kategori-akhlak

Rabu, 11 Desember 2013

Menjenguk Orang Sakit

Dari Al-Barra` bin ‘Azib radhiallahu ‘anhu dia berkata : nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami dengan tujuh perkara dan melarang kami dari tujuh perkara : beliau memerintahkan kami agar mengikuti iringan jenazah, mengunjungi orang sakit, menjawab undangan, menolong orang yang dizhalimi, berbuat baik bagi orang yang bersumpah, menjawab salam, menjawab orang yang bersin, dan beliau melarang kami memakai bejana yang terbuat dari perak, cincin emas, kain sutra, kain yang bercampur dengan sutra, al-qissi dan al-istibraq[1].
Adab adab Menjenguk Orang Sakit
  1. Keutamaan Menjenguk Orang Sakit.
Banyak Atsar menyebutkan keutamaannya di sini kami menyebutkan diantaranya : hadits Tsauban radhiaallahu ‘anhu bekas budak rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam riwayatkan yang mana dia berkata : rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda : “barang siapa yang menjenguk orang sakit maka dia senantiasa berada di taman kurma di surga[2] sampai di kembali (ke rumah)”[3].
Dari Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhu bahwasanya dia bersabda : saya mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda : ” Barang siapa yang mengunjungi orang sakit niscaya dia berada dalam naungan rahmat sampai apabila dia duduk tinggal padanya”[4] dan di dalam lafazh yang lain : ” Barang siapa yang mengunjungi orang sakit niscaya dia mendapatkan rahmat maka apabila dia duduk di sampingnya dia tetap berada di dalam rahmat, dan apabila dia keluar dari orang yang sakit dia teus diliputi rahmat sampai dia kembali ke rumahya”[5]. Dan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dia berkata : rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda : “sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfirman di hari kiamat : wahai anak cucu Adam saya sakit dan kalian tidak menjengukku, anak cucu Adam berkata : wahai rabb bagaimana kami menjenguk engkau sedangkan engkaulah rabb semesta alam? Allah berfirman : tidakkah kamu tahu bahwa hambaku fulan sakit dan kamu tidak menjenguknya? Tidakkah kamu tahu kalau saja kamu mengunjunginya niscaya kamu akan mendapatiku berada di sisinya….al-hadits”[6]. Dan dari Ali radhiallahu ‘anhu dia berkata : saya mendengar rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda : “barang siapa yang mendatangi saudaranya yang muslim dalam rangka menjenguknya, niscaya dia berjalan di kebun surga sampai dia duduk, dan apabila dia duduk niscaya rahmat Allah akan meliputinya, dan apabila dia pergi menjenguk di waktu pagi niscaya tujuh puluh malaikat akan mendoakannya sampai dia mendapati sore hari dan apabila di waktu sore tujuh puluh malaikat akan mendoakannya sampai dia mendapati pagi”[7].
Dan setelah menyebutkan hadits-hadtis yang shahih dalam menjelaskan keutamaan mengunjungi orang yang sakit, dan pahala bagi orang yang mengunjungi dapatkan dari kunjungainnya, maka tidak sepantasnya meremehkan hal tersebut, bahkan harus untuk bersegera kepadanya, dan selalu berada di atas amalan tersebut, sehingga rahmat dzat yang Maha penyayang dan Maha pengasih dapat diraih, dan di dalam mengunjungi orang sakit ada beberapa manfaat lainnya selain yang disebutkan tadi diantaranya : membersihkan hatinya (orang yang sakit), memeriksan kebutuhan-kebutuhannya, mengambil nasehat dari musibah yang menimpanya sebagaimana Ibnul Jauzi katakan[8].
  1. Mengunjungi Anak Kecil yang Sakit.
Anak kecil apabila sakit maka mereka juga dikunjungi, sebagaimana orang-orang dewasa. Yang demikian itu dikarenakan adanya makna yang menyebabkan orang dewasa dikunjungi seperti adanya doa bagi yang sakit, meringankan sakitnya, meruqyahnya dengan ruqyah syar’iyyah, dan akan mendapatkan pahala mengunjungi orang sakit bagi orang yang berkunjung.
Dari Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhuma dia berkata : ” Sesungguhnya salah seorang anak perempuan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengutus seseorang kepada beliau –dan ketika itu perawi sedang bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Sa’ad dan Ubai- yang mana kami mengira bahwa anak perempuan saya akan menjumpai ajalnya maka mari kita menyaksikannya bersama, maka nabi mengutus utusan kepadanya dengan ucapan salam dan berkata : “sesungguhnya milik Allah apa yang dia ambil dan apa yang dia berikan dan setiap sesuatu telah ditetapkan ajalnya di sisiNya, maka hendaknya kamu mengharap pahala dan bersabar”.
Namun anak perempuan beliau kembali mengutus utusan dengan mengucapkan sumpah atas beliau, maka nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambangkit dan kami pun bangkit bersama beliau, ketika beliau berada di tempat kejadian anak kecil itu diangkat ke pangkuan nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan nafasnya tersengal-senggal, kedua mata nabi berlinangkan air mata, maka Sa’ad berkata padanya : apa ini wahai rasulullah? Beliau berkata : ini adalah rahmat yang Allah berikan di hati-hati yang Allah kehendaki dari para hambanya, dan Allah tidak akan menyayangi dari para hambanya kecuali mereka yang penyayang”[9].
  1. Kunjungan Wanita kepada Laki-laki Yang Sakit :
Mengunjungi laki-laki yang sakit boleh bagi wanita walaupun mereka bukan mahram mereka, akan tetapi hal itu disyaratkan apabila aman dari fitnah, adanya sitar (hijab), tidak adanya khalwat (berdua-duaan), maka apabila syarat-syarat ini ada maka mengunjungi laki-laki yang sakit yang bukan mahram boleh bagi wanita dan demikian pula sebaliknya, dari Aisyah radhiallahu ‘anha dari ayahnya, dia berkata : ” Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, Abu Bakar dan Bilal radhiallahu ‘anhuma menderita demam, Aisyah berkata : Maka saya pun masuk kepada mereka berdua dan saya berkata : Wahai ayahku bagaimana keadaanmu? Dan wahai Bilal bagaimana keadaanmu? …..al-hadits“. Dalam riwayat Ahmad : Urwah berkata : “ Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Al-Madinah para sahabat beliau mengeluh sakit demikian pula Abu Bakar, ‘Amir bin Fuhairah maula Abu Bakar dan Bilal mengeluh sakit, maka Aisyah meminta izin kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamuntuk mengunjungi mereka, dan Nabi mengizinkannya, dan Aisyah berkata kepada Abu Bakar : bagaimana keadaanmu? ….al-hadits[10].
Dan dari Ibnu Syihab dari Abu Umamah bin Sahl bin Hanif bahwasanya dia mengabarkan kepadanya : ” Bahwa ada seorang wanita yang miskin sedang sakit maka dia mengabarkan kepada Rasulullan Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang sakitnya wanita tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mengunjungi orang-orang miskin dan menanyakan tentang keadaan mereka….al-hadits[11]
Ibnu Abdil Bar berkata : “ Pada hadits ini menunjukkan pembolehan kunjungan wanita kepada laki-laki walaupun laki-laki tersebut bukan mahramnya, dan masalah ini –menurut saya (penulis) agar wanita itu Mutajallah[12] , dan apabila bukan Mutajallah maka tidak boleh, kecuali dia bertanya kepadanya dan tidak melihat kepadanya[13].
  1. Mengunjungi Orang Sakit Yang Sedang Pingsan :
Sebagian manusia menjauhkan diri untuk mengunjungi orang sakit yang tidak sadar akan kehadiran orang-orang yang ada di sekitarnya, seperti orang yang dalam kondisi pingsan yang muncul berulang-ulang, atau mereka yang dalam kehilangan kesadaran dalam jangka waktu lama, dengan alasan orang yang sakit ini tidak menyadari keberadaannya dan tidak merasakannya maka kalau begitu tidak perlu untuk menjenguknya, ini adalah pemahaman yang salah dan argumen yang tidak ada dalilnya, dan dalil yang shahih justru menyelisihinya.
Dari Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhuma dia berkata : ” Saya pernah sakit maka nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamdan Abu Bakar mendatangiku untuk menjengukku dengan berjalan kaki, maka mereka mendapatiku dalam keadaan pingsan, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu` dan memercikkan wudhu’nya kepadaku, aku pun sadar dan mendapati Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dekatku, maka saya berkata : “ Wahai Rasulullah, apa yang seharusnya saya perbuat terhadap hartaku, bagaimana saya memutuskan warisan hartaku? Namun beliau tidak menjawabku dengan satu kata pun sampai ayat tentang warisan turun”[14].
Ibnu Hajar berkata : “ Sekedar mengetahui keadaan orang yang sakit dengan menjenguknya tidak menjadikan pensyariatan menjenguknya terhenti. Karena di balik hal itu dapat membalut kekhawatiran keluarganya, dan mengharapkan berkah doa dari orang yang menjenguknya, meletakkan tangannya di atas orang yang sakit, mengusap badannya, meniupkan bacaan kepadanya ketika memohonkan perlindungan dan yang selainnya[15],[16].
  1. Menjenguk Orang Musyrik Yang Sakit :
Sebagian ulama berpendapat makruh menjenguk orang kafir dikarenakan di dalam perkara menjenguk mereka terkandung adanya pemuliaan[17]. Sebagian ulama lainnya membolehkan menjenguk mereka apabila diharapkan masuk islam, dan pendapat ini lebih sesuai dengan perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu telah meriwayatkan : ” Bahwa seorang budak milik orang Yahudi yang pernah membantu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatanginya dalam rangka menjenguknya, beliau berkata : Masuklah kamu ke dalam islam, maka orang itu pun masuk islam”[18].
Dan dari Sa’id bin Al-Musyyib dari ayahnya beliau berkata : ketika kematian menghadiri Abu Thalib Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallammendatanginya dan berkata : “katakanlah laa ilaaha illallaah satu kalimat yang dengannya aku akan membelamu di sisi Allah”[19].
  1. Waktu Menjenguk Orang Yang Sakit :
Tidak didapati adanya nash-nash dari al-ma’shum Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan waktu-waktu tertentu untuk menjenguk orang yang sakit dan menziarahinya, maka selama demikian perkaranya dibolehkan menziarahi orang yang sakit pada waktu apapun di malam atau siang hari selama tidak adanya hal yang memberatkan mereka. Karena diantara makna yang terkandung dalam menjenguk orang yang sakit adalah untuk meringankan derita orang yang sakit dan untuk menyenangkan hatinya bukan untuk memberatkannya Waktu ziarahi itu bervariasi tergantung perbedaan zaman dan tempat, terkadang berziarah di malam hari merupakan waktu yang dipersilahkan akan tetapi terkadang dimakruhkan di waktu yang lain.
Al-Marwadzi berkata : “ Saya bersama Abu Abdullah pernah menjenguk orang sakit di malam hari dan waktu itu di bulan Ramadhan, kemudian beliau berkata kepada saya : di bulan Ramadhan orang sakit itu di jenguk di malam hari “[20].
Dan demikian pula di waktu zhuhur karena kebiasaan yang berlaku manusia sedang tidur siang dan mereka tinggal untuk beristirahat. Al-Atsram berkata : dikatakan kepada Abu Abdillah : seseorang sedang sakit dan ketika itu matahari sedang naik di waktu musim panas, maka beliau berkata : ini bukan waktu menjenguk[21].
Maka zaman perlu diperhatikan di dalam menjenguk orang sakit, maka waktu menjenguk yang telah dikenali oleh penduduk negeri ini dan yang telah menjadi kebiasaan mereka untuk menjenguk dan berziarah terkadang bukan waktu yang biasa dilakukan oleh sebagian penduduk negeri lainnya.
  1. Meringankan Orang Yang Sakit ketika Dikunjungi :
Sepatutnya bagi orang yang menjenguk agar jangan berlama-lama duduk dan tinggal di sisi orang yang sakit, karena orang yang sakit tersibukkan dengan rasa lapar dan sakitnya. Dan ketika orang yang menjenguk berdiam lama di sisi orang yang sakit akan memberatkan bagi orang yang sakit bahkan terkadang menambah sakitnya, oleh karena itu diantara perkara yang baik ketika menjenguk orang sakit adalah dengan meringankannya.
Dari Ibnu Thawus dari ayahnya dia berkata : “ Menjenguk orang sakit yang paling baik adalah yang paling ringan … “
Al-Auza’iy berkata : “ Saya pernah bepergian menuju Bashrah ingin menjumpai Muhammad bin Sirin, namun saya mendapatinya dalam keadaan sakit di perutnya, maka kami pun masuk kepadanya untuk menjenguknya dalam keadaan berdiri …
Asy-Sya’bi berkata : “ Kunjungan orang-orang desa yang pandir lebih memberatkan bagi orang yang sakit daripada sakit yang dideritanya, mereka mendatanginya bukan pada waktunya dan berlama-lama duduk di sisinya[22].
Akan tetapi sepatutnya untuk diketahui bahwa apabila orang yang sakit menyukai orang yang menjenguk tinggal lebih lama di sisinya dan terus menerus menziarahinya, maka lebih utama bagi orang yang menjenguk untuk memenuhi keinginan orang yang sakit dikarenakan di dalam amalan tersebut terkandung sesuatu yang dapat memasukkan kebahagiaan bagi orang yang sakit, dan menyenangkan hatinya sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjenguk Sa’ad bin Mu’adz ketika terkena musibah di hari peperangan Khandak. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mendirikan kemah bagi Sa’ad di dalam masjid agar dia dapat menjenguknya dari dekat[23].
Maka sahabat mana yang tidak menyenangi keberadaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamdi sisinya dan berulang-ulang menziarahinya.
  1. Dimanakah Orang Yang Menjenguk Duduk? :
Disunnahkan bagi orang yang menjenguk untuk duduk di samping kepala orang yang sakit. Hal ini pernah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan dan orang-orang shalih setelah beliau. Di dalam hadits Anas radhiallahu ‘anhu dia berkata : ” Adalah seorang budak Yahudi yang sering membantu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , lantas dia jatuh sakit maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjenguknya. Beliau duduk di samping kepalanya dan berkata kepadanya : “ Masuklah ke dalam islam….al-hadits[24].
Dan dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, dia berkata : ” Apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjenguk orang yang sakit beliau duduk di sisi kepalanya … al-hadits[25]
Dari Ar-Rabi’ bin Abdillah dia berkata : “ Saya pernah pergi bersama Al-Hasan menjumpai Qatadah untuk menziarahinya, dan dia duduk di sisi kepalanya. Lalu beliau bertanya kepadanya kemudian mendoakan kesembuhan baginya…[26].
Berkaitan dengan adab duduk orang yang menjenguk di samping kepala orang yang sakit ada beberapa faedah diantaranya : Bahwa pada hadits tersebut adanya anjuran untuk bersikap ramah kepada orang yang sakit. Diantaranya juga orang yang menjenguk memungkinkan untuk meletakkan tangannya kepada orang yang sakit, mendoakan kesembuhan baginya dan meniupkannya kepadanya, dan perbuatan yang semisal dengan itu.
  1. Bertanya Orang Yang Sakit tentang keadaannya Dan Memberi semangat bagi orang yang sakit tersebut :
Termasuk perkara yang baik dalam menjenguk orang sakit adalah bertanya kepada orang yang sakit tentang keadaannya dan apa yang menimpanya sebagaimana yang ada di dalam hadits Aisyah radhiallahu anha, dia berkata : ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Al-Madinah, sementara Abu Bakar dan Bilal dalam keadaan sakit demam, maka Aisyah berkata : “ Maka saya pun masuk untuk melihat keadaan mereka berdua, lalu saya bertanya : “ Wahai ayahku bagaimana keadaanmu, dan wahai Bilal bagaimana keadaanmu….al-hadits[27].
Dan juga diantara perkara yang baik ketika menjenguk orang sakit adalah menghilangkan kesusahan di karenakan sakit seperti mengucapkan kepadanya : Laa ba’sa alaika satasyfi biidznillah (sakit ini tidaklah mengapa atas mu, kamu akan sembuh dengan izin Allah), atau sesungguhnya penyakit ini bukan penyakit yang berbahaya niscaya Allah akan memberikan kesehatan kepadamu –insya Allah- . Ucapan semacam ini, selama tidak nampak padanya tanda-tanda dekatnya ajal. Dan yang demikian itu karena menganggap jauh dari ajal orang yang sakit, banyak membantu cepatnya proses kesembuhan dari penyakit, dan pengobatan ini sangat manjur dan sudah dikenal dikalangan manusia.
Faedah : Keluhan orang yang sakit tidak lepas dari dua keadaan : Pertama : Keluhan tersebut dengan cara menampakkan kecemasan dan keputus asaan, dan ini tidak diragukan adalah perkara yang makruh karena menunjukkan akan lemahnya iman dan tidak adanya keridhaan terhadap ketetapan Allah dan takdirnya.
Kedua : Dengan cara mengabarkan tentang keadaan tanpa adanya niatan untuk memohon kepada para makhluk atau ketergantungan kepada mereka, dan hal ini tidak diragukan tentang bolehnya dan dalil menguatkan akan bolehnya hal tersebut.
Dari Al-Qasim bin Muhammad dia berkata : “Aisyah berkata : “ Aduh kepalaku, rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “ Yang demikian itu kalau saja terjadi dan saya masih hidup niscaya saya akan memohonkan ampunan untukmu dan mendoakan kesembuhan untukmu. Aisyah berkata : “ Demi Allah sungguh saya menyangka engkau menyukai kematianku, dan kalaulah hal itu terjadi mungkin engkau akan berada di akhir hari engkau dalam keadaan menjadi pengantin dengan sebagian istri-istri engkau.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “ Bahkan saya yang mengaduhkan sakit kepalaku … al-hadits[28].
Dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu dia berkata : “Ssaya pernah masuk kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau dalam keadaan sakit demam, saya pun menyentuh beliau dengan tangan saya dan berkata : “ Sesungguhnya engkau mengalami demam yang sangat, beliau berkata : “ Benar sebagaimana demamnya dua orang dari kalian”.
Abdullah bin Mas’ud berkata : “Apakah anda akan mendapat dua pahala? “ Beliau berkata : “ Iya, tidak lah seorang muslim yang tertimpa musibah berupa sakit dan musibah lainnya kecuali Allah akan menggugurkan dosa-dosa kesalahannya sebagaimana pohon menggugurkan daunnya”[29]
  1. Menangis Ketika Sakit :
Yaitu bagaimanakah hukumnya? Apakah hal tersebut disyariatkan ataukah terlarang? Yang nampak bagi kami berdasarkan perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah boleh.
Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma meriwayatkan dia berkata : ” Sa’ad bin Ubadah menderita suatu penyakit, kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjenguknya bersama Abdurrahman bin ‘Auf dan Sa’ad bin Abi Waqqaash dan Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhum maka ketika beliau masuk kepada Sa’ad bin Ubadah beliau mendapatinya berada di dalam kerumunan keluarganya, beliau berkata : “ Apakah telah wafat?” Mereka berkata : “ Tidak wahai Rasulullah, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menangis, dan ketika kaum tersebut melihat tangisan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mereka menangis. Nabi bersabda : “ Tidakkah kalian mendengar bahwa Allah tidak mengadzab hanya karena tetesan air mata dan tidak pula dengan kesedihan hati akan tetapi Allah mengadzab dikarenakan ini beliau mengisyaratkan kepada lisan atau Allah akan mengasihani, sesungguhnya mayyit diadzab dikarenakan tangisan keluarganya atas kematiannya”[30].
Hadits ini menunjukkan bolehnya menangis di sisi orang yang sakit, dan terlebih lagi di sisi mayyit akan tetapi tangisan yang tidak ada jeritan histeris, disebabkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang ratapan.
  1. Doa Apa Saja Yang Diucapkan Di Sisi Orang Yang Sakit :
Sepatutnya bagi orang yang menjenguk orang sakit agar tidak mengucapkan suatu ucapan kecuali yang baik, karena malaikat mengaminkan atas ucapannya itu. Hal itu telah dijelaskan di dalam hadits Ummu Salamah radhiallahu ‘anha, beliau berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ” Apabila kalian menghadiri orang yang sakit atau mayyit maka ucapkanlah ucapan yang baik, karena sesungguhnya malaikat mengaminkan atas apa yang kalian ucapkan “, Ummu Salamah berkata : “ Ketika Abu Salamah meninggal saya mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, saya berkata : “ Wahai Rasulullah sesungguhnya Abu Salamah telah meninggal ”. Nabi bersabda : “ Ucapkanlah : Wahai Allah ampunkanlah bagiku dan baginya, dan balaslah aku dari musibahku dengan balasan yang baik “, Ummu Salamah berkata : “ Aku berkata : maka Allah membalasku dengan orang yang lebih baik bagiku daripada Abu Salamah yaitu Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam “[31].
Disunnahkan bagi orang yang menjenguk agar mendoakan orang yang sakit dengan memohon rahmat dan ampunan, dan agar dibersihkan dari dosa-dosa serta keselamatan dan kesehatan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan beberapa doa, sepatutnya bagi orang yang menjenguk untuk berdoa dengan doa tersebut, karena doa-doa tersebut bersumber dari al-ma’shum yang telah diberi jawami al-kalim (kalimat yang ringkas lagi penuh hikmah), yang tidak berucap dari hawa nafsu hanyalah berupa wahyu yang diwahyukan kepadanya, diantara doa-doa beliau :
a. “Mudah-mudahan tidak apa-apa, mudah-mudahan dapat mensucikan insya Allah”.
Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma : “bahwasanya nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallammasuk ke rumah salah seorang arab badui dalam rangka menjenguknya. Ibnu Abbas berkata : “ Apabila beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi rumah orang yang sakit untuk menjenguknya beliau berkata : ” Mudah-mudahan tidak apa-apa, mudah-mudahan dapat mensucikan dari dosa insya Allah”.
Maka Nabi berkata kepadanya : “ Mudah-mudah tidak apa-apa, mudah-mudahan dapat mensucikan dari dosa insya Allah. Arab badui itu berkata : “ Engkau mengatakan dapat mensucikan? Sekali-kali tidak, bahkan dia adalah demam yang ditakuti – atau yang bergejolak – atas orang tua renta , dan membuatnya diusung kekubur.
Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Alangkah baiknya jikalau begitu”[32].
Ucapan beliau : “Mudah-mudahan tidak mengapa ” yaitu bahwa sakit itu dapat menggugurkan dosa kesalahan, maka apabila mendapat kesehatan maka seseorang telah mendapat dua faedah. Dan kalau saja tidak maka dia mendapat pahala pengguguran dosa.
Dan perkataan beliau : “Mudah-mudahan dapat mensucikan dosa” kedudukannya sebagai khabar dari mubtada’ mahdzuuf. Yaitu sakit yang mensucikan bagimu dari dosa-dosamu yaitu sebagai pensuci, sebagaimana penjelasan Ibnu Hajar[33].
Ada beberapa faedah yang terkandung di dalam hadits ini yaitu bahwa seyogyanya bagi orang yang sakit agar menerima doa kebaikan orang lain untuknya, dan jangan sampai menggerutu dari doa kebaikan untuk mensucikan dari mereka untuknya dengan doa pensucian dari dosa-dosanya sebagaimana keadaan Arab badui tadi yang ada di dalam hadits.
b. “Ya Allah Sembuhkanlah ….Fulan” Sekali – Atau Tiga Kali.
Doa ini terdapat di dalam hadits Sa’ad bin Abi Waqqash, ketika Rasulullah menjenguknya ketika dia dalam keadaan sakit, dan dalam hadits tersebut : ” Kemudian Nabi meletakkan tangannya di atas kening beliau kemudian mengusap tangannya di atas wajah dan perutku kemudian berkata : “ Ya Allah sembuhkanlah Sa’ad …” Dan dalam riwayat Muslim : ” Ya Allah sembuhkanlah Sa’ad Ya Allah sembuhkanlah Sa’ad sampai tiga kali”[34].
Ibnul Jauzi berkata : “ Pada sabda beliau : “Ya Allah sembuhkanlah Sa’ad” merupakan dalil atas disunnahkannya mendoakan kesehatan/kesembuhan untuk orang yang sakit[35].
c. “Saya Memohon Kepada Allah Yang Maha Agung Penguasa Arsy Yang Agung Agar Berkenan Menyembuhkanmu” Sebanyak Tujuh Kali.
Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda: ” Barang siapa yang menjenguk orang yang sakit yang ajalnya belum hadir dan mengucapkan di sisinya sebanyak tujuh kali : “ Saya memohon kepada Allah yang maha agung penguasa Arsy yang agung agar berkenan menyembuhkanmu. Niscaya Allah akan memberinya kesembuhan dari penyakit tersebut”[36].
d. “Ya Allah Sembuhkanlah Hambamu Yang Membunuh Musuh UntukMu Dan Senantiasa Berjalan Menuju Shalat [dalam riwayat yang lain : Berjalan Menuju Jenazah Yang Hendak Dikubur]“
Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, dia berkata : Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ” Apabila seseorang datang menjenguk orang yang sakit hendaknya dia mengucapkan : Ya Allah sembuhkanlah hambamu yang membunuh musuh untukMu dan senantiasa berjalan menuju shalat “ Dalam riwayat Abu Daud : ” atau yang berjalan kepadamu menuju jenazah yang akan dikubur[37].

  1. Meletakkan Tangan Di Atas Tubuh Orang Yang Sakit :
Disunnahkan bagi orang yang menjenguk agar meletakkan di atas jasad orang yang sakit dan mendoakannya. Meneladani Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan terkadang meletakkan tangan ini ada pengaruh di dalam meringankan sakit atau menghilangkannya secara keseluruhan, akan tetapi tidak mungkin untuk mengharuskan hal tersebut dikarenakan tidak adanya nash-nash yang khusus didalam masalah tersebut “.
Ibnul Baththal berkata : “ Meletakkan tangan di atas tubuh orang yang sakit adanya sikap menghibur baginya dan untuk mengetahui seberapa parah sakitnya agar seseorang mendoakan kesembuhan untuknya sesuai sakitnya yang nampak. Mungkin saja seseorang merukyahnya dengan tangannya dan mengusap di atas tempat yang sakit dengan rukyah yang dapat memberi manfaat kepada orang yang sakit, apabila yang menjenguk adalah orang yang shalih “.
Saya katakan (Ibnu Hajar): “ Terkadang orang yang menjenguk mengetahui pengobatan dan mengetahui penyakit sehingga dia dapat menerangkannya pengobatan yang sesuai bagi orang yang sakit sesuai dengan penyakitnya itu[38].
Dan penyebutan tentang peletakan tangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia datang di beberapa hadits. Di dalam hadits Sa’ad bin Abi Waqqash yang telah dikemukakan didepan : ” Kemudian Nabi meletakkan tangannya di atas keningnya, kemudian mengusapkan tangannya di atas wajah dan perut saya kemudian mengucapkan : Ya Allah sembuhkanlah Sa’ad…..al-hadits”.
Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, beliau berkata : ” Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjenguk orang yang sakit beliau meletakkan tangannya di atas tempat yang terasa sakit kemudian mengucapkan : Bismillah[39].
  1. Meruqyah Orang Yang Sakit :
Disunnahkan bagi orang yang menjenguk untuk meruqyah (menjampi) orang yang sakit, sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukannya, terlebih lagi apabila orang yang menjenguk termasuk orang yang bertakwa dan shaleh. Dikarenakan ruqyah orang seperti ini lebih bermanfaat daripada orang yang selainnya, sebab keshalehan mereka dan ketakwaannya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meruqyah sebagian orang yang sakit dari keluarganya dan dari selain keluarganya, dan beliau membolehkan kepada sebagian sahabatnya atas ruqyah mereka, kami akan bawakan diantara ruqyah tersebut apa yang dapat kami sebutkan berikut ini, diantaranya adalah :
a. Ruqyah Dengan Al-Mu’awwidzat.
Dari Aisyah Ummul Mu’minin radhiallahu anha, dia berkata : ” Apabila salah seorang dari keluarga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit, beliau meniupkan[40] kepadanya dari al-mu’awwidzat[41]…..al-hadits[42].
b. Ruqyah dengan Fatihatul Kitab.
Tentang hal ini ada kisah yang terjadi pada Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu bersama pemimpin satu kaum yang terkena sengatan berbisa. Lalu Abu Sa’id radhiallahu ‘anhu meruqyahnya dengan fatihatul kitab, kemudian Abu Sa’id diberi sepotong kambing, namun beliau enggan untuk menerimanya dan berkata : “ Sampai saya sebutkan hal itu kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka datanglah dia kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyebutkan hal itu kepada beliau, beliau berkata : “ Wahai rasulullah, demi Allah tidaklah saya meruqyah kecuali dengan fatihatul kitab, beliau tersenyum dan berkata : “Bagaimana engkau bisa tahu bahwa surat itu adalah ruqyah?” kemudian beliau berkata : “Ambillah pemberian itu dari mereka, dan bagikan satu bagian untukku bersama kalian”[43].
c. Meruqyah dengan “hilangkanlah kesusahan, wahai rabb manusia, sembuhkanlah engkaulah penyembuh tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan dariMu, kesembuhan yang tidak menyisakan penyakit”
Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, ” Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi orang yang sakit atau didatangkan kepadanya orang yang sakit, beliau mengucapkan : “ Hilangkanlah kesusahan wahai Rabb manusia sembuhkanlah, engkaulah penyembuh tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan darimu, kesembuhan yang tidak menyisakan penyakit” adapun pada riwayat dari Muslim : ” Apabila beliau mendapati salah seorang dari kami mengeluh sakit beliau mengusapnya dengan tangan kanannya kemudian mengucapkan : ” Hilangkanlah kesusahan wahai Rabb manusia… al-hadits”[44].
d. Ruqyah dengan “dengan nama Allah saya meruqyahmu, dari segala sesuatu yang mengganggumu, dari kejahatan setiap jiwa atau mata yang hasad, Allah yang menyembuhkanmu, dengan nama Allah saya meruqyahmu”.
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu : ” Bahwa Jibril datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata : wahai Muhammad apakah kamu mengeluh sakit? Beliau berkata : “ Iya “.
Jibril mengucapkan : “ Dengan nama Allah saya meruqyahmu dari segala sesuatu yang mengganggumu, dari kejahatan jiwa atau mata yang hasad, Allah yang menyembuhkanmu, dengan nama Allah saya meruqyahmu ” [45].
e. Ruqyah dengan bacaan “dengan nama Allah tanah negeri kami dengan ludah sebagian dari kami dapat menyembuhkan penyakit kami dengan izin rabb kami”.
Dari Aisyah radhiallahu ‘anha : ” Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengucapkan kepada orang yang sakit : Dengan nama Allah tanah negeri kami dengan ludah sebagian dari kami dapat menyembuhkan penyakit kami dengan izin Rabb kami” Lafazh dari riwayat Muslim : ” Apabila seseorang mengeluh ada sesuatu darinya ataukah ada bisul atau luka, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkannya dengan jarinya seperti ini. Sufyan meletakkan jari telunjuknya di atas tanah kemudian mengangkatnya : ” Dengan nama Allah, tanah negeri kami dengan ludah sebagian dari kami dapat menyembuhkan penyakit kami dengan izin Rabb kami”[46]. An-Nawawi berkata : “ Makna hadits ini: bahwa beliau mengambil dari ludahnya sendiri di atas jari telunjuknya, kemudian meletakkannya di atas tanah dan melekatkan sesuatu dengan jari tersebut dari tanah dan mengusap dengan tanah di atas tempat luka atau penyakit dan mengucapkan doa dalam keadaan mengusap wallahu a’lam [47].
Catatan penting : sebagian manusia ketika menziarahi orang yang sakit sangat bersemangat untuk menyertakan seikat bunga mawar yang dia berikan kepada orang yang sakit, dan sebagian lainnya menuliskan padanya ungkapan-ungkapan dan harapan-harapan kesembuhan yang segera dan yang semisal ini, dan hal ini menurut mereka lebih utama apa diberikan kepada orang sakit. Sedangkan sebagian besar diantara kaum manusia mengetahui bahwa taqlid (ikut-ikutan) ini datangnya negeri orang-orang Nashara, yang mana kita dilarang bertasyabbuh (menyerupakan diri) dengan mereka, dan bertasyabbuh kepada orang-orang Yahudi dan Nashara merupakan perkara yang diharamkan.
Maka sangat mengherankan keadaan mereka yang menggantikan doa pensucian dosa, rahmat, ampunan dan kesehatan bagi orang yang sakit dengan ungkapan-ungkapan kosong, dan harapan-harapan yang tidak dapat mempercepat dan tidak pula mengakhirkan! Dan menggantikan ruqyah (jampi) yang syar’i dari ayat-ayat Al-Qur`an dan hadits-hadits Nabi dengan seikat bunga mawar yang mungkin dapat layu sehari atau dua hari setelahnya! Ya Allah tunjukkanlah kami jalanMu yang lurus bukan jalannya orang-orang yang dimurkai dan bukan pula orang-orang yang sesat. Amin.
  1. Mentalqin (menuntun) Orang Yang Sakit Mengucapkan Syahadat Apabila Ajal Menjemputnya Dan Menutupkan Kedua Matanya Serta Mendoakan Kebaikan baginya Apabila Telah Mati :
Ketika ajal orang yang sakit semakin dekat dan tanda-tanda kematian telah nampak atasnya, maka disunnahkan bagi orang yang menjenguknya untuk mengingatkan bagi orang yang sakit akan rahmat Allah luas dan agar jangan dia putus asa dari rahmat tersebut, berdasarkan hadits Jabir radhiallahu ‘anhu dia berkata : “Saya mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiga hari sebelum kematiannya beliau berkata : ” Janganlah salah seorang dari kalian mati kecuali dia berbaik sangka kepada Allah Azza wa Jalla”[48].
Para Ulama berpendapat : Makna berbaik sangka kepada Allah -Ta’ala- : Seseorang menyangka bahwa Allah akan merahmatinya dan memaafkannya, An-Nawawi yang mengucapkanya[49].
Dan juga disunnahkan baginya untuk menalqin (menuntun) untuk mengucapkan syahadat dengan lemah lembut. Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu dia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ” Talqinkanlah (tuntunkanlah) orang yang akan mati diantara kalian kalimat Laa ilaaha illallaah[50].
An-Nawawi berkata : “ Perintah mentalqin (menuntun) ini adalah perintah yang bersifat sunnah, dan para ulama telah sepakat akan disyariatkannya talqin ini dan mereka memakruhkan kalau terlalu sering dilakukan kepada orang yang sakit dan terus menerus agar jangan sampai berkeluh kesah dengan keadaannya yang tertekan dan beratnya penderitaannya sehingga dia membencinya di dalam hati dan mengucapkan ucapan yang tidak layak.
Para ulama berpendapat : “ Apabila orang yang sakit telah mengucapkannya sekali, jangan dipaksa untuk mengulanginya kecuali kalau dia mengucapkan perkataan yang lain setelahnya maka dia diminta untuk mengulanginya lagi agar syahadat tersebut menjadi akhir dari perkataannya[51].
Dan apabila orang yang sakit itu mati maka disunnahkan bagi orang yang menghadiri kematiannya untuk memejamkan kedua matanya dan mendoakan kebaikan untuknya, berdasarkan hadits Ummu Salamah radhiallahu ‘anha dia berkata : “ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk kepada Abu Salamah dan pandangannya telah menatap keatas, maka beliau memejamkannya, kemudian bersabda : ” Sesungguhnya ruh apabila telah digenggam pandangan mata akan mengikutinya”.
Orang-orang dari keluarganya pun histeris, maka beliau bersabda : ” Janganlah kalian mendoakan kejelekan atas diri-diri kalian kecuali dengan doa yang baik. Sesungguhnya malaikat mengaminkan atas apa yang kalian katakan” Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ” Ya Allah berilah ampunan kepada Abu Salamah, angkatlah derajatnya bersama orang-orang yang mendapat hidayah, dan gantikanlah pada anak keturunannya bersama orang-orang yang masih tersisa, berikanlah ampunan kepada kami dan kepadanya wahai Rabb semesta alam, lapangkanlah baginya di dalam kuburnya, dan berikanlah baginya cahaya di dalamnya”[52].

Terjemahan dari kitab : “Kitab Al-Adab”, karya : Fu`ad bin Abdul Azis Asy-Syalhuub.

[1] HR Al-Bukhari. (1239), Muslim (2066) dan Ahmad (18034), At Tirmidzi (2809), An-Nasaa’I (1939), dan perkara yang ke tujuh yang terlarang adalah : “al-mayaasir (judi) Al-Bukhari tidak menyebutkannya di dalam hadits ini namun Muslim yang menyebutkan lafazh tersebut.
[2] Al-Baghawi berkata tentang penjelasan hadits ini : perkataan Nabi “di dalam khiraaful Jannah dan didiriwayatkan dalam riwayat lainnya (di dalam makhaariful jannah) dan [khurfatul Jannah), dan kata ini adalah bentuk jamak dari mikhraf, Al-Asma'iy berkata : dia adalah kebun kurma, dinamakan demikian dikarenakan yang demikian itu selama terjadi musim rontok, yaitu : menutupi….Ibnu Al-Anbari berkata : yang dimaksudkan yaitu memetik buah-buahan kebun, diantara penggunaannya di dalam kalimat yaitu : pohon kurma merontokkan kurma-kurmanya, maka nabi memisalkan apa yang orang yang mengunjungi orang sakit dapatkan dari pahala dengan apa yang pohon kurma dapatkan dari hasil buahnya. (Syarhus Sunnah 5/216).
HR. Muslim (2578), Ahmad (21868) dan At-Tirmidzi (967).
[4] HR. Al-Bukhari di dalam Al-Adab Al-Mufrod (522), dan hadits ini termasuk diantara balaqhaatnya Imam Malik (bab mengunjungi orang sakit dan orang yang terkena musibah) Ibnu Abdil Baar berkata tentang hadits ini : “hadits ini hadits Madani yang shahih”. (At-Tamhid 24/273). Dan hadits ini Al-Albani menshahihkannya di dalam shahih Al-Adab Al-Mufrad.
[5] HR. Ibnu Abdil Baar dengan sanadnya yang sampai kepada Jabir bin Abdullah radhiallahu anhuma. (At-Tamhid 24/263).
[6] HR. Muslim (2569) dan lafazh hadits ini miliknya, dan Ahmad (8989).
[7]HR. Ahmad (756), Abu Daud (3098), Ibnu Majah (1442) dan hadits ini sesuai lafazh darinya, dan Al-Albani berkata : “shahih” : (1191).
[8] Kasyful Musykil Min Hadits As-Shahihain. no. (710), (2/236) dengan perubahan seperlunya.
[9] HR. Al-Bukhari (5655), Muslim (923) Ahmad (21269) An-Nasaa’I (1868) dan Abu Daud (3125).
[10] HR. Al-Bukhari (5654) dan beliau memberikannya bab : bab kunjungan wanita kepada laki-laki yang sakit, dan Ummu Ad-Darda’ mengunjungi seorang laki-laki yang sakit dari kalangan sahabat yang tinggal di masjid dari kalangan Al-Anshar. dan Muslim meriwayatkan hadits ini juga (1376) tanpa menyebutkan kunjungan Aisyah radhiallahu anha kepada keduanya (Abu Bakar dan Bilal). Dan Ahmad (23839), dan Malik (1648).
[11] HR. Malik di dalam Al-Muwaththa’ (531) dan Ibnu Abdil Bar berkata : tidak ada perselisihan atas Malik di dalam kitab Al-Muwaththa’ tentang dimursalkannya hadits ini………dan hadits ini adalah hadits yang musnad yang bersambung dan shahih dari selain hadits Malik. (At-Tamhid 6/254).
[12] Di dalam Al-Lisan : ….kata tajaalat yaitu Asnat dan kaburat (telah dewasa), dan di dalam hadits Ummu Shabiyyah : kami dahulu di dalam masjid adalah wanita-wanita yang tajaalalna yaitu telah dewasa, dan dikatakan : jallat fa hiya Jalilah (wanita itu besar maka dia adalah jalilah) dan tajallat fa hiya mutajallah (wanita itu telah dewasa maka dia adalah mutajallah). (11/116) dan materi kata tersebut : ج ل ل
[13] At-Tamhid (6/255).
[14] HR. Al-Bukhari (5651), Muslim (1616), Ahmad (13886), At-Tirmidzi (2098), An-Nasaa’i (138), Abu Daud (2886), Ibnu Majah (2728) dan Ad-Darimi (733).
[15] Fathul Baari : (10/119). Dan Ibnul Munir berkata : di dalam hadits jabir tidak ada keterangan yang sharih (jelas) bahwa keduanya telah mengetahui Jabir pingsan sebelum dijenguk, maka bisa saja pingsannya Jabir bertepatan dengan kehadiran keduanya. [namun Ibnu Hajar membantah hal tersebut dan mengatakan : ] saya katakan : bahkan yang zhahir dari konteks yang ada terjadinya hal tersebut ketika datangnya keduanya dan sebelum masuknya keduanya kepadanya, dan sekedar mengetahui keadaan orang yang sakit dengan menjenguknya………..dst. (10/118-119).
[16] Catatan : Di sebagian negeri arab timbul pemikiran untuk mematikan orang yang sakit yang mati akalnya, yang demikian itu dengan jalan memberikan suntikan yang mematikannya, dan mereka berhujjah bahwa orang yang sakit ini menurut undang-undang kedokteran adalah mayat tidak ada kemungkinan untuk hidup, dan hanya masalah waktu saja, dan kami memberikan suntikan ini untuk menenangkannya dari sakit yang mungkin dia dapatkan ketika hidupnya.
Maka dikatakan kepada mereka : kalian dengan cara seperti ini dan dengan metode seperti ini tidak meringankannya bahkan kalian menghalanginya dan menghalangi selainnya, karena tetapnya dia di atas garis kehidupan dan dia dalam keadaan seperti itu, akan menjadikannya berfikir akan kesalahan-kesalahannya, dan mengangkat derajatnya apabila dia bagian dari ahlu iman dan ahlu ihsan. Dalam hadits Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu dia berkata : Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda : “tidaklah ada dari seorang muslim yang menderita sakit maka tidaklah ada dari selain sakit itu kecuali Allah akan menggugurkan kesalahan-kesalahannya sebagaimana pohon menggugurkan daunnya” HR. Al-Bukhari (5667) dan selainnya.
Dan tetapnya dia di atas garis kehidupan memungkinkan dia mendapatkan doa yang baik, dan Allah Azza wa Jalla mengabulkannya, maka dia pun sembuh dari sakitnya itu –dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu – , ataukah dosa-dosanya diampuni berkat doa-doa kaum muslimin kepadanya, dan tetapnya dia di atas garis kehidupan merupakan renungan akan kesalahan-kesalahan keluarganya yang menangung kesedihan dan kemalangan. Dari Abu Hurairah dari nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambeliau bersabda : “tidaklah seorang muslim yang tertimpa keletihan, tidak pula penyakit, kesusahan, kesedihan, gangguan, dan tidak pula kemurungan sekalipun duri yang menusuknya kecuali Allah akan menggugurkan dengannya dari kesalahan-kesalahannya” HR. Al-Bukhari (5642) dan selainnya.
Dan tetapnya dia di atas garis kehidupan adanya kebaikan yang terus menerus dan tidak akan terputus lebih khusus lagi apabila yang sakit itu adalah seorang ayah atau seorang ibu. Dan tetapnya dia di atas garis kehidupan akan memperbanyak pahala dengan menjenguk orang sakit dan menziarahinya, maka disebabkan adanya makna-makna yang bermanfaat ini yang telah kami sebutkan dan selain dari makna-makna tersebut maka kita mengetahui akan kekejian perkataan orang yang mengatakan : tidak ada faedah mengaharap-harap tetapnya orang yang mati kesadarannya dalam keadaan hidup dan bahwa kematian itu lebih baik untuknya. Wallahu a’lam.
[17] Lihat At-Tamhid (24/276).
[18] HR. Al-Bukhari (5657), Ahmad (12381) dan Abu Daud (3095).
[19] HR. Al-Bukhari (6681), Muslim (24), Ahmad (23162), dan An-Nasaa’i (2035).
[20] Al-Adab Asy-Syar’iyah (2/190).
[21] Al-Adab Asy-Syar’iyah (2/189). Akan tetapi kalau kebiasaan manusia berziarah di waktu zhuhur maka hal itu tidaklah makruh.
[22] At-Tamhid karya Ibnu Abdil Bar (24/277) bersamaan dengan mendahulukan dan mengakhirkan teksnya.
[23] Al-Bukhari (463).
[23] Takhrij haditsnya telah berlalu.
[24] HR. Al-Bukhari di dalam Al-Adabul Mufrod (536) dan Al-Albani menshahihkannya dengan no. hadits (416).
[25] HR. Al-Bukhari di dalam Al-Adabul Mufrod (537) dan Al-Albani berkata : “sanadnya shahih ” (417).
[27] Takhrij haditsnya telah berlalu.

[28] HR. Al-Bukhari (5666) Ahmad meriwayatkanya dari jalan Abdullah bin Abdullah bin Utbah (2538) Ibnu Majah (1465) dan Ad-Darimi (80).
[29] HR. Al-Bukhari (5667) Muslim (25 71), Ahmad (3611) dan Ad-Darimi (2771).
[30] HR. Al-Bukhari (1304) dan Muslim (924).
[31] HR. Muslim (919), Muslim (25958), At-Tirmidzi (977) An-Nasaa’I (1825) dan Ibnu Majah (1447).
[32] HR. Al-Bukhari (3616).
[33] Fathul Baari (10/124).
[34] HR. Al-Bukhari (5659), Muslim (1628) dan Ahmad (1443), dan At-Tirmidzi (2116), An-Nasaa’i (3616), Malik (1495) Ad-Darimi (3196) tanpa menyebutkan doa.
[35] Kasyful Musykil min hadits As-Shahihain (1/233) nomer (164).
[36] HR. Ahmad (2138), At-Tirmidzi (2083) dan Abu Daud (3106) dan lafazh ini dari beliau, dan Al-Albani menshahihkannya.
[37] HR. Ahmad (6564) dan lafazh hadits darinya, dan Abu Daud (3107) dan Al-Albani menshahihkannya.
[38] Fathul Baari (10/126).
[39] Ibnu Hajar berkata di dalam Al-Fath (10/126) : Abu Ya’la mengeluarkannya dengan sanad yang hasan.
[40] An-Nafats : lebih sedikit daripada At-Tafl, karena At-Tafl terjadi ada kecuali ada bersamanya sesuatu dari ludah, dan An-Nafats : sesuatu yang menyerupai An-Nafakh. Beliau mengatakannya di dalam lisanul arab (2/195) Bahasan : ن ف ث
[41] Al-Hafizh berkata : yang dimaksudkan dengan Al-Mu’awwidzat adalah surat qul a’udzu birabbil falaq, qul a’udzu birabbin naas, dan menggabungkan entah itu dengan tinjauan bahwa yang paling sedikit dari bentuk jamak adalah dua, ataukah dengan tinjauan bahwa yang dimaksudkan dengan kalimat-kalimat yang ada dari kedua surat tersebut, dan adanya kemungkinan bahwa yang dimaksudkan dengan Al-Mu’awwidzat adalah kedua surat ini bersama dengan surat Al-Ikhlash dan yang demikian itu dimaksudkan secara muthlaq menurut kebiasaan, dan ini yang dijadikan sandaran. Fathul Bari (7/738).
[42] HR. Al-Bukhari (5748), Muslim (2192) dan lafazh hadits ini ada pada periwayatan beliau, Ahmad (23207), Abu Daud (3902), Ibnu Majah (3529) dan Malik (1755).
[43] HR. Al-Bukhari (2276), Muslim (2201) dan lafazh ini sesuai lafazh riwayat beliau, Ahmad (10686), Abu Daud (3418) dan Ibnu Majah (2156).
[44] HR. Al-Bukhari (5675), Muslim (2191), Ahmad (24317) dan Ibnu Majah (3520).
[45] HR. Muslim (2186), Ahmad (11140), At-Tirmidzi (972) dan Ibnu Majah (3523).
[46] HR. Al-Bukhari (5745), Muslim (2194), Ahmad (24096), Abu Daud (3895) dan Ibnu Majah (3521).
[47] Syarah Shahih Muslim jilid ke tujuh (14/151).
[48] HR. Muslim (2877), Ahmad (13711), Abu Daud (3113) dan Ibnu Majah (4167).
[49] Syarah Muslim karya An-Nawawi jilid ke sembilan (17/176).
[50] HR. Muslim (916), Ahmad (10610) At-Tirmidzi (976), An-Nasaa’i (1826) Abu Daud (3117) dan Ibnu Majah (1445).
[51] Syarah shahih Muslim jilid ke tiga (6/183).
[52] HR. Muslim (920) dan lafazh hadits ini ada padanya, dan Ahmad (26003), Ibnu Majah (3118) dan Ibnu Majah (1454).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar