MUKADIMAH
Ketentraman
dan hidayah…
Keduanya
adalah mata air kebahagiaan.
Dengan
ketentraman seorang hamba akan terbebas dari cekaman rasa takut dan kesedihan.
Dan dengan hidayah maka seorang hamba akan mengetahui dan menemukan jalan
keluar bagi berbagai macam persoalan.
Lebih
dari itu semua, sesungguhnya puncak kebahagiaan seorang yang bertauhid terletak
pada keduanya. Petunjuk di dunia dan keamanan yang hakiki di akherat kelak.
Itulah dua buah perkara yang sangat diambakan oleh setiap insan.
URGENSI
KETENTRAMAN DAN KEAMANAN
Ketentraman
dan rasa aman sangat diperlukan oleh umat manusia. Sebaliknya, cekaman rasa
takut membuat hidup mereka tidak nyaman. Nabi Ibrahim ‘alaihis salam
berdoa kepada Allah meminta keamanan sebelum memohon agar dijauhkan dari
praktek-praktek kesyirikan sebagaimana diceritakan di dalam al-Qur’an. Allah ta’ala berfirman,
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آَمِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَامَ
“Dan
ingatlah, ketika Ibrahim berdoa, ‘Rabbku. Jadikanlah negeri ini sebagai negeri
yang aman, dan jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari penyembahan kepada
patung.’.”
(QS. Ibrahim [14]: 35)
Asy
Syaukani mengatakan, “Pengajuan permintaan keamanan sebelum semua permintaan
yang disebutkan sesudahnya dikarenakan apabila rasa aman sudah hilang, maka
tidak tersisa lagi kesempatan baginya untuk mengurusi hal-hal yang lain, baik
yang menyangkut urusan agama maupun urusan keduniaan.” (Fathul Qadir,
Maktabah Syamilah.Masih segar dalam ingatan kita, rumah-rumah yang hancur
akibat gempa Jogja beberapa waktu yang silam. Masih terngiang-ngiang di
telinga, isak tangis anak-anak kecil yang kehilangan orang tua, sanak saudara,
dan rumah satu-satunya. Hari-hari yang diwarnai dengan rintihan kesakitan para
korban gempa. Masih terbayang-bayang di mata, kaki-kaki dan tangan-tangan yang
patah dan berlumuran darah. Masih melekat dalam benak kita, bagaimana manusia
berlarian demi menyelamatkan dirinya. Pada hari itu, rasa aman telah hilang dan
berganti dengan ketakutan yang mencekam. Pada saat seperti itu, tidak ada lagi
yang mereka pikirkan kecuali bagaimana bisa mengamankan jiwanya dari ancaman
kematian!)
PENTINGNYA
HIDAYAH
Hidayah
atau petunjuk adalah perkara yang dibutuhkan oleh setiap orang. Karena demikian
pentingnya hal ini, sampai-sampai Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita untuk meminta petunjuk
kepada Allah minimal 17 kali dalam sehari semalam di setiap raka’at shalat yang
kita kerjakan. Yaitu dengan doa yang terdapat dalam surat al-Fatihah,
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيم
“Ya
Allah tunjukilah kami jalan yang lurus.” (QS. Al-Fatihah [1]: 6)
Ibnul
Qayyim mengatakan, “Ayat ini mengandung penjelasan bahwa sesungguhnya hamba
tidak akan mendapatkan jalan untuk menggapai kebahagiaannya kecuali dengan
tetap istiqamah di atas jalan yang lurus. Dan tidak ada jalan untuk meraih
keistiqamahan baginya kecuali dengan hidayah dari Rabbnya kepada dirinya.
Sebagaimana tidak ada jalan baginya untuk beribadah kepada-Nya kecuali dengan
pertolongan-Nya, maka demikian pula tidak ada jalan baginya untuk bisa
istiqamah di atas jalan tersebut kecuali dengan hidayah dari-Nya.” (Al-Fawa’id, hal.
21)
Ibnu
Katsir rahimahullah
menjelaskan, “Seandainya bukan karena sedemikian besar kebutuhan hamba untuk
memohon hidayah siang dan malam, niscaya Allah ta’ala tidak perlu membimbing
hamba-Nya untuk melakukan hal ini. Karena sesungguhnya setiap hamba sangat
membutuhkan pertolongan Allah ta’ala di sepanjang waktu dan
keadaan agar petunjuk itu tetap terjaga, kokoh tertanam, semakin paham,
meningkat, dan agar dia terus berada di atasnya…”
Syaikhul
Islam rahimahullah
berkata , “Seorang hamba senantiasa berhajat terhadap hidayah Allah menuju
jalan yang lurus. Maka dari itu dia sangat memerlukan tercapainya maksud di
balik doa ini. Karena sesungguhnya tidak ada seorang pun yang bisa selamat dari
azab dan bisa menggapai kebahagiaan kecuali dengan hidayah ini. Barang siapa yang
kehilangan hidayah ini maka dia akan termasuk golongan orang yang dimurkai atau
golongan orang yang sesat.
Dan petunjuk ini tidak akan diraih kecuali dengan petunjuk dari Allah. Ayat ini
pun menjadi salah satu senjata pembantah kesesatan mazhab Qadariyah.”
“Adapun
pertanyaan, ‘Sesungguhnya Allah telah memberikan hidayah kepada mereka (umat
Islam) oleh sebab itu mereka tidak perlu meminta hidayah’ beserta jawaban orang
untuk pertanyaan itu bahwa ‘yang dimaksud dengan ayat ini adalah permintaan
agar hidayah itu terus menerus menyertai hamba’, maka itu semua merupakan
ucapan orang yang tidak paham hakekat hukum sebab akibat dan tidak mengerti isi
perintah Allah. Karena sesungguhnya hakekat jalan yang lurus itu adalah
seorang hamba melakukan perintah Allah yang tepat di setiap waktu yang
dijalaninya dengan cara mengilmui dan mengamalkannya . Dan juga untuk
menjaga (hamba) supaya tidak menerjang larangan Allah. Nah, hidayah semacam ini
sangat diperlukan di setiap saat, agar dia bisa berilmu dan beramal sebagaimana
apa yang diperintahkan Allah serta meninggalkan larangan-Nya pada kesempatan
tersebut. Hidayah dibutuhkan oleh hamba untuk membangkitkan tekad yang bulat
dalam rangka menjalankan perintah. Demikian pula, diperlukan kebencian yang
sangat dalam untuk bisa meninggalkan hal-hal yang dilarang. Apalagi ilmu dan
tekad yang lebih spesifik ini sulit terbayang bisa dimiliki seseorang pada saat
yang bersamaan. Bahkan pada
setiap waktu hamba sangat membutuhkan pertolongan Allah untuk mengaruniakan
ilmu dan tekad ke dalam hatinya supaya dia bisa tetap berjalan di atas jalan
yang lurus.”
“Memang
benar bahwa seorang muslim telah memperoleh petunjuk global yang menerangkan
bahwa Al Qur’an adalah haq, Rasul pun haq dan agama Islam adalah benar.
Anggapan itu memang benar. Akan tetapi petunjuk yang masih bersifat global ini
belumlah cukup baginya apabila dia tidak mendapatkan petunjuk yang lebih rinci dalam menyikapi segala
perkara juz’iyaat yang diperintahkan kepadanya dan dilarang darinya yang mana
mayoritas akal manusia mengalami kebingungan dalam hal itu, sampai-sampai hawa
nafsu dan syahwat mengalahkan diri mereka dikarenakan hawa nafsu dan syahwat
itu telah mendominasi akal-akal mereka.”
“Pada
asalnya manusia itu tercipta sebagai makhluk yang suka berbuat zalim lagi
bodoh. Sehingga sejak dari permulaan manusia itu memang tidak punya ilmu dan
cenderung melakukan hal-hal yang disenangi oleh hawa nafsunya yang buruk. Oleh
sebab itu dia selalu membutuhkan ilmu yang lebih rinci untuk bisa mengikis
kebodohan dirinya. Selain itu dia juga memerlukan sikap adil dalam
mengendalikan rasa cinta dan benci, dalam mengendalikan ridha dan marah, dalam
mengendalikan diri untuk melakukan dan meninggalkan sesuatu, dalam
mengendalikan diri untuk memberi atau tidak memberi kepada orang, dalam hal
makan dan minumnya, dalam kondisi tidur dan terjaga. Maka segala sesuatu yang
hendak diucapkan atau dilakukannya membutuhkan ilmu yang bisa menyingkap
kejahilannya dan sikap adil yang dapat menyingkirkan sifat zalimnya. Apabila Allah tidak
menganugerahkan kepadanya ilmu serta sikap adil yang lebih rinci -sebab jika
tidak demikian- maka di dalam dirinya tetap akan tersisa sifat bodoh dan zalim
yang akan menyeretnya keluar dari jalan yang lurus.
Allah
ta’ala
berfirman terhadap Nabi-Nya shallallahu
‘alaihi wa sallam sesudah terjadinya perjanjian Hudaibiyah dan
Bai’atur Ridwan,
“Sesungguhnya
Kami telah memberikan kemenangan kepadamu dengan kemenangan yang nyata.” hingga
firman-Nya,”Dan Allah menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.” (QS. Al-Fath [48]:
1-2)
Kalau
keadaan beliau di akhir hidupnya atau menjelang wafatnya saja seperti ini
(tetap memerlukan hidayah-pent) lalu bagaimanakah lagi keadaan orang selain
beliau ?” Selesai ucapan Ibnu Taimiyah.
DUA
MACAM HIDAYAH
Hidayah
itu ada dua macam: hidayah berupa keterangan (hidayatul irsyad wal bayan) dan
hidayah berupa pertolongan (hidayatut
taufiq wal ilham). Kedua macam hidayah ini bisa dirasakan oleh
orang-orang yang bertakwa. Adapun selain mereka hanya mendapatkan hidayatul
bayan saja. Artinya mereka tidak mendapatkan taufiq dari Allah untuk
mengamalkan ilmu dan petunjuk yang sampai kepada dirinya. Padahal, hidayatul bayan tanpa disertai taufiq
untuk beramal bukanlah petunjuk yang hakiki dan sempurna.
Maka
wajarlah jika Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Seorang ‘alim (orang yang
berilmu) itu masih dianggap jahil (bodoh) selama dia belum beramal dengan
ilmunya. Apabila dia sudah mengamalkan ilmunya maka barulah dia menjadi seorang
yang benar-benar ‘alim.”
BERJALAN
MENUJU DAN DI ATAS JALAN YANG LURUS
Setelah
mengemukakan bahwa hidayah yang dimaksud oleh ayat ‘Ihdinash shirathal mustaqim’ ada 2: ila shirath (menuju
jalan yang lurus) dan fi
shirath (di atas jalan yang lurus) Syaikh As Sa’di mengatakan, “Hidayah ‘ila shirath’
yaitu berpegang teguh dengan agama Islam dan meninggalkan semua agama yang
lain. Sedangkan hidayah ‘fi shirath’ yaitu mencakup petunjuk untuk menggapai
semua rincian ajaran agama dengan cara mengilmui sekaligus mengamalkannya. Maka
doa
ini termasuk doa yang paling lengkap dan paling bermanfaat bagi hamba. Oleh karena itu wajib
bagi setiap orang untuk berdoa dengan doa ini di dalam setiap raka’at shalatnya
dikarenakan begitu mendesaknya kebutuhan dirinya terhadap hal itu.”
HAKEKAT
JALAN YANG LURUS
Imam
Ibnu Katsir rahimahullah
menyebutkan sebuah riwayat dari Maimun bin Mihran dari Ibnu ‘Abbas bahwa makna shirathal mustaqim
adalah Islam, tafsiran serupa dikatakan oleh beberapa orang sahabat yang lain.
Sedangkan menurut Mujahid yang dimaksud dengan shirathal mustaqim adalah kebenaran
(lihat Tafsir Ibnu
Katsir, I/36).
Syaikh
Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah
mengatakan, “Jalan yang lurus ini adalah jalannya orang-orang yang diberi
kenikmatan khusus oleh Allah, yaitu jalannya para nabi, orang-orang yang
shiddiq, para syuhada dan orang-orang shalih. Bukan jalannya orang yang
dimurkai, yang mereka mengetahui kebenaran namun sengaja mencampakkannya
seperti halnya kaum Yahudi dan orang-orang semacam mereka. Dan jalan ini
bukanlah jalan yang ditempuh orang yang sesat; yaitu orang-orang yang
meninggalkan kebenaran karena kebodohan dan kesesatan mereka, seperti halnya
kaum Nasrani dan orang-orang semacam mereka.”
Syaikhul
Islam mengatakan, “…Sesungguhnya hakekat jalan yang lurus itu adalah seorang
hamba melakukan perintah Allah yang tepat di setiap waktu yang dijalaninya
dengan mengilmui dan mengamalkannya (Majmu’ Fatawa, Islamspirit.com)
MENYIRAMI
HATI DENGAN HIDAYAH AL QUR’AN
Allah
ta’ala
berfirman,
إِنَّ هَذَا الْقُرْآَنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ
“Sesungguhnya
Al Qur’an ini benar-benar menunjukkan kepada yang paling lurus.” (QS. Al-Israa’ [17]:
9)
Syaikh
As Sa’di rahimahullah
menjelaskan bahwa Kitab Suci ini (al-Qur’an) menjadi penuntun bagi umat manusia
dalam mengarungi segenap problematika yang ada. Al-Qur’an senantiasa
mengarahkan kepada urusan yang terbaik dan terlurus. Maka dari itu sudah
semestinya kita berupaya menyibak makna-makna Kalamullah sebagaimana para
sahabat dahulu. Apabila mereka membaca sepuluh ayat atau kurang lebih dari itu
maka mereka tidak akan melewatinya kecuali setelah memahami kandungan iman,
ilmu, dan amal yang tersimpan di dalamnya. Sehingga dengan metode inilah mereka
bisa menerapkan ayat-ayat tersebut dalam menyikapi berbagai macam kenyataan
yang muncul. Dan dengan cara inilah mereka akan memiliki keyakinan yang mantap
terhadap berita-berita yang terkandung di dalamnya. Dengan cara inilah mereka
bisa tunduk melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Dengan demikian,
mereka akan bisa menempatkan segala macam realita dan persoalan yang terjadi
pada diri mereka serta orang lain dalam timbangan ayat-ayat tersebut dalam
rangka menilai : sudahkah mereka melaksanakan kandungannya dengan baik, ataukah
mereka justru lalai dan mengabaikannya? Dan dengan cara mentadabburi ayat
inilah mereka akan mengerti bagaimana kiat untuk bisa tetap tegar, kokoh, dan
kuat dalam menjalani segala macam urusan yang mengundang kemanfaatan, dan juga
untuk mewujudkan kembali kebahagiaan yang telah hilang atau menyusut dalam
kehidupannya. Dengan cara mentadabburi ayat semacam inilah mereka akan
mengetahui bagaimana cara untuk membebaskan diri dari segala marabahaya yang
mencekam mereka. Dengan cara inilah mereka bisa memetik hidayah dari berbagai
macam ilmu yang terkandung di dalam Al Qur’an, berakhlaq dan berperilaku
sebagaimana yang dituntunkan olehnya. Sebab mereka menyadari bahwa ayat-ayat
al-Qur’an itu ditujukan untuk mereka. Sehingga merekapun tertuntut untuk
memahami dan mengamalkan isi ajarannya. Demikianlah makna dari keterangan
Syaikh As Sa’di.
MENGOBATI
PENYAKIT HATI DENGAN AL QUR’AN
Dengan
al-Qur’an pula, seorang insan bisa menyembuhkan penyakit-penyakit hati yang
bersarang di dalam dadanya. Ibnul Qayyim berkata, “Sesungguhnya hati itu
menghadapi ancaman dua penyakit yang mendatanginya. Apabila kedua penyakit ini
berhasil menaklukkannya itulah kebinasaan dan kematiannya. Dua penyakit itu
yaitu penyakit syahwat (hawa nafsu) dan syubhat (kerancuan) dua penyakit ini adalah
sumber seluruh penyakit yang menimpa manusia kecuali orang-orang yang
diselamatkan oleh Allah.” Semua
penyakit hati ini muncul akibat kejahilan, dan obatnya adalah ilmu,
sebagaimana sabda Nabi dalam hadits tentang orang yang terluka kepalanya dan
mengalami junub kemudian para sahabat menyuruh orang itu untuk tetap mandi
(besar) sehingga menyebabkan ia mati, beliau bersabda, “Mereka telah
membunuhnya! Semoga Allah melaknat mereka, mengapa mereka tidak mau bertanya
ketika mereka tidak mengetahui? Sesungguhnya obat ketidaktahuan adalah dengan
bertanya.” (HR. Ibnu Majah, Ahmad dan lain-lain)
Penyakit-penyakit
hati itu lebih susah untuk disembuhkan daripada penyakit-penyakit fisik. Karena
puncak penyakit fisik hanya berakhir dengan kematian bagi si penderita,
sedangkan penyakit hati akan menyebabkan kecelakaan abadi pada dirinya. Tidak
ada satupun penyembuh bagi jenis penyakit ini kecuali dengan ilmu; oleh sebab
itulah Allah menamai Kitab-Nya sebagai asy-Syifaa’ (penyembuh) bagi penyakit
yang ada di dalam dada. Allah ta’ala
berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِين
“Hai
manusia sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabbmu, dan penyembuh
bagi penyakit-penyakit yang berada di dalam dada dan petunjuk serta rahmatbagi
orang-orang yang beriman.”
(QS. Yunus [10]: 57) Demikian keterangan Ibnul Qayyim.
PERJUANGAN
MERAIH HIDAYAH
Allah
ta’ala
berfirman,
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا
“Dan
orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami, niscaya Kami akan
menunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (QS. al-’Ankabut [29]: 69)
Ibnul
Qayyim mengatakan, “Allah subhanahu
mengaitkan hidayah dengan jihad (kesungguh-sungguhan). Maka orang yang paling
sempurna hidayahnya adalah yang paling besar jihad-nya dan jihad yang paling
wajib adalah berjihad untuk menundukkan diri sendiri, melawan hawa nafsu,
memerangi syaitan, dan menundukkan urusan keduniaan. Barang siapa yang berjihad
melawan keempat hal ini di atas petunjuk Allah maka Allah akan menunjukkan
kepada-Nya berbagai jalan untuk menggapai keridhaan-Nya dan akan mengantarkan
dirinya menuju ke dalam surga-Nya. Dan barang siapa yang meninggalkan jihad,
maka akan luput pula darinya petunjuk sebanding dengan jihad yang ditinggalkannya.
Al
Junaid mengatakan, “Orang-orang yang berjihad menundukkan hawa nafsu mereka di
atas jalan Kami dengan senantiasa bertaubat, maka Kami akan menunjukkan
kepadanya jalan-jalan keikhlasan, dan tidak mungkin sanggup berjihad menghadapi
musuh fisik yang ada di hadapannya kecuali orang yang telah berjihad
menundukkan musuh-musuh ini di dalam dirinya…”
NIAT
BAIK DAN PEMAHAMAN YANG BENAR
Di
antara hidayah teragung yang dikaruniakan Allah kepada hamba-Nya adalah niat
yang baik dan pemahaman yang benar. Ibnul Qayyim mengatakan, “Pemahaman yang benar
dan niat yang baik adalah termasuk nikmat paling agung yang dikaruniakan Allah
kepada hamba-Nya.
Bahkan tidaklah seorang hamba mendapatkan pemberian yang lebih utama dan lebih
agung setelah nikmat Islam daripada memperoleh kedua nikmat ini. Bahkan kedua
hal ini adalah pilar tegaknya agama Islam, dan Islam tegak di atas pondasi
keduanya. Dengan dua nikmat inilah seorang hamba bisa menyelamatkan dirinya
dari terjebak di jalan orang yang dimurkai (al
maghdhubi ‘alaihim) yaitu orang yang memiliki niat yang rusak. Dan
juga dengan keduanya ia selamat dari jebakan jalan orang sesat (adh dhaalliin)
yaitu orang-orang yang pemahamannya rusak. Sehingga dengan itulah dia akan
termasuk orang yang meniti jalan orang yang diberi nikmat (alladzina an’amta ‘alaihim)
yaitu orang-orang yang memiliki pemahaman dan niat yang baik. Mereka itulah
pengikut shirathal mustaqim…” (I’lamul
Muwaqqi’in, I/87)
Dengan
demikian, petunjuk dari Allah adalah nikmat agung yang harus disyukuri. Ibnul
Qayyim mengatakan, “Besarnya nikmat yang diperoleh hamba tergantung kadar
hidayah yang didapatkannya…”
TAUFIK
DI TANGAN ALLAH
Apa
yang bisa kita perbuat tanpa petunjuk dan taufik dari Allah? Tidak ada! Oleh
sebab itu sadarilah hal itu. Semuanya ada di tangan Allah. Kita tidak menguasai
apa-apa barang sedikitpun. Apa yang Allah kehendaki pasti terjadi dan apa yang
tidak dikehendaki-Nya tidak akan pernah terjadi.
Ibnul
Qayyim mengatakan, “Asas seluruh kebaikan adalah pengetahuanmu bahwa apa saja
yang Allah kehendaki pasti terjadi, dan apa saja yang tidak Dia kehendaki pasti
tidak akan terjadi. Ketika itu akan tampak bahwa semua kebaikan adalah berasal dari
nikmat-Nya
maka sudah semestinya kamu pun bersyukur kepada-Nya atas nikmat itu, dan
hendaknya kamu memohon dengan sangat kepada-Nya agar nikmat itu tidak terputus
darimu. Dan akan tampak pula bahwa seluruh keburukan adalah akibat (manusia)
dibiarkan bersandar kepada dirinya sendiri dan sebagai bentuk hukuman dari-Nya maka sudah semestinya
kamu sungguh-sungguh berdoa kepada-Nya untuk menghalangimu dari
keburukan-keburukan itu. Dan mintalah kepada-Nya supaya kamu tidak dibiarkan
bersandar pada dirimu sendiri (tanpa ada bantuan dari-Nya) dalam mengerjakan
kebaikan-kebaikan dan meninggalkan keburukan-keburukan.”
Beliau
melanjutkan, “Seluruh ahli ma’rifat pun telah sepakat bahwa segala kebaikan
bersumber dari taufik yang Allah karuniakan kepada hamba. Dan semua bentuk
keburukan bersumber dari penelantaran Allah terhadap hamba-Nya. Mereka pun
telah sepakat bahwa hakekat taufik adalah ketika Allah tidak menyerahkan
urusanmu kepada dirimu sendiri, dan hakekat dibiarkan dan tidak dipedulikan (al
khudzlan) yaitu ketika Allah membiarkan kamu bersandar kepada kemampuanmu
semata (tanpa bantuan-Nya) dalam mengatasi masalahmu. Kalau ternyata segala
kebaikan bersumber dari taufik, sedangkan ia berada di tangan Allah bukan di
tangan hamba, maka kunci
untuk mendapatkannya adalah do’a, perasaan sangat membutuhkan, ketergantungan
hati yang penuh, serta harapan dan rasa takut kepada-Nya…”
SYARAT
MERAIH KEAMANAN DAN HIDAYAH
Allah
ta’ala
berfirman,
الَّذِينَ آَمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُون
“Orang-orang
yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman, mereka
itulah yang akan mendapatkan keamanan dan merekalah orang yang mendapatkan
hidayah.”
(QS. Al An’aam [6]: 82)
Diriwayatkan
dari Abdullah bin Mas’ud,
لَمَّا نَزَلَتْ {الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ} قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّنَا لَا يَظْلِمُ نَفْسَهُ قَالَ لَيْسَ كَمَا تَقُولُونَ {لَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ} بِشِرْكٍ أَوَلَمْ تَسْمَعُوا إِلَى قَوْلِ لُقْمَانَ لِابْنِهِ {يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ}
“Ketika
turun ayat, “Orang-orang
yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman.”
Kami (para sahabat) mengatakan, “Wahai Rasulullah. Siapakah di antara kita ini
yang tidak melakukan kezaliman terhadap dirinya ?”
Maka
Rasulullah pun menjawab, “Maksud
ayat itu tidak seperti yang kalian katakan. Sebab makna, “Tidak mencampuri keimanan
mereka dengan kezaliman” adalah (tidak mencampurinya) dengan kesyirikan.
Bukankah kalian pernah mendengar ucapan Luqman kepada puteranya, “Wahai anakku,
janganlah kamu mempersekutukan Allah, karena sesungguhnya syirik itu
adalah kezaliman yang sangat besar“.”
Menurut
para sahabat ayat ini berlaku umum mencakup semua bentuk kezaliman. Sehingga
mereka menyangka kezaliman terhadap diri sendiri pun tercakup dalam syarat
untuk mendapatkan keamanan dan hidayah yang disebutkan oleh ayat ini. Artinya
orang yang menzalimi dirinya (dengan berbuat maksiat, pent) tidak akan termasuk
orang yang mendapatkan rasa aman dan petunjuk. Sehingga hal ini tentu
memberatkan. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab musykilah yang muncul dalam pikiran para
sahabat dengan menjelaskan bahwa kezaliman yang benar-benar melenyapkan
anugerah keimanan dan petunjuk adalah kezaliman yang berupa kesyirikan. Sebab
dengan berbuat syirik seorang hamba telah berani menujukan ibadah kepada
sesuatu yang tidak berhak menerimanya.
Ibnu
Taimiyah rahimahullah
mengatakan, “Hal yang membuat para sahabat merasa berat ialah karena mereka
menyangka bahwa kezaliman yang dipersyaratkan harus dihilangkan di sini adalah
kezaliman hamba terhadap dirinya sendiri. Mereka mengira bahwa keamanan dan petunjuk
tidak akan bisa diraih oleh orang yang menzalimi dirinya sendiri. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
pun menerangkan kepada mereka bahwa di dalam Kitabullah syirik juga disebut
sebagai suatu kezaliman. Sehingga
rasa aman dan petunjuk tidak akan diperoleh orang-orang yang mencampuri
keimanan mereka dengan kezaliman jenis ini (syirik, pen). Karena
sesungguhnya barangsiapa yang tidak mencampuradukkan keimanan mereka dengan
kezaliman ini maka dia termasuk orang-orang yang berhak memperoleh keamanan dan
petunjuk…”
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Barang siapa bisa menyelamatkan dirinya dari
ketiga macam kezaliman: berbuat syirik, menzalimi sesama hamba, dan menzalimi
diri sendiri selain syirik maka dia berhak memperoleh rasa aman yang sempurna
dan petunjuk yang sempurna (al
amnu al muthlaq dan al ihtida’ al muthlaq). Sedangkan orang
(bertauhid) yang tidak bisa menyelamatkan dirinya dari perbuatan zalim terhadap
dirinya sendiri maka dia hanya akan memperoleh rasa aman dan petunjuk
sekadarnya
(tidak sempurna, disebut juga muthlaqul amn dan muthlaqul ihtida’, pent). Dalam
artian dia pasti akan masuk surga. Sebagaimana hal itu telah dijanjikan oleh
Allah di dalam ayat lain. Dan Allah pun menunjukkan kepadanya jalan yang lurus
yang pada akhirnya juga akan mengantarkannya menuju surga. Rasa aman dan petunjuk
itu akan berkurang berbanding lurus dengan penurunan iman yang terjadi
dikarenakan perbuatan zalimnya terhadap dirinya sendiri.”
Beliau
melanjutkan keterangannya, “Ketika Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata, “Sesungguhnya (yang dimaksud zalim dalam
ayat) itu adalah syirik” itu bukan berarti orang yang tidak berbuat
syirik akbar pasti akan meraih rasa aman yang sempurna dan petunjuk yang
sempurna.
Sebab terdapat banyak sekali hadits serta nash-nash al-Qur’an yang menerangkan
bahwa para pelaku dosa besar dihadapkan dengan cekaman rasa takut. Mereka tidak
bisa memperoleh keamanan yang sempurna dan petunjuk yang sempurna; dua karunia
yang bisa membuat mereka mendapatkan hidayah menempuh jalan yang lurus, yaitu
jalannya orang-orang yang mendapatkan anugerah nikmat Allah, tanpa sedikitpun
siksa yang harus mereka terima. Akan tetapi mereka itu memiliki pokok petunjuk
untuk menempuh jalan yang lurus ini. Mereka juga memiliki pokok kenikmatan yang
dilimpahkan Allah kepada mereka, sehingga mereka juga pasti akan merasakan
masuk surga.”
Dari
keterangan di atas jelaslah bagi kita bahwa kata zalim yang dimaksud oleh Nabi
tatkala menyebutkan ayat tersebut adalah syirik. Sehingga makna ayat tersebut
adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Shalih Alusy Syaikh hafizhahullah bahwa
makna “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan
kezaliman” adalah “mereka tidak mencampuri tauhidnya dengan syirik jenis
apapun.” Dan semakin
kecil kezaliman yang melekat pada diri seorang hamba maka semakin tinggi pula
kadar keamanan dan petunjuk yang diraihnya. Semakin bersih tauhidnya,
maka semakin besar pahala yang akan didapatkannya.
ISTIQAMAH
DI ATAS JALAN YANG LURUS
Iman
dan tauhid harus dipertahankan. Pengakuan iman tidak ada artinya jika tidak
disertai keistiqamahan. Diriwayatkan dari Abu ‘Amr, tetapi ada juga yang
menyebutnya Abu ‘Amrah yaitu Sufyan bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, dia mengatakan,
“Aku berkata: Wahai Rasulullah, katakanlah kepadaku sebuah perkataan di dalam
Islam yang tidak akan aku tanyakan selain kepada dirimu.” Maka beliau pun
bersabda, “Katakanlah,
Aku beriman kepada Allah, kemudian istiqamahlah.” (HR. Muslim)
Imam
An Nawawi rahimahullah
menjelaskan bahwa makna istiqamah adalah, “senantiasa menempuh jalan yang benar
yaitu dengan cara melakukan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan
larangan-larangan.” (Syarh
Al Arba’in)
Syaikh
Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah
menerangkan bahwa ungkapan, ‘Aku beriman kepada Allah’ lebih ditekankan pada
masalah hati/keyakinan. Sedangkan ‘lalu istiqamahlah’ lebih ditekankan pada
masalah amal perbuatan. Sehingga hadits ini menunjukkan kepada kita bahwa
bangunan agama ini ditopang oleh dua hal yang sangat penting yaitu keimanan
yang terletak di dalam hati dan keistiqamahan yang terletak pada anggota badan
(Ta’liq Al Arba’in)
Syaikh
Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah
mengatakan, “Bukanlah maksud ucapan Nabi “Katakanlah,
Aku beriman” adalah sekedar mengucapkan dengan lisan. Karena ada di
antara manusia yang mengatakan,“Aku beriman kepada Allah dan hari akhir”
padahal hakekatnya mereka bukan orang beriman. Namun yang dimaksud ialah supaya
mengucapkan dengan hati dan lisan secara beriringan. Sehingga artinya adalah
agar ia mengucapkannya dengan lisan setelah hatinya meyakini, dan hal itu
diyakininya dengan sangat mantap tanpa menyisakan keraguan…”
Beliau
juga mengatakan, “Dalam sabda beliau, “Aku
beriman kepada Allah” tercakup keimanan kepada wujud Allah ‘azza wa jalla,
rububiyah-Nya, nama-nama dan sifat-sifat-Nya, hukum-hukum-Nya dan berita-berita
dari-Nya, serta perkara apapun yang bersumber dari Allah ‘azza wa jalla.
Hendaknya engkau imani hal itu. Dan kemudian apabila engkau sudah beriman
dengannya maka istiqamahlah di atas agama Allah. Jangan kamu menyimpang
darinya, ke kanan maupun ke kiri. Jangan kamu kurang-kurangi dan jangan pula
kamu tambah-tambahi. Istiqamahlah di atas syahadat la ilaha illallah wa anna
Muhammadar Rasulullah, yaitu dengan cara ikhlas (beribadah) kepada Allah ‘azza
wa jalla dan mengikuti (tuntunan) Rasul-Nya. Istiqamahlah dengan shalat, zakat,
puasa dan haji serta dengan semua syari’at. Dan sabda belau,“Katakanlah, Aku
beriman kepada Allah” merupakan dalil yang menunjukkan bahwa istiqamah tidak
bisa dicapai tanpa beriman terlebih dulu. Ini sekaligus menunjukkan bahwasanya
salah satu syarat amal shalih; yaitu syarat sah dan diterimanya adalah amal
tersebut harus dibangun di atas keimanan.” Selesai ucapan beliau.
Syaikh
Abdurrahman bin Nashir Al Barrak hafizhahullah
mengatakan, “Dalam syari’at, istiqamah mengandung dua perkara: [1] Berjalan di atas jalan
yang benar,
[2] Bersikap tegar dan
konsisten di atasnya sampai mati.
Adapun
perkara yang pertama yaitu berjalan di atas jalan yang benar. Makna ini telah
dijelaskan oleh firman Allah ta’ala
yang artinya, “Hai, orang-orang yang beriman. Bertakwalah kepada Allah dengan
sebenar-benar ketakwaan kepada-Nya.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 102). Bertakwalah
kepada-Nya dengan sungguh-sungguh yaitu sepenuh kemampuanmu. Allah ta’ala berfirman,
“Bertakwalah kepada Allah sekuat kemampuanmu” (QS. at-Taghabun: 16)
Sedangkan
yang kedua yaitu teguh di atasnya hingga mati telah tercakup dalam firman Allah
ta’ala,
“Dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan sebagai seorang muslim.” (QS.
Ali ‘Imran [3]: 102). Maka hal ini mengandung perintah untuk bersikap teguh dan
konsisten. Artinya istiqomahlah di atas ketakwaan hingga kematian menjemput dan
kalian tetap berada di atasnya. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam
hadits yang sahih,”Barang siapa yang ingin dibebaskan dari neraka serta
dimasukkan ke dalam surga, hendaklah dia menjumpai kematiannya dalam keadaan
beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hendaknya dia bergaul dengan orang
dengan sikap yang dia sukai untuk dirinya.” (Shahih, riwayat Ahmad dalam Musnad [II/191]
dari hadits Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu
‘anhu)
PENUTUP
Semoga
Allah menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang istiqamah di atas jalan
yang lurus, dan semoga Allah juga memberikan taufik kepada kita untuk
membersihkan segenap gerak-gerik hati dan anggota badan kita dari noda syirik,
bid’ah, dan kemaksiatan sehingga kita akan bisa menikmati ketentraman dan
hidayah yang sempurna; baik ketika di dunia maupun nanti ketika di akherat.
Allahumma
inna nas’alukal huda wat tuqa wal ‘afaafa wal ghina.
Ya
Muqallibal qulub tsabbit qalbi ‘ala diinik, Ya Musharrifal qulub sharrif qalbi
ila thaa’atik.
Allahumma
‘allimna ma yanfa’una, wanfa’na bima ‘allamtana, wa zidna ‘ilma.
Allahuma
inni a’udzubika min ‘ilmin la yanfa’ wa min qalbin la yakhsya’ wa min nafsin la
tasyba’ wa min da’watin la yustajabu laha.
Wa
shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam wa
man tabi’ahum bi ihsanin ila yaumid dien. Walhamdulillaahi Rabbil ‘alamiin.
Selesai
disusun ulang di Yogyakarta, Rabu 14 Muharram 1429
Hamba
yang sangat membutuhkan Rabbnya. Semoga Allah mengampuninya, kedua orang tuanya
dan seluruh kaum muslimin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar