Hak
keempat: Engkau menjauhi sifat su-uzh zhan (buruk sangka) terhadap saudaramu.
Sebab, buruk sangka terhadapnya berseberangan dengan konsekuensi dari ukhuwwah.
Konsekuensi
dari ukhuwwah adalah adanya kejujuran, kebaikan, dan ketaatan di antara dua
orang yang bersaudara. Hal ini merupakan hukum asal dari seorang muslim. Hukum
asal seorang muslim adalah seorang yang taat kepada Allah.
Jika
muslim tersebut termasuk sahabat karibmu, maka ia memiliki dua hak; hak umum
dan hak khusus, yaitu engkau jauhi sifat su-uzh zhan terhadapnya dan engkau
menjaga dirimu dari buruk sangka, karena Allah melarang buruk sangka. Allah
berfirman:
اِجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ
“Jauhilah
kalian dari kebanyakan persangkaan, sesungguhnya sebagian prasangka adalah
dosa” (al-Hujuraat: 12)
Para
ulama berkata dalam menafsirkan firman Allah ini, bahwa prasangka ada yang
tercela dan ada prasangka yang terpuji. Manakah prasangka yang terpuji? Yaitu
prasangka yang termasuk bagian dari tanda-tanda dan indikasi-indikasi yang ada
pada para hakim, para pendamai, dan pemilik kebaikan yang hendak menasihati
atau hendak menegakkan tanda-tanda dan indikasi-indikasi tersebut di depan
hakim. Seorang hakim menegakkan hujjah dan menuntut adanya bayyinah (bukti).
Banyak hujjah dan bukti yang dibangun di atas prasangka (dugaan), namun pada
kondisi seperti ini wajib diambil dan digunakan sebagai hujjah.
Adapun
menjauhi kebanyakan prasangka, yaitu prasangka buruk terhadap saudaramu sesama
muslim. Engkau berprasangka jelek terhadap saudaramu. Padahal Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ
“Hati-hatilah kalian terhadap prasangka.”
“Hati-hatilah kalian terhadap prasangka.”
Prasangka
dalam hadits ini sifatnya umum, mencakup perkataan maupun perbuatan saudaramu.
Lebih lanjut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذّبُ الْحَدِيْثِ
“Karena
sesungguhnya prasangka adalah berita yang paling dusta”[1]
Ini
adalah teks sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa prasangka
adalah berita yang paling dusta yang terdapat dalam hatimu. Jika jiwamu yang
ada dalam dirimu memberi kabar kepadamu dengan persangkaan-persangkaan,
ketahuilah bahwa hal itu merupakan berita yang paling dusta. Jika demikian,
maka hak saudaramu atas dirimu adalah engkau tidak berprasangka kepadanya
kecuali prasangka yang baik dan engkau jauhi prasangka yang buruk terhadapnya.
Allah memerintahkan hal ini kepadamu dengan firman-Nya.:
اِجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ
“Jauhilah kalian dari kebanyakan prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa” (al-Hujuraat: 12)
“Jauhilah kalian dari kebanyakan prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa” (al-Hujuraat: 12)
Karena
itu, prasangka buruk merupakan dosa bagi pelakunya. Dia berdosa karena telah
menyelisihi hukum asal seorang muslim.[2] Imam Ahmad telah meriwayatkan dalam
az-Zuhd, dan diriwayatkan juga oleh selainnya, bahwa ‘Umar pernah memberikan
nasihat:
لاَ
تَظُنَّنَّ بِكَلِمَةٍ خَرَجَتْ مِنْ أَخِيْكَ سُوْءً وَأَنْتَ تَجِدُ لَهَا فِي الْخَيْرِ مَحْمَلاً
“Janganlah
sekali-kali engkau menyangka dengan prasangka yang buruk terhadap sebuah
kalimat yang keluar dari (mulut) saudaramu, padahal kalimat tersebut masih bisa
engkau bawakan pada (makna) yang baik.”
Perhatikanlah,
‘Umar melarang prasangka buruk terhadap perkataan, selama masih bisa dibawakan
pada makna yang benar, masih mengandung makna yang baik. Maka janganlah engkau
berprasangka buruk terhadap saudaramu, karena pada asalnya ia tidaklah berkata
kecuali (menginginkan) kebaikan, dan ia tidak (ingin) mengucapkan kebatilan.
Jika perkataannya masih mengandung makna yang baik maka bawalah perkataan
tersebut pada makna yang baik, sehingga selamatlah saudaramu dari kritikan,
selamatlah ia dari prasangka buruk, selamatlah engkau dari dosa, dan selamatlah
ia selamat dari diikuti serta dicontoh kesalahannya.[3] Oleh karena itu berkata
Ibnul Mubarak, saorang imam dan mujahid yang masyhur:
الْمُؤْمِنُ يَطْلُبُ الْمَعَاذِيْرَ
“Seorang mukmin adalah orang yang mencari udzur-udzur (bagi saudaranya).[4]”
“Seorang mukmin adalah orang yang mencari udzur-udzur (bagi saudaranya).[4]”
Maksudnya,
ia mencari udzur (bagi saudaranya). Sebab, kemungkinan-kemungkinan yang ada itu
banyak jumlahnya. Maka syaitan datang kepada seorang muslim dan menentukan
salah satu kemungkinan dari kemungkinan-kemungkinan tersebut. Syaitan datang
lalu menentukan makna perkataan –yang diucapkan oleh saudaranya- dengan satu
makna (yang buruk), sehingga menimbulkan permusuhan dan kebencian. Allah
berfirman:
﴿إِنَّمَا يُرِيْدُ الشِّيْطَانُ أَنْ يُوْقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللهِ وَعَنِ الصَّلاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُوْنَ﴾
“Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kalian lantaran (meminum) khamar (arak) dan berjudi itu, dan menghalangi kalian dari mengingat Allah dan shalat, maka berhentilah kalian (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (al-Maidah: 91)
“Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kalian lantaran (meminum) khamar (arak) dan berjudi itu, dan menghalangi kalian dari mengingat Allah dan shalat, maka berhentilah kalian (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (al-Maidah: 91)
Syaitan
menentukan bagimu bahwa tafsir dari kondisi ini hanyalah begini, bahwa tafsir
dari perkataan ini hanyalah begitu (tidak ada tafsiran atau kemungkinan lain
yang baik), sehingga engkau berprasangka buruk, maka engkau pun berdosa.
Akibatnya, muncul antara engkau dan saudaramu jurang pemisah serta tidak adanya
kecocokan.
Ada
sebuah kaidah dalam memahami kalam (perkataan), bahwa setiap ucapan ada
dalalah-nya (penunjukannya). Dalalah perkataan menurut ahli ushul fiqh ada
bermacam-macam. Ada yang disebut dengan dalalah hamliyyah. Maksudnya, konteks
dari perkataan menunjukkan makna perkataan tersebut. Sebagian ucapan, jika
dipahami secara langsung -tanpa memperhatikan konteksnya- akan menunjukkan
suatu makna tertentu. Namun, jika diperhatikan siyaq-nya (konteksnya), yaitu
dengan memperhatikan kalimat yang sebelum dan sesudahnya, maka akan menjelaskan
maksud sesungguhnya dari perkataan tadi (yang berbeda jika dipahami secara
langsung).
Jika
perkataan bersumber dari seorang mukmin, dari seseorang yang terjalin tali
persaudaraan antara engkau dan dia, lalu engkau mendengarnya mengucapkan suatu
perkataan, maka jangan sampai syaitan datang kepadamu lalu membawa perkataan
tersebut kepada makna yang jelek. Bawalah perkataan saudaramu itu kepada makna
yang baik, niscaya akan tegak dalam hatimu kasih sayang terhadap
saudara-saudaramu dan akhirnya syaitan tidak masuk di antara kalian.
Karena
itu, memperhatikan dilalah hamliyyah untuk menunjukkan maksud dari suatu
perkataan adalah sangat penting. Inilah yang menjadi sandaran bagi para ahli
ilmu dalam memahami satu perkataan, sekaligus menjadi sandaran bagi orang-orang
shalih dalam memahami perkataan manusia. Sebab, maksud dari suatu perkataan
hanyalah dipahami dengan memperhatikan seluruh perkataan tersebut, bukan dengan
hanya mengambil sebagian lafazhnya. Sungguh, sejumlah lafazh terkadang
mengkhianati pengucapnya.[5] Namun, jika telah diketahui maksud (baiknya),
dengan memperhatikan seluruh perkataannya, maka ia diberi udzur. Telah kita
jelaskan –pada pelajaran yang lalu- bahwa di antara perkataan-perkataan manusia
–dan inilah yang lebih utama- ada yang mutasaybih (samar dan rancu) bagi orang
yang mendengarnya.[6] Jika dia mendapati perkataan –yang mutasyabih- tersebut
sambil mencari udzur bagi pengucapnya, sambil berusaha membawa makna perkataan
tersebut kepada makna yang paling baik, maka ia akan tenteram dan juga membuat
orang lain tenteram. Hak saudaranya tersebut akan langgeng, dan dia telah
menunaikan hak saudaranya tadi.
Karena
itu, barangsiapa yang menafsirkan perkataan saudaranya dengan penafsiran yang salah,
yaitu dengan menambahinya atau dengan membawanya kepada makna yang paling
jelek, berarti dia tidak menunaikan hak saudaranya.
Begitu
juga dengan perbuatan. Misalnya saudaramu berbuat sesuatu di hadapanmu atau
mengucapkan suatu perkataan, tiba-tiba ada orang lain –di antara yang hadir-
yang menoleh kepada orang yang di sampingnya, lalu memandangnya dengan
pandangan tertentu, maka datanglah syaitan kepada pembicara tadi, lalu berkata
“Sesungguhnya si Fulan itu tidaklah memandang kepada teman di sampingnya,
kecuali karena dia mengkritik perkataanmu, atau karena mencela perkataanmu,”
dan yang semisalnya.
Demikianlah
syaitan, ia juga turut andil dalam menafsirkan perbuatan, karena perbuatan juga
memiliki kemungkinan penafsiran yang banyak. Ditambah lagi, hanya sedikit orang
yang akan bertanya kepada saudaranya, “Kenapa engkau berbuat seperti ini?
Karena ada ganjalan di hatiku karena melihat perbuatanmu.” Hanya sedikit orang
yang melakukan hal ini (tabayyun, meminta kejelasan). Maka syaitan pun datang
dan berkata, “Perbuatannya tersebut karena itu dan itu… dia berbuat demikian
karena anu… maksud perbuatannya adalah itu… tindak-tanduknya itu hanyalah untuk
mendapatkan sesuatu… dia berbuat demikian karena ingin ini dan itu….”[7]
Perbuatan
dan tindakan itu banyak sekali kemungkinannya. Jika engkau membawa perbuatan
tersebut pada kemungkinan tertentu, berarti engkau telah berbuat pelanggaran
terhadap dirimu sendiri dan tidak menghargai akal dan pikiranmu, karena engkau
telah menjadikan kemungkinan yang banyak hanya menjadi satu kemungkinan.
Selanjutnya, engkau telah berbuat pelanggaran kepada saudaramu, karena engkau
membawa perbuatannya tadi pada kemungkinan yang paling jelek, bukan pada
kemungkinan terbaik. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذّبُ الْحَدِيْثِ
“Berhati-hatilah kalian dari prasangka karena prasangka adalah berita yang paling dusta”[8]
“Berhati-hatilah kalian dari prasangka karena prasangka adalah berita yang paling dusta”[8]
bersambung
…
Catatan
kaki:
[1]
HR Al-Bukhari (6066) dan Muslim (2563).
[2]
Maksudnya, hukum asal seorang muslim adalah taat kepada Allah, sebagaimana yang
baru saja dijelaskan oleh Syaikh Shalih. Maka tatkala ia berprasangka buruk
terhadap saudaranya muslim, berarti dia telah menuduh bahwa saudaranya tersebut
tidak taat, sehingga ia telah mengeluarkan saudaranya tadi dari hukum asal
seorang muslim.
Oleh
karena itu, prasangka buruk adalah pekerjaan sia-sia yang pelakunya tidak
mendapatkan apa-apa darinya, bahkan malah bisa mengantarkannya ke lembah dosa.
Berkata Bakr bin Abdillah Al-Muzani (sebagaimana disebutkan dalam Siyar
(IV/535) dan biografi beliau dalam Tahdzib At-Tahdzib):
إِيَّاكَ مِنَ الْكَلاَمِ مَا إِنْ أَصَبْتَِ فِيْهِ لمْ تُؤْجَرْ وَإِنْ أَخْطَأْتَ فِيْهِ أَثِمْتَ وَهُوَ سُوْءُ الظَّنِّ بِأَخِيْكَ
“Waspadalah
engkau dari perkataan yang jika perkataanmu itu benar maka engkau tidak
mendapat pahala, tetapi jika perkataanmu itu tidak benar maka engkau berdosa,
yaitu prasangka buruk kepada saudaramu.”
[3]
Maksudnya, jika engkau mendengar perkataan saudaramu yang memiliki pengaruh di
masyarakat, kemudian engkau bawa perkataannya tadi kepada makna yang jelek,
padahal perkataannya itu masih bisa dibawa ke makna yang benar, maka masyarakat
akan menyangka bahwa dia mengucapkan perkataan yang sesuai dengan tafsiranmu,
yaitu makna yang buruk, sehingga mereka pun mengikuti dan mencontohi
perkataannya karena ia memiliki pengaruh.
[4]
Hal yang sama juga dikatakan oleh Ibnu Mazin:
الْمُؤْمِنُ يَطْلُبُ ْمَعَاذِيْرَ إِخْوَانِهِ وَالْمُنَافِقُ يَطْلُبُ الْعَثَرَاتِ
“Seorang
mukmin mencari udzur bagi saudara-saudaranya, sedangkan orang munafik
mencari-cari kesalahan saudara-saudaranya”.
Abu
Qilabah ‘Abdullah bin Zaid al-Jarmi berkata -sebagaimana dinukil oleh Abu
Nu’aim dalam al-Hilyah (II/285)-:
إِذّا
بَلَغَكَ عَنْ أَخِيْكَ شَيْءٌ تَكْرَهُهُ فَالْتَمِسْ لَهُ الْعُذْرَ جهْدَكَ، فَإِنْ لَمْ تَجِدْ لَهُ عُذْرًا فَقُلْ فِيْ نَفْسِكَ: لَعَلَّ لأَخِيْ عُذْرًا لاَ أَعْلَمُهُ
“Jika
sampai kepadamu kabar tentang saudaramu yang kau tidak sukai, maka berusahalah
mencari udzur bagi saudaramu itu semampumu, jika engkau tidak mampu mendapatkan
udzur bagi saudaramu, maka katakanlah dalam dirimu, ‘Mungkin saudaraku punya
udzur yang tidak kuketahui’.”
Hamdun
Al-Qashshar berkata:
إِذَا
زَلَّ أَخٌ مِنْ أِخْوَانِكَ فَاطْلُبْ تِسْعِيْنَ عُذْرًا، فَإِنْ لَمْ يَقْبَلْ ذّلِكَ فَأَنْتَ الْمَعِيْبُ
“Jika
salah seorang dari saudaramu bersalah, maka carilah sembilan puluh udzur
untuknya, dan jika saudaramu itu tidak bisa menerima satu udzur pun (jika
engkau tidak menemukan udzur baginya) maka engkaulah yang tercela”
Lihat
Adabul ‘Isyrah, hal 19.
Abu
Hatim bin Hibban berkata -dalam Raudhatul Uqalaa’, hal. 131, sebagaimana
dinukil oleh Syaikh al-’Abbad dalam Rifqan Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah, hal
26-: “Wajib bagi seorang yang cerdik untuk melazimi keselamatan (hati dan
lisannya), dengan meninggalkan tajasuss (mencari-cari) aib orang lain dan
menyibukkan dirinya untuk memperbaiki aibnya sendiri. Sesungguhnya barangsiapa
yang sibuk mengurusi aibnya sendiri sehingga terlalaikan dari mengurusi aib
orang lain maka ia telah menyantaikan tubuhnya dan tidak meletihkan hatinya.
Semakin dia mengungkap dan mengenal aib-aib dirinya maka akan terasa semakin
ringan baginya aib semisal aibnya yang tampak pada saudaranya. Adapun
barangsiapa yang sibuk mengurusi aib-aib orang lain sehingga terlalaikan dari
mengurusi aibnya sendiri maka hatinya menjadi buta dan letih badannya serta
tidak mampu meninggalkan aib dirinya sendiri.”
Sungguh
indah perkataan seorang penyair:
شَرُّ
الْوَرَى بِعُيُوْبِ النَّاسِ مُشْتَغِلْ مِثْلُ
الذُبَابِ يُرَاعِي مَوْطِنَ الْعِلَلْ
Seburuk-buruk
manusia adalah yang sibuk mengurusi aib orang lain
ibarat
seekor lalat yang hanya mencari-cari tempat yang kotor
Syaikh
‘Abdurrazzaq berkata: “Pada umumnya manusia tidak melihat aib diri mereka.
Engkau melihat salah seorang dari mereka berperilaku kasar, namun ia merasa
bahwa dirinya sangat lembut. Meski begitu keadaannya, ia masih sibuk mengkritik
kesalahan orang lain. Barangsiapa yang mampu mengenal aib dirinya sendiri maka
hal itu merupakan tanda kebaikan, keshalihan, dan merupakan awal timbulnya
banyak kebajikan.” (Faidah ini kami dapatkan dari Syaikh ketika menjelaskan
hadits (18) dari al-Arba’iin an-Nawawiyyah)
[5]
Maksudnya, seseorang terkadang ingin mengungkapkan sesuatu, tetapi ternyata
lafazh-lafazh yang ia pakai untuk mengungkapkan keinginannya tadi membuat salah
paham orang yang mendengarnya, justru bertentangan dengan maksud si pembicara.
Ini sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
[6]
Maksudnya, firman Allah ada yang muhkam (jelas) dan ada juga yang mutasyabih
(samar), jika ditinjau dari orang yang mengamatinya. Begitu juga dengan sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan kata lain, dalil itu ada yang
muhkam dan ada yang mutasyabih. Demikian pula dengan perkataan ulama, ada yang
muhkam dan ada yang mutasyabih, sehingga para ahli bid’ah sering berdalil
dengan perkataan ulama Ahlus Sunnah yang mutasyabih untuk mendukung bid’ah
mereka. Syaikh Shalih Alu Syaikh sering mengingatkan hal ini dalam
ceramah-ceramah beliau. Selanjutnya, sebagaimana tatkala memahami dalil yang
mutsyabih harus dikembalikan pada dalil yang muhkam, maka tatkala memahami
perkataan ulama yang mutasyabih juga harus dikembalikan pada perkataannya yang
muhkam, apalagi perkataan orang awam.
[7]
Inilah yang sering terjadi di zaman yang penuh fitnah ini. Orang-orang mulai
menilai isi hati manusia. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saja
tidak tahu isi hati manusia. Bahkan beliau bersabda: “Sesungguhnya aku tidak
diperintahkan untuk memeriksa isi hati manusia.” HR. Al-Bukhari (4351).
[8]
Mencari udzur untuk sesama saudara termasuk jalannya as-Salafus shalih.
Ditanyakan kepada Junaid, “Kenapa para sahabatmu makannya banyak?” Dia
menjawab, “Karena mereka tidak minum khamr, sehingga mereka lebih lapar.” Lalu
ia ditanya lagi, “Kenapa syahwat mereka besar?” Dia menjawab, “Karena mereka
tidak berzina dan tidak melakukan hal yang dilarang.” Lalu ia ditanya lagi,
“Kenapa mereka tidak bergoyang (bergerak-gerak karena semangat) tatkala
mendengarkan al-Qur-an?” Dia menjawab, “Karena al-Qur-an adalah firman Allah,
tidak ada sesuatu pun dalam al-Qur-an yang menyebabkan untuk bergoyang.
Al-Qur-an turun dengan perintah dan larangan, dengan janji (kabar gembira) dan
ancaman, maka Al-Qur-an adalah menyedihkan.” Begitulah seterusnya, Junaid terus
mencari udzur terhadap para sahabatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar