Dikutip dari : Do’a
& Hiburan (Bagi orang sakit dan terkena musibah) Menurut Al-Qur’an dan
As-Sunnah yang Shahih oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas.
Al-Hilm: Menahan Diri untuk Melampiaskan Amarah Walaupun Mampu
Suatu
ketika, Aisyah radiyallahu
anha pernah bertanya kepada Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, “Pernahkah engkau
mengalami suatu hari yang lebih berat daripada perang uhud?”.
Beliau
menjawab “Aku sudah mendapatkan apa yang pernah aku dapatkan dari kaummu (kaum
Quraisy), namun yang paling berat adalah saat di Aqobah saat itu aku akan
menyeru Ibnu Abdi Yalail dan Abdi Kallah” (pemimpin bani tsaqif di Thoif).
Saat
itu Rasulullah sedang berda’wah di daerah Thoif, dan beliau menginap
disana selam 10 hari. Setiap pemuka masyarakat yang datang kepada beliau pasti
beliau menyerunya untuk masuk Islam. Namun tidak satupun dari mereka yang
menerima ajakan beliau. Akhirnya mereka mengusir beliau dengan mengatakan:
“Usir orang ini dari negeri kita, kerahkan semua rakyat untuk memperdayainya”.
Ketika
beliau hendak pergi, orang-orang jahat dan para hamba sahaya dari kalangan
mereka membuntuti beliau sambil mencaci maki. Kemudian mereka membentuk 2
barisan disamping beliau dan melempari beliau dengan batu sambil diiringi
dengan cacian. Karena lemparan itu kaki beliau berdarah hingga membasahi
terompahnya. Sementara Zaid bin Haritsah melindungi beliau dengan badannya,
hingga tidak terhitung lagi berapa luka yang ada ditubuhnya. Mereka terus
berbuat demikian hingga beliau sampai disebuah kebun anggur milik Utbah dan
Syaibah bin Rabi’ah.
Setelah
itu beliau menengadahkan mukanya keatas yang disana ada segumpal awan yang
melindunginya, dan disana ada Jibril. Dia berseru “Sesungguhnya Allah sudah
mendengar apa yang dikatakan kaummu kepadamu dan apa yang mereka lakukan
terhadap dirimu. Allah telah mengutus malaikat penjaga gunung agar engkau
menyuruhnya menurut apa yang engkau kehendaki”. Lalu malaikat penjaga gunung
itu menyeru kepada Nabi SAW sambil mengucapkan salam: “Wahai Muhammad, hal itu
sudah terjadi. Apa yang engkau kehendaki(sekarang)? Jika engkau
menghendaki untuk meratakan Akhsaybain(Thoif), tentu aku akan melakukannya”.
Nabi
SAW menjawab: “(tidak perlu), bahkan aku berharap kepada Allah agar dia
mengeluarkan dari kalangan mereka orang-orang yang menyembah Allah semata dan
tidak menyekutkan sesuatupun denganNya”.
Itulah
gambaran sikap lemah lembut (Al-Hilm),
yaitu posisi antara dua hal yang hina, yakni kemarahan dan kedunguan. Jadi jika
seseorang mengikuti amarahnya tanpa menggunakan akal pikiran dan perenungan,
berarti dia berada dalam satu kehinaan, dan jika ia rela dengan kezaliman dan
kesewenangan maka dia pun berada dalam kehinaan yang serupa. Tetapi jika dia
menghadapinya secara sabar meskipun dia mempunyai kemampuan untuk melampiaskan
kemarahannya, maka dia berada dalam kebaikan, dan itulah hakekatnya sifat Al-Hilm.
Begitulah
sikap Rasulullah shalallahu
alaihi wa sallam, beliau diuji dengan cacian dan siksaan dari
orang-orang Thoif. Dan disitu beliau diuji juga dengan tawaran dari malaikat
untuk menghancurkan orang-orang Thoif saat itu juga. Tapi beliau mengambil
sikap pertengahan dari hal itu. Beliau tidak memerintahkan malaikat untuk
meghancurkan Thoif, tetapi justru beliau mendoakan mereka supaya keturunan
mereka menjadi orang-orang yang beriman.
Al-hilm
yaitu
sikap tenang dan menahan diri pada saat marah. Jadi orang yang mempunyai sikap
ini tidak akan marah oleh ejekan orang-orang yang tidak mengetahui dan tidak
juga takut dihina oleh orang-orang yang tidak menggunakan akalnya, tetapi dia
akan mengendalikan diri pada saat amarahnya bergejolak.
Sifat
ini akan terwujud dengan adanya kesempurnaan ilmu yang ada pada diri
kita. Kemudian setelah itu kita akan bertindak dengan sangat hati-hati, yaitu
bertindak bijak antara ketergesa-gesaan dan sikap sikap lamban. Ini menunjukkan
kecemerlangan dalam berfikir. Dari sini kemudian muncul sikap sangat
agung yang jarang dimiliki oleh orang awam pada umumnya, yaitu segi
praktis dari sikap sabar dan kehati-hatian yang sering disebut oleh orang
dengan sebutan Ar-Rifqu
dimana seseorang akan mengambil hal yang paling mudah dan lurus, sehingga kita
akan melihat orang tersebut sebagai seorang yang lemah lembut.
Ali
bin Abi thalib mengatakan: “Sesungguhnya sikap Al-hilm pada diri seseorang itu dapat
diketahui ketika dia marah, orang yang marah maka awalnya (pada saat marah itu)
dia seperti orang gila, dan setelahnya yang ada hanya penyesalan”. Karena
seseorang yang marah, bisa terjadi dua kemungkinan padanya. Yang pertama ada
kemungkinan dia tidak bisa mengendalikan emosinya dan dan ia melampiaskan rasa
marahnya itu dengan cara-cara yang buruk, yang menimbulkan banyak kerusakan
baik bagi dirinya maupun bagi orang lain. Inilah yang disebut oleh Ali
bin Abi Tholib sebagai sikap orang gila, dimana saat itu dia tidak
perduli dengan dirinya dan keadaan orang lain. Setelah marahnya hilang yang
timbul adalah penyesalan, karena seolah-olah ketika ia dalam keadaan marah, ia
tidak sadar apa yang terjadi pada dirinya.
Sementara
kemungkinan kedua adalah dia bisa mengendalikan dirinya dan tidak melampiaskan
kemarahannya, dan inilah yang disebut oleh Ali bin Abi Tholib sebagai sikap Al-Hilm.
Adapun
Ahnaf bin Qois memaknai al-hilm
dengan makna yang lebih luas, yaitu beliau mengatakan Al-Hilm adalah:
“engkau bersabar terhadap apa yang engkau benci”.
Banyak
sekali hadits-hadits yang menjelaskan tentang anjuran untuk membiasakan sikap al-hilm yaitu
sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata, Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam
bersabda kepada Asyajj Abdul Qois:
إن فيك
خصلتين
يحبهما
الله:
الحلم
والأناة
“Sesungguhnya
di dalam dirimu terdapat dua perangai yang dicintai oleh Allah, yaitu Al-Hilm
dan Al-Anaat (kehati-hatian)”. (HR Muslim :17 dan 25)
Dalam
hadits ini disebutkan bahwa setiap manusia pada hakikatnya mepunyai sifat al-hilm dan al-’anaat (kehati-hatian),
tinggal bagaimana dia memberdayakan sikap itu dalam kehidupannya. Jadi pada
hakekatnya semua orang berpotensi untuk menjadi orang yang sholih, tapi
kebanyakan manusia lalai dari hal ini dan menganggap bahwa Allah telah
menghendaki keburukan pada mereka.
Rasulullah
shalallahu alaihi wa
sallam juga menjelaskan tentang keutamaan sikap Ar-rifq,
bahwasannya sikap ini sangat dicintai oleh Allah, beliau bersabda yang
diriwayatkan dari ‘Aisyah, dia berkata, Rsulullah shallahu alaihi wa sallam bersabda:
إن الله
رفيق
يحب
الرفق
في
الأمر
كله
“Sesungguhnya
Allah Maha Lembut dan menyukai kelembutan dalam segala urusan”. (Al-Bukhori : X/449,
Fath; Muslim 2165).
Hadits
ini mengandung perintah untuk berlemah lembut baik dalam ucapan maupun
perbuatan, serta memilih yang paling mudah, karena yang demikian itu akan
menimbulkan hubungan yang harmonis dan akrab diantara sesama mukmin.
Kelembutan
harus mewarnai seluruh segi kehidupan seseorang, karena sifat ini sangat
dicintai oleh Allah. Seluruh segi kehidupan kita harus kita warnai dengan
kelembutan karena denganNya akan mendatanmgkan cinta dan ridho dariNya. Aisyah
juga meriwayatkan bahwasannya Rasulullah shalallahu
alaihi wa sallam bersabda:
إن الرفق
لايكون
في
شيئ
إلازانه,
ولاينزع
من
شيئ
إلاشانه
“Sesungguhnya
kelembutan itu tidak terdapat pada sesuatu melainkan akan menjadi penghias
baginya, dan tidak juga lepas dari sesuatu melainkan akan membuatnya
buruk”.(HR.
Muslim 2594)
Setiap
perkara yang didalamnya disertai dengan kelembutan maka kelembutan itu akan
menghiasinya dan menjadikan perkara itu baik. Sebaliknya apabila ada suatu
perkara yang awalnya disertai dengan kelembutan, kemudian kelembutan itu
dicabut darinya, maka seketika itu juga perkara itu akan menjadi buruk. Wallahu ‘Alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar