Dari Al-Barra`
bin ‘Azib radhiallahu ‘anhu dia berkata : nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan kami dengan tujuh perkara dan melarang kami dari tujuh perkara :
beliau memerintahkan kami agar mengikuti iringan jenazah, mengunjungi orang
sakit, menjawab undangan, menolong orang yang dizhalimi, berbuat baik bagi
orang yang bersumpah, menjawab salam, menjawab orang yang bersin, dan beliau
melarang kami memakai bejana yang terbuat dari perak, cincin emas, kain sutra, kain
yang bercampur dengan sutra, al-qissi dan al-istibraq[1].
Adab adab
Menjenguk Orang Sakit
- Keutamaan Menjenguk Orang Sakit.
Banyak Atsar
menyebutkan keutamaannya di sini kami menyebutkan diantaranya : hadits Tsauban
radhiaallahu ‘anhu bekas budak rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
riwayatkan yang mana dia berkata : rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallambersabda : “barang siapa yang menjenguk orang sakit maka dia senantiasa
berada di taman kurma di surga[2] sampai di
kembali (ke rumah)”[3].
Dari Jabir bin
Abdullah radhiallahu ‘anhu bahwasanya dia bersabda : saya mendengar Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda : ” Barang siapa yang mengunjungi orang
sakit niscaya dia berada dalam naungan rahmat sampai apabila dia duduk tinggal
padanya”[4] dan di dalam
lafazh yang lain : ” Barang siapa yang mengunjungi orang sakit niscaya dia
mendapatkan rahmat maka apabila dia duduk di sampingnya dia tetap berada di
dalam rahmat, dan apabila dia keluar dari orang yang sakit dia teus diliputi
rahmat sampai dia kembali ke rumahya”[5]. Dan dari Abu
Hurairah radhiallahu ‘anhu dia berkata : rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallambersabda : “sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfirman di hari kiamat :
wahai anak cucu Adam saya sakit dan kalian tidak menjengukku, anak cucu Adam
berkata : wahai rabb bagaimana kami menjenguk engkau sedangkan engkaulah rabb
semesta alam? Allah berfirman : tidakkah kamu tahu bahwa hambaku fulan sakit
dan kamu tidak menjenguknya? Tidakkah kamu tahu kalau saja kamu mengunjunginya
niscaya kamu akan mendapatiku berada di sisinya….al-hadits”[6]. Dan dari Ali
radhiallahu ‘anhu dia berkata : saya mendengar rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallambersabda : “barang siapa yang mendatangi saudaranya yang muslim dalam
rangka menjenguknya, niscaya dia berjalan di kebun surga sampai dia duduk, dan
apabila dia duduk niscaya rahmat Allah akan meliputinya, dan apabila dia pergi
menjenguk di waktu pagi niscaya tujuh puluh malaikat akan mendoakannya sampai
dia mendapati sore hari dan apabila di waktu sore tujuh puluh malaikat akan
mendoakannya sampai dia mendapati pagi”[7].
Dan setelah
menyebutkan hadits-hadtis yang shahih dalam menjelaskan keutamaan mengunjungi
orang yang sakit, dan pahala bagi orang yang mengunjungi dapatkan dari
kunjungainnya, maka tidak sepantasnya meremehkan hal tersebut, bahkan harus
untuk bersegera kepadanya, dan selalu berada di atas amalan tersebut, sehingga
rahmat dzat yang Maha penyayang dan Maha pengasih dapat diraih, dan di dalam
mengunjungi orang sakit ada beberapa manfaat lainnya selain yang disebutkan
tadi diantaranya : membersihkan hatinya (orang yang sakit), memeriksan kebutuhan-kebutuhannya,
mengambil nasehat dari musibah yang menimpanya sebagaimana Ibnul Jauzi katakan[8].
- Mengunjungi Anak Kecil yang Sakit.
Anak kecil apabila
sakit maka mereka juga dikunjungi, sebagaimana orang-orang dewasa. Yang
demikian itu dikarenakan adanya makna yang menyebabkan orang dewasa dikunjungi
seperti adanya doa bagi yang sakit, meringankan sakitnya, meruqyahnya dengan
ruqyah syar’iyyah, dan akan mendapatkan pahala mengunjungi orang sakit bagi
orang yang berkunjung.
Dari Usamah bin
Zaid radhiallahu ‘anhuma dia berkata : ” Sesungguhnya salah seorang anak
perempuan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengutus seseorang kepada
beliau –dan ketika itu perawi sedang bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
, Sa’ad dan Ubai- yang mana kami mengira bahwa anak perempuan saya akan
menjumpai ajalnya maka mari kita menyaksikannya bersama, maka nabi mengutus
utusan kepadanya dengan ucapan salam dan berkata : “sesungguhnya milik Allah
apa yang dia ambil dan apa yang dia berikan dan setiap sesuatu telah ditetapkan
ajalnya di sisiNya, maka hendaknya kamu mengharap pahala dan bersabar”.
Namun anak
perempuan beliau kembali mengutus utusan dengan mengucapkan sumpah atas beliau,
maka nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambangkit dan kami pun bangkit bersama
beliau, ketika beliau berada di tempat kejadian anak kecil itu diangkat ke
pangkuan nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan nafasnya
tersengal-senggal, kedua mata nabi berlinangkan air mata, maka Sa’ad berkata
padanya : apa ini wahai rasulullah? Beliau berkata : ini adalah rahmat yang
Allah berikan di hati-hati yang Allah kehendaki dari para hambanya, dan Allah
tidak akan menyayangi dari para hambanya kecuali mereka yang penyayang”[9].
- Kunjungan Wanita kepada Laki-laki Yang Sakit :
Mengunjungi
laki-laki yang sakit boleh bagi wanita walaupun mereka bukan mahram mereka,
akan tetapi hal itu disyaratkan apabila aman dari fitnah, adanya sitar
(hijab), tidak adanya khalwat (berdua-duaan), maka apabila syarat-syarat
ini ada maka mengunjungi laki-laki yang sakit yang bukan mahram boleh bagi
wanita dan demikian pula sebaliknya, dari Aisyah radhiallahu ‘anha dari
ayahnya, dia berkata : ” Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba
di Madinah, Abu Bakar dan Bilal radhiallahu ‘anhuma menderita demam, Aisyah
berkata : Maka saya pun masuk kepada mereka berdua dan saya berkata : Wahai
ayahku bagaimana keadaanmu? Dan wahai Bilal bagaimana keadaanmu? …..al-hadits“.
Dalam riwayat Ahmad : Urwah berkata : “ Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tiba di Al-Madinah para sahabat beliau mengeluh sakit demikian pula Abu
Bakar, ‘Amir bin Fuhairah maula Abu Bakar dan Bilal mengeluh sakit, maka Aisyah
meminta izin kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamuntuk mengunjungi mereka,
dan Nabi mengizinkannya, dan Aisyah berkata kepada Abu Bakar : bagaimana
keadaanmu? ….al-hadits“[10].
Dan dari Ibnu
Syihab dari Abu Umamah bin Sahl bin Hanif bahwasanya dia mengabarkan kepadanya
: ” Bahwa ada seorang wanita yang miskin sedang sakit maka dia mengabarkan
kepada Rasulullan Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang sakitnya wanita
tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mengunjungi
orang-orang miskin dan menanyakan tentang keadaan mereka….al-hadits”[11]
Ibnu Abdil Bar
berkata : “ Pada hadits ini menunjukkan pembolehan kunjungan wanita kepada
laki-laki walaupun laki-laki tersebut bukan mahramnya, dan masalah ini –menurut
saya (penulis) agar wanita itu Mutajallah[12] , dan apabila
bukan Mutajallah maka tidak boleh, kecuali dia bertanya kepadanya dan
tidak melihat kepadanya[13].
- Mengunjungi Orang Sakit Yang Sedang Pingsan :
Sebagian
manusia menjauhkan diri untuk mengunjungi orang sakit yang tidak sadar akan
kehadiran orang-orang yang ada di sekitarnya, seperti orang yang dalam kondisi
pingsan yang muncul berulang-ulang, atau mereka yang dalam kehilangan kesadaran
dalam jangka waktu lama, dengan alasan orang yang sakit ini tidak menyadari
keberadaannya dan tidak merasakannya maka kalau begitu tidak perlu untuk
menjenguknya, ini adalah pemahaman yang salah dan argumen yang tidak ada
dalilnya, dan dalil yang shahih justru menyelisihinya.
Dari Jabir bin
Abdullah radhiallahu ‘anhuma dia berkata : ” Saya pernah sakit maka nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallamdan Abu Bakar mendatangiku untuk menjengukku
dengan berjalan kaki, maka mereka mendapatiku dalam keadaan pingsan, maka Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu` dan memercikkan wudhu’nya kepadaku, aku
pun sadar dan mendapati Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dekatku, maka
saya berkata : “ Wahai Rasulullah, apa yang seharusnya saya perbuat terhadap
hartaku, bagaimana saya memutuskan warisan hartaku? Namun beliau tidak
menjawabku dengan satu kata pun sampai ayat tentang warisan turun”[14].
Ibnu Hajar
berkata : “ Sekedar mengetahui keadaan orang yang sakit dengan menjenguknya
tidak menjadikan pensyariatan menjenguknya terhenti. Karena di balik hal itu
dapat membalut kekhawatiran keluarganya, dan mengharapkan berkah doa dari orang
yang menjenguknya, meletakkan tangannya di atas orang yang sakit, mengusap
badannya, meniupkan bacaan kepadanya ketika memohonkan perlindungan dan yang
selainnya[15],[16].
- Menjenguk Orang Musyrik Yang Sakit :
Sebagian ulama
berpendapat makruh menjenguk orang kafir dikarenakan di dalam perkara menjenguk
mereka terkandung adanya pemuliaan[17]. Sebagian
ulama lainnya membolehkan menjenguk mereka apabila diharapkan masuk islam, dan
pendapat ini lebih sesuai dengan perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu telah meriwayatkan : ” Bahwa seorang budak
milik orang Yahudi yang pernah membantu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
sakit maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatanginya dalam rangka
menjenguknya, beliau berkata : Masuklah kamu ke dalam islam, maka orang itu pun
masuk islam”[18].
Dan dari Sa’id
bin Al-Musyyib dari ayahnya beliau berkata : ketika kematian menghadiri Abu
Thalib Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallammendatanginya dan berkata :
“katakanlah laa ilaaha illallaah satu kalimat yang dengannya aku akan membelamu
di sisi Allah”[19].
- Waktu Menjenguk Orang Yang Sakit :
Tidak didapati
adanya nash-nash dari al-ma’shum Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
menjelaskan waktu-waktu tertentu untuk menjenguk orang yang sakit dan
menziarahinya, maka selama demikian perkaranya dibolehkan menziarahi orang yang
sakit pada waktu apapun di malam atau siang hari selama tidak adanya hal yang
memberatkan mereka. Karena diantara makna yang terkandung dalam menjenguk orang
yang sakit adalah untuk meringankan derita orang yang sakit dan untuk menyenangkan
hatinya bukan untuk memberatkannya Waktu ziarahi itu bervariasi tergantung
perbedaan zaman dan tempat, terkadang berziarah di malam hari merupakan waktu
yang dipersilahkan akan tetapi terkadang dimakruhkan di waktu yang lain.
Al-Marwadzi
berkata : “ Saya bersama Abu Abdullah pernah menjenguk orang sakit di malam
hari dan waktu itu di bulan Ramadhan, kemudian beliau berkata kepada saya : di
bulan Ramadhan orang sakit itu di jenguk di malam hari “[20].
Dan demikian
pula di waktu zhuhur karena kebiasaan yang berlaku manusia sedang tidur siang
dan mereka tinggal untuk beristirahat. Al-Atsram berkata : dikatakan kepada Abu
Abdillah : seseorang sedang sakit dan ketika itu matahari sedang naik di waktu
musim panas, maka beliau berkata : ini bukan waktu menjenguk[21].
Maka zaman
perlu diperhatikan di dalam menjenguk orang sakit, maka waktu menjenguk yang
telah dikenali oleh penduduk negeri ini dan yang telah menjadi kebiasaan mereka
untuk menjenguk dan berziarah terkadang bukan waktu yang biasa dilakukan oleh
sebagian penduduk negeri lainnya.
- Meringankan Orang Yang Sakit ketika Dikunjungi :
Sepatutnya bagi
orang yang menjenguk agar jangan berlama-lama duduk dan tinggal di sisi orang
yang sakit, karena orang yang sakit tersibukkan dengan rasa lapar dan sakitnya.
Dan ketika orang yang menjenguk berdiam lama di sisi orang yang sakit akan
memberatkan bagi orang yang sakit bahkan terkadang menambah sakitnya, oleh
karena itu diantara perkara yang baik ketika menjenguk orang sakit adalah
dengan meringankannya.
Dari Ibnu
Thawus dari ayahnya dia berkata : “ Menjenguk orang sakit yang paling baik
adalah yang paling ringan … “
Al-Auza’iy
berkata : “ Saya pernah bepergian menuju Bashrah ingin menjumpai Muhammad bin
Sirin, namun saya mendapatinya dalam keadaan sakit di perutnya, maka kami pun
masuk kepadanya untuk menjenguknya dalam keadaan berdiri …
Asy-Sya’bi
berkata : “ Kunjungan orang-orang desa yang pandir lebih memberatkan bagi orang
yang sakit daripada sakit yang dideritanya, mereka mendatanginya bukan pada
waktunya dan berlama-lama duduk di sisinya[22].
Akan tetapi
sepatutnya untuk diketahui bahwa apabila orang yang sakit menyukai orang yang
menjenguk tinggal lebih lama di sisinya dan terus menerus menziarahinya, maka
lebih utama bagi orang yang menjenguk untuk memenuhi keinginan orang yang sakit
dikarenakan di dalam amalan tersebut terkandung sesuatu yang dapat memasukkan
kebahagiaan bagi orang yang sakit, dan menyenangkan hatinya sebagaimana Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjenguk Sa’ad bin Mu’adz ketika terkena musibah
di hari peperangan Khandak. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
untuk mendirikan kemah bagi Sa’ad di dalam masjid agar dia dapat menjenguknya
dari dekat[23].
Maka sahabat
mana yang tidak menyenangi keberadaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamdi
sisinya dan berulang-ulang menziarahinya.
- Dimanakah Orang Yang Menjenguk Duduk? :
Disunnahkan
bagi orang yang menjenguk untuk duduk di samping kepala orang yang sakit. Hal
ini pernah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan dan orang-orang shalih
setelah beliau. Di dalam hadits Anas radhiallahu ‘anhu dia berkata : ” Adalah
seorang budak Yahudi yang sering membantu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
lantas dia jatuh sakit maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjenguknya.
Beliau duduk di samping kepalanya dan berkata kepadanya : “ Masuklah ke dalam
islam….al-hadits“[24].
Dan dari Ibnu
Abbas radhiallahu ‘anhuma, dia berkata : ” Apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjenguk orang yang sakit beliau duduk di sisi kepalanya … al-hadits“[25]
Dari Ar-Rabi’
bin Abdillah dia berkata : “ Saya pernah pergi bersama Al-Hasan menjumpai
Qatadah untuk menziarahinya, dan dia duduk di sisi kepalanya. Lalu beliau
bertanya kepadanya kemudian mendoakan kesembuhan baginya…[26].
Berkaitan
dengan adab duduk orang yang menjenguk di samping kepala orang yang sakit ada
beberapa faedah diantaranya : Bahwa pada hadits tersebut adanya anjuran untuk
bersikap ramah kepada orang yang sakit. Diantaranya juga orang yang menjenguk
memungkinkan untuk meletakkan tangannya kepada orang yang sakit, mendoakan
kesembuhan baginya dan meniupkannya kepadanya, dan perbuatan yang semisal
dengan itu.
- Bertanya Orang Yang Sakit tentang keadaannya Dan Memberi semangat bagi orang yang sakit tersebut :
Termasuk
perkara yang baik dalam menjenguk orang sakit adalah bertanya kepada orang yang
sakit tentang keadaannya dan apa yang menimpanya sebagaimana yang ada di dalam
hadits Aisyah radhiallahu anha, dia berkata : ketika Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam datang ke Al-Madinah, sementara Abu Bakar dan Bilal dalam
keadaan sakit demam, maka Aisyah berkata : “ Maka saya pun masuk untuk melihat
keadaan mereka berdua, lalu saya bertanya : “ Wahai ayahku bagaimana keadaanmu,
dan wahai Bilal bagaimana keadaanmu….al-hadits[27].
Dan juga
diantara perkara yang baik ketika menjenguk orang sakit adalah menghilangkan
kesusahan di karenakan sakit seperti mengucapkan kepadanya : Laa ba’sa alaika
satasyfi biidznillah (sakit ini tidaklah mengapa atas mu, kamu akan sembuh
dengan izin Allah), atau sesungguhnya penyakit ini bukan penyakit yang
berbahaya niscaya Allah akan memberikan kesehatan kepadamu –insya Allah- .
Ucapan semacam ini, selama tidak nampak padanya tanda-tanda dekatnya ajal. Dan
yang demikian itu karena menganggap jauh dari ajal orang yang sakit, banyak
membantu cepatnya proses kesembuhan dari penyakit, dan pengobatan ini sangat
manjur dan sudah dikenal dikalangan manusia.
Faedah : Keluhan orang yang sakit tidak lepas dari dua
keadaan : Pertama : Keluhan tersebut dengan cara menampakkan kecemasan
dan keputus asaan, dan ini tidak diragukan adalah perkara yang makruh karena
menunjukkan akan lemahnya iman dan tidak adanya keridhaan terhadap ketetapan
Allah dan takdirnya.
Kedua : Dengan cara mengabarkan tentang keadaan tanpa adanya
niatan untuk memohon kepada para makhluk atau ketergantungan kepada mereka, dan
hal ini tidak diragukan tentang bolehnya dan dalil menguatkan akan bolehnya hal
tersebut.
Dari Al-Qasim
bin Muhammad dia berkata : “Aisyah berkata : “ Aduh kepalaku, rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “ Yang demikian itu kalau saja terjadi
dan saya masih hidup niscaya saya akan memohonkan ampunan untukmu dan mendoakan
kesembuhan untukmu. Aisyah berkata : “ Demi Allah sungguh saya menyangka engkau
menyukai kematianku, dan kalaulah hal itu terjadi mungkin engkau akan berada di
akhir hari engkau dalam keadaan menjadi pengantin dengan sebagian istri-istri
engkau.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “ Bahkan saya yang
mengaduhkan sakit kepalaku … al-hadits“[28].
Dari Ibnu
Mas’ud radhiallahu ‘anhu dia berkata : “Ssaya pernah masuk kepada Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau dalam keadaan sakit demam, saya pun
menyentuh beliau dengan tangan saya dan berkata : “ Sesungguhnya engkau
mengalami demam yang sangat, beliau berkata : “ Benar sebagaimana demamnya dua
orang dari kalian”.
Abdullah bin
Mas’ud berkata : “Apakah anda akan mendapat dua pahala? “ Beliau berkata : “
Iya, tidak lah seorang muslim yang tertimpa musibah berupa sakit dan musibah
lainnya kecuali Allah akan menggugurkan dosa-dosa kesalahannya sebagaimana
pohon menggugurkan daunnya”[29]
- Menangis Ketika Sakit :
Yaitu
bagaimanakah hukumnya? Apakah hal tersebut disyariatkan ataukah terlarang? Yang
nampak bagi kami berdasarkan perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah boleh.
Abdullah bin
Umar radhiallahu ‘anhuma meriwayatkan dia berkata : ” Sa’ad bin Ubadah
menderita suatu penyakit, kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjenguknya
bersama Abdurrahman bin ‘Auf dan Sa’ad bin Abi Waqqaash dan Abdullah bin Mas’ud
radhiallahu ‘anhum maka ketika beliau masuk kepada Sa’ad bin Ubadah beliau
mendapatinya berada di dalam kerumunan keluarganya, beliau berkata : “ Apakah
telah wafat?” Mereka berkata : “ Tidak wahai Rasulullah, maka Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam pun menangis, dan ketika kaum tersebut melihat tangisan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mereka menangis. Nabi bersabda : “ Tidakkah
kalian mendengar bahwa Allah tidak mengadzab hanya karena tetesan air mata dan
tidak pula dengan kesedihan hati akan tetapi Allah mengadzab dikarenakan ini
beliau mengisyaratkan kepada lisan atau Allah akan mengasihani, sesungguhnya
mayyit diadzab dikarenakan tangisan keluarganya atas kematiannya”[30].
Hadits ini
menunjukkan bolehnya menangis di sisi orang yang sakit, dan terlebih lagi di
sisi mayyit akan tetapi tangisan yang tidak ada jeritan histeris, disebabkan
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang ratapan.
- Doa Apa Saja Yang Diucapkan Di Sisi Orang Yang Sakit :
Sepatutnya bagi
orang yang menjenguk orang sakit agar tidak mengucapkan suatu ucapan kecuali
yang baik, karena malaikat mengaminkan atas ucapannya itu. Hal itu telah
dijelaskan di dalam hadits Ummu Salamah radhiallahu ‘anha, beliau berkata :
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ” Apabila kalian menghadiri
orang yang sakit atau mayyit maka ucapkanlah ucapan yang baik, karena
sesungguhnya malaikat mengaminkan atas apa yang kalian ucapkan “, Ummu Salamah
berkata : “ Ketika Abu Salamah meninggal saya mendatangi Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, saya berkata : “ Wahai Rasulullah sesungguhnya Abu Salamah
telah meninggal ”. Nabi bersabda : “ Ucapkanlah : Wahai Allah ampunkanlah
bagiku dan baginya, dan balaslah aku dari musibahku dengan balasan yang baik “,
Ummu Salamah berkata : “ Aku berkata : maka Allah membalasku dengan orang yang
lebih baik bagiku daripada Abu Salamah yaitu Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam “[31].
Disunnahkan
bagi orang yang menjenguk agar mendoakan orang yang sakit dengan memohon rahmat
dan ampunan, dan agar dibersihkan dari dosa-dosa serta keselamatan dan
kesehatan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan beberapa doa,
sepatutnya bagi orang yang menjenguk untuk berdoa dengan doa tersebut, karena
doa-doa tersebut bersumber dari al-ma’shum yang telah diberi jawami
al-kalim (kalimat yang ringkas lagi penuh hikmah), yang tidak berucap dari
hawa nafsu hanyalah berupa wahyu yang diwahyukan kepadanya, diantara doa-doa
beliau :
a.
“Mudah-mudahan tidak apa-apa, mudah-mudahan dapat mensucikan insya Allah”.
Dari Ibnu Abbas
radhiallahu ‘anhuma : “bahwasanya nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallammasuk ke
rumah salah seorang arab badui dalam rangka menjenguknya. Ibnu Abbas berkata :
“ Apabila beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi rumah orang yang
sakit untuk menjenguknya beliau berkata : ” Mudah-mudahan tidak apa-apa,
mudah-mudahan dapat mensucikan dari dosa insya Allah”.
Maka Nabi
berkata kepadanya : “ Mudah-mudah tidak apa-apa, mudah-mudahan dapat mensucikan
dari dosa insya Allah. Arab badui itu berkata : “ Engkau mengatakan dapat
mensucikan? Sekali-kali tidak, bahkan dia adalah demam yang ditakuti – atau
yang bergejolak – atas orang tua renta , dan membuatnya diusung kekubur.
Maka Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Alangkah baiknya jikalau begitu”[32].
Ucapan beliau :
“Mudah-mudahan tidak mengapa ” yaitu bahwa sakit itu dapat menggugurkan dosa
kesalahan, maka apabila mendapat kesehatan maka seseorang telah mendapat dua
faedah. Dan kalau saja tidak maka dia mendapat pahala pengguguran dosa.
Dan perkataan
beliau : “Mudah-mudahan dapat mensucikan dosa” kedudukannya sebagai khabar
dari mubtada’ mahdzuuf. Yaitu sakit yang mensucikan bagimu dari
dosa-dosamu yaitu sebagai pensuci, sebagaimana penjelasan Ibnu Hajar[33].
Ada beberapa
faedah yang terkandung di dalam hadits ini yaitu bahwa seyogyanya bagi orang
yang sakit agar menerima doa kebaikan orang lain untuknya, dan jangan sampai
menggerutu dari doa kebaikan untuk mensucikan dari mereka untuknya dengan doa
pensucian dari dosa-dosanya sebagaimana keadaan Arab badui tadi yang ada di
dalam hadits.
b. “Ya Allah
Sembuhkanlah ….Fulan” Sekali – Atau Tiga Kali.
Doa ini
terdapat di dalam hadits Sa’ad bin Abi Waqqash, ketika Rasulullah menjenguknya
ketika dia dalam keadaan sakit, dan dalam hadits tersebut : ” Kemudian Nabi
meletakkan tangannya di atas kening beliau kemudian mengusap tangannya di atas
wajah dan perutku kemudian berkata : “ Ya Allah sembuhkanlah Sa’ad …” Dan dalam
riwayat Muslim : ” Ya Allah sembuhkanlah Sa’ad Ya Allah sembuhkanlah Sa’ad
sampai tiga kali”[34].
Ibnul Jauzi
berkata : “ Pada sabda beliau : “Ya Allah sembuhkanlah Sa’ad” merupakan dalil
atas disunnahkannya mendoakan kesehatan/kesembuhan untuk orang yang sakit[35].
c. “Saya
Memohon Kepada Allah Yang Maha Agung Penguasa Arsy Yang Agung Agar Berkenan
Menyembuhkanmu” Sebanyak Tujuh Kali.
Dari Ibnu Abbas
radhiallahu ‘anhuma dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda: ”
Barang siapa yang menjenguk orang yang sakit yang ajalnya belum hadir dan
mengucapkan di sisinya sebanyak tujuh kali : “ Saya memohon kepada Allah yang
maha agung penguasa Arsy yang agung agar berkenan menyembuhkanmu. Niscaya Allah
akan memberinya kesembuhan dari penyakit tersebut”[36].
d. “Ya Allah Sembuhkanlah
Hambamu Yang Membunuh Musuh UntukMu Dan Senantiasa Berjalan Menuju Shalat
[dalam riwayat yang lain : Berjalan Menuju Jenazah Yang Hendak Dikubur]“
Dari Ibnu Umar
radhiallahu ‘anhuma, dia berkata : Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
: ” Apabila seseorang datang menjenguk orang yang sakit hendaknya dia
mengucapkan : Ya Allah sembuhkanlah hambamu yang membunuh musuh untukMu dan
senantiasa berjalan menuju shalat “ Dalam riwayat Abu Daud : ” atau yang
berjalan kepadamu menuju jenazah yang akan dikubur“[37].
- Meletakkan Tangan Di Atas Tubuh Orang Yang Sakit :
Disunnahkan
bagi orang yang menjenguk agar meletakkan di atas jasad orang yang sakit dan
mendoakannya. Meneladani Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan
terkadang meletakkan tangan ini ada pengaruh di dalam meringankan sakit atau
menghilangkannya secara keseluruhan, akan tetapi tidak mungkin untuk
mengharuskan hal tersebut dikarenakan tidak adanya nash-nash yang khusus
didalam masalah tersebut “.
Ibnul Baththal
berkata : “ Meletakkan tangan di atas tubuh orang yang sakit adanya sikap
menghibur baginya dan untuk mengetahui seberapa parah sakitnya agar seseorang
mendoakan kesembuhan untuknya sesuai sakitnya yang nampak. Mungkin saja
seseorang merukyahnya dengan tangannya dan mengusap di atas tempat yang sakit
dengan rukyah yang dapat memberi manfaat kepada orang yang sakit, apabila yang
menjenguk adalah orang yang shalih “.
Saya katakan
(Ibnu Hajar): “ Terkadang orang yang menjenguk mengetahui pengobatan dan
mengetahui penyakit sehingga dia dapat menerangkannya pengobatan yang sesuai
bagi orang yang sakit sesuai dengan penyakitnya itu[38].
Dan penyebutan
tentang peletakan tangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia datang
di beberapa hadits. Di dalam hadits Sa’ad bin Abi Waqqash yang telah
dikemukakan didepan : ” Kemudian Nabi meletakkan tangannya di atas keningnya,
kemudian mengusapkan tangannya di atas wajah dan perut saya kemudian
mengucapkan : Ya Allah sembuhkanlah Sa’ad…..al-hadits”.
Dari Aisyah
radhiallahu ‘anha, beliau berkata : ” Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjenguk orang yang sakit beliau meletakkan tangannya di atas tempat
yang terasa sakit kemudian mengucapkan : Bismillah“[39].
- Meruqyah Orang Yang Sakit :
Disunnahkan
bagi orang yang menjenguk untuk meruqyah (menjampi) orang yang sakit,
sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukannya, terlebih
lagi apabila orang yang menjenguk termasuk orang yang bertakwa dan shaleh.
Dikarenakan ruqyah orang seperti ini lebih bermanfaat daripada orang yang
selainnya, sebab keshalehan mereka dan ketakwaannya.
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meruqyah sebagian orang yang sakit dari
keluarganya dan dari selain keluarganya, dan beliau membolehkan kepada sebagian
sahabatnya atas ruqyah mereka, kami akan bawakan diantara ruqyah tersebut apa
yang dapat kami sebutkan berikut ini, diantaranya adalah :
a. Ruqyah
Dengan Al-Mu’awwidzat.
Dari Aisyah
Ummul Mu’minin radhiallahu anha, dia berkata : ” Apabila salah seorang dari
keluarga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit, beliau meniupkan[40] kepadanya dari
al-mu’awwidzat[41]…..al-hadits“[42].
b. Ruqyah
dengan Fatihatul Kitab.
Tentang hal ini
ada kisah yang terjadi pada Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu bersama
pemimpin satu kaum yang terkena sengatan berbisa. Lalu Abu Sa’id radhiallahu
‘anhu meruqyahnya dengan fatihatul kitab, kemudian Abu Sa’id diberi
sepotong kambing, namun beliau enggan untuk menerimanya dan berkata : “ Sampai
saya sebutkan hal itu kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka datanglah
dia kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyebutkan hal itu kepada
beliau, beliau berkata : “ Wahai rasulullah, demi Allah tidaklah saya meruqyah
kecuali dengan fatihatul kitab, beliau tersenyum dan berkata :
“Bagaimana engkau bisa tahu bahwa surat itu adalah ruqyah?” kemudian beliau
berkata : “Ambillah pemberian itu dari mereka, dan bagikan satu bagian untukku
bersama kalian”[43].
c. Meruqyah
dengan “hilangkanlah kesusahan, wahai rabb manusia, sembuhkanlah engkaulah
penyembuh tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan dariMu, kesembuhan yang tidak
menyisakan penyakit”
Dari Aisyah
radhiallahu ‘anha, ” Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mendatangi orang yang sakit atau didatangkan kepadanya orang yang sakit, beliau
mengucapkan : “ Hilangkanlah kesusahan wahai Rabb manusia sembuhkanlah,
engkaulah penyembuh tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan darimu, kesembuhan
yang tidak menyisakan penyakit” adapun pada riwayat dari Muslim : ” Apabila
beliau mendapati salah seorang dari kami mengeluh sakit beliau mengusapnya
dengan tangan kanannya kemudian mengucapkan : ” Hilangkanlah kesusahan wahai
Rabb manusia… al-hadits”[44].
d. Ruqyah
dengan “dengan nama Allah saya meruqyahmu, dari segala sesuatu yang
mengganggumu, dari kejahatan setiap jiwa atau mata yang hasad, Allah yang
menyembuhkanmu, dengan nama Allah saya meruqyahmu”.
Dari Abu Sa’id
Al-Khudri radhiallahu ‘anhu : ” Bahwa Jibril datang kepada Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan berkata : wahai Muhammad apakah kamu mengeluh sakit?
Beliau berkata : “ Iya “.
Jibril
mengucapkan : “ Dengan nama Allah saya meruqyahmu dari segala sesuatu yang
mengganggumu, dari kejahatan jiwa atau mata yang hasad, Allah yang
menyembuhkanmu, dengan nama Allah saya meruqyahmu ” [45].
e. Ruqyah
dengan bacaan “dengan nama Allah tanah negeri kami dengan ludah sebagian dari
kami dapat menyembuhkan penyakit kami dengan izin rabb kami”.
Dari Aisyah
radhiallahu ‘anha : ” Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
mengucapkan kepada orang yang sakit : Dengan nama Allah tanah negeri kami dengan
ludah sebagian dari kami dapat menyembuhkan penyakit kami dengan izin Rabb
kami” Lafazh dari riwayat Muslim : ” Apabila seseorang mengeluh ada sesuatu
darinya ataukah ada bisul atau luka, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengucapkannya dengan jarinya seperti ini. Sufyan meletakkan jari telunjuknya
di atas tanah kemudian mengangkatnya : ” Dengan nama Allah, tanah negeri kami
dengan ludah sebagian dari kami dapat menyembuhkan penyakit kami dengan izin
Rabb kami”[46]. An-Nawawi
berkata : “ Makna hadits ini: bahwa beliau mengambil dari ludahnya sendiri di
atas jari telunjuknya, kemudian meletakkannya di atas tanah dan melekatkan
sesuatu dengan jari tersebut dari tanah dan mengusap dengan tanah di atas
tempat luka atau penyakit dan mengucapkan doa dalam keadaan mengusap wallahu
a’lam [47].
Catatan penting : sebagian manusia ketika menziarahi orang yang sakit
sangat bersemangat untuk menyertakan seikat bunga mawar yang dia berikan kepada
orang yang sakit, dan sebagian lainnya menuliskan padanya ungkapan-ungkapan dan
harapan-harapan kesembuhan yang segera dan yang semisal ini, dan hal ini
menurut mereka lebih utama apa diberikan kepada orang sakit. Sedangkan sebagian
besar diantara kaum manusia mengetahui bahwa taqlid (ikut-ikutan) ini datangnya
negeri orang-orang Nashara, yang mana kita dilarang bertasyabbuh (menyerupakan
diri) dengan mereka, dan bertasyabbuh kepada orang-orang Yahudi dan Nashara
merupakan perkara yang diharamkan.
Maka sangat
mengherankan keadaan mereka yang menggantikan doa pensucian dosa, rahmat,
ampunan dan kesehatan bagi orang yang sakit dengan ungkapan-ungkapan kosong,
dan harapan-harapan yang tidak dapat mempercepat dan tidak pula mengakhirkan!
Dan menggantikan ruqyah (jampi) yang syar’i dari ayat-ayat Al-Qur`an dan
hadits-hadits Nabi dengan seikat bunga mawar yang mungkin dapat layu sehari
atau dua hari setelahnya! Ya Allah tunjukkanlah kami jalanMu yang lurus bukan
jalannya orang-orang yang dimurkai dan bukan pula orang-orang yang sesat. Amin.
- Mentalqin (menuntun) Orang Yang Sakit Mengucapkan Syahadat Apabila Ajal Menjemputnya Dan Menutupkan Kedua Matanya Serta Mendoakan Kebaikan baginya Apabila Telah Mati :
Ketika ajal
orang yang sakit semakin dekat dan tanda-tanda kematian telah nampak atasnya,
maka disunnahkan bagi orang yang menjenguknya untuk mengingatkan bagi orang
yang sakit akan rahmat Allah luas dan agar jangan dia putus asa dari rahmat
tersebut, berdasarkan hadits Jabir radhiallahu ‘anhu dia berkata : “Saya
mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiga hari sebelum kematiannya
beliau berkata : ” Janganlah salah seorang dari kalian mati kecuali dia berbaik
sangka kepada Allah Azza wa Jalla”[48].
Para Ulama
berpendapat : Makna berbaik sangka kepada Allah -Ta’ala- : Seseorang menyangka
bahwa Allah akan merahmatinya dan memaafkannya, An-Nawawi yang mengucapkanya[49].
Dan juga
disunnahkan baginya untuk menalqin (menuntun) untuk mengucapkan syahadat dengan
lemah lembut. Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu dia berkata :
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ” Talqinkanlah
(tuntunkanlah) orang yang akan mati diantara kalian kalimat Laa ilaaha
illallaah“[50].
An-Nawawi
berkata : “ Perintah mentalqin (menuntun) ini adalah perintah yang bersifat
sunnah, dan para ulama telah sepakat akan disyariatkannya talqin ini dan mereka
memakruhkan kalau terlalu sering dilakukan kepada orang yang sakit dan terus
menerus agar jangan sampai berkeluh kesah dengan keadaannya yang tertekan dan
beratnya penderitaannya sehingga dia membencinya di dalam hati dan mengucapkan
ucapan yang tidak layak.
Para ulama
berpendapat : “ Apabila orang yang sakit telah mengucapkannya sekali, jangan
dipaksa untuk mengulanginya kecuali kalau dia mengucapkan perkataan yang lain
setelahnya maka dia diminta untuk mengulanginya lagi agar syahadat tersebut
menjadi akhir dari perkataannya[51].
Dan apabila
orang yang sakit itu mati maka disunnahkan bagi orang yang menghadiri
kematiannya untuk memejamkan kedua matanya dan mendoakan kebaikan untuknya,
berdasarkan hadits Ummu Salamah radhiallahu ‘anha dia berkata : “ Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk kepada Abu Salamah dan pandangannya telah
menatap keatas, maka beliau memejamkannya, kemudian bersabda : ” Sesungguhnya
ruh apabila telah digenggam pandangan mata akan mengikutinya”.
Orang-orang
dari keluarganya pun histeris, maka beliau bersabda : ” Janganlah kalian
mendoakan kejelekan atas diri-diri kalian kecuali dengan doa yang baik.
Sesungguhnya malaikat mengaminkan atas apa yang kalian katakan” Kemudian beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ” Ya Allah berilah ampunan kepada Abu
Salamah, angkatlah derajatnya bersama orang-orang yang mendapat hidayah, dan
gantikanlah pada anak keturunannya bersama orang-orang yang masih tersisa,
berikanlah ampunan kepada kami dan kepadanya wahai Rabb semesta alam,
lapangkanlah baginya di dalam kuburnya, dan berikanlah baginya cahaya di
dalamnya”[52].
Terjemahan dari
kitab : “Kitab Al-Adab”, karya : Fu`ad bin Abdul Azis Asy-Syalhuub.
[1] HR Al-Bukhari.
(1239), Muslim (2066) dan Ahmad (18034), At Tirmidzi (2809), An-Nasaa’I (1939),
dan perkara yang ke tujuh yang terlarang adalah : “al-mayaasir (judi)“
Al-Bukhari tidak menyebutkannya di dalam hadits ini namun Muslim yang
menyebutkan lafazh tersebut.
[2] Al-Baghawi
berkata tentang penjelasan hadits ini : perkataan Nabi “di dalam khiraaful
Jannah dan didiriwayatkan dalam riwayat lainnya (di dalam makhaariful
jannah) dan [khurfatul Jannah), dan kata ini adalah bentuk jamak
dari mikhraf, Al-Asma'iy berkata : dia adalah kebun kurma, dinamakan
demikian dikarenakan yang demikian itu selama terjadi musim rontok, yaitu :
menutupi….Ibnu Al-Anbari berkata : yang dimaksudkan yaitu memetik buah-buahan
kebun, diantara penggunaannya di dalam kalimat yaitu : pohon kurma merontokkan
kurma-kurmanya, maka nabi memisalkan apa yang orang yang mengunjungi orang sakit
dapatkan dari pahala dengan apa yang pohon kurma dapatkan dari hasil buahnya.
(Syarhus Sunnah 5/216).
HR. Muslim
(2578), Ahmad (21868) dan At-Tirmidzi (967).
[4] HR. Al-Bukhari
di dalam Al-Adab Al-Mufrod (522), dan hadits ini termasuk diantara balaqhaatnya
Imam Malik (bab mengunjungi orang sakit dan orang yang terkena musibah) Ibnu
Abdil Baar berkata tentang hadits ini : “hadits ini hadits Madani yang shahih”.
(At-Tamhid 24/273). Dan hadits ini Al-Albani menshahihkannya di dalam shahih
Al-Adab Al-Mufrad.
[5] HR. Ibnu Abdil
Baar dengan sanadnya yang sampai kepada Jabir bin Abdullah radhiallahu anhuma.
(At-Tamhid 24/263).
[6] HR. Muslim
(2569) dan lafazh hadits ini miliknya, dan Ahmad (8989).
[7]HR. Ahmad
(756), Abu Daud (3098), Ibnu Majah (1442) dan hadits ini sesuai lafazh darinya,
dan Al-Albani berkata : “shahih” : (1191).
[8] Kasyful
Musykil Min Hadits As-Shahihain. no. (710), (2/236) dengan perubahan
seperlunya.
[9] HR. Al-Bukhari
(5655), Muslim (923) Ahmad (21269) An-Nasaa’I (1868) dan Abu Daud (3125).
[10] HR. Al-Bukhari
(5654) dan beliau memberikannya bab : bab kunjungan wanita kepada laki-laki
yang sakit, dan Ummu Ad-Darda’ mengunjungi seorang laki-laki yang sakit dari
kalangan sahabat yang tinggal di masjid dari kalangan Al-Anshar. dan Muslim
meriwayatkan hadits ini juga (1376) tanpa menyebutkan kunjungan Aisyah
radhiallahu anha kepada keduanya (Abu Bakar dan Bilal). Dan Ahmad (23839), dan
Malik (1648).
[11] HR. Malik di
dalam Al-Muwaththa’ (531) dan Ibnu Abdil Bar berkata : tidak ada perselisihan
atas Malik di dalam kitab Al-Muwaththa’ tentang dimursalkannya hadits ini………dan
hadits ini adalah hadits yang musnad yang bersambung dan shahih dari selain
hadits Malik. (At-Tamhid 6/254).
[12] Di dalam
Al-Lisan : ….kata tajaalat yaitu Asnat dan kaburat (telah
dewasa), dan di dalam hadits Ummu Shabiyyah : kami dahulu di dalam masjid
adalah wanita-wanita yang tajaalalna yaitu telah dewasa, dan dikatakan :
jallat fa hiya Jalilah (wanita itu besar maka dia adalah jalilah)
dan tajallat fa hiya mutajallah (wanita itu telah dewasa maka dia adalah
mutajallah). (11/116) dan materi kata tersebut : ج ل ل
[13] At-Tamhid
(6/255).
[14] HR. Al-Bukhari
(5651), Muslim (1616), Ahmad (13886), At-Tirmidzi (2098), An-Nasaa’i (138), Abu
Daud (2886), Ibnu Majah (2728) dan Ad-Darimi (733).
[15] Fathul Baari :
(10/119). Dan Ibnul Munir berkata : di dalam hadits jabir tidak ada keterangan
yang sharih (jelas) bahwa keduanya telah mengetahui Jabir pingsan
sebelum dijenguk, maka bisa saja pingsannya Jabir bertepatan dengan kehadiran
keduanya. [namun Ibnu Hajar membantah hal tersebut dan mengatakan : ] saya
katakan : bahkan yang zhahir dari konteks yang ada terjadinya hal tersebut
ketika datangnya keduanya dan sebelum masuknya keduanya kepadanya, dan sekedar
mengetahui keadaan orang yang sakit dengan menjenguknya………..dst. (10/118-119).
[16] Catatan : Di
sebagian negeri arab timbul pemikiran untuk mematikan orang yang sakit yang
mati akalnya, yang demikian itu dengan jalan memberikan suntikan yang
mematikannya, dan mereka berhujjah bahwa orang yang sakit ini menurut
undang-undang kedokteran adalah mayat tidak ada kemungkinan untuk hidup, dan
hanya masalah waktu saja, dan kami memberikan suntikan ini untuk menenangkannya
dari sakit yang mungkin dia dapatkan ketika hidupnya.
Maka dikatakan
kepada mereka : kalian dengan cara seperti ini dan dengan metode seperti ini tidak
meringankannya bahkan kalian menghalanginya dan menghalangi selainnya, karena
tetapnya dia di atas garis kehidupan dan dia dalam keadaan seperti itu, akan
menjadikannya berfikir akan kesalahan-kesalahannya, dan mengangkat derajatnya
apabila dia bagian dari ahlu iman dan ahlu ihsan. Dalam hadits Ibnu Mas’ud
radhiallahu ‘anhu dia berkata : Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda :
“tidaklah ada dari seorang muslim yang menderita sakit maka tidaklah ada dari
selain sakit itu kecuali Allah akan menggugurkan kesalahan-kesalahannya
sebagaimana pohon menggugurkan daunnya” HR. Al-Bukhari (5667) dan selainnya.
Dan tetapnya
dia di atas garis kehidupan memungkinkan dia mendapatkan doa yang baik, dan
Allah Azza wa Jalla mengabulkannya, maka dia pun sembuh dari sakitnya itu –dan
Allah Mahakuasa atas segala sesuatu – , ataukah dosa-dosanya diampuni berkat
doa-doa kaum muslimin kepadanya, dan tetapnya dia di atas garis kehidupan
merupakan renungan akan kesalahan-kesalahan keluarganya yang menangung
kesedihan dan kemalangan. Dari Abu Hurairah dari nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallambeliau bersabda : “tidaklah seorang muslim yang tertimpa keletihan, tidak
pula penyakit, kesusahan, kesedihan, gangguan, dan tidak pula kemurungan
sekalipun duri yang menusuknya kecuali Allah akan menggugurkan dengannya dari
kesalahan-kesalahannya” HR. Al-Bukhari (5642) dan selainnya.
Dan tetapnya
dia di atas garis kehidupan adanya kebaikan yang terus menerus dan tidak akan
terputus lebih khusus lagi apabila yang sakit itu adalah seorang ayah atau
seorang ibu. Dan tetapnya dia di atas garis kehidupan akan memperbanyak pahala
dengan menjenguk orang sakit dan menziarahinya, maka disebabkan adanya
makna-makna yang bermanfaat ini yang telah kami sebutkan dan selain dari
makna-makna tersebut maka kita mengetahui akan kekejian perkataan orang yang
mengatakan : tidak ada faedah mengaharap-harap tetapnya orang yang mati
kesadarannya dalam keadaan hidup dan bahwa kematian itu lebih baik untuknya.
Wallahu a’lam.
[17] Lihat
At-Tamhid (24/276).
[18] HR. Al-Bukhari
(5657), Ahmad (12381) dan Abu Daud (3095).
[19] HR. Al-Bukhari
(6681), Muslim (24), Ahmad (23162), dan An-Nasaa’i (2035).
[20] Al-Adab
Asy-Syar’iyah (2/190).
[21] Al-Adab
Asy-Syar’iyah (2/189). Akan tetapi kalau kebiasaan manusia berziarah di waktu
zhuhur maka hal itu tidaklah makruh.
[22] At-Tamhid
karya Ibnu Abdil Bar (24/277) bersamaan dengan mendahulukan dan mengakhirkan
teksnya.
[23] Al-Bukhari
(463).
[23] Takhrij
haditsnya telah berlalu.
[24] HR. Al-Bukhari
di dalam Al-Adabul Mufrod (536) dan Al-Albani menshahihkannya dengan no. hadits
(416).
[25] HR. Al-Bukhari
di dalam Al-Adabul Mufrod (537) dan Al-Albani berkata : “sanadnya shahih ”
(417).
[27] Takhrij
haditsnya telah berlalu.
[28] HR. Al-Bukhari
(5666) Ahmad meriwayatkanya dari jalan Abdullah bin Abdullah bin Utbah (2538)
Ibnu Majah (1465) dan Ad-Darimi (80).
[29] HR. Al-Bukhari
(5667) Muslim (25 71), Ahmad (3611) dan Ad-Darimi (2771).
[30] HR. Al-Bukhari
(1304) dan Muslim (924).
[31] HR. Muslim
(919), Muslim (25958), At-Tirmidzi (977) An-Nasaa’I (1825) dan Ibnu Majah
(1447).
[32] HR. Al-Bukhari
(3616).
[33] Fathul Baari
(10/124).
[34] HR. Al-Bukhari
(5659), Muslim (1628) dan Ahmad (1443), dan At-Tirmidzi (2116), An-Nasaa’i
(3616), Malik (1495) Ad-Darimi (3196) tanpa menyebutkan doa.
[35] Kasyful
Musykil min hadits As-Shahihain (1/233) nomer (164).
[36] HR. Ahmad
(2138), At-Tirmidzi (2083) dan Abu Daud (3106) dan lafazh ini dari beliau, dan
Al-Albani menshahihkannya.
[37] HR. Ahmad
(6564) dan lafazh hadits darinya, dan Abu Daud (3107) dan Al-Albani
menshahihkannya.
[38] Fathul Baari
(10/126).
[39] Ibnu Hajar
berkata di dalam Al-Fath (10/126) : Abu Ya’la mengeluarkannya dengan sanad yang
hasan.
[40] An-Nafats
: lebih sedikit daripada At-Tafl, karena At-Tafl terjadi ada
kecuali ada bersamanya sesuatu dari ludah, dan An-Nafats : sesuatu yang
menyerupai An-Nafakh. Beliau mengatakannya di dalam lisanul arab (2/195)
Bahasan : ن ف ث
[41] Al-Hafizh
berkata : yang dimaksudkan dengan Al-Mu’awwidzat adalah surat qul
a’udzu birabbil falaq, qul a’udzu birabbin naas, dan menggabungkan
entah itu dengan tinjauan bahwa yang paling sedikit dari bentuk jamak adalah
dua, ataukah dengan tinjauan bahwa yang dimaksudkan dengan kalimat-kalimat yang
ada dari kedua surat tersebut, dan adanya kemungkinan bahwa yang dimaksudkan
dengan Al-Mu’awwidzat adalah kedua surat ini bersama dengan surat Al-Ikhlash
dan yang demikian itu dimaksudkan secara muthlaq menurut kebiasaan, dan ini
yang dijadikan sandaran. Fathul Bari (7/738).
[42] HR. Al-Bukhari
(5748), Muslim (2192) dan lafazh hadits ini ada pada periwayatan beliau, Ahmad
(23207), Abu Daud (3902), Ibnu Majah (3529) dan Malik (1755).
[43] HR. Al-Bukhari
(2276), Muslim (2201) dan lafazh ini sesuai lafazh riwayat beliau, Ahmad
(10686), Abu Daud (3418) dan Ibnu Majah (2156).
[44] HR. Al-Bukhari
(5675), Muslim (2191), Ahmad (24317) dan Ibnu Majah (3520).
[45] HR. Muslim
(2186), Ahmad (11140), At-Tirmidzi (972) dan Ibnu Majah (3523).
[46] HR. Al-Bukhari
(5745), Muslim (2194), Ahmad (24096), Abu Daud (3895) dan Ibnu Majah (3521).
[47] Syarah Shahih
Muslim jilid ke tujuh (14/151).
[48] HR. Muslim
(2877), Ahmad (13711), Abu Daud (3113) dan Ibnu Majah (4167).
[49] Syarah Muslim
karya An-Nawawi jilid ke sembilan (17/176).
[50] HR. Muslim
(916), Ahmad (10610) At-Tirmidzi (976), An-Nasaa’i (1826) Abu Daud (3117) dan
Ibnu Majah (1445).
[51] Syarah shahih
Muslim jilid ke tiga (6/183).
[52] HR. Muslim
(920) dan lafazh hadits ini ada padanya, dan Ahmad (26003), Ibnu Majah (3118)
dan Ibnu Majah (1454).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar