Kepada
saudara-saudaraku seiman dan se’aqidah…
Mensyukuri nikmat-nikmat Allah adalah wajib hukumnya. Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman:
Mensyukuri nikmat-nikmat Allah adalah wajib hukumnya. Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman:
“Karena
itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan
bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.”
[Al-Baqarah: 153]
Juga
firman-Nya:
“Dan
jika kamu menghitung nikmat-nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan dapat
menghitungnya. Sesungguhnya manusia sangat zhalim dan sangat mengingkari
(nikmat Allah).” [Ibrahim : 34]
Allah
Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan bahwa manusia sangat zhalim dan sangat kufur
karena mereka tidak mensyukuri nikmat-nikmat Allah yang diberikan kepada
mereka.
Di
antara nikmat yang Allah berikan kepada kita adalah nikmat Islam, iman, rizki,
harta, umur, waktu luang, dan kesehatan untuk beribadah kepada Allah dengan
benar dan untuk menuntut ilmu syar’i.
Manusia
diberikan dua kenikmatan, namun banyak di antara mereka yang tertipu.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Dua
nikmat yang banyak manusia tertipu dengan keduanya, yaitu nikmat sehat dan
waktu luang.”[1]
Banyak
di antara manusia yang tidak mengguna-kan waktu sehat dan waktu luangnya dengan
sebaik-baiknya. Ia tidak gunakan untuk belajar tentang Islam, tidak ia gunakan
untuk menimba ilmu syar’i. Padahal dengan menghadiri majelis taklim yang mengajarkan
Al-Quran dan As-Sunnah menurut pemahaman para Shahabat, akan bertambah ilmu,
keimanan, dan ketakwaannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Juga dapat
menambah amal kebaikannya.
Semoga
melalui majelis taklim yang kita kaji dari kitab-kitab para ulama Salaf, Allah
memberikan hidayah kepada kita di atas Islam, ditetapkan hati dalam beriman,
istiqamah di atas Sunnah, serta diberikan hidayah taufik oleh Allah untuk dapat
melaksanakan syari’at Islam secara kaffah (menyeluruh) dan kontinyu hingga kita
diwafatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam keadaan mentauhidkan Allah dan
melaksanakan Sunnah. Semoga Allah senantiasa memudahkan kita untuk selalu
menuntut ilmu syar’i, diberikan kenikmatan atasnya, dan diberikan pemahaman
yang benar tentang Islam dan Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih.
Seorang
Muslim tidak akan bisa melaksanakan agamanya dengan benar, kecuali dengan
belajar Islam yang benar berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah menurut pemahaman
Salafush Shalih. Agama Islam adalah agama ilmu dan amal karena Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam diutus dengan membawa ilmu dan amal shalih.
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dia-lah
yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar
dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi.”
[Al-Fat-h: 28]
Yang
dimaksud dengan al-hudaa (petunjuk) dalam ayat ini adalah ilmu yang bermanfaat.
Dan yang dimaksud dengan diinul haqq (agama yang benar) adalah amal shalih.
Allah Ta’ala mengutus Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
menjelaskan kebenaran dari kebatilan, menjelaskan Nama-Nama Allah,
sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, hukum-hukum dan berita yang datang
dari-Nya, serta memerintahkan untuk melakukan segala apa yang bermanfaat bagi
hati, ruh, dan jasad.
Beliau
shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyuruh ummat-nya agar mengikhlaskan ibadah
semata-mata karena Allah Ta’ala, mencintai-Nya, berakhlak yang mulia, beradab
dengan adab yang baik dan melakukan amal shalih. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa
sallam melarang ummatnya dari perbuatan syirik, amal dan akhlak yang buruk,
yang berbahaya bagi hati, badan, dan kehidupan dunia dan akhiratnya. [2]
Cara
untuk mendapat hidayah dan mensyukuri nikmat Allah adalah dengan menuntut ilmu
syar’i. Menuntut ilmu adalah jalan yang lurus untuk dapat membedakan antara
yang haq dan yang bathil, Tauhid dan syirik, Sunnah dan bid’ah, yang ma’ruf dan
yang munkar, dan antara yang bermanfaat dan yang membahayakan. Menuntut ilmu
akan menambah hidayah serta membawa kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Seorang
Muslim tidaklah cukup hanya dengan menyatakan keislamannya tanpa berusaha untuk
memahami Islam dan mengamalkannya. Pernyataannya harus dibuktikan dengan
melaksanakan konsekuensi dari Islam. Karena itulah menuntut ilmu merupakan
jalan menuju kebahagiaan yang abadi.
[1].
Menuntut Ilmu Syar’i Wajib Bagi Setiap Muslim Dan Muslimah
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Menuntut
ilmu itu wajib atas setiap Muslim.”[3]
Imam
al-Qurthubi rahimahullaah menjelaskan bahwa hukum menuntut ilmu terbagi dua:
Pertama,
hukumnya wajib; seperti menuntut ilmu tentang shalat, zakat, dan puasa. Inilah
yang dimaksudkan dalam riwayat yang menyatakan bahwa menuntut ilmu itu
(hukumnya) wajib.
Kedua,
hukumnya fardhu kifayah; seperti menuntut ilmu tentang pembagian berbagai hak,
tentang pelaksanaan hukum hadd (qishas, cambuk, potong tangan dan lainnya),
cara mendamaikan orang yang bersengketa, dan semisalnya. Sebab, tidak mungkin
semua orang dapat mempelajarinya dan apabila diwajibkan bagi setiap orang tidak
akan mungkin semua orang bisa melakukannya, atau bahkan mungkin dapat
menghambat jalan hidup mereka. Karenanya, hanya beberapa orang tertentu sajalah
yang diberikan kemudahan oleh Allah dengan rahmat dan hikmah-Nya.
Ketahuilah,
menuntut ilmu adalah suatu kemuliaan yang sangat besar dan menempati kedudukan
tinggi yang tidak sebanding dengan amal apa pun.[4]
[2].
Menuntut Ilmu Syar’i Memudahkan Jalan Menuju Surga
Setiap Muslim dan Muslimah ingin masuk Surga. Maka, jalan untuk masuk Surga adalah dengan menuntut ilmu syar’i. Sebab Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Setiap Muslim dan Muslimah ingin masuk Surga. Maka, jalan untuk masuk Surga adalah dengan menuntut ilmu syar’i. Sebab Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa
yang melapangkan satu kesusahan dunia dari seorang mukmin, maka Allah
melapangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat. Barangsiapa memudahkan
(urusan) atas orang yang kesulitan (dalam masalah hutang), maka Allah
memudahkan atasnya di dunia dan akhirat. Barangsiapa menutupi (aib) seorang
muslim, maka Allah menutupi (aib)nya di dunia dan akhirat. Allah senantiasa
menolong hamba selama hamba tersebut senantiasa menolong saudaranya.
Barangsiapa yang meniti suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah memudahkan
untuknya jalan menuju Surga. Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah
Allah (masjid) untuk membaca Kitabullah dan mempelajarinya di antara mereka,
melainkan ketenteraman turun atas mereka, rahmat meliputi mereka, Malaikat
mengelilingi mereka, dan Allah menyanjung mereka di tengah para Malaikat yang
berada di sisi-Nya. Barangsiapa yang lambat amalnya, maka tidak dapat dikejar
dengan nasabnya.” [5]
Di
dalam hadits ini terdapat janji Allah ‘Azza wa Jalla bahwa bagi orang-orang
yang berjalan dalam rangka menuntut ilmu syar’i, maka Allah akan memudahkan
jalan baginya menuju Surga.
“Berjalan
menuntut ilmu” mempunyai dua makna:
Pertama : Menempuh jalan dengan artian yang sebenarnya, yaitu berjalan kaki menuju majelis-majelis para ulama.
Pertama : Menempuh jalan dengan artian yang sebenarnya, yaitu berjalan kaki menuju majelis-majelis para ulama.
Kedua
: Menempuh jalan (cara) yang mengantarkan seseorang untuk mendapatkan ilmu
seperti menghafal, belajar (sungguh-sungguh), membaca, menela’ah kitab-kitab
(para ulama), menulis, dan berusaha untuk memahami (apa-apa yang dipelajari).
Dan cara-cara lain yang dapat mengantarkan seseorang untuk mendapatkan ilmu
syar’i.
“Allah
akan memudahkan jalannya menuju Surga” mempunyai dua makna. Pertama, Allah akan
memudah-kan memasuki Surga bagi orang yang menuntut ilmu yang tujuannya untuk
mencari wajah Allah, untuk mendapatkan ilmu, mengambil manfaat dari ilmu syar’i
dan mengamalkan konsekuensinya. Kedua, Allah akan memudahkan baginya jalan ke
Surga pada hari Kiamat ketika melewati “shirath” dan dimudahkan dari berbagai
ketakutan yang ada sebelum dan sesudahnya. Wallaahu a’lam.•
Juga
dalam sebuah hadits panjang yang berkaitan tentang ilmu, Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Barangsiapa
yang berjalan menuntut ilmu, maka Allah mudahkan jalannya menuju Surga.
Sesungguhnya Malaikat akan meletakkan sayapnya untuk orang yang menuntut ilmu
karena ridha dengan apa yang mereka lakukan. Dan sesungguhnya seorang yang
mengajarkan kebaikan akan dimohonkan ampun oleh makhluk yang ada di langit
maupun di bumi hingga ikan yang berada di air. Sesungguhnya keutamaan orang
‘alim atas ahli ibadah seperti keutamaan bulan atas seluruh bintang.
Sesungguhnya para ulama itu pewaris para Nabi. Dan sesungguhnya para Nabi tidak
mewariskan dinar tidak juga dirham, yang mereka wariskan hanyalah ilmu. Dan
barangsiapa yang mengambil ilmu itu, maka sungguh, ia telah mendapatkan bagian
yang paling banyak.”[6]
Jika
kita melihat para Shahabat radhiyallaahu anhum ajma’in, mereka
bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu syar’i. Bahkan para Shahabat wanita juga
bersemangat menuntut ilmu. Mereka berkumpul di suatu tempat, lalu Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendatangi mereka untuk menjelaskan tentang
Al-Qur-an, menelaskan pula tentang Sunnah-Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam. Allah Ta’ala juga memerintahkan kepada wanita untuk belajar Al-Qur-an
dan As-Sunnah di rumah mereka.
Sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan,
Sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan,
“Dan
hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan (bertingkah
laku) seperti orang-orang Jahiliyyah dahulu, dan laksanakanlah shalat,
tunaikanlah zakat, taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud
hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai Ahlul Bait, dan membersihkan kamu
dengan sebersih-bersihnya. Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari
ayat-ayat Allah dan al-Hikmah (Sunnah Nabimu). Sungguh, Allah Mahalembut, Maha
Menge-tahui.” [Al-Ahzaab: 33-34]
Laki-laki
dan wanita diwajibkan menuntut ilmu, yaitu ilmu yang bersumber dari Al-Qur-an
dan As-Sunnah karena dengan ilmu yang dipelajari, ia akan dapat mengerjakan
amal-amal shalih, yang dengan itu akan mengantarkan mereka ke Surga.
Kewajiban
menuntut ilmu ini mencakup seluruh individu Muslim dan Muslimah, baik dia
sebagai orang tua, anak, karyawan, dosen, Doktor, Profesor, dan yang lainnya.
Yaitu mereka wajib mengetahui ilmu yang berkaitan dengan muamalah mereka dengan
Rabb-nya, baik tentang Tauhid, rukun Islam, rukun Iman, akhlak, adab, dan
mu’amalah dengan makhluk.
[3].
Majelis-Majelis Ilmu adalah Taman-Taman Surga
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Apabila
kalian berjalan melewati taman-taman Surga, perbanyaklah berdzikir.” Para
Shahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud taman-taman Surga
itu?” Beliau menjawab, “Yaitu halaqah-halaqah dzikir (majelis ilmu).” [7]
‘Atha’
bin Abi Rabah (wafat th. 114 H) rahimahullaah berkata, “Majelis-majelis dzikir
yang dimaksud adalah majelis-majelis halal dan haram, bagaimana harus membeli,
menjual, berpuasa, mengerjakan shalat, menikah, cerai, melakukan haji, dan yang
sepertinya.” [8]
Ketahuilah
bahwa majelis dzikir yang dimaksud adalah majelis ilmu, majelis yang di
dalamnya diajarkan tentang tauhid, ‘aqidah yang benar menurut pemahaman
Salafush Shalih, ibadah yang sesuai Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
muamalah, dan lainnya.
Buku
yang ada di hadapan pembaca merupakan buku “Panduan Menuntut Ilmu”. Di antara
yang penulis jelaskan di dalamnya adalah keutamaan menuntut ilmu, kiat-kiat
dalam meraih ilmu syar’i, penghalang-penghalang dalam memperoleh ilmu,
adab-adab dalam menuntut ilmu, hal-hal yang harus dijauhkan oleh para penuntut
ilmu, perjalanan ulama dalam menuntut ilmu, dan yang lainnya. Penulis jelaskan
masalah menuntut ilmu karena masalah ini sangatlah penting. Sebab, seseorang
dapat memperoleh petunjuk, dapat memahami dan mengamalkan Islam dengan benar
apabila ia belajar dari guru, kitab, dan cara yang benar. Sebaliknya, jika
seseorang tidak mau belajar, atau ia belajar dari guru yang tidak mengikuti
Sunnah, atau melalui cara belajar dan kitab yang dibacakan tidak benar, maka ia
akan menyimpang dari jalan yang benar.
Para
ulama terdahulu telah menulis kitab-kitab panduan dalam menuntut ilmu, seperti
Imam Ibnu ‘Abdil Barr dengan kitabnya Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, Imam
Ibnu Jama’ah dengan kitabnya Tadzkiratus Samii’, begitu pula al-Khatib
al-Baghdadi yang telah menulis banyak sekali kitab tentang berbagai macam
disiplin ilmu, bahkan pada setiap disiplin ilmu hadits beliau tulis dalam kitab
tersendiri. Juga ulama selainnya seperti Imam Ibnul Jauzi, Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah (dalam Majmuu’ Fataawaa-nya dan kitab-kitab lainnya), Imam Ibnu
Qayyim al-Jauziyyah (dalam kitabnya Miftaah Daaris Sa’aadah dan kitab-kitab
lainnya), dan masih banyak lagi para ulama lainnya hingga zaman sekarang ini,
seperti Syaikh bin Baaz, Syaikh al-Albani, dan Syaikh al-‘Utsaimin
rahimahumullaah.
Dalam
buku ini, penulis berusaha menyusunnya dari berbagai kitab para ulama terdahulu
hingga sekarang dengan harapan buku ini menjadi panduan agar memudahkan kaum
Muslimin untuk menuntut ilmu, memberikan semangat dalam menuntut ilmu, beradab
dan berakhlak serta berperangai mulia yang seharusnya dimiliki oleh setiap
penuntut ilmu. Mudah-mudahan buku ini bermanfaat bagi penulis dan para pembaca
sekalian, serta bagi kaum Muslimin. Mudah-mudahan amal ini diterima oleh Allah
Subhaanahu wa Ta’ala dan menjadi timbangan amal kebaikan penulis pada hari
Kiamat. Dan mudah-mudahan dengan kita menuntut ilmu syar’i dan mengamalkannya,
Allah ‘Azza wa Jalla akan memudahkan jalan kita untuk me-masuki Surga-Nya.
Aamiin.
Semoga
shalawat dan salam senantiasa dilimpah-kan kepada Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam, keluarga dan para Shahabat beliau, serta orang-orang yang
mengikuti jejak mereka dengan kebaikan hingga hari Kiamat.
[Disalin
dari Muqaddimah buku Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga “Panduan Menuntut Ilmu”,
Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO BOX 264 –
Bogor 16001 Jawa Barat – Indonesia, Cetakan Pertama Rabi’uts Tsani 1428H/April
2007M]
___________
Foote Notes
[1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6412), at-Tirmidzi (no. 2304), Ibnu Majah (no. 4170), Ahmad (I/258,344), ad-Darimi (II/297), al-Hakim (IV/306), dan selainnya dari Shahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma.
[2]. Lihat kitab Taisiir Karimir Rahmaan fii Tafsiir Kalaamil Mannaan (hal. 295-296) karya Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di (wafat th. 1376 H) rahimahullaah, cet. Muassasah ar-Risalah, th. 1417 H.
[3]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 224), dari Shahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, lihat Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 3913). Diriwayatkan pula oleh Imam-imam ahli hadits yang lainnya dari beberapa Shahabat seperti ‘Ali, Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas’ud, Abu Sa’id al-Khudri, dan al-Husain bin ‘Ali radhiyallaahu ‘anhum
[4]. Lihat Tafsiir al-Qurthubi (VIII/187), dengan diringkas. Tentang pembagian hukum menuntut ilmu dapat juga dilihat dalam Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/56-62) oleh Ibnu ‘Abdil Barr.
[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2699), Ahmad (II/252, 325), Abu Dawud (no. 3643), At-Tirmidzi (no. 2646), Ibnu Majah (no. 225), dan Ibnu Hibban (no. 78-Mawaarid), dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu. Lafazh ini milik Muslim.
• Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam (II/297) dan Qawaa’id wa Fawaa-id minal Arba’iin an-Nawawiyyah (hal. 316-317).
[6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (V/196), Abu Dawud (no. 3641), at-Tirmidzi (no. 2682), Ibnu Majah (no. 223), dan Ibnu Hibban (no. 80 al-Mawaarid), lafazh ini milik Ahmad, dari Shahabat Abu Darda’ radhiyallaahu ‘anhu.
[7]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 3510), Ahmad (III/150) dan lainnya, dari Shahabat Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu. At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan.” Lihat takhrij lengkapnya dalam Silsilah ash-Shahiihah (no. 2562).
[8]. Disebutkan oleh al-Khatib al-Baghdadi dalam al-Faqiih wal Mutafaqqih (no. 40). Lihat kitab al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 132).
___________
Foote Notes
[1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6412), at-Tirmidzi (no. 2304), Ibnu Majah (no. 4170), Ahmad (I/258,344), ad-Darimi (II/297), al-Hakim (IV/306), dan selainnya dari Shahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma.
[2]. Lihat kitab Taisiir Karimir Rahmaan fii Tafsiir Kalaamil Mannaan (hal. 295-296) karya Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di (wafat th. 1376 H) rahimahullaah, cet. Muassasah ar-Risalah, th. 1417 H.
[3]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 224), dari Shahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, lihat Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 3913). Diriwayatkan pula oleh Imam-imam ahli hadits yang lainnya dari beberapa Shahabat seperti ‘Ali, Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas’ud, Abu Sa’id al-Khudri, dan al-Husain bin ‘Ali radhiyallaahu ‘anhum
[4]. Lihat Tafsiir al-Qurthubi (VIII/187), dengan diringkas. Tentang pembagian hukum menuntut ilmu dapat juga dilihat dalam Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/56-62) oleh Ibnu ‘Abdil Barr.
[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2699), Ahmad (II/252, 325), Abu Dawud (no. 3643), At-Tirmidzi (no. 2646), Ibnu Majah (no. 225), dan Ibnu Hibban (no. 78-Mawaarid), dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu. Lafazh ini milik Muslim.
• Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam (II/297) dan Qawaa’id wa Fawaa-id minal Arba’iin an-Nawawiyyah (hal. 316-317).
[6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (V/196), Abu Dawud (no. 3641), at-Tirmidzi (no. 2682), Ibnu Majah (no. 223), dan Ibnu Hibban (no. 80 al-Mawaarid), lafazh ini milik Ahmad, dari Shahabat Abu Darda’ radhiyallaahu ‘anhu.
[7]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 3510), Ahmad (III/150) dan lainnya, dari Shahabat Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu. At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan.” Lihat takhrij lengkapnya dalam Silsilah ash-Shahiihah (no. 2562).
[8]. Disebutkan oleh al-Khatib al-Baghdadi dalam al-Faqiih wal Mutafaqqih (no. 40). Lihat kitab al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 132).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar