير باسناد حسن، و البيهقى فى الزهد، و لفظه: اَنَّ رَجُلاً قَالَ لِلنَّبِيِّ ص: أَيُّ اْلمُؤْمِنِيْنَ اَفْضَلُ؟ قَالَ: اَحْسَنُهُمْ خُلُقًا. قَالَ: فَاَيُّ اْلمُؤْمِنِيْن اَكْيَسُ؟ قَالَ: اَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا، وَ اَحْسَنُهُمْ لِمَا بَعْدَهُ اِسْتِعْدَادًا، اُولئِكَ اْلاَكْيَاسُ.
Dari
Ibnu ‘Umar RA ia berkata : Saya datang kepada Nabi SAW, kami serombongan
sebanyak sepuluh orang. Kemudian ada seorang laki-laki Anshar bertanya, “Wahai
Nabiyallah,
siapa orang yang paling cerdas dan paling teguh diantara manusia ?”. Nabi SAW bersabda, “Orang
yang paling
banyak mengingat mati diantara mereka dan orang yang paling banyak mempersiapkan bekal untuk mati. Mereka itulah
orang-orang yang cerdas, mereka pergi dengan membawa kemulyaan dunia dan
kemulyaan akhirat”. [HR. Ibnu Abid-Dunya di dalam kitabul-Maut. Thabrani di
dalam Ash-Shaghir dengan sanad hasan. Dan Baihaqi juga meriwayatkan di dalam
kitabuz-Zuhud, dengan lafadh] : Sesungguhnya ada seorang laki-laki bertanya
kepada Nabi SAW, “Siapa diantara orang-orang mukmin itu yang lebih utama ?”.
Nabi SAW menjawab, “Orang yang paling baik akhlaqnya diantara mereka”. Orang
tersebut bertanya lagi, “Siapakah diantara orang-orang mukmin yang paling
cerdas/cerdik ?”. Nabi SAW menjawab, “Orang yang paling banyak ingat mati
diantara mereka, dan orang yang paling baik persiapannya untuk kehidupan
selanjutnya. Mereka itulah orang-orang yang cerdas”.
Dari
sebuah hadist diatas terjawab sudah, siapa sih yang disebut muslim yang cerdas
itu?
- Orang yang paling banyak mengingat mati
- Orang yang paling banyak mempersiapkan bekal untuk kehidupan selanjutnya.
Alangkah
indahnya ketika karunia kepandaian otak dalam diri manusia dipadukan dengan
hati yang selalu dzikir. Dia pasti akan mengoptimalkan segala daya kemampuan
yang ada pada dirinya demi mencapai tujuan-tujuan yang lebih kekal sesudah
hidup didunia ini.
Mereka
gunakan kepintarannya untuk mengajak manusia lain untuk menuju jalan yang
lurus, kualitas iman dan taqwa akan semakin tebal ketika melihat dan mampu
menguasai Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) dan akan semakin merasa kecil
dan lemah karena pada dasarnya ilmu yang ada pada dirinya tidaklah lebih dari
tetesan ujung kuku dari lautan ilmu yang dimiliki Allah SWT.
Mustinya
kita selalu malu kepada Allah SWT, sudah sangat banyak dan tidak terhitung
karunia yang diberikan tetapi kita belum bisa optimal dalam tugas menghambakan
diri kepada-Nya. Dengan menjaga kepala ini terhadap apa yang
dipikirkan,dimasukan dan dikeluarkanya serta menjaga perut ini dan apa yang
dihimpunnya.
Check and
Recheck [Tabayyun/Tatsabbut]
Khabar (خبر), kata Ibnul-Mandhuur, merupakan bentuk tunggal
dari kata akhbaar (أخبار). (Definisinya) yaitu : berita yang datang
kepadamu tentang orang yang kamu akan diberitahu. Ibnu Sayyidih berkata : “Khabar
adalah berita. Jamaknya adalah akhbaar, dan al-akhaabiir adalah
jamak dari akhbaar…. Al-Istikhbaar dan at-takhabbur adalah
pertanyaan mengenai khabar. Dalam hadits Al-Hudaibiyyah : Bahwasannya
beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang dari suku
Khuzaa’ah menanyakan berita (takhabbar) tentang Quraisy. Takhabbar
maksud mencari tahu. Dikatakan : Takhabbaral-khabar was-takhbara maksudnya
: jika ia bertanya tentang khabar untuk mengetahuinya [Lisaanul-‘Arab,
hal. 1090].
Khabar adalah sesuatu yang tidak terelakkan dalam kehidupan
kita. Baik kita mengkhabarkan sesuatu kepada orang lain atau kita dikhabarkan
sesuatu oleh orang lain. Dua-duanya silih berganti mengisi.
Bila kita membicarakan check dan re-check, tentu saja yang
dimaksudkan di sini adalah dalam kaitannya penerimaan khabar oleh kita
dari orang lain. Syari’at telah menetapkan satu ketentuan bagi seorang muslim
untuk selalu check dan re-check terhadap khabar yang sampai
kepadanya.
Mari kita perhatikan kisah Nabi Sulaimaan ‘alaihis-salaam dengan
burung Hud-hud sebagaimana yang difirmankan Allah ta’ala :
فَمَكَثَ غَيْرَ بَعِيدٍ فَقَالَ أَحَطتُ بِمَا لَمْ تُحِطْ
بِهِ وَجِئْتُكَ مِنْ سَبَإٍ بِنَبَإٍ يَقِينٍ * إِنِّي وَجَدْتُ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ
وَأُوتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيمٌ * وَجَدْتُهَا وَقَوْمَهَا يَسْجُدُونَ
لِلشَّمْسِ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ أَعْمَالَهُمْ فَصَدَّهُمْ
عَنِ السَّبِيلِ فَهُمْ لا يَهْتَدُونَ * أَلا يَسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي يُخْرِجُ
الْخَبْءَ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَيَعْلَمُ مَا تُخْفُونَ وَمَا تُعْلِنُونَ
* اللَّهُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ * قَالَ سَنَنْظُرُ أَصَدَقْتَ
أَمْ كُنْتَ مِنَ الْكَاذِبِينَ
“Maka tidak lama kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia
berkata: “Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya; dan
kubawa kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini.
Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia
dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar. Aku mendapati
dia dan kaumnya menyembah matahari, selain Allah; dan setan telah menjadikan
mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka lalu menghalangi mereka dari
jalan (Allah), sehingga mereka tidak dapat petunjuk, agar mereka tidak
menyembah Allah Yang mengeluarkan apa yang terpendam di langit dan di bumi dan
Yang mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Allah,
tiada Tuhan (yang berhak disembah) kecuali Dia, Tuhan Yang mempunyai ‘Arsy
(singgasana) yang besar”. Berkata Sulaiman: “Akan kami lihat, apa kamu
benar, ataukah kamu termasuk orang-orang yang berdusta” [QS. An-Naml : 22-27].
Saat Nabi Sulaimaan ‘alaihis-salaam menerima khabar burung Hud-hud
perihal Ratu Balqis dan kerajaannya, beliau tidak langsung menerima atau
menolaknya. Namun beliau menjalankan apa yang diatur syari’at dengan melakukan check
dan re-check atau tatsabbut (meneliti) terhadap khabar tersebut.
Banyak orang yang keliru memahami makna tatsabbut terhadap
penerimaan khabar. Apabila datang seseorang yang dikenal keadilannya
atau kejujurannya menyampaikan satu khabar kepadanya, dengan cepat ia
membenarkannya dan sekaligus melakukan konsekuensi dari apa yang dipesankan oleh
khabar tersebut. Oleh karena itu, jika ada yang mendebat salah seorang
di antara mereka terhadap khabar yang disampaikannya, maka dengan cepat
ia menukas : “Telah mengkhabarkan kepadaku seorang yang aku percayai begini
dan begitu….”. Seakan-akan urusannya selesai sampai kalimat tersebut tanpa
ada celah untuk meragukan atau sekedar menambah yakin terhadap keakuratan
berita dengan melakukan penelusuran khabar yang disampaikannya itu.
Tentu saja semua hal itu dimungkinkan karena barangkali khabar yang
sampai kepada kita tersebut bertolak belakang dengan apa yang telah kita
ketahui sebelumnya atau bertolak belakang dengan khabar yang disampaikan
oleh orang selainnya.
Kewajiban tatsabbut atau tabayyun (check dan re-check)
tidaklah bertentangan dengan asas diterimanya khabar dari seorang perawi
yang ‘adil.[1] Akan tetapi ada sebagian khabar yang memang
dibutuhkan tatsabbut dan tabayyun lebih.
Berikut beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam tatsabbut dan tabayyun
terhadap khabar :
1. Ke-‘adil-an pembawa berita, yaitu baligh, berakal, selamat
dari sifat fasiq, dan dan hal-hal yang merusak muru’ah (harga
diri)-nya.
Allah ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ
فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ
نَادِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu
orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu
tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya
yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu” [QS. Al-Hujuraat : 6].
Al-Qurthubiy rahimahullah berkata :
في هذه الآية دليل على قبول خبر الواحد إذا كان عدلا، لأنه
إنما أمر فيها بالتثبت عند نقل خبر الفاسق. ومن ثبت فسقه بطل قوله في الأخبار إجماعا،
لأن الخبر أمانة والفسق قرينة يبطلها
“Dalam ayat ini terdapat dalil diterimanya khabarul-waahid jika ia
seorang yang ‘aadil. Karena perintah tatsabbut dalam ayat ini
hanya saat menukil khabar orang fasiq. Barangsiapa yang tetap
kefasiqannya, batallah perkataannya dalam khabar (yang ia sampaikan)
berdasarkan ijma’. Dikarenakan khabar adalah amanah, dan kefasiqan
adalah alasan yang membatalkannya” [Tafsir Al-Qurthubiy, 16/312, tahqiq
: Hisyaam Samiir Al-Bukhaariy; Daarul-‘Aalamil-Kutub, Cet. Thn. 1423].
Tatsabbut terhadap khabar yang dibawa orang fasiq adalah
satu kewajiban, apalagi jika ia dikenal sebagai orang yang selalu menyampaikan
segala sesuatu yang ia dengar, tidak peduli benar atau salah. Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
وحدثنا عبيدالله بن معاذ العنبري. حدثنا أبي. ح وحدثنا محمد
بن المثنى. حدثنا عبدالرحمن بن مهدي. قالا: حدثنا شعبة، عن خبيب بن عبدالرحمن، عن حفص
بن عاصم، عن أبي هريرة؛ قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “كفى بالمرء كذبا أن
يحدث بكل ما سمع”.
Dan telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidillah bin Mu’adz Al-‘Anbariy :
Telah menceritakan kepadaku ayahku (ح); Dan telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Al-Mutsannaa : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahmaan bin
Mahdiy – mereka berdua (Mu’adz Al-‘Anbariy dan ‘Abdurrahman bin Mahdiy) berkata
: Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Khubaib bin ‘Abdirrahmaan, dari
Hafsh bin ‘Aashim, dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam : “Cukuplah seseorang dianggap pendusta jika ia
mengatakan setiap apa yang ia dengar” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 5].
2. Ke-dlabth-an pembawa khabar, yang menyangkut hapalan dan
keakuratannya dalam membawa khabar.
Banyak orang yang meremehkan perkara ini. Mereka hanya mencukupkan diri
dengan sifat ke-‘adil-annya, sehingga ketika khabar itu diterima,
nampak padanya pertentangan antara pembawa khabar satu dengan yang
lainnya.
حدثنا نصر بن علي الجهضمي حدثنا الأصمعي عن بن أبي الزناد
عن أبيه قال أدركت بالمدينة مائة كلهم مأمون ما يؤخذ عنهم الحديث يقال ليس من أهله
Telah menceritakan kepada kami Nashr bin ‘Aliy Al-Jahdlamiy : Telah
menceritakan kepada kami Al-Ashma’iy, dari Ibnu Abi Zinaad, dari ayahnya, ia
berkata : “Aku telah menjumpai di Madinah seratus (orang) yang kesemuanya dapat
dipercaya (ma’muun) yang tidak diambil haditsnya. Dikatakan bahwa mereka
itu bukan ahlinya” [Shahih Muslim, hal. 24; Baitul-Afkaar, Cet. Thn.
1419].
Satu contoh saya bawakan dalam kasus ini :
حدثنا حفص بن عمر النمري ثنا همام ثنا قتادة عن الحسن عن
سمرة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : كل غلام رهينة بعقيقته تذبح عنه يوم السابع
ويحلق رأسه ويدمى
Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin ‘Umar An-Namiriy : Telah
menceritakan kepada kami Hammaam : Telah menceritakan kepada kami Qataadah,
dari Al-Hasan, dari Samuurah, dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
beliau bersabda : “Setiap anak tergadai dengan ‘aqiqahnya yang disembelih
pada hari ketujuh, dicukur rambut kepalanya, dan kepalanya dilumuri darah
(yudammaa)” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 2837].
Para ulama mengatakan bahwa Hammaam dalam riwayat ini telah keliru dalam
membawakan hadits yang mengatakan ‘yudammaa’ (dilumuri darah). Hammaam
adalah seorang yang terpercaya. Namun ia telah menyelisihi beberapa orang dan
lebih dlabth darinya dalam penyampaian khabar (periwayatan) dari
Qataadah; dimana mereka menggunakan lafadh : yusammaa (diberikan nama) –
bukan yudammaa. Mereka adalah : Sa’iid bin Abi ‘Aruubah (ia adalah orang
yang paling tsabt periwayatannya di antara ashhaab Qataadah),
Abaan bin Yaziid Al-‘Aththaar, Sallaam bin Abi Muthii’, dan Ghailaan bin Jaami’
[Irwaaul-Ghaliil oleh Al-Albaaniy 4/387-388 dan Taisiru
‘Uluumil-Hadits oleh ‘Amr bin ‘Abdil-Mun’im hal. 81].
Betapa banyak orang jujur membawakan khabar tidak sebagaimana
mestinya ?. Oleh karena itu, bukanlah satu ‘aib jika kita melakukan check
dan re-check sehingga khabar yang sampai pada kita
benar-benar akurat.
3. Pemahaman yang baik dan penguasaan yang komprehensif terhadap maksud khabar/berita.
Adakalanya satu khabar dibawakan oleh seorang yang wara’ dan
kuat hapalannya, namun ia tidak memahami hakekat apa yang disampaikannya itu
dari orang yang ia ambil khabar-nya. Saat menyampaikannya, maka khabar
yang disampaikannya bercampur dengan perkataannya, dimana perkataannya itu
tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengan maksud dan pemahaman orang yang ia
ambil khabar-nya.
Syaikhul-Islaam rahimahullah berkata :
وكثير من الناقلين ليس قصده الكذب لكن المعرفة بحقيقة أقوال
الناس من غير نقل ألفاظهم وسائر ما به يعرف مرادهم قد يتعسر على بعض الناس ويتعذر على
بعضهم
“Dan banyak di antara orang-orang yang membawakan perkataan tanpa bermaksud
untuk berdusta; akan tetapi pengetahuannya tentang hakekat perkataan manusia
membuatnya membawakan perkataan tersebut tidak sesuai dengan lafadh dan maksud
yang mereka kehendaki, sehingga menyulitkan sebagian orang dan menjadi
penghalang (untuk menerima perkataannya itu)” [Minhaajus-Sunnah 6/303].
Contohnya hadits yang diriwayatkan oleh Syaikhaan :
إن أمتي يدعون يوم القيامة غرا محجلين من آثار الوضوء، فمن
استطاع منكم أن يطيل غرته فليفعل.
“Sesungguhnya umatku pada hari kiamat nanti akan
dipanggil dengan keadaan bersinar-sinar karena bekas wudlu pada anggota tubuh
mereka ; maka
barangsiapa yang mampu memanjangkan penyiraman ghurrah-nya, maka
lakukanlah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy no. 136 dan Muslim no. 246].
Perkataan “maka barangsiapa yang mampu memanjangkan penyiraman
ghurrah-nya, maka lakukanlah” merupakan perkataan Abu Hurairah radliyallaahu
‘anhu, sebagai pembawa khabar.[2]
Sebagian ulama mengkritik bahwasannya perkataan Abu Hurairah tersebut
timbul dari pemahamannya atas sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang
ia bawakan. Dan ini keliru. Sebab, makna ghurrah secara bahasa[3] adalah
wajah, dan wajah bukanlah sesuatu yang dapat dipanjangkan dalam pembasuhannya.
Oleh karena itu, tidak ada dalil shahih dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam yang menunjukkan disunnahkannya memanjangkan pembasuhan ghurrah.
Ini adalah madzhab Maalikiyyah, dan yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah,
Ibnul-Qayyim, dan Al-Albaaniy rahimahumullah.[4]
Dengan sebab jeleknya pemahaman ini pulalah muncul penisbatan yang tidak
benar terhadap diri Al-Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah bahwasannya beliau
berpendapat untuk melafadhkan niat dalam shalat, dan juga ibadah-ibadah yang
lainnya.[5]
Inilah tiga hal yang hendaknya diperhatikan bagi kita semua dalam
penerimaan khabar. Apalagi jika khabar tersebut berkaitan dengan
pelanggaran kehormatan sesama muslim atau menyangkut kepentingan masyarakat
banyak (keamanan, keadaan darurat, fitnah, dan yang lain sebagainya). Walaupun
contoh-contoh yang diberikan adalah seputar riwayat hadits, namun semoga
penekanan urgensitas serta penerapannya di kehidupan sehari-hari dapat dipahami
oleh ikhwan semua, terutama yang nulis artikel ini.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[1] Sebagaimana penjelasan para ulama terhadap QS. Al-Hujuraat : 6.
[2] Sebagaimana diisyaratkan oleh Al-Haafidh Ibnu Hajar dalam Fathul-Baariy
(1/236) – lihat pula Ahkaamuth-Thahaarah – Al-Wudluu’ oleh Dibyaan bin
Muhammad Ad-Dibyaan, hal. 386.
[3] Lihat pemaknaan ini dalam Lisaanul-‘Arab 5/14, Mukhtaarush-Shihah
hal. 197, dan Al-Faaiq –melalui perantaraan Ahkaamuth-Thahaarah
hal. 383.
[4] Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
هذه اللفظة لا يمكن أن تكون من كلامه صلى الله عليه وسلم
فإن الغرة لا تكون في اليد لا تكون إلا في الوجه وإطالته غير ممكنة إذ تدخل في الرأس
فلا تسمى تلك غرة
“Lafadh ini tidak mungkin berasal dari sabda beliau shallallaahu ‘alaihi
wa sallam. Sesungguhnya ghurrah itu bukanlah terletak di tangan,
melainkan di wajah. Dan memanjangkannya tidaklah memungkinkan. Dikarenakan ghurrah
masuk pada kepala, maka (memanjangkannya) tidak dinamakan ghurrah” [I’lamul-Muwaqqi’iin
6/316 – melalui Tamaamul-Minnah hal. 92; Daarur-Rayah, Cet. 5].
[5] Yaitu, sebagian ulama Syafi’iyyah telah salah paham terhadap ucapan
Al-Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah :
إذا نوى حجّاً وعمرة أجزأ ، وإنْ لم يتلفّظ وليس كالصّلاة
لا تصح إلا بالنّطق
“Apabila seseorang berniat untuk melakukan haji dan ‘umrah, maka itu
mencukupi jika ia tidak melafadhkannya. Namun itu tidak seperti halnya shalat
yang tidak sah kecuali dengan mengucapkannya” [Al-Majmuu’, 3/243].
Mereka beranggapan bahwa ‘mengucapkan’ dalam shalat itu adalah mengucapkan
niat. An-Nawawiy rahimahullah telah menjelaskan ini :
قال أصحابنا : غلط هذا القائل ، وليس مراد الشافعي بالنّطق
في الصّلاة هذا ، بل مراده التكبير
“Para shahabat kami berkata : Orang yang mengatakan
ini telah keliru. Bukanlah yang dimaksudkan oleh Asy-Syaafi’iy dengan
‘mengucapkan’ dalam shalat adalah mengucapkan niat, akan tetapi maksudnya
adalah (mengucapkan) takbir” [lihat At-Ta’aalum, oleh Bakr Abu Zaid, hal
100 – melalui perantaraan Al-Qaulul-Mubiin fii Akhthaa’il-Mushalliin oleh
Masyhur Hasan Salmaan, hal. 94].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar