Di
antara sebab persatuan adalah berbaik sangka dan tidak memberi gelaran buruk
Segala
puji hanya milik Allah semata. Sholawat dan salam senantiasa tercurah kepada
Rasul yang tidak ada lagi Nabi setelahnya. Wa
ba’du…
Sesungguhnya
Allah telah melarang sikap buruk sangka (su`uzhon)
kepada kaum muslimin. Karena sikap itu akan menyebabkan penghinaan kepada
mereka dan menimpakan bahaya kepada mereka.
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ
“Hai orang-orang yang beriman,
jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari
purba-sangka itu dosa.” [al-Hujurat: 12]
Jika
kita mengenal orang yang menjadi obyek persangkaan, bahwa dia adalah orang yang
shalih, amanah, istiqamah, memiliki agama dan ilmu, kemudian kita berprasangka
bahwa dia menyelisihi apa yang kita yakini dikarenakan niat yang buruk dan hati
yang rusak, maka hal ini lebih dekat kepada tuduhan nifaq dari pada tuduhan bid’ah.Telah maklum
bahwa keistiqamahan, ilmu dan keshalihannya, serta upayanya dalam menyebarkan
agama dan perjuangannya di jalan Allah adalah indikasi kuat yang menunjukkan
bahwa tuduhan itu tidak mungkin benar, jika bukan karena niat yang buruk.
Bukankah ini adalah buruk sangka yang haram?
Sesungguhnya
sebab perselisihan para ulama sangat banyak sekali. Hanya saja yang paling
utama adalah karena adanya kesamaran yang banyak para ulama agama ini tidak
selamat darinya, yakni disebabkan karena salah penggambaran (terhadap suatu
masalah -pent) atau ketiadaan pengetahuan terhadap sunnah, atau sebab lainnya.
Yang mana sebab-sebab ini meniadakan adanya niat buruk pada diri para da’i dan
ulama.
Seperti
para da’i mulia yang tidak memiliki keahlian dalam urusan penukilan (riwayat),
sedangkan mereka telah berkecimpung dalam permasalahan berbagai pemikiran. Dan
untuk menghadapi perlawanan pemikiran-pemikiran modern, mereka membutuhkan
bantuan dari sebagian riwayat yang ada didapati dalam warisan islam. Akhirnya
(karena kurang ahli dalam urusan penukilan riwayat -pent) mereka pun mengambil
perkataan sebagian imam-imam yang kurang kuat sedangkan mereka tidak sadar.
Mereka telah terjatuh dalam sebagian perkara bid’ah, sedangkan mereka
meyakininya sebagai burhan
(bukti atau dalil) yang kuat (pasti). Dan tatkala mereka tidak memiliki
kekuatan untuk berdiri sendiri dalam permasalahan akal ini, tidak juga dalam
kaedah logika ataupun kode etik dalam masalah ini (bahkan sebenarnya mereka
adalah orang yang hanya sekadar taklid) maka mereka pun meyakini
konsekuensi dari kaedah itu terhadap al-Qur`an, al-hadits dan perkataan para
salaf. Mereka menafsirkan nash-nash yang ada dengan kaedah itu, dengan
persangkaan bahwa nash-nash itu mencocoki mereka. Atau mungkin mereka berpaling
dari nash-nash itu tanpa mengingkarinya, karena adanya keimanan yang
menghalangi mereka dari pengingkaran; sehingga mereka pun dalam batin
menyerahkan maknanya (tidak menetapkan satu makna pun -pent).
Di
antara mereka, disebabkan karena kedudukan dalam dakwah yang dimilikinya, ada
yang berijtihad dalam perkara-perkara yang masih bisa dinalar dan dirasakan.
Sehingga dia pun melakukan kesalahan dalam perkara tersebut sebagaimana yang
lainnya juga bisa tejatuh dalam kesalahan. Lalu (dalam kesalahan itu -pent) dia
mencocoki ahlu bid’ah dalam sebagian prinsip-prinsip mereka yang rusak, padahal
dia mengetahui nash-nash dan mencintainya. Hanya saja dia tidak memiliki
pemahaman para imam sunnah (dalam masalah tersebut -pent).
Orang
ini, engkau dapati dia mengagungkan al-Qur`an dan sunnah, membenci dan menjauhi
ilmu kalam dan filsafat, mencintai perkataan para salaf. Akan tetapi dia tidak
sadar bahwa dia mencocoki sebagian prinsip ahlu bid’ah dari kalangan ahli kalam
dan sufi.
Mereka
semua adalah para imam yang utama dan para da’i yang mulia di atas para pemeluk
agama Islam, mereka adalah pelayan agama ini, mereka berjuang di jalan-Nya
dengan harta, pena dan lisan mereka. Dan sebagian mereka adalah orang-orang
yang telah mencapai puncak dalam hal perilaku dan akhlak. Hanya saja telah
terjadi pada mereka apa Allah takdirkan untuk umat ini, tanpa ada niatan dari
mereka untuk berbuat kesalahan, bahkan niat mereka adalah niat yang lurus dan
benar. Semoga Allah mengampuni mereka dan berbuat baik kepada mereka.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah dalam “as-Siyasah
asy-Syar’iyah” berkata, “Sesungguhnya orang yang taat kepada Allah
akan terbedakan dari orang yang bermaksiat kepada-Nya dengan niat dan amal yang
shalih. Sebagaimana dalam Shahihain, dari Nabi – shollallohu ‘alaihi wa sallam –
إن الله لا ينظر إلى صوركم ولا إلى أموالكم و إنما ينظر إلى قلوبكم و إلى أعمالكم
“Sesungguhnya Allah tidak
memandang bentuk rupa dan harta kalian, hanya saja Dia memandang hati dan
amalan kalian.”
Sesungguhnya
kita, tatkala kita melewati berbagai masa untuk kembali kepada al-Qur`an, akan
kita dapati al-Qur`an menegaskan tujuan-tujuan dasar sebagai persatuan kalimat,
persatuan dan kesatuan jama’ah kaum muslimin. Yaitu (kita akan mendapatinya)
dari perintah untuk melaksanakan sesuatu yang bisa menghantarkan kepada
penghormatan terhadap orang lain, menebarkan kecintaan dan mematikan
sebab-sebab perpecahan dan permusuhan. Allah ta’ala berfirman,
وَلَا
تَلْمِزُوا أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُولٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Dan janganlah kamu suka mencela
dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan.
Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan
barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”
[al-Hujurat: 11]
Lalu
kenapa kita menamai sebagian kita dengan nama-nama yang kita benci, dan kita
tidak memanggilnya dengan nama yang dia ridhai. Benar, nama dibuat sebagai
pengenal. Akan
tetapi nama adalah yang dipilih oleh pemiliknya bukan yang dipilih oleh lawan
atau musuhnya.
Maka orang yang berkehendak untuk menamai dirinya dengan “as-Sunnah wal Jama’ah”
atau dengan “Islam” atau dengan “Iman” mengapa kita malah menzhaliminya dengan
menamainya dengan nama-nama yang dia benci. Bukankah ini termasuk
panggilan dengan gelaran yang mengandung ejekan? Atau, adakah yang memberi hak
kepada kita untuk menamai manusia?
Dengan
kembali kepada al-Qur`an dan Sunnah, kita wajib meninggalkan segala hal yang
bisa menimbulkan kebencian dalam hati dan memutus hubungan kecintaan antara
kaum muslimin. Dan kita juga wajib untuk berpegang teguh dengan segala hal yang
bisa menyebabkan sikap saling menghormati, menjaga nama baik, kehormatan dan
perasaan. Jika ada seorang muslim yang mencela saudaranya, berarti dia telah
mencela dirinya sendiri. Inilah makna firman Allah ta’ala,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar