Musyawarah
adalah suatu kelaziman fitrah manusia dan termasuk tuntuntan stabilitas suatu
masyarakat. Musyawarah bukanlah tujuan pada asalnya, tetapi disyariatkan dalam
agama Islam untuk mewujudkan keadilan diantara manusia, dan juga untuk memilih
perkara yang paling baik bagi mereka, sebagai perwujudan tujuan-tujuan syari’at
dan hukum-hukumnya, oleh karena itu musyawarah adalah salah satu cabang dari
cabang-cabang syari’at agama, mengikuti serta tunduk pada dasar-dasar syari’at
agama.
Dan sungguh
kami telah melihat bahwa terdapat dalam dua ayat yang mulia berkenaan dengan
masalah musyawarah.
Pertama :
Tentang Kewajiban Kepala Pemerintahan Untuk Bermusyawarah
“Artinya : Dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu, kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, maka bertawakal kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakkal kepadaNya” [Ali-Imran : 159]
Kedua : Dalam
Mensifati Berbagai Kondisi Kaum Muslimin Secara Umum Yang Senantiasa
Bermusyawarah
“Artinya :
Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka” [Asy-Syuura
: 38]
Bahwasanya
syariat Islam telah datang dengan menetapkan asas musyawarah ini. Adalah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi wahyu, dan beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak membutuhkan pendapat-pendapat manusia, karena Allah-lah
yang mengajarkan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam hukum-hukum agama
dan dunia, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada umatnya
hukum-hukum agama dan dunia (yang dibutuhkan) mereka tanpa penambahan maupun
pengurangan sedikitpun, karena beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
manusia yang dipercaya dan terpercaya, akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala
berkeinginan agar NabiNya menetapkan asas musyawarah ini kepada umatnya,
dimulai dari diri beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terlebih dahulu, agar
umat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempelajarinya dan tidak bersikap
sombong terhadap konsep musyawarah tersebut. Allah berfirman.
“Artinya : Dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu” [Ali-Imran : 158]
Yang demikian
itu, agar kaum muslimin bermusyawarah dalam berbagai urusan kehidupan mereka
selama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bermusyawarah dengan
sahabat-sahabatnya (semoga Allah meridhai mereka semuanya).
Dan kaum
muslimin mengamalkan mabda (ajaran) ini adalah lebih utama. Oleh karena itu
turunlah ayat yang mensifati kaum muslimin tentang musyawarah. Allah berfirman.
“Artinya :
Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka” [Asy-Syuura
: 38]
Artinya :
“Kaum muslimin tidak memutuskan masalah dengan pendapat mereka sendiri hingga
mereka bermusyawarah serta bersepakat dalam satu masalah. Yang demikian itu
karena kuatnya perhatian dan kewaspadaan mereka, jujurnya persaudaraan mereka
dalam keimanan, dan saling cinta mencintai diantara mereka karena Allah”
Jika demikian
halnya, maka musyawarah adalah salah satu dari dasar-dasar Islam dalam
bermasyarakat dan berpolitik.
Dan wajib bagi
pemimpin kaum muslimin untuk mengambil pembantu-pembantu yang shalih untuk
menjadi penasehatnya (yang diminta pendapat mereka dengan bermusyawarah) Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya :
Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi, dan tiadalah Allah menjadikan seorang
khalifah (penguasa) melainkan ia memiliki dua pembantu, yang pertama pembantu
yang memerintahkan dan menganjurkan berbuat kebaikan, dan yang lain pembantu
yang memerintahkan dan menganjurkan berbuat kejahatan, maka yang terjaga adalah
orang-orang yang dijaga Allah Ta’ala” [Hadits Riwayat Bukhari 71981]
Jika tersebar
kebaikan pada diri para pemimpin, tersebar kedermawanan pada diri orang-orang
kaya, lalu musyawarah ditegakkan dalam kehidupan, maka manusia akan berbahagia
di dunia dan akhirat, dan mendapatkan kehidupan serta kesenangan, dan
sebaliknya jika tidak demikian maka yang akan terjadi adalah kebalikannya.
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya :
Jika pemimpin-pemimpin kalian adalah orang yang terbaik diantara kalian, dan
orang-orang kaya kalian adalah orang yang berlapang dada dari kalian, dan
perkara kalian adalah diselesaikan dengan musyawarah diantara kalian, maka
punggung bumi akan lebih baik bagi kalian dari perutnya, dan jika
pemimpin-pemimpin kalian adalah orang-orang yang jahat diantara kalian, dan
orang-orang kayanya adalah orang-orang yang bakhil dari kalian, dan perkara
kalian kembali kepada perempuan-perempuan kalian maka perut bumi lebih baik
dari permukaannya” [Tirmidzi 2266, hadits ini didhaifkan/dilemahkan oleh Syaikh
Al-Albani, lihat dhaif Tirmidzi]
Definisi
Asy-Syuura [Musyawarah]
Asy-Syuura adalah peyampaian pendapat ahli ilmu untuk mencapai perkara yang lebih mendekati kepada kebenaran, dan hal yang dimusyawarahkan adalah perkara yang tidak terdapat keterangan tentangnya dari Allah (Al-Qur’an) dan dari RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam (Hadits).
Asy-Syuura adalah peyampaian pendapat ahli ilmu untuk mencapai perkara yang lebih mendekati kepada kebenaran, dan hal yang dimusyawarahkan adalah perkara yang tidak terdapat keterangan tentangnya dari Allah (Al-Qur’an) dan dari RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam (Hadits).
Dalil-Dalil
Asy-Syuura.
Sungguh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah merealisasikan musyawarah ini sebagai pengajaran bagi umatnya, dan sebagai peletakkan dasar pada mabda (pondasi) ini, serta sebagai pengantar terhadap sunnahnya bermusyawarah diantara umat.
Sungguh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah merealisasikan musyawarah ini sebagai pengajaran bagi umatnya, dan sebagai peletakkan dasar pada mabda (pondasi) ini, serta sebagai pengantar terhadap sunnahnya bermusyawarah diantara umat.
Dan telah
disebutkan dalam hadits-hadits yang shahih musyawarah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dengan sahabat-sahabat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam banyak perkara, kami sebutkan diantaranya.
[1].
Musyawarahnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sahabat beliau
(pada hari peperangan Badar) untuk bepergian menjumpai rombongan orang musyrik
yang membawa barang-barang dagangan.
[2]. Musyawarahnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sahabat beliau juga untuk menentukan posisi mereka (dalam perang Badar) hingga Al-Mundzir bin Amru memberi isyarat untuk maju di depan kaum.
[3]. Musyawarahnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sahabat beliau (pada hari peperangan Uhud) apakah kaum musimin menanti musuh di Madinah atau keluar dari kota Madinah untuk menyongsong musuh, maka sebagian besar sahabat berpendapat untuk menyongsong musuh di luar kota Madinah, maka keluarlah mereka menyongsong musuh di luar Madinah.
[4]. Musyawarahnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sahabat beliau (pada hari peperangan Khondak) untuk berdamai dengan pasukan musyrikin yang bergabung menyerang kaum muslimin dengan memberikan sepertiga buah-buahan di kota Madinah pada tahun itu juga, maka dua orang sahabat Nabi yaitu Sa’ad bin Muadz dan Sa’ad bin Ubadah menolak hal ini, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tidak melakukan perdamaian itu.
[5]. Musyawarahnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sahabat beliau (pada hari perjanjian Hudaibiyyah) untuk menawan anak-anak kaum musyrikin, maka berkatalah Abu Bakar As-Shiddiq kepada beliau : “Sesungguhnya kita tidak datang untuk memerangi seorangpun, dan kita datang hanya untuk ber-umrah”. Maka Nabi pun menerima pendapat itu.
[6]. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Abu Bakar dan Umar bin Khatthab : “Seandainya kalian bersepakat dalam suatu urusan niscaya aku tidak akan menyelesihi kalian berdua”.
[7]. Abu Hurairah berkata : “Tidaklah aku melihat seseorang yang lebih banyak bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[2]. Musyawarahnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sahabat beliau juga untuk menentukan posisi mereka (dalam perang Badar) hingga Al-Mundzir bin Amru memberi isyarat untuk maju di depan kaum.
[3]. Musyawarahnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sahabat beliau (pada hari peperangan Uhud) apakah kaum musimin menanti musuh di Madinah atau keluar dari kota Madinah untuk menyongsong musuh, maka sebagian besar sahabat berpendapat untuk menyongsong musuh di luar kota Madinah, maka keluarlah mereka menyongsong musuh di luar Madinah.
[4]. Musyawarahnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sahabat beliau (pada hari peperangan Khondak) untuk berdamai dengan pasukan musyrikin yang bergabung menyerang kaum muslimin dengan memberikan sepertiga buah-buahan di kota Madinah pada tahun itu juga, maka dua orang sahabat Nabi yaitu Sa’ad bin Muadz dan Sa’ad bin Ubadah menolak hal ini, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tidak melakukan perdamaian itu.
[5]. Musyawarahnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sahabat beliau (pada hari perjanjian Hudaibiyyah) untuk menawan anak-anak kaum musyrikin, maka berkatalah Abu Bakar As-Shiddiq kepada beliau : “Sesungguhnya kita tidak datang untuk memerangi seorangpun, dan kita datang hanya untuk ber-umrah”. Maka Nabi pun menerima pendapat itu.
[6]. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Abu Bakar dan Umar bin Khatthab : “Seandainya kalian bersepakat dalam suatu urusan niscaya aku tidak akan menyelesihi kalian berdua”.
[7]. Abu Hurairah berkata : “Tidaklah aku melihat seseorang yang lebih banyak bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dan musyawarah
pun juga terjadi diantara sahabat-sahabat Nabi, diantaranya perkataan Umar bin
Khatthab Radhiyallahu ‘anhu : “Al-Khilafah adalah musyawarah diantara enam
sahabat nabi yang mana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, sedangkan
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan meridhai mereka’.
Ahli Syuura
[Para Ahli Yang Diminta Pendapat Mereka Untuk Bermusyawarah]
Ahli syuura adalah “Ahlul halli wal aqdi” (mereka yang ahli dalam menyelesaikan permasalahan) atau orang-orang yang dipilih oleh Waliyul Amri (Kepala Negara) untuk bermusyawarah, ini secara umum, dan diantara mereka adalah.
Ahli syuura adalah “Ahlul halli wal aqdi” (mereka yang ahli dalam menyelesaikan permasalahan) atau orang-orang yang dipilih oleh Waliyul Amri (Kepala Negara) untuk bermusyawarah, ini secara umum, dan diantara mereka adalah.
[1]. Pemuka
masyarakat yang mempunyai kedudukan, yang mana mereka dipercaya dalam keilmuan
mereka dan pendapat-pendapat mereka, dari kelompok yang terbesar, dan dari
kalangan ahli ilmu dan ahli politik syar’iyyah (politik yang sesuai dengna
syari’at agama Islam), ahli dalam pemerintahan dan harta, yang mana mereka
berkhidmat untuk masyarakat, mereka yang mempunyai pandangan yang tajam dan
firasat yang benar.
[2]. Para
ulama ahli fikih terkemuka yang memiliki kemampuan untuk menetapkan hukum-hukum
pada suatu keadaan dan sesuai dengan dasar-dasar umum ajaran Islam, dan mereka
berdiri diatas ruh syariat Islamdan jalan-jalannya.
Orang-orang
yang terpercaya, ahli Al-Qur’an (ahli tentang kandungan dan maknanya) mereka
itulah ulama. Bahkan Bukhari : “Adalah pemimpin-pemimpin sesudah Nabi, mereka
bermusyawarah dengan orang-orang yang terpercaya dari kalangan ahli ilmu dalam
perkara-perkara yang mubah (diperbolehkan) agar mereka dapat mengambil hal yang
paling mudah, maka jika Al-Qur’an dan Sunnah sudah jelas, mereka tidak akan
melampaui kepada hal lainnya, karena mencontoh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Ahli Al-Qur’an (dari kalangan) para sahabat Nabi adalah orang-orang
yang dijadikan ahli musyawarah oleh Umar bin Khatthab, baik mereka itu sudah
lanjut usia maupun masih muda. Dan adalah Umar bin Khatthab orang yang selalu
berhenti untuk mentaati (hukum-hukum) Al-Qur’an.
Merupakan
sesuatu yang sudah diketahui bersama, bahwa para penasehat (ahli musyawarah)
akan dihisab (dimintai pertanggungan jawab) didepan Allah dan manusia, dalam
pendapat-pendapat yang dikemukakan mereka. Oleh karena itu orang-orang yang
amanahlah (berlaku amanat) yang dimintai pendapat. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda.
“Artinya :
Penasehat (orang yang dimintai pendapat) adalah orang yang amanah (dipercaya)”
[Hadits shahih riwayat Tirmidzi no. 2823, lihat shahih sunan Tirmidzi karya
syaikh Al-Albani]
Artinya :
dipercaya dalam menetapkan hal-hal yang baik bagi manusia, dan orang-orang yang
menjaga terhadap agama mereka”
[3]. Ahli
hukum agama yang terkemuka, yang memiliki pengetahuan dalam kehidupan dan
manusia, dan mereka mengarahkan untuk menyelesaikan problematika umat dengan
hikmah dan teliti dalam naungan Al-Qur’an dan Sunnah, dan fikih para Salafush
Shalih.
[4]. Para
spesialis dalam pengetahuan tentang manusia, negeri-negeri, yang mana mereka
membaca sejarah kuno dan kontemporer, dan mereka mengetahui manusia dengan
perbedaan tingkatan-tingkatan dan agama mereka, dan mereka mengerti tentang
negara-negara dan tabiat-tabiatnya.
Tujuan Daripada
Musyawarah
[1]. Menghasilkan pendapat-pendapat dan jalan keluar untuk dapat sampai kepada penyelesaian dalam bentuk yang paling utama.
[2]. Jaminan penjagaan atas kebaikan-kebaikan umum, dan tidak tersia-sianya hak-hak manusia jika direalisasikan dengan bentuk yang sempurna.
[3]. Merealisasikan keadilan diantara manusia
[4]. Kemampuan manhaj ini (musyawarah) untuk menyerap perselisihan-perselisihan, menjaga kegoncangan yang terkadang dihasilkan lantaran perselisihan pendapat dan pertentangannya.
[5]. Mengembangkan, menggunakan dan mengatur kemampuan-kemampuan dalam bentuk yang istimewa dan sukses, sehingga menghasilkan penemuan bersamaan dengan pengembangannya.
[1]. Menghasilkan pendapat-pendapat dan jalan keluar untuk dapat sampai kepada penyelesaian dalam bentuk yang paling utama.
[2]. Jaminan penjagaan atas kebaikan-kebaikan umum, dan tidak tersia-sianya hak-hak manusia jika direalisasikan dengan bentuk yang sempurna.
[3]. Merealisasikan keadilan diantara manusia
[4]. Kemampuan manhaj ini (musyawarah) untuk menyerap perselisihan-perselisihan, menjaga kegoncangan yang terkadang dihasilkan lantaran perselisihan pendapat dan pertentangannya.
[5]. Mengembangkan, menggunakan dan mengatur kemampuan-kemampuan dalam bentuk yang istimewa dan sukses, sehingga menghasilkan penemuan bersamaan dengan pengembangannya.
[Diterjemahkan
dan diringkas dari majalah Asy-Syuura edisi 35 Rabiul Awwal 1423H]
[Disalin dari
majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Edisi 9 Th. II 2004M/1425H. Penerbit
Ma’had Ali Al-Irsyad Surabaya Jl. Sultan Iskandar Muda 46 Surabaya]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar