kategori-akhlak

Rabu, 11 Desember 2013

Menjaga Rahasia

Allah ta’ala berfirman:

{وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْؤُولاً}

“Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.” (Al-Isra’: 34)
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

((إِنَّ مِنْ أَشَرِّ النَّاسِ عِنْدَ اللهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ الرَّجُلَ يُفْضِي إِلَى الْمَرْأَةِ وَتُفْضِي إِلَيْهِ ثُمَّ يَنْشُرُ سِرَّهَا)) رَوَاهُ مُسْلِمٌ.

“Termasuk orang yang paling jelek di sisi Allah kedudukannya pada hari kiamat yaitu lelaki yang menggauli istrinya dan istrinya menggaulinya, kemudian lelaki itu menyebarkan rahasianya.” (HR. Muslim)[1]
Dan rahasia adalah apa yang terjadi secara sembunyi-sembunyi antara engkau dan temanmu, tidak halal bagimu untuk menyebarkan rahasia ini atau menerangkannya kepada seorangpun, baik dia berkata kepadamu: ‘jangan engkau beritahukan kepada seorangpun’, atau diketahui dari qorinah (indikasi) perbuatan bahwa dia tidak suka untuk diketahui oleh seorangpun, atau diketahui dengan indikasi keadaan bahwa dia tidak suka untuk untuk diketahui oleh seorangpun.
Contoh yang pertama: ucapan, dia berbicara dengan kamu tentang sebuah pembicaraan, kemudian dia berkata: ‘Jangan engkau memberitahu seorangpun.” Rahasia itu bersamamu adalah amanah.
Contoh yang kedua: qorinah (indikasi) perbuatan, dia berbicara kepadamu. Pada saat dia berbicara kepadamu, dia menengok, kawatir ada seorang yang mendengar, karena arti dari dia menoleh bahwa dia tidak suka untuk diketahui oleh seorang pun.
Contoh yang ketiga: qorinah (indikasi) keadaan, perkara yang dia bicarakan atau kabarkan kepadamu ini adalah termasuk perkara yang membuat malu untuk disebutkan atau ditakutkan untuk disebutkan, atau yang semisalnya, maka tidak boleh bagimu untuk memberitahukan dan menyebarkan rahasia ini.
Kemudian penulis -rahimahullah- berdistidlal (mengambil dalil) untuk hal itu dengan firman Allah ta’ala:

{وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولاً}

“Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.” (Al-Isra’: 34)
Maksudnya: bila kalian berjanji atas sesuatu dengan lisanul hal (perbuatan yang menunjukkan kepada hal itu) atau dengan lisanul maqol (perkataan), maka wajib atas kalian untuk memenuhi perjanjian. Dan termasuk dari perjanjian syarat-syarat yang terjadi di antara manusia dalam jual beli, ijarah (pengupahan), isti’jar (penyewaan), rahn (gadai) dan lainnya. Maka sesungguhnya syarat-syarat ini termasuk perjanjian.
Demikian juga perjanjian yang berlangsung antara kaum muslimin dan orang-orang kafir, maka wajib atas kaum muslimin untuk memenuhinya. Dan perjanjian-perjanjian dari orang-orang kafir, telah Allah jelaskan dalam Surat At-Taubah bahwa mereka terbagi menjadi tiga jenis:
Jenis pertama: terus menerus mereka memenuhi janji, dan mereka ini, wajib kita untuk memenuhi perjanjian dengan mereka.
Jenis kedua: mereka membatalkan perjanjian. Mereka ini, tidak ada perjanjian antara kita dan mereka, karena mereka membatalkan perjanjian. Allah berfirman:

{أَلاَ تُقَاتِلُونَ قَوْمًا نَكَثُوا أَيْمَانَهُمْ وَهَمُّوا بِإِخْرَاجِ الرَّسُولِ وَهُمْ بَدَءُوكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ أَتَخْشَوْنَهُمْ فَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَوْهُ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ}

“Mengapakah kamu tidak memerangi orang-orang yang merusak sumpah (janjinya), padahal mereka telah keras kemauannya untuk mengusir Rasul dan merekalah yang pertama mulai memerangi kamu? Mengapakah kamu takut kepada mereka padahal Allah-lah yang berhak untuk kamu takuti, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (At-Taubah: 13)
Jenis ketiga: mereka tidak membatalkan perjanjian dan tidak jelas bagi kita bahwa mereka terus memenuhi perjanjian itu, bahkan kita kawatir mereka mengkhianati dan membatalkan perjanjian. Mereka inilah yang dikatakan Allah tentang mereka:

{وَإِمَّا تَخَافَنَّ مِنْ قَوْمٍ خِيَانَةً فَانْبِذْ إِلَيْهِمْ عَلَى سَوَاءٍ إِنَّ اللَّهَ لاَ يُحِبُّ الْخَائِنِينَ}

“Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat. ” (Al-Anfal: 58)
Maksudnya: katakan kepada mereka: “Tidak ada perjanjian antara kami dan kalian sampai urusannya jelas.”
Intinya bahwa seluruh apa yang disyaratkan antara manusia, maka itu sesungguhnya termasuk perkara yang diperjanjikan. Di antara hal itu kewajiban para pegawai untuk menunaikan pekerjaan mereka, karena seorang pegawai harus berpegang dengan syarat-syarat yang diajukan oleh pemerintah atas para pegawai, berupa hadir pada awal waktu dan tidak keluar kecuali setelah selesai waktu, tulus dalam bekerja, dan yang semisal hal itu dari perkara yang dikenal dalam kantor pelayanan.
Maka yang wajib adalah untuk memenuhi perjanjian-perjanjian ini, jika tidak maka tinggalkan tugas dan engkau bebas dalam apa yang kamu lakukan, karena tugas, engkau tidak terikat dengannya. Bahkan engkaulah yang melakukan dan menugaskan. Maka wajib engkau untuk memegangi konsekuensi syarat-syarat tugas pekerjaan ini dari segala sesuatu. Jika tidak maka tinggalkan tugas pekerjaan itu dan jadilah orang yang bebas sesuai yang engkau kehendaki, dan tidak ada seorang pun yang akan meminta pertanggung jawaban kamu kecuali Allah ‘azza wa jalla.
Kemudian penulis menyebutkan hadits Abi Sa’id Al-Khudi radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

((إِنَّ مِنْ أَشَرِّ النَّاسِ عِنْدَ اللهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ)) رَوَاهُ مُسْلِمٌ.

“Termasuk orang yang paling jelek di sisi Allah kedudukannya pada hari kiamat.”
(أَشَرّ) adalah satu lughoh (dialek) yang jarang dipakai, karena lughoh (dialek) yang banyak dipakai menghapus huruf hamzah. Maka (خَيْر) dan (شَرّ), kebanyakan lughoh (dialek) menghapus huruf hamzah pada keduanya. Maka tidak dinyatakan (أَخْيَر), dan tidak juga (أَشَرّ) melainkan sedikit. Namun hanya dinyatakan (خَيْر) dan (شَرّ).
Allah ta’ala berfirman:

{أَصْحَابُ الْجَنَّةِ يَوْمَئِذٍ خَيْرٌ مُّسْتَقَرًّا وَأَحْسَنُ مَقِيلاً }

“Penghuni-penghuni surga pada hari itu paling baik tempat tinggalnya dan paling indah tempat istirahatnya. ” (Al-Furqan: 24)
Dan Allah ta’ala berfirman:

{فَسَيَعْلَمُونَ مَنْ هُوَ شَرٌّ مَّكَانًا وَأَضْعَفُ جُنْدًا}

“Mereka akan mengetahui siapa yang lebih jelek kedudukannya dan lebih lemah penolong-penolongnya” (Maryam: 75)
dihapus hamzah untuk (خَيْر) dan (شَرّ), namun penyebutannya (dengan hamzah) datang kadang-kadang berlandaskan sesuai asalnya.
Di sini “Termasuk orang yang paling jelek di sisi Allah kedudukannya pada hari kiamat yaitu lelaki yang menggauli seorang wanita dan wanita itu menggaulinya,” maksud dengan hal itu adalah istrinya, kemudian dia menyebarkan rahasia istrinya itu, atau si istri juga menyebarkan rahasia suaminya. Lelaki itu berkata: “Aku melakukan dengan istriku malam tadi demikian dan aku berbuat demikian”. Kita berlindung kepada Allah (dari hal itu). Maka orang yang tidak menyaksikan kejadian itu seakan menyaksikannya, seakan-akan orang itu berada antara suami istri itu di ranjang. Kita berlindung kepada Allah (dari hal itu). Si suami memberitahu orang itu dengan sesuatu rahasia yang istrinya tidak suka untuk diketahui oleh seorang pun.
Atau si istri demikian juga, dia memberitahukan kepada para wanita bahwa suaminya melakukan demikian demikian dengan dia. Semua ini haram tidak boleh. Dan dia termasuk orang yang paling jelek kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat.
Yang wajib urusan-urusan rahasia di dalam rumah tangga dan di ranjang dan di selainnya agar dijaga, agar tidak diketahui seorang pun selamanya. Sesungguhnya barangsiapa yang menjaga rahasia saudaranya, Allah akan menjaga rahasianya. Dan balasan itu sesuai dengan perbuatannya.
Dari Anas pembantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melewatinya saat Anas bermain dengan anak-anak kecil. Kemudian beliau memberi salam kepada mereka, maksudnya memberi salam kepada anak-anak pada saat mereka bermain-main, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling baik akhlaknya. Sehingga biasa beliau melewati anak-anak kemudian beliau memberi salam kepada mereka. Kemudian beliau memanggil Anas dan mengutusnya dalam sebuah kebutuhan.
Sampai Anas pulang terlambat ke ibunya. Ibunya adalah Ummu Sulaim, istri Abu Thalhah. Ketika Anas datang kepada ibunya, ibunya bertanya: “Apa yang membuatmu terlambat?” Dia menjawab: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirimku dalam sebuah kebutuhan”. Maksudnya: beliau mengutusku dengan sebuah kebutuhan. Ibunya pun bertanya: “Apa kebutuhan beliau?” Anas menjawab: “Aku tidak akan memberitahukan rahasia Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Maka ibunya berkata: “Engkau janganlah memberitahukan rahasia Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seorangpun.”
Kemudian Anas berkata kepada Tsabit -Tsabit ini selalu menyertai Anas-: “Kalau aku memberitahukan kepada seseorang tentang rahasia itu, sungguh aku akan mengabarimu.”[2] Yaitu tentang kebutuhan yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Anas dengannya.
Dalam hadits ini ada banyak faedah:
Pertama: Baiknya akhlak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ketawadhuannya yang sangat. Beliau dengan kemuliaan dan kedudukan serta martabat beliau di sisi Allah dan di sisi makhluk, beliau tawadhu’ sampai memberi salam kepada anak-anak pada saat mereka bermain-main di pasar. Siapakah di antara kita yang melakukan demikian selain orang yang dikehendaki Allah.
Kedua: termasuk faedah hadits ini bahwa disunnahkan seseorang agar dia memberi salam pada orang yang dia lewati, meskipun anak-anak. Karena salam adalah sebuah doa yang engkau mendoakan kebaikan kepada saudaramu dengannya. Engkau berkata: “Assalamu ‘alaika (Semoga keselamatan atasmu).” Dan balasan dia adalah doa kepada Allah, dia berkata: “‘alaikas salam (semoga atasmu keselamatan).” Dan karena kamu jika memberi salam kepada anak-anak, engkau membiasakan mereka dengan tarbiyah (pengajaran) yang baik, hingga mereka tumbuh dan hidup di atasnya, dan engkau mendapat pahala dalam setiap perkara yang mereka mendapat petunjuk, bahkan dalam salam itu, maka setiap perkara kebaikan yang manusia mendapatkan petunjuk dalam masalah itu denganmu, engkau akan mendapatkan pahala di dalamnya.
Ketiga: bolehnya mengirim anak kecil dengan sebuah kebutuhan dengan syarat anak kecil itu bisa dipercaya. Sedangkan jika dia tidak bisa dipercaya dan anak kecil itu banyak bermain dan tidak peduli dengan kebutuhan-kebutuhan, maka engkau tidak bisa mempercayainya.
Keempat: apa yang disebutkan oleh para ahli fikih -rahimahumullah- bahwa anak kecil jika datang kepadamu dengan sebuah kebutuhan, dan dia berkata: “Ini dari bapakku, ini dari ibuku”, dan yang semisalnya, maka engkau berhak menerimanya, meskipun anak ini sendiri tidak kuasa untuk bersedekah dari hartanya sedikitpun. Namun jika dia sebagai orang yang diutus, dan dia berkata: “Ini dari bapakku”, misalnya dia membawa kurma, dia membawa semangka, atau membawa sebuah pakaian, dengan apapun. Jika dia datang kepadamu maka terimalah hal itu, dan janganlah engkau berkata: “Ini anak kecil, mungkin dia mencurinya, kadang demikian, kadang demikian”, dengan menilai secara zhahir.
Kelima: memelihara ibu dan keluarga, bahwa seseorang jika ingin memenuhi kebutuhan dan kawatir dia terlambat, hendaknya dia mengabarkan keluarga jika kebutuhan itu tidak terluputkan dengan hal itu. Maksudnya: jika engkau keluar dari keluargamu, sepantasnya engkau berkata: “Aku keluar ke arah ini”, hingga mereka merasa tenang dan hati mereka tidak tersibukkan. Dan seseorang itu tidak mengetahui, kadang dia pergi ke arah ini dan dia ditimpa dengan sebuah kejadian atau sakit atau yang lainnya. Jika hal itu tidak diketahui, maka perkaranya akan menjadi tidak jelas di sisi keluarganya. Maka sepantasnya jika engkau ingin pergi ke suatu tempat yang tidak biasa, hendaklah engkau memberitahu mereka dengan arah pergimu. Adapun tempat yang biasanya seperti keluar ke masjid dan yang semisalnya, maka tidak apa-apa.
Misalnya: Jika engkau ingin pergi ke suatu negeri yang dekat dengan negerimu, engkau mengatakan kepada mereka: “Hari ini aku akan pergi ke tempat ini”, atau engkau ingin pergi rekreasi, maka katakan: “Aku akan pergi rekreasi hari ini.” Maka engkau mengabari mereka agar mereka merasa tenang.
Keenam: tidak boleh seseorang untuk menampakkan rahasia seseorang walaupun kepada ibu dan bapaknya.
Kalau seseorang mengutusmu dalam sebuah kebutuhan, kemudian bapakmu bertanya kepadamu: “Dengan perkara apa dia mengutusmu?” Janganlah engkau memberitahu dia, meskipun dia adalah bapakmu. Atau ibumu bertanya: “Dengan perkara apa dia mengutusmu?” Janganlah engkau memberitahukan kepadanya, meskipun dia ibumu, karena ini termasuk rahasia manusia, dan tidak boleh untuk menampakkannya kepada seorang pun.
Ketujuh: baiknya pengajaran Ummu Sulaim kepada anaknya, ketika dia berkata: “Engkau janganlah memberitahukan rahasia Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Dia mengatakan demikian kepada Anas -padahal dia Anas tidak memberitahukan kepada ibunya dan tidak mengabarkan kepada selain ibunya- sebagai penguatan dan pengokohan untuk Anas dan memberikan udzur untuk Anas, karena Anas tidak mau memberitahu ibunya tentang rahasia Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibunya berkata: “Engkau janganlah memberitahukannya kepada seorangpun.” Seakan dia berkata: “Aku menyepakatimu atas hal ini, maka pegangilah ia!”
Kedelapan: Menampakkan kecintaan Anas kepada Tsabit, karena Tsabit selalu menyertainya. Oleh karena itu engkau dapati Tsabit banyak meriwayatkan dari Anas. Oleh karena ini, Anas berkata kepadanya: “Kalau aku memberitahukan kepada seseorang tentang rahasia itu, sungguh aku akan mengabarimu.” Ini menunjukkan kecintaan antara Anas dan muridnya Tsabit.
Demikian juga sepantasnya kecintaan itu ada antara para murid dengan pengajar mereka secara timbal balik. Karena jika tidak ada kecintaan antara murid dan guru, maka murid tidak akan menerima apa yang dikatakan pengajarnya. Demikian juga pengajar tidak semangat mengajari muridnya dan tidak banyak perhatian dengannya. Jika ada kecintaan antara mereka secara timbal balik, maka akan diperoleh dengan hal ini kebaikan yang banyak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar