Pengantar
Penerjemah
Tidak diragukan
lagi bahwa kita tengah berada di suatu zaman dimana nilai-nilai ukhuwwah
(persaudaraan) yang dibangun karena Allah mulai pudar. Orang-orang tidak saling
berhubungan melainkan karena pertimbangan materi belaka. Mereka saling
mencintai dan membenci karena dunia. Tidaklah salah seorang dari mereka
mendekati yang lain dengan wajah yang manis kecuali karena ada maunya. Tatkala
kepentingan itu tidak tercapai, maka senyuman pun berubah menjadi raut masam.
Hal semacam ini
bukanlah termasuk gaya hidup as-Salafus Shalih. Mereka sungguh sangat jauh dari
model hidup seperti itu. Tidaklah mereka mencintai dan bersahabat dengan
seseorang melainkan karena Allah.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَتَدْخُلُوا الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلاَ تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوْا
“Kalian tidak
akan masuk surga sampai kalian beriman dan tidaklah kalian beriman sampai kalian
saling mencintai…”[1]
Kita sama-sama
mengetahui bahwa defininsi ibadah adalah sebuah nama yang mencakup semua
perkara yang yang dicintai dan diridhai oleh Allah, baik berupa perkataan
maupun perbuatan, yang zhahir maupun batin. Diantara perkataan dan perbuatan
yang dicintai dan diridhai oleh Allah adalah menunaikan hak-hak ukhuwwah. Hak
seorang muslim atas saudaranya yang lain. Terlebih lagi jika keduanya adalah
sahabat karib. Bukan hanya sekedar saudara sesama muslim. Mereka bertemu dan
berpisah karena Allah, sama-sama berjalan di atas ketaatan kepada Allah, saling
tolong-menolong dalam kebaikan, sehingga semakin kuatlah hak-hak ukhuwwah yang
ada diantara keduanya. Hak-hak ini hendaknya tetap diperhatikan oleh setiap
muslim, baik tua, muda, lelaki, maupun wanita.
Sungguh, Allah benar-benar telah memberi kenikmatan kepada kaum muslimin dengan menjadikan mereka bersaudara. Allah berfirman:
Sungguh, Allah benar-benar telah memberi kenikmatan kepada kaum muslimin dengan menjadikan mereka bersaudara. Allah berfirman:
﴿فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتٌمْ عَلَى شَفَى حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا﴾
“Lalu menjadilah
kalian karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara, dan kalian dahulu
berada di tepi jurang neraka lalu Allah menyelamatkan kalian darinya.” [2] (Ali
‘Imran: 103)
Dalam ayat
tersebut Allah menyebutkan nikmat yang telah Ia berikan kepada hamba-hamba-Nya,
yaitu menyatukan hati-hati mereka dan menjadikan mereka bersaudara. Hal ini
menunjukkan bahwa nikmat yang sangat agung ini, yaitu ukhuwwah, semestinya
hanya dilandasi karena Allah semata.
Seorang muslim
harus menyadari bahwa persaudaraan dan rasa cinta diantara sesama kaum mukminin
yang dilandasi karena Allah merupakan suatu nimat yang sangat agung dari Allah.
Maka hendaknya senantiasa dijaga dan dipelihara.
Dalam
menafsirkan firman Allah: بِنِعْمَتِهِ (karena
nikmat-Nya), sebagian ulama berkata, “Ini adalah peringatan bahwasanya
terjalinnya tali persaudaraan dan terjalinnya cinta kasih diantara kaum
mukminin hanyalah disebabkan karunia
Allah semata, sebagaimana dijelaskan dalam ayat yang lain:
﴿لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِيْ الْأَرْضِ جَمِيْعًا مَا أَلَّفْت بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ وَلَكِنَّ اللهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ﴾
“Walaupun
engkau membelanjakan semua (kekayaan) yang ada di bumi niscaya engkau tidak
bisa mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah-lah yang telah mempersatukan
hati mereka” (Al-Anfal: 63)
Maka yang
menjadikan hati-hati manusia bersatu dalam ibadah kepada Allah, sekaligus
saling mencintai, padahal mereka berasal dari berbagai penjuru dunia, dari ras
yang beraneka ragam, serta dari martabat yang bertingkat-tingkat, hanyalah
Allah semata, dengan nikmat-Nya yang tiada bandingnya. Ini adalah nikmat yang
selayaknya seorang muslim bergembira dengannya. Allah berfirman:
قُلْ بِفَضْلِ اللهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوْا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُوْنَ
“Katakanlah:
‘Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya’, hendaknya dengan itu mereka bergembira.
Karunia dan rahmat Allah itu lebih baik dari yang mereka kumpulkan” (Yunus:
58)[3]
‘Abdah bin Abi
Lubabah berkata: “Aku bertemu dengan Mujahid. Lalu dia menjabat tanganku,
seraya berkata: ‘Jika dua orang yang saling mencintai karena Allah bertemu,
lalu salah satunya mengambil tangan kawannya sambil tersenyum kepadanya, maka
gugurlah dosa-dosa mereka sebagaimana gugurnya dedaunan.”
‘Abdah
melanjutkan: “Aku pun berkata: ‘Ini adalah perkara yang mudah.’ Mujahid
lantas menegurku, seraya berkata: “Janganlah kau berkata demikian, karena Allah
berfirman:
لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِيْ الْأَرْضِ جَمِيْعًا مَا أَلَّفْت بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ وَلَكِنَّ اللهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ
“Walaupun
engkau membelanjakan semua (kekayaan) yang ada di bumi niscaya engkau tidak
bisa mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allahlah yang telah mempersatukan
hati mereka” (Al-Anfal: 63)
Akhirnya ‘Abdah
berkata: “Maka aku pun mengakui bahwa dia memiliki pemahaman yang lebih
dibandingkan aku”[4]
Landasan
seorang muslim tatkala bermu’amalah dengan saudaranya
Dari Abu
Hamzah, Anas bin Malik, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau
bersabda:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidaklah
beriman salah seorang dari kalian hingga dia menyukai (menginginkan) bagi
saudaranya segala (kebaikan) yang dia sukai bagi dirinya sendiri”[5]
Keinginan agar
saudara kita juga mendapatkan apa yang kita sukai bagi diri kita merupakan
suatu kewajiban setiap orang yang beriman. Hukumnya bukan hanya sekedar
mustahab (sunnah), sebagaimana persangkaan sebagian orang. Barangsiapa yang
dalam hatinya tidak terdapat perasaan demikian maka dia telah berdosa. Hal ini
telah dijelaskan secara panjang lebar oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.[6]
Tidaklah Allah
dan Rasul-Nya menafikan sesuatu perkara yang diperintahkan, kecuali karena
ditinggalkannya sebagian kewajiban dalam perkara tersebut. Tentang shalat
misalnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak ada
shalat bagi orang yang menahan dua hadats (buang air dan buang angin).”
Beliau juga
bersabda:
“Tidak ada
shalat bagi orang yang tidak membaca surat al-Fatihah.”
Tatkala melihat
orang yang rusak shalatnya karena tergesa-gesa, tidak thuma’-ninah (tenang),
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
“Kembalilah
shalat karena sesungguhnya engkau belum shalat.”
Ini menunjukkan
bahwa hukum tidak menahan buang air ketika shalat adalah wajib. Begitu juga
dengan hukum membaca al-Fatihah dan thuma’-nihah dalam shalat.
Kembali ke
masalah keimanan, dengan menganalogikan contoh-contoh di atas dapat ditarik
kesimpulan, bahwa jika meninggalkan suatu perbuatan menyebabkan iman
ternafikan, maka perbuatan tersebut hukumnya adalah wajib.
Misalnya sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Tidaklah
beriman orang yang tidak amanah”
Begitu juga
sabda beliau :
”Tidaklah
beriman salah seorang dari kalian hingga akulah yang lebih dia cintai dari pada
orang tuanya, dari pada anaknya, dan dari seluruh manusia.”
Serta sabda
beliau:
“Tidaklah
beriman orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya.”
Hadits-hadits
ini menunjukkan bahwa menjaga amanah, mendahulukan kecintaan kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam diatas manusia yang lain, dan tidak mengganggu
tetangga hukumnya adalah wajib.
Di dalam
nash-nash syar’i, iman dan shalat tidak mungkin dinafikan jika yang
ditinggalkan adalah perkara yang sunnah. Maka tidaklah kita katakan pada orang
yang shalat dengan tidak membaca do’a iftitah, “Tidak ada shalat untukmu.”
Sebab, do’a iftitah hukumnya adalah sunnah. Sekiranya kita boleh menafikan iman
dikarenakan ada perkara mustahab yang ditinggalkan, maka tentulah kita boleh
berkata, “Abu Bakr tidak beriman.” Sebab, tidak ada yang melakukan seluruh
perkara mustahab secara sempurna kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Pasti ada sebagian perkara mustahab yang ditinggalkan oleh Abu Bakr.
Namun, tentunya tidak seorang pun dari Ahlus Sunnah berkata, “Abu Bakr tidak
beriman.” Ini merupakan perkataan yang jelas-jelas batil.
Ibnu Taimiyyah
berkata: “Barangsiapa yang tidak menginginkan untuk saudaranya seiman apa yang
dia sukai bagi dirinya, maka dalam dirinya tidak ada keimanan yang diwajibkan
Allah kepadanya. Tatkala Allah menafikan keimanan dari seseorang, maka tidaklah
ini terjadi melainkan karena adanya kekurangan pada keimanan yang wajib,
sehingga pelakunya termasuk orang-orang yang terkena ancaman Allah dan
bukan termasuk orang-orang yang berhak memperoleh janji baik dari
Allah.”[7]
Ibnu Rajab
berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan balasan surga
bagi sifat ini (sifat menyukai bagi saudaranya apa yang ia sukai bagi
dirinya).”[8]
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُزَحْزَحَ عَنِ النَّارِ وَيُدْخَلَ الْجَنَّةَ فَلْتَأْتِهِ مَنِيَّتُهُ وَهُوَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الأَخِرِ وَلْيَأْتِ إِلَى النَّاسِ الَّذِي يُحِبُّ أَنْ يُؤْتَى إِلَيْهِ
“Barang siapa
yang ingin diselamatkan dari neraka dan dimasukkan kedalam surga maka hendaklah
ketika ajal menemuinya dia dalam keadaan beriman kepada Allah dan hari akhir,
dan hendaklah dia memberi orang lain apa yang dia suka untuk diberikan
kepadanya.”[9]
Lafazh (ما) dalam kalimat hadits ini: (مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ) adalah isim
maushul. Dalam kaidah ilmu ushul fiqh disebutkan bahwa isim maushul memberikan
makna yang umum (universal).
Syaikh Shalih
Alu Syaikh berkata: “Hadits di atas mencakup ”aqidah, perkataan dan perbuatan,
yaitu mencakup seluruh bentuk amal shalih, baik keyakinan, perkataan, maupun
perbuatan…. Hendaknya seorang mukmin menginginkan agar saudaranya memiliki
‘aqidah yang benar seperti ‘aqidah yang ia yakini. Sikap seperti ini hukumnya
wajib. Hendaknya ia juga menginginkan agar saudaranya shalat sebagaimana ia
shalat. Sekiranya ia senang jika saudaranya tidak berada di atas petunjuk yang
benar, maka ia telah berdosa, dan telah hilang darinya keimanan sempurna yang
wajib. Jika ia senang bila ada saudaranya yang berada di atas ‘aqidah yang
batil dan tidak sesuai dengan sunnah, yaitu ‘aqidah bid’ah, maka telah ternafikan
darinya kesempurnaan iman yang wajib. Demikian pula halnya dengan seluruh
peribadatan dan seluruh jenis-jenis sikap menjauhi perkara-perkara yang
diharamkan. Jika ia senang bila dirinya terbebas dari praktek suap, tetapi ia
senang jika ada saudaranya yang terjatuh dalam praktek suap, hingga dia merasa
unggul –lebih shalih dari saudaranya tersebut-, maka telah ternafikan
kesempurnaan iman yang wajib dari dirinya (dia telah berdosa).”[10]
Ibnu Rajab
berkata: “Hadits Anas yang sedang kita bicarakan ini menunjukkan bahwa wajib
bagi seorang mukmin untuk bergembira jika ada saudaranya yang seiman gembira.
Hendaknya ia menginginkan agar saudaranya mendapatkan kebaikan, sebagaimana ia
juga menginginkan kebaikan. Semua ini tidak bisa terwujud kecuali dari hati yang
bersih dari sifat dendam, hasad (dengki), dan curang. Sesungguhnya sifat hasad
menjadikan pemiliknya benci jika ada orang lain yang mengunggulinya atau
menyamainya dalam kebaikan. Sebab, ia ingin menjadi spesial dan istimewa di
tengah-tengah manusia dengan kelebihan-kelebihan yang dimilikinya. Tetapi
konsekuensi dari iman adalah sebaliknya, yaitu ia ingin agar seluruh kaum
mukminin menyamainya dalam kebaikan yang Allah berikan kepadanya, tanpa
mengurangi kebaikan dirinya sedikit pun.”[11]
Bahkan derajat yang
lebih tinggi dari ini –meskipun tidak wajib-[12] yaitu seorang mukmin ingin
agar kaum mukminin yang lain melebihi dia dalam kebaikan.
Berkata
al-Fudhail: “Jika engkau ingin manusia seperti engkau, maka engkau belum
menunaikan nasehat pada Rabbmu.…”
Karena itu
seorang mukmin hendaknya selalu memandang dirinya penuh dengan kekurangan,
sehingga ia selalu berusaha untuk meraih keutamaan dan kebaikan untuk
memperbaiki dirinya. Hal ini akan menimbulkan dalam hatinya agar kaum mukminin
lebih baik dari dirinya. Ia tidak rela jika kaum mukminin seperti dirinya yang
penuh kekurangan.
Muhammad bin
Wasi’ pernah berkata kepada putranya:
أَمَّا أَبُوْكَ فَلاَ كَثَّرَ اللهُ فِي الْمُسْلِمِيْنَ مِثْلَهُ
“Adapun ayahmu,
maka semoga Allah tidak memperbanyak yang semisalnya di tengah kaum
muslimin.”[13]
Syaikh Ibnu
‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Jika ada yang mengatakan bahwa sifat ini
terkadang sangat sulit dipraktekkan, yaitu engkau menghendaki bagi saudaramu
apa yang kau inginkan bagi dirimu. Engkau menghendaki saudaramu menjadi seorang
‘alim, kaya, memiliki harta dan anak-anak, serta menjadi orang yang istiqamah.
Bukankah hal ini sulit dipraktekkan? Maka jawabnya, hal ini tidaklah sulit jika
engkau melatih dan membiasakan diri. Latihlah dan biasakan dirimu, niscaya kelak
akan ringan rasanya. Namun, jika engkau menuruti hawa nafsumu maka hal ini
benar-benar akan sangat sulit untuk dilakukan.”[14]
Faidah lain
dari hadits ini adalah penjelasan tentang makna akhlak yang mulia. Syaikh
‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-’Abbad –hafizhahumallah- pernah berkata:
“Banyak pendapat dalam menjelaskan definisi akhlak mulia. Namun definisi
terbaik dari akhlak mulia adalah perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَلْيَأْتِ إِلَى النَّاسِ الَّذِي يُحِبُّ أَنْ يُؤْتَى إِلَيْه
“Hendaknya ia
memberi kepada orang lain apa yang ia suka untuk diberikan padanya.”[15]
Praktek dari
hadits ini, jika engkau ingin bermu’amalah dengan kedua orangtuamu maka
bayangkanlah bahwa engkau adalah orangtua. Anggaplah engkau adalah seorang ibu,
apa yang kau kehendaki dari anakmu untuk bermu’amalah kepadamu (maka seperti
itulah yang kau lakukan terhadap ibumu). Qiyaskanlah hal ini tatkala engkau
ingin bermu’amalah dengan tetangga dan sahabatmu. Jika ada sahabatmu yang
bersalah kepadamu maka apa sikapmu kepadanya? Bayangkan seandainya engkau
adalah sahabatmu yang bersalah itu, maka apakah yang kau harapkan? Tentunya
engkau mengharapkan untuk dimaafkan. Jika demikian maka maafkanlah sahabatmu
itu.”[16]
Demikianlah,
sangat penting bagi kita untuk selalu mengingat faidah hadits ini, tatkala
bergaul dan bermu’amalah dengan siapa pun, terutama tatkala bermu’amalah dengan
saudara seiman.
Apakah makna ukhuwwah yang disebutkan dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Jika dua orang berjalan di sebuah jalan yang lebar dan aman, maka keduanya bisa berjalan bersama dengan tentram. Masing-masing saling bergandengan tangan karena rasa cinta yang ada diantara mereka. Namun lihatlah, ternyata jalan yang ditempuh semakin sempit dan akhirnya tidak cukup kecuali untuk salah seorang saja diantara keduanya? Salah seorang dari mereka bergumam, “Manakah yang aku dahulukan? Diriku ataukah saudaraku?”
Lalu lihatlah, ternyata jalannya semakin bertambah sempit, sehingga tidak mungkin dilalui kecuali untuk satu orang saja. Ia pun bergumam kembali, “Ini adalah kesempatan emas. Hanya sekali. Kalau bukan untuk diriku tentulah untuk saudaraku. Maka siapakah yang aku dahulukan? Apakah aku ambil kesempatan ini dan membiarkan saudaraku mencari jalan lain, ataukah aku berikan kesempatan ini kepadanya dan aku berusaha lagi?” Kondisi seperti inilah yang menjadi ajang pembuktian persahabatan sejati.
Apakah makna ukhuwwah yang disebutkan dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Jika dua orang berjalan di sebuah jalan yang lebar dan aman, maka keduanya bisa berjalan bersama dengan tentram. Masing-masing saling bergandengan tangan karena rasa cinta yang ada diantara mereka. Namun lihatlah, ternyata jalan yang ditempuh semakin sempit dan akhirnya tidak cukup kecuali untuk salah seorang saja diantara keduanya? Salah seorang dari mereka bergumam, “Manakah yang aku dahulukan? Diriku ataukah saudaraku?”
Lalu lihatlah, ternyata jalannya semakin bertambah sempit, sehingga tidak mungkin dilalui kecuali untuk satu orang saja. Ia pun bergumam kembali, “Ini adalah kesempatan emas. Hanya sekali. Kalau bukan untuk diriku tentulah untuk saudaraku. Maka siapakah yang aku dahulukan? Apakah aku ambil kesempatan ini dan membiarkan saudaraku mencari jalan lain, ataukah aku berikan kesempatan ini kepadanya dan aku berusaha lagi?” Kondisi seperti inilah yang menjadi ajang pembuktian persahabatan sejati.
Sungguh,
persahabatan dalam kondisi aman dan tentram sama sekali tidak berat dan tidak
bertentangan dengan keinginan-keinginan hati. Bahkan ukhuwwah dalam kondisi ini
merupakan perkara yang diinginkan oleh hati, dimana setiap orang berusaha untuk
mewujudkannya dalam rangka meraih ketenangan jiwa. Namun pada saat kondisi
genting atau ingin mendapatkan sesuatu yang sangat berharga, maka saat itulah
teruji ukhuwwah yang sejati. Ujian inilah yang membedakan antara sikap itsar
(mengutamakan orang lain) dan egoisme, yang kadang tersembunyi dalam diri
pemiliknya ketika dalam kondisi aman dan tentram, sampai-sampai ia menyangka
bahwa ia adalah sahabat sejati yang merealisasikan segala konsekuensi ukhuwwah.
Padahal kenyataannya tidaklah demikian.[17]
Kisah Muhajirin
dan Anshar
Allah telah
memuji keimanan dan sikap itsar antara kaum Anshar dan kaum Muhajirin. Allah
berfirman:
وَالّذيْنَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالإِيْمَانَ مِنْ قِبْلِهِمِ يُحِبُّوْنَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمِ وَلاَيَجِدُوْنَ فِيْ صُدُوْرِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوْتُوْا وَيُؤْثِرُوْنَ عَلَى أَنْفُسِهِمِ وَلَوْ كَانَ بِهِمِ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوْقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئك هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan
orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (yaitu kaum
Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (yaitu kaum Muhajirin), mereka mencintai
orang yang berhijrah kepada mereka, dan mereka tiada menaruh keinginan dalam
hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (kaum Muhajirin) dan
mereka mengutamakan (kaum Muhajirin) atas diri mereka sendiri sekalipun mereka
membutuhkan (apa yang yang mereka berikan itu). Dan barang siapa yang dijaga
dari kekikiran dirinya mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (al-Hasyr: 9)
Ibnu Katsir
berkata dalam Tafsiir-nya: “Mereka (kaum Anshar) mencintai orang yang berhijrah
kepada mereka”, disebabkan kemurahan dan kemuliaan kaum Anshar, sehingga mereka
mencintai kaum Muhajirin dan menolong mereka dengan harta mereka. “…dan mereka
tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan
kepada mereka (kaum Muhajirin)”, yaitu mereka tidak menemukan dalam hati mereka
rasa dengki terhadap kaum Muhajirin yang telah dimuliakan oleh Allah dengan
kedudukan dan kemuliaan, serta didahulukannya mereka dalam penyebutan dan
kedudukan”
Kecintaan kaum
Anshar terhadap kaum Muhajirin bukanlah karena kaum Muhajirin telah berjasa
pada kaum Anshar atau telah menolong kaum Anshar sebelumnya. Sama sekali bukan.
Keimanan mereka kepada Allah-lah yang menyebabkan hal itu. Kecintaan karena
Allah-lah yang telah menyatukan antara kaum Muhajirin dan Anshar.[18]
Anas bin Malik
bertutur: “’Abdurrahman bin ‘Auf datang (ke kota Madinah), maka Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mengikat tali persaudaraan antara dia dan Sa’ad bin ar-Rabi’
al-Anshori. Sa’ad menawarkan kepada ‘Abdurrahman separuh hartanya berikut
istrinya. Maka ‘Aburrahman berkata: “Semoga Allah memberi berkah pada
keluargamu dan hartamu.”[19]
Dari Ibrahim
–yaitu Ibnu Sa’ad bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf-, dari ayahnya, dari kakeknya, ia
berkata: “Tatkala kaum Muhajirin datang ke Madinah, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengikat tali persaudaraan antara ‘Abdurrahman dan Sa’ad bin
ar-Rabi’. Sa’ad bin ar-Rabi’ berkata kepada ‘Abdurrahman: ‘Saya adalah orang
yang paling banyak hartanya di kalangan kaum Anshar, maka ambillah separuh
hartaku. Saya juga memiliki dua orang istri, maka lihatlah diantara keduanya
mana yang lebih kau senangi, lalu sebutlah namanya, sehingga saya
menceraikannya.[20] Jika telah selesai masa ‘iddah-nya, nikahilah dia.’
‘Abdurrahman berkata: ‘Semoga Allah memberikan berkah kepadamu, juga kepada
keluarga dan hartamu. Dimanakah pasar kalian?’[21] Mereka pun menunjukinya
pasarnya Bani Qainuqa’. Tidaklah ‘Abdurrahman kembali dari pasar, melainkan
sambil membawa susu yang dikeringkan dan lemak (mentega). Keesokan harinya, ia
pun ke pasar lagi. Begitulah yang terjadi setiap hari. Suatu ketika ia datang
dan pada dirinya ada bekas (minyak wangi yang) berwarna kuning . Maka Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya: ‘Bagaimana kabarmu?
‘Abdurrahman menjawab: ‘Saya sudah menikah.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bertanya lagi: ‘Berapa yang kau berikan padanya (sebagai mahar)?’ Ia menjawab:
‘Lima dirham.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Buatlah walimah,
meskipun hanya dengan seekor kambing.’”[22]
Seorang pria
pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka Nabi pun mengutus
seseorang kepada istri-istri beliau untuk bertanya tentang kondisi
mereka. Kata istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kami tidak
mempunyai apa-apa kecuali air.”
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bertanya kepada para Sahabat: “Siapakah yang
siap menjamu orang ini?”
“Saya,” jawab
salah seorang dari kaum Anshar.
Maka pergilah
ia bersama laki-laki tersebut ke kediamannya. Sesampainya disana, ia berkata
kepada istrinya: “Muliakanlah tamu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
ini.”
“Kita tidak
memiliki apa-apa kecuali makanan untuk anak-anak kita,” jawab istrinya.
“Persiapkanlah
makananmu itu -yaitu yang disiapkan untuk anak-anak-, lalu nyalakanlah lampu
dan tidurkanlah anak-anak kita jika mereka hendak makan malam.”
Istrinya pun
mempersiapkan makanan, menyalakan lampu, dan menidurkan anak-anaknya. Setelah
itu ia berdiri seakan-akan sedang memperbaiki lampu, lalu ia matikan lampu
tersebut. Dalam keadaan gelap gulita, keduanya memberikan makanan kepada si
tamu, lalu suami istri tersebut juga pura-pura makan. Lalu keduanya tidur dalam
keadaan lapar. Keesokan harinya sahabat tadi pergi menghadap Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka berkatalah Rasulullah: “Allah tertawa tadi
malam –atau- Allah takjub karena sikap kalian.” Lalu turunlah firman Allah:
“Dan mereka
mengutamakan (kaum Muhajirin) atas diri mereka sendiri sekalipun mereka
butuh (terhadap apa yang yang mereka berikan itu). Dan barang siapa yang dijaga
dari kekikiran dirinya mereka itulah orang-orang yang beruntung” (al-Hasyr:
9)[23]
Kisah Syuhada’
perang Yarmuk
Ibnul ‘Arabi
berkata: “Seusai perang Yarmuk, didapati ‘Ikrimah bin Abi Jahl, Suhail bin
‘Amr, al-Harits bin Hisyam, dan sekelompok orang dari Bani al-Mughirah sedang
dalam keadaan sekarat. Dibawakan air bagi mereka namun mereka semua saling
mengoper air tersebut hingga semuannya wafat dalam keadaan tidak minum air
tersebut. Ketika ‘Ikrimah dibawakan, ia melihat bahwa Suhail bin ‘Amr sedang
memandangnya, maka ia berkata: “Berilah air kepadanya terlebih dahulu.” Tetapi
kemudian Suhail melihat al-Harits bin Hisyam sedang memandangnya, maka ia
berkata: “Berilah air kepadanya terlebih dahulu.” Mereka semua akhirnya wafat
sebelum meminum air tersebut.”[24]
Wahai
saudaraku… benarlah perkataan Ibnul Jauzi jika kita bandingkan antara
persahabatan sejati di kalangan para sahabat dan Salafus Shalih dengan
persahabatan yang ada diantara kita.
Ibnul Jauzi
berkata: “Di zaman ini nilai-nilai dan hikmah dari persaudaraan (ukhuwwah)
telah hilang. Yang tersisa hanyalah kisah-kisah dari Salafus Shalih. Karena
itu, jika engkau mendengar tentang persaudaraan yang sejati (dizaman ini) maka
jangan kau benarkan.”[25]
Seorang penyair
berkata:
سَمِعْنَا بِالصَّدِيْقِ وَلاَ نَرَاهُ
عَلَى التَّحْقِيْقِ يُوْجَدُ فِيْ الأَنَامِ
وَأَحْسَبُهُ مُحَالاً جَوَّزُوْهُ عَلَى وَجْهِ الْمَجَازِ مِنَ الْكَلاَمِ
Kami dengar
tentang sahabat sejati tapi kami tidak melihatnya
terwujudkan
secara nyata di antara manusia.
Kusangka itu
adalah suatu kemustahilan yang mereka sampaikan
sekedar hanya
dalam bentuk kiasan
Ibnu ‘Aun berkata:
Dari ‘Umair bin Ishaq, ia berkata:
كنا نتحدث أن أول ما يرفع من الناس الألفة
“Kami merasa
bahwa yang pertama kali diangkat dari manusia adalah persahabatan.”[26]
bersambung…
Yogyakarta, 15
Agustus 2005
Artikel: www.firanda.com
Artikel: www.firanda.com
Catatan Kaki:
[1] HR Muslim (54), Abu Dawud (5193), dan at-Tirmidzi (2689)
[1] HR Muslim (54), Abu Dawud (5193), dan at-Tirmidzi (2689)
[2] Wahai
saudaraku, coba kita renungkan kembali, siapa kita pada tahun-tahun yang silam.
Tatkala kita belum mengenal namanya “ngaji”. Saat itu kita masih berpesta di
atas dosa, tersesat dalam belantara maksiat dan terombang ambing di lautan
bid’ah. Alhamdulillah, Allah kemudian menyelamatkan kita, sehingga kita
berkumpul dan bersaudara di atas tujuan yang satu, yaitu beribadah kepada-Nya
semata. Ini merupakan karunia yang tiada tara. Maka apakah layak jika kemudian
kita saling menggunjing, saling menjatuhkan, saling memutuskan hubungan, saling
hajr, hanya karena perkara ijtihadiyyah yang masih diperselisihkan oleh para
ulama Salafiyyun?! Apakah kita hendak membuang nikmat Allah yang sangat agung
itu hanya karena perkara dunia atau permasalahan-permasalahan yang seharusnya
kita bisa saling memahami?! Semoga Allah menjadikan kita termasuk
hamba-hamba-Nya yang benar-benar merasakan nikmat persaudaraan, lalu bersyukur
dan terus menjaga nikmat tersebut.
Syaikh ‘Abdul
Malik ar-Ramadhani –penulis Madaarikun Nazhar fis Siyaasah, buku yang dipuji
dan diberi pengantar oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dan sudah diterjemahkan
ke bahasa Indonesia- pernah bercerita kepada kami, bahwa dia pernah ditelepon
oleh salah seorang ikhwah dari Perancis. Saudara kita dari Perancis ini
menangis di telepon sekitar setengah jam. Apakah yang dia tangisi? Dia menangis
karena jengkel memikirkan saudara-saudaranya sesama salafi saling tahdzir dan
saling hajr, meskipun jumlah mereka sedikit. Padahal mereka sedang hidup di
tengah lautan orang-orang kafir. Dahulu, mereka tidak bermusuhan di atas
kesesatan. Tetapi setelah mereka mengenal ajaran yang benar, lha kok malah
berantem. Bukankah ini mengherankan?! Wallaahul musta’an. Semoga Allah
menyelamatkan kita semua dari tipu daya syaitan yang menghendaki perpecahan di
kalangan pengikut ajaran yang benar, yaitu barisan Ahlus Sunnah.
[3] Lihat
penjelasan dari Syaikh Shalih Alu Syaikh dalam ceramah (tulisan) beliau yang
berjudul Huquuq al-Ukhuwwah, sebagaimana yang akan disebutkan.
[4] Tafsir
At-Thabari (X/36), Hilyatul Auliya’ (III/297). Diriwayatkan juga dari Abu
Lubabah, dari Mujahid, dari Ibnu ‘Abbas, dari Rasulullah ÷ dengan sanad yang
marfu’, dalam Taariikh Waasith, pada biografi ‘Abdullah bin Sufyan Al-Wasithi
(I/178), dengan kisah yang sama, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani karena
syawaahid-nya. Lihat: as-Shahiihah (V/10) hadits (2004).
[5] HR
Al-Bukhari (13) dan Muslim (45)
[6] Lihat
Majmu’ Fataawa (VII/14-19)
[7] Majmu’
Fataawa (VII/41)
[8] Jaami’
al-’Ulum wal Hikam (I/304).
[9] HR Muslim
(1844).
[10] Dalam
Syarh al-Arba’iin an-Nawawiyyah, oleh Syaikh Shalih Alu Syaikh
[11] Jaami’
al-’Ulum wal Hikam (I/306)
[12] Karena
yang wajib dalam syari’at adalah ia menginginkan agar orang-orang seperti
dirinya dalam kebaikan.
[13] Disarikan
dari Jaami’ al-’Ulum wal Hikam (I/309-310).
[14] Syarh
al-Arba’iin an-Nawawiyyah, hal. 164.
[15] HR Muslim
(1844).
Hadits ini
semakna dengan hadits Anas yang sedang kita bicarakan, sebagaimana dijelaskan
oleh Ibnu Rajab dalam Jaami’ al-’Ulum (I/304)
[16] Faidah
yang kami dapatkan guru kami, Syaikh ‘Abdurrazzaq –hafizhahullah-, tatkala
menjelaskan hadits ke-18 dari al-Arba’iin an-Nawawiyyah.
[17] Lihat
muqoddimah tahqiq Syaikh Masyhur Hasan Salman terhadap risalah Adabul ‘Isyrah
wa Dzikrus Shuhbah wal Ukhuwwah, hal 5-6.
[18] Lihat
Mawaaqif Iimaaniyyah, hal 469.
[19] HR
Al-Bukhari (VII/317), kitab Manaaqib al-Anshar.
[20] Allahu
Akbar! Beginilah keimanan para sahabat. Betapa besar kasih sayang di antara
mereka. Kalau kita bandingkan dengan kita dizaman sekarang ini, sepertinya ini
hanyalah mimpi yang tidak mungkin bisa terwujudkan. Saya pernah bertemu dengan
beberapa orang ikhwah dari luar negeri yang sangat kenceng membantah para ahli
bid’ah. Bahkan saking kenceng-nya, mereka menyatakan bahwa seorang ulama besar
yang ada di Saudi sebagai ahli bid’ah. Padahal beliau yang dituduh itu sampai
saat ini masih duduk di al-Lajnah ad-Daa-imah lil Buhuuts wal Iftaa’ (Komite
Tetap untuk Urusan Riset dan Fatwa). Meskipun demikian, ternyata tingkah laku
mereka sehari-hari dalam mu’amalah masih jauh dari manhaj Salaf. Sampai-sampai
untuk masalah makanan saja mereka tidak segan-segan mengambil jatah saudaranya,
sebagaimana yang pernah penulis saksikan sendiri sewaktu acara makan bersama di
tempat kediaman Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Alu Syaikh. Apakah manhaj Salaf hanya
terkait dengan membantah ahli bid’ah, tetapi untuk mu’amalah sehari-hari dengan
saudaranya manhajnya ditinggalkan?! Jangankan mengorbankan istri yang paling
dicintai, jatah makan saudaranya saja ia ambil.Wallaahul musta’aan.
[21] Beginilah
jiwa para sahabat dari kaum Muhajirin. Kebaikan kaum Anshar tidaklah menjadikan
mereka bergantung pada kaum Anshar. ‘Abdurrahman bin ‘Auf tetap berusaha
sendiri untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
[22] HR
Al-Bukhari (3780). lihat Al-Fath (7/142), kitab manaqib Al-Anshar
[23] HR
Al-Bukhari (3798).
Lihat al-Fath
(VII/151) dan ‘Umdatul Qori’ (XIII/341), kitab Maanaqib al-Anshar.
[24]
Al-Muntzhom 4/123
[25]
Sebagaimana dinukil oleh Ahmad Farid dalam kitabnya Mawaaqif Iimaaniyyah (hal.
443), dari kitab Ibnul Jauzi yang berjudul al-Hubb fillaah wa Huquuqul
Ukhuwwah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar