Sabar adalah
pilar kebahagiaan seorang hamba. Dengan kesabaran itulah seorang hamba akan
terjaga dari kemaksiatan, konsisten menjalankan ketaatan, dan tabah dalam
menghadapi berbagai macam cobaan. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,
“Kedudukan sabar dalam iman laksana kepala bagi seluruh tubuh. Apabila kepala
sudah terpotong maka tidak ada lagi kehidupan di dalam tubuh.” (Al Fawa’id,
hal. 95)
Pengertian
Sabar
Syaikh Muhammad
bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar adalah meneguhkan
diri dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, menahannya dari perbuatan maksiat
kepada Allah, serta menjaganya dari perasaan dan sikap marah dalam menghadapi
takdir Allah….” (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)
Macam-Macam
Sabar
Syaikh Muhammad
bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar itu terbagi menjadi
tiga macam:
- Bersabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah
- Bersabar untuk tidak melakukan hal-hal yang diharamkan Allah
- Bersabar dalam menghadapi takdir-takdir Allah yang dialaminya, berupa berbagai hal yang menyakitkan dan gangguan yang timbul di luar kekuasaan manusia ataupun yang berasal dari orang lain (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)
Sebab Meraih
Kemuliaan
Di dalam Taisir
Lathifil Mannaan Syaikh As Sa’di rahimahullah menyebutkan sebab-sebab
untuk menggapai berbagai cita-cita yang tinggi. Beliau menyebutkan bahwa sebab
terbesar untuk bisa meraih itu semua adalah iman dan amal shalih.
Di samping itu,
ada sebab-sebab lain yang merupakan bagian dari kedua perkara ini. Di antaranya
adalah kesabaran. Sabar adalah sebab untuk bisa mendapatkan berbagai kebaikan
dan menolak berbagai keburukan. Hal ini sebagaimana diisyaratkan oleh firman
Allah ta’ala, “Dan mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat.”
(QS. Al Baqarah [2]: 45).
Yaitu mintalah
pertolongan kepada Allah dengan bekal sabar dan shalat dalam menangani semua
urusan kalian. Begitu pula sabar menjadi sebab hamba bisa meraih kenikmatan
abadi yaitu surga. Allah ta’ala berfirman kepada penduduk surga, “Keselamatan
atas kalian berkat kesabaran kalian.” (QS. Ar Ra’d [13] : 24).
Allah juga
berfirman, “Mereka itulah orang-orang yang dibalas dengan
kedudukan-kedudukan tinggi (di surga) dengan sebab kesabaran mereka.” (QS.
Al Furqaan [25] : 75).
Selain itu
Allah pun menjadikan sabar dan yakin sebagai sebab untuk mencapai kedudukan
tertinggi yaitu kepemimpinan dalam hal agama. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala,
“Dan Kami menjadikan di antara mereka (Bani Isra’il) para pemimpin yang
memberikan petunjuk dengan titah Kami, karena mereka mau bersabar dan meyakini
ayat-ayat Kami.” (QS. As Sajdah [32]: 24) (Lihat Taisir Lathifil Mannaan,
hal. 375)
Sabar Dalam
Ketaatan
Sabar Dalam
Menuntut Ilmu
Syaikh Nu’man
mengatakan, “Betapa banyak gangguan yang harus dihadapi oleh seseorang yang
berusaha menuntut ilmu. Maka dia harus bersabar untuk menahan rasa lapar,
kekurangan harta, jauh dari keluarga dan tanah airnya. Sehingga dia harus
bersabar dalam upaya menimba ilmu dengan cara menghadiri pengajian-pengajian,
mencatat dan memperhatikan penjelasan serta mengulang-ulang pelajaran dan lain
sebagainya.
Semoga Allah
merahmati Yahya bin Abi Katsir yang pernah mengatakan, “Ilmu itu tidak akan
didapatkan dengan banyak mengistirahatkan badan”, sebagaimana tercantum dalam
shahih Imam Muslim. Terkadang seseorang harus menerima gangguan dari
orang-orang yang terdekat darinya, apalagi orang lain yang hubungannya jauh
darinya, hanya karena kegiatannya menuntut ilmu. Tidak ada yang bisa bertahan
kecuali orang-orang yang mendapatkan anugerah ketegaran dari Allah.” (Taisirul
wushul, hal. 12-13)
Sabar Dalam
Mengamalkan Ilmu
Syaikh Nu’man
mengatakan, “Dan orang yang ingin beramal dengan ilmunya juga harus bersabar
dalam menghadapi gangguan yang ada di hadapannya. Apabila dia melaksanakan
ibadah kepada Allah menuruti syari’at yang diajarkan Rasulullah niscaya akan
ada ahlul bida’ wal ahwaa’ yang menghalangi di hadapannya, demikian pula
orang-orang bodoh yang tidak kenal agama kecuali ajaran warisan nenek moyang
mereka.
Sehingga
gangguan berupa ucapan harus diterimanya, dan terkadang berbentuk gangguan
fisik, bahkan terkadang dengan kedua-keduanya. Dan kita sekarang ini berada di
zaman di mana orang yang berpegang teguh dengan agamanya seperti orang yang
sedang menggenggam bara api, maka cukuplah Allah sebagai penolong bagi kita,
Dialah sebaik-baik penolong” (Taisirul wushul, hal. 13)
Sabar Dalam
Berdakwah
Syaikh Nu’man
mengatakan, “Begitu pula orang yang berdakwah mengajak kepada agama Allah harus
bersabar menghadapi gangguan yang timbul karena sebab dakwahnya, karena di saat
itu dia tengah menempati posisi sebagaimana para Rasul. Waraqah bin Naufal
mengatakan kepada Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidaklah ada
seorang pun yang datang dengan membawa ajaran sebagaimana yang kamu bawa
melainkan pasti akan disakiti orang.”
Sehingga jika
dia mengajak kepada tauhid didapatinya para da’i pengajak kesyirikan tegak di
hadapannya, begitu pula para pengikut dan orang-orang yang mengenyangkan perut
mereka dengan cara itu. Sedangkan apabila dia mengajak kepada ajaran As Sunnah
maka akan ditemuinya para pembela bid’ah dan hawa nafsu. Begitu pula jika dia
memerangi kemaksiatan dan berbagai kemungkaran niscaya akan ditemuinya para
pemuja syahwat, kefasikan dan dosa besar serta orang-orang yang turut bergabung
dengan kelompok mereka.
Mereka semua
akan berusaha menghalang-halangi dakwahnya karena dia telah menghalangi mereka
dari kesyirikan, bid’ah dan kemaksiatan yang selama ini mereka tekuni.” (Taisirul
wushul, hal. 13-14)
Sabar dan
Kemenangan
Syaikh Muhammad
bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Allah ta’ala
berfirman kepada Nabi-Nya, “Dan sungguh telah didustakan para Rasul
sebelummu, maka mereka pun bersabar menghadapi pendustaan terhadap mereka dan
mereka juga disakiti sampai tibalah pertolongan Kami.” (QS. Al An’aam [6]:
34).
Semakin besar
gangguan yang diterima niscaya semakin dekat pula datangnya kemenangan. Dan
bukanlah pertolongan/kemenangan itu terbatas hanya pada saat seseorang (da’i)
masih hidup saja sehingga dia bisa menyaksikan buah dakwahnya terwujud. Akan
tetapi yang dimaksud pertolongan itu terkadang muncul di saat sesudah
kematiannya. Yaitu ketika Allah menundukkan hati-hati umat manusia sehingga
menerima dakwahnya serta berpegang teguh dengannya. Sesungguhnya hal itu
termasuk pertolongan yang didapatkan oleh da’i ini meskipun dia sudah mati.
Maka wajib bagi
para da’i untuk bersabar dalam melancarkan dakwahnya dan tetap konsisten dalam
menjalankannya. Hendaknya dia bersabar dalam menjalani agama Allah yang sedang
didakwahkannya dan juga hendaknya dia bersabar dalam menghadapi rintangan dan
gangguan yang menghalangi dakwahnya. Lihatlah para Rasul shalawatullaahi wa
salaamuhu ‘alaihim. Mereka juga disakiti dengan ucapan dan perbuatan
sekaligus.
Allah ta’ala
berfirman yang artinya, “Demikianlah, tidaklah ada seorang Rasul pun yang datang
sebelum mereka melainkan mereka (kaumnya) mengatakan, ‘Dia adalah tukang sihir
atau orang gila’.” (QS. Adz Dzariyaat [51]: 52). Begitu juga Allah ‘azza
wa jalla berfirman, “Dan demikianlah Kami menjadikan bagi setiap Nabi
ada musuh yang berasal dari kalangan orang-orang pendosa.” (QS. Al Furqaan
[25]: 31). Namun, hendaknya para da’i tabah dan bersabar dalam menghadapi itu
semua…” (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)
Sabar di atas
Islam
Ingatlah
bagaimana kisah Bilal bin Rabah radhiyallahu ‘anhu yang tetap berpegang
teguh dengan Islam meskipun harus merasakan siksaan ditindih batu besar oleh
majikannya di atas padang pasir yang panas (Lihat Tegar di Jalan Kebenaran,
hal. 122). Ingatlah bagaimana siksaan tidak berperikemanusiaan yang dialami
oleh Ammar bin Yasir dan keluarganya. Ibunya Sumayyah disiksa dengan cara yang
sangat keji sehingga mati sebagai muslimah pertama yang syahid di jalan Allah.
(Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 122-123)
Lihatlah
keteguhan Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu yang dipaksa oleh
ibunya untuk meninggalkan Islam sampai-sampai ibunya bersumpah mogok
makan dan minum bahkan tidak mau mengajaknya bicara sampai mati. Namun dengan
tegas Sa’ad bin Abi Waqqash mengatakan, “Wahai Ibu, demi Allah, andaikata ibu
memiliki seratus nyawa kemudian satu persatu keluar, sedetikpun ananda tidak
akan meninggalkan agama ini…” (Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 133)
Inilah akidah, inilah kekuatan iman, yang sanggup bertahan dan kokoh menjulang
walaupun diterpa oleh berbagai badai dan topan kehidupan.
Saudaraku,
ketahuilah sesungguhnya cobaan yang menimpa kita pada hari ini, baik yang
berupa kehilangan harta, kehilangan jiwa dari saudara yang tercinta, kehilangan
tempat tinggal atau kekurangan bahan makanan, itu semua jauh lebih ringan daripada
cobaan yang dialami oleh salafush shalih dan para ulama pembela dakwah tauhid
di masa silam.
Mereka
disakiti, diperangi, didustakan, dituduh yang bukan-bukan, bahkan ada juga yang
dikucilkan. Ada yang tertimpa kemiskinan harta, bahkan ada juga yang sampai
meninggal di dalam penjara, namun sama sekali itu semua tidaklah menggoyahkan
pilar keimanan mereka.
Ingatlah firman
Allah ta’ala yang artinya, “Dan janganlah sekali-kali kamu mati
melainkan dalam keadaan sebagai seorang muslim.” (QS. Ali ‘Imran [3] :
102).
Ingatlah juga
janji Allah yang artinya, “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya
akan Allah berikan jalan keluar dan Allah akan berikan rezeki kepadanya dari
jalan yang tidak disangka-sangka.” (QS. Ath Thalaq [65] : 2-3).
Disebutkan
dalam sebuah riwayat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketahuilah,
sesungguhnya datangnya kemenangan itu bersama dengan kesabaran. Bersama
kesempitan pasti akan ada jalan keluar. Bersama kesusahan pasti akan ada
kemudahan.” (HR. Abdu bin Humaid di dalam Musnadnya [636] (Lihat Durrah
Salafiyah, hal. 148) dan Al Haakim dalam Mustadrak ‘ala Shahihain,
III/624). (Syarh Arba’in Ibnu ‘Utsaimin, hal. 200)
Sabar Menjauhi
Maksiat
Syaikh Zaid bin
Muhammad bin Hadi Al Madkhali mengatakan, “Bersabar menahan diri dari
kemaksiatan kepada Allah, sehingga dia berusaha menjauhi kemaksiatan, karena
bahaya dunia, alam kubur dan akhirat siap menimpanya apabila dia melakukannya.
Dan tidaklah umat-umat terdahulu binasa kecuali karena disebabkan kemaksiatan
mereka, sebagaimana hal itu dikabarkan oleh Allah ‘azza wa jalla di
dalam muhkam al-Qur’an.
Di antara
mereka ada yang ditenggelamkan oleh Allah ke dalam lautan, ada pula yang binasa
karena disambar petir, ada pula yang dimusnahkan dengan suara yang mengguntur,
dan ada juga di antara mereka yang dibenamkan oleh Allah ke dalam perut bumi,
dan ada juga di antara mereka yang di rubah bentuk fisiknya (dikutuk).”
Pentahqiq kitab
tersebut memberikan catatan, “Syaikh memberikan isyarat terhadap sebuah ayat,
“Maka masing-masing (mereka itu) kami siksa disebabkan dosanya, Maka di
antara mereka ada yang kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara
mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada
yang kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang kami
tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi
merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS. Al ‘Ankabuut [29] :
40).
“Bukankah itu
semua terjadi hanya karena satu sebab saja yaitu maksiat kepada Allah tabaaraka
wa ta’ala. Karena hak Allah adalah untuk ditaati tidak boleh didurhakai,
maka kemaksiatan kepada Allah merupakan kejahatan yang sangat mungkar yang akan
menimbulkan kemurkaan, kemarahan serta mengakibatkan turunnya siksa-Nya yang
sangat pedih. Jadi, salah satu macam kesabaran adalah bersabar untuk menahan
diri dari perbuatan maksiat kepada Allah. Janganlah mendekatinya.
Dan apabila
seseorang sudah terlanjur terjatuh di dalamnya hendaklah dia segera bertaubat
kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya, meminta ampunan dan
menyesalinya di hadapan Allah. Dan hendaknya dia mengikuti
kejelekan-kejelekannya dengan berbuat kebaikan-kebaikan. Sebagaimana
difirmankan Allah ‘azza wa jalla, “Sesungguhnya kebaikan-kebaikan
akan menghapuskan kejelekan-kejelekan.” (QS. Huud [11] : 114). Dan juga
sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dan
ikutilah kejelekan dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapuskannya.”
(HR. Ahmad, dll, dihasankan Al Albani dalam Misykatul Mashaabih 5043)…”
(Thariqul wushul, hal. 15-17)
Sabar Menerima
Takdir
Syaikh Zaid bin
Muhammad bin Hadi Al Madkhali mengatakan, “Macam ketiga dari macam-macam
kesabaran adalah Bersabar dalam menghadapi takdir dan keputusan Allah serta
hukum-Nya yang terjadi pada hamba-hamba-Nya. Karena tidak ada satu gerakan pun
di alam raya ini, begitu pula tidak ada suatu kejadian atau urusan melainkan
Allah lah yang mentakdirkannya. Maka bersabar itu harus. Bersabar menghadapi
berbagai musibah yang menimpa diri, baik yang terkait dengan nyawa, anak, harta
dan lain sebagainya yang merupakan takdir yang berjalan menurut ketentuan Allah
di alam semesta…” (Thariqul wushul, hal. 15-17)
Sabar dan
Tauhid
Syaikh Al Imam
Al Mujaddid Al Mushlih Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu ta’ala
membuat sebuah bab di dalam Kitab Tauhid beliau yang berjudul, “Bab Minal
iman billah, ash-shabru ‘ala aqdarillah” (Bab Bersabar dalam menghadapi
takdir Allah termasuk cabang keimanan kepada Allah)
Syaikh Shalih
bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullahu ta’ala mengatakan
dalam penjelasannya tentang bab yang sangat berfaedah ini, “Sabar tergolong
perkara yang menempati kedudukan agung (di dalam agama). Ia termasuk salah satu
bagian ibadah yang sangat mulia. Ia menempati relung-relung hati, gerak-gerik
lisan dan tindakan anggota badan. Sedangkan hakikat penghambaan yang sejati
tidak akan terealisasi tanpa kesabaran.
Hal ini
dikarenakan ibadah merupakan perintah syari’at (untuk mengerjakan sesuatu),
atau berupa larangan syari’at (untuk tidak mengerjakan sesuatu), atau bisa juga
berupa ujian dalam bentuk musibah yang ditimpakan Allah kepada seorang hamba
supaya dia mau bersabar ketika menghadapinya.
Hakikat
penghambaan adalah tunduk melaksanakan perintah syari’at serta menjauhi
larangan syari’at dan bersabar menghadapi musibah-musibah. Musibah yang
dijadikan sebagai batu ujian oleh Allah jalla wa ‘ala untuk menempa
hamba-hamba-Nya. Dengan demikian ujian itu bisa melalui sarana ajaran agama dan
melalui sarana keputusan takdir.
Adapun ujian
dengan dibebani ajaran-ajaran agama adalah sebagaimana tercermin dalam firman
Allah jalla wa ‘ala kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam
di dalam sebuah hadits qudsi riwayat Muslim dari ‘Iyaadh bin Hamaar. Dia
berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda “Allah
ta’ala berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengutusmu dalam rangka menguji dirimu. Dan
Aku menguji (manusia) dengan dirimu’.”
Maka hakikat
pengutusan Nabi ‘alaihish shalaatu was salaam adalah menjadi ujian.
Sedangkan adanya ujian jelas membutuhkan sikap sabar dalam menghadapinya. Ujian
yang ada dengan diutusnya beliau sebagai rasul ialah dengan bentuk perintah dan
larangan.
Untuk
melaksanakan berbagai kewajiban tentu saja dibutuhkan bekal kesabaran. Untuk
meninggalkan berbagai larangan dibutuhkan bekal kesabaran. Begitu pula saat
menghadapi keputusan takdir kauni (yang menyakitkan) tentu juga diperlukan
bekal kesabaran. Oleh sebab itulah sebagian ulama mengatakan, “Sesungguhnya
sabar terbagi tiga; sabar dalam berbuat taat, sabar dalam menahan diri dari
maksiat dan sabar tatkala menerima takdir Allah yang terasa menyakitkan.”
Karena amat
sedikitnya dijumpai orang yang sanggup bersabar tatkala tertimpa musibah maka
Syaikh pun membuat sebuah bab tersendiri, semoga Allah merahmati beliau. Hal
itu beliau lakukan dalam rangka menjelaskan bahwasanya sabar termasuk bagian
dari kesempurnaan tauhid. Sabar termasuk kewajiban yang harus ditunaikan
oleh hamba, sehingga ia pun bersabar menanggung ketentuan takdir Allah.
Ungkapan rasa
marah dan tak mau sabar itulah yang banyak muncul dalam diri orang-orang
tatkala mereka mendapatkan ujian berupa ditimpakannya musibah. Dengan alasan
itulah beliau membuat bab ini, untuk menerangkan bahwa sabar adalah hal yang
wajib dilakukan tatkala tertimpa takdir yang terasa menyakitkan. Dengan hal itu
beliau juga ingin memberikan penegasan bahwa bersabar dalam rangka menjalankan
ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan hukumnya juga wajib.
Secara bahasa
sabar artinya tertahan. Orang Arab mengatakan, “Qutila fulan shabran” (artinya
si polan dibunuh dalam keadaan “shabr”) yaitu tatkala dia berada dalam tahanan
atau sedang diikat lalu dibunuh, tanpa ada perlawanan atau peperangan. Dan
demikianlah inti makna kesabaran yang dipakai dalam pengertian syar’i.
Ia disebut
sebagai sabar karena di dalamnya terkandung penahanan lisan untuk tidak
berkeluh kesah, menahan hati untuk tidak merasa marah dan menahan anggota badan
untuk tidak mengekspresikan kemarahan dalam bentuk menampar-nampar pipi,
merobek-robek kain dan semacamnya. Maka menurut istilah syari’at sabar artinya:
Menahan lisan dari mengeluh, menahan hati dari marah dan menahan anggota badan
dari menampakkan kemarahan dengan cara merobek-robek sesuatu dan tindakan lain
semacamnya.
Imam Ahmad rahimahullah
berkata, “Di dalam al-Qur’an kata sabar disebutkan dalam 90 tempat lebih. Sabar
adalah bagian iman, sebagaimana kedudukan kepala bagi jasad. Sebab orang yang
tidak punya kesabaran dalam menjalankan ketaatan, tidak punya kesabaran untuk
menjauhi maksiat serta tidak sabar tatkala tertimpa takdir yang menyakitkan
maka dia kehilangan banyak sekali bagian keimanan”
Perkataan
beliau “Bab Minal imaan, ash shabru ‘ala aqdaarillah” artinya: salah satu ciri
karakteristik iman kepada Allah adalah bersabar tatkala menghadapi
takdir-takdir Allah. Keimanan itu mempunyai cabang-cabang. Sebagaimana
kekufuran juga bercabang-cabang.
Maka dengan
perkataan “Minal imaan ash shabru” beliau ingin memberikan penegasan bahwa
sabar termasuk salah satu cabang keimanan. Beliau juga memberikan penegasan
melalui sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim yang menunjukkan bahwa niyaahah
(meratapi mayit) itu juga termasuk salah satu cabang kekufuran. Sehingga setiap
cabang kekafiran itu harus dihadapi dengan cabang keimanan. Meratapi mayit
adalah sebuah cabang kekafiran maka dia harus dihadapi dengan sebuah cabang
keimanan yaitu bersabar terhadap takdir Allah yang terasa menyakitkan” (At
Tamhiid, hal.389-391)
Hukum Merasa
Ridha Terhadap Musibah
Syaikh Shalih
Alusy Syaikh hafizhahullahu ta’ala menjelaskan, “Hukum merasa ridha
dengan adanya musibah adalah mustahab (sunnah), bukan wajib. Oleh karenanya
banyak orang yang kesulitan membedakan antara ridha dengan sabar. Sedangkan
kesimpulan yang pas untuk itu adalah sebagai berikut. Bersabar menghadapi
musibah hukumnya wajib, dia adalah salah satu kewajiban yang harus ditunaikan.
Hal itu dikarenakan di dalam sabar terkandung meninggalkan sikap marah dan
tidak terima terhadap ketetapan dan takdir Allah.
Adapun ridha
memiliki dua sudut pandang yang berlainan:
Sudut pandang
pertama: terarah kepada perbuatan Allah jalla wa ‘ala.
Seorang hamba merasa ridha terhadap perbuatan Allah yang menetapkan terjadinya
segala sesuatu. Dia merasa ridha dan puas dengan perbuatan Allah. Dia merasa
puas dengan hikmah dan kebijaksanaan Allah. Dia merasa ridha terhadap pembagian
jatah yang didapatkannya dari Allah jalla wa ‘ala. Rasa ridha terhadap
perbuatan Allah ini termasuk salah satu kewajiban yang harus ditunaikan.
Meninggalkan perasaan itu hukumnya haram dan menafikan kesempurnaan tauhid
(yang harus ada).
Sudut pandang
kedua: terarah kepada kejadian yang diputuskan, yaitu
terhadap musibah itu sendiri. Maka hukum merasa ridha terhadapnya adalah
mustahab. Bukan kewajiban atas hamba untuk merasa ridha dengan sakit yang
dideritanya. Bukan kewajiban atas hamba untuk merasa ridha dengan sebab
kehilangan anaknya. Bukan kewajiban atas hamba untuk merasa ridha dengan sebab
kehilangan hartanya. Namun hal ini hukumnya mustahab (disunnahkan).
Oleh sebab itu
dalam konteks tersebut (ridha yang hukumnya wajib) Alqamah mengatakan, “Ayat
ini berbicara tentang seorang lelaki yang tertimpa musibah dan dia menyadari
bahwa musibah itu berasal dari sisi Allah maka diapun merasa ridha” yakni
merasa puas terhadap ketetapan Allah “dan ia bersikap pasrah”. Karena ia
mengetahui musibah itu datangnya dari sisi (perbuatan) Allah jalla jalaaluhu.
Inilah salah satu ciri keimanan.” (At Tamhiid, hal. 392-393)
Sabar dan
Syukur
Dari Abu Yahya
Shuhaib bin Sinaan radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Sungguh menakjubkan urusan orang
yang beriman, semua urusannya adalah baik. Tidaklah hal itu didapatkan kecuali
pada diri seorang mukmin. Apabila dia tertimpa kesenangan maka bersyukur. Maka
itu baik baginya. Dan apabila dia tertimpa kesulitan maka dia pun bersabar.
Maka itu pun baik baginya.” (HR. Muslim)
Syaikh Al
‘Utsaimin menjelaskan bahwa manusia dalam menghadapi takdir Allah yang berupa
kesenangan dan kesulitan terbagi menjadi dua, yaitu kaum beriman dan kaum yang
tidak beriman.
Adapun orang
yang beriman bagaimanapun kondisinya selalu baik baginya. Apabila dia tertimpa
kesulitan maka dia bersabar dan tabah menunggu datangnya jalan keluar dari
Allah serta mengharapkan pahala dengan kesabarannya itu. Dengan demikian dia
memperoleh pahala orang-orang yang sabar. Maka ini baik baginya.
Sedangkan
apabila seorang mukmin menerima nikmat diniyah maupun duniawiyah maka dia
bersyukur yaitu dengan melaksanakan ketaatan kepada Allah. Karena syukur bukan
saja mencakup ucapan syukur di mulut saja, akan tetapi harus dilengkapi dengan
melaksanakan berbagai ketaatan kepada Allah. Sehingga orang yang beriman
memiliki dua nikmat ketika mengalami kesenangan yaitu nikmat dunia dengan
merasa senang dan nikmat diniyah dengan bersyukur. Sehingga inipun baik bagi
dirinya.
Adapun orang
kafir, mereka berada dalam keadaan yang buruk sekali, wal ‘iyaadzu billaah.
Apabila tertimpa kesulitan mereka tidak mau bersabar, bahkan tidak mau terima,
memprotes takdir, mendoakan kebinasaan, mencela masa dan caci maki lainnya.
Sedangkan
apabila mendapatkan kesenangan dia tidak bersyukur kepada Allah. Maka
kesenangan yang dialami oleh orang-orang kafir di dunia ini kelak di akhirat
akan berubah menjadi siksaan. Karena orang kafir itu tidaklah menyantap makanan
atau menikmati minuman kecuali dia pasti mendapatkan dosa karenanya. Meskipun
hal itu bagi orang mukmin tidak dinilai dosa, akan tetapi lain halnya bagi
orang kafir.
Hal ini
sebagaimana difirmankan oleh Allah ta’ala yang artinya, “Katakanlah:
Siapakah yang mengharamkan perhiasan Allah dan rezeki yang baik-baik yang
dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya. Katakanlah: itu semua adalah untuk
orang-orang yang beriman di dalam kehidupan dunia yang akan diperuntukkan untuk
mereka saja pada hari kiamat.” (QS.Al A’raaf [7]: 32).
Sehingga semua
rezeki tersebut diperuntukkan bagi kaum beriman saja pada hari kiamat nanti.
Adapun orang-orang yang tidak beriman maka nikmat itu bukan menjadi hak mereka.
Mereka memakannya padahal itu haram bagi mereka dan pada hari kiamat nanti
mereka akan disiksa karenanya. Sehingga bagi orang kafir kesenangan maupun
kesulitan adalah sama-sama buruknya, wal ‘iyaadzu billaah. (Lihat Syarh
Riyadhush Shalihin, I/107-108)
Hikmah di Balik
Musibah
Dari Anas,
beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila
Allah menginginkan kebaikan bagi hamba-Nya, maka Allah segerakan hukuman atas
dosanya di dunia. Dan apabila Allah menghendaki keburukan pada hamba-Nya maka
Allah tahan hukuman atas dosanya itu sampai dibayarkan di saat hari kiamat.”
(Hadits riwayat At Tirmidzi dengan nomor 2396 di dalam Az Zuhud. Bab tentang
kesabaran menghadapi musibah. Beliau mengatakan: hadits ini hasan gharib. Ia
juga diriwayatkan oleh Al Haakim dalam Al Mustadrak (1/349, 4/376 dan 377). Ia
tercantum dalam Ash Shahihah karya Al Albani dengan nomor 1220)
Syaikhul Islam
mengatakan, “Datangnya musibah-musibah itu adalah nikmat. Karena ia menjadi
sebab dihapuskannya dosa-dosa. Ia juga menuntut kesabaran sehingga orang yang
tertimpanya justru diberi pahala. Musibah itulah yang melahirkan sikap kembali
taat dan merendahkan diri di hadapan Allah ta’ala serta memalingkan
ketergantungan hatinya dari sesama makhluk, dan berbagai maslahat agung lainnya
yang muncul karenanya. Musibah itu sendiri dijadikan oleh Allah sebagai sebab
penghapus dosa dan kesalahan. Bahkan ini termasuk nikmat yang paling agung.
Maka seluruh musibah pada hakikatnya merupakan rahmat dan nikmat bagi
keseluruhan makhluk, kecuali apabila musibah itu menyebabkan orang yang
tertimpa musibah menjadi terjerumus dalam kemaksiatan yang lebih besar daripada
maksiat yang dilakukannya sebelum tertimpa. Apabila itu yang terjadi maka ia
menjadi keburukan baginya, bila ditilik dari sudut pandang musibah yang menimpa
agamanya.”
“Sesungguhnya
ada di antara orang-orang yang apabila mendapat ujian dengan kemiskinan, sakit
atau terluka justru menyebabkan munculnya sikap munafik dan protes dalam
dirinya, atau bahkan penyakit hati, kekufuran yang jelas, meninggalkan sebagian
kewajiban yang dibebankan padanya dan malah berkubang dengan berbagai hal yang
diharamkan sehingga berakibat semakin membahayakan agamanya. Maka bagi orang
semacam ini kesehatan lebih baik baginya. Hal ini bila ditilik dari sisi dampak
yang timbul setelah dia mengalami musibah, bukan dari sisi musibahnya itu
sendiri. Sebagaimana halnya orang yang dengan musibahnya bisa melahirkan sikap
sabar dan tunduk melaksanakan ketaatan, maka musibah yang menimpa orang semacam
ini sebenarnya adalah nikmat diniyah. Musibah itu sendiri terjadi dengan
perbuatan Rabb ‘azza wa jalla sekaligus sebagai rahmat untuk manusia,
dan Allah ta’ala maha terpuji karena perbuatan-Nya tersebut. Barang
siapa yang diuji dengan suatu musibah lantas diberikan karunia kesabaran oleh
Allah maka sabar itulah nikmat bagi agamanya. Setelah dosanya terhapus
karenanya maka muncullah sesudahnya rahmat (kasih sayang dari Allah).
Dan apabila dia
memuji Rabbnya atas musibah yang menimpanya niscaya dia juga akan memperoleh
pujian-Nya. “Mereka itulah orang-orang yang diberikan pujian (shalawat) dari
Rabb mereka dan memperoleh curahan rahmat.” (QS. Al Baqarah [2]: 156)
Ampunan dari Allah atas dosa-dosanya juga akan didapatkan, begitu pula
derajatnya pun akan terangkat. Barang siapa yang merealisasikan sabar yang
hukumnya wajib ini niscaya dia akan memperoleh balasan-balasan tersebut”
Selesai perkataan Syaikhul Islam, dengan ringkas. (Lihat Fathul Majiid,
hal. 353-354)
Doa Apabila
Tertimpa Musibah
Innaa lillaahi
wa innaa ilaihi raaji’uun, Allahumma’jurnii fii mushiibatii wa ahklif lii
khairan minhaa
Artinya: “Sesungguhnya
kita adalah milik Allah. Dan kita pasti akan kembali kepada-Nya. Ya Allah,
berikanlah ganjaran pahala atas musibah hamba. Dan gantikanlah ia dengan
sesuatu yang lebih baik darinya.” (HR. Muslim, 2/632. lihat Hishnul
Muslim, hal. 96-97)
Pertanyaan: Apabila ada seseorang yang terkena suatu penyakit
atau tertimpa suatu bencana yang berakibat buruk bagi diri atau hartanya, lalu
bagaimanakah cara untuk mengetahui bahwa bencana itu merupakan ujian ataukah
kemurkaan dari sisi Allah ?
Syaikh Abdul
‘Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah menjawab, “Allah ‘azza wa
jalla menguji hamba-hamba-Nya dengan bentuk kesenangan dan kesulitan,
dengan kesempitan dan kelapangan. Terkadang dengan hal itu Allah menguji mereka
supaya bisa menaikkan derajat mereka serta meninggikan sebutan mereka dan juga
demi melipatgandakan kebaikan-kebaikan mereka. Yang demikian itu sebagaimana
yang dialami oleh para Nabi dan Rasul ‘alaihimush shalatu was salaam,
dan juga para hamba Allah yang shalih. Sebagaimana sudah disabdakan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Orang yang paling berat cobaannya adalah para Nabi,
kemudian diikuti oleh orang-orang lain yang berada di bawah tingkatan mereka.”
Dan terkadang
Allah juga menimpakan hal itu disebabkan oleh perbuatan-perbuatan maksiat dan
dosa-dosa (yang mereka lakukan). Sehingga dengan demikian maka bencana itu
merupakan hukuman yang di segerakan, sebagaimana tercantum dalam firman Allah
Yang Mahasuci yang artinya, “Dan musibah apapun yang menimpa kalian maka itu
terjadi karena ulah perbuatan tangan-tangan kalian, dan Allah memaafkan banyak
kesalahan orang.” (QS. Asy Syura [42]: 30).
Adapun kondisi
sebagian besar umat manusia yang ada ialah fenomena taqshir/meremehkan
dan tidak menunaikan kewajiban yang telah dibebankan. Oleh karena itu musibah
yang menimpa dirinya maka itu sesungguhnya timbul dikarenakan dosa-dosa yang
diperbuatnya serta kekurangannya sendiri dalam menjalankan perintah Allah.
Sedangkan
apabila yang mengalami musibah adalah termasuk golongan hamba Allah yang
shalih, entah berupa penyakit tertentu ataupun musibah yang lainnya, maka
sesungguhnya hal ini termasuk kategori ujian yang diberikan kepada kalangan
para Nabi dan Rasul dalam rangka mengangkat derajat serta membesarkan balasan
pahalanya. Dan juga dia bisa menjadi contoh untuk orang lain dalam hal
kesabaran dan keyakinannya untuk berharap pahala. Sehingga hasil yang ingin
diraih dengan sebab terjadinya musibah ialah terangkatnya derajat, peningkatan
pahala, sebagaimana halnya musibah yang ditetapkan oleh Allah menimpa para Nabi
dan sebagian orang yang baik/shalih.
Dan bisa juga
hal itu terjadi demi menghapuskan dosa kesalahan-kesalahan, sebagaimana
tercantum dalam firman Allah ta’ala yang artinya, “Barang siapa yang
melakukan kejelekan pasti akan dibalas.” (QS. An Nisaa’ [4] : 123).
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah ada sebuah kesusahan, kekalutan,
keletihan, penyakit, kesedihan maupun gangguan yang menimpa seorang mukmin
melainkan Allah pasti menghapuskan sebagian dosa kesalahan-kesalahannnya,
bahkan sampai duri yang menusuk bagian tubuhnya.” Dan sabda beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Barang siapa yang diinginkan baik oleh Allah maka
pasti Dia timpakan musibah kepadanya.”
Namun terkadang
bisa juga hal itu merupakan hukuman yang di segerakan disebabkan
perbuatan-perbuatan maksiat yang dilakukan dan kelambatan diri dalam bertaubat.
Hal itu sebagaimana diceritakan di dalam sebuah hadits dari beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam. Nabi bersabda, “Apabila Allah menghendaki kebaikan
bagi hamba-Nya maka Allah segerakan hukuman baginya di alam dunia. Sedangkan
apabila Allah menghendaki keburukan bagi hamba-Nya maka Allah menahan hukuman
atas dosa itu hingga terbayarkan kelak pada hari kiamat.” (HR. Tirmidzi,
dinilainya hasan). (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah juz 4,
diterjemahkan dari website beliau)
Marah Saat
Tertimpa Musibah ?
Pertanyaan: Apa
hukumnya orang yang marah tatkala tertimpa musibah ?
Syaikh Muhammad
bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah menjawab, “Orang ketika menghadapi
musibah terbagi dalam empat tingkatan :
Tingkatan
Pertama: Marah
Tingkatan ini
meliputi beberapa macam keadaan:
Kondisi pertama; ia menyimpan perasaan marah di dalam hati kepada
Allah. Sehingga dia pun menjadi marah terhadap apa yang sudah diputuskan Allah.
Hal ini adalah haram. Bahkan terkadang bisa menjerumuskan pelakunya ke dalam
kekafiran. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Di antara manusia
ada orang yang menyembah Allah di pinggiran. Apabila dia tertimpa kebaikan dia
pun merasa tenang. Dan apabila dia tertimpa ujian maka dia pun berbalik ke
belakang, hingga rugilah dia dunia dan akhirat.” (QS. Al Hajj [22]: 11).
Kondisi kedua; kemarahannya diekspresikan dengan ucapan. Seperti
dengan mendoakan kecelakaan dan kebinasaan atau ucapan semacamnya, ini juga
haram.
Kondisi ketiga; kemarahannya sampai meluap sehingga terekspresikan
dengan tindakan anggota badan. Seperti dengan menampar-nampar pipi,
merobek-robek kain pakaian, mencabuti rambut dan perbuatan semacamnya.
Perbuatan ini semua haram hukumnya dan meniadakan sifat sabar yang wajib ada.
Tingkatan Kedua: Bersabar
Hal ini
sebagaimana digambarkan oleh seorang penyair dalam syairnya,
Sabar itu
memang seperti namanya
Pahit kalau
baru dirasa
Tapi buahnya
yang ditunggu-tunggu
Jauh lebih
manis daripada madu
Dia melihat
bahwa musibah ini adalah sesuatu yang sangat berat akan tetapi dia tetap bisa
tabah dalam menanggungnya. Dia merasa tidak senang atas kejadiannya. Namun
imannya masih bisa menjaganya untuk tidak marah. Sehingga terjadi atau tidaknya
musibah itu masih terasa berbeda baginya. Dan hal ini adalah tingkatan yang
wajib. Sebab Allah ta’ala telah memerintahkan untuk bersabar. Allah
berfirman yang artinya, “Bersabarlah kalian. Sesungguhnya Allah bersama
orang-orang yang sabar.” (QS. Al Alnfaal [8]: 46).
Tingkatan
Ketiga: Merasa Ridha
Yaitu seseorang
bisa merasa ridha dengan musibah yang menimpanya. Sehingga ada dan tidaknya
musibah adalah sama saja baginya. Dia tidak merasakannya sebagai sebuah beban
yang sangat berat. Ini adalah tingkatan yang sangat dianjurkan/mustahab,
dan bukan hal yang wajib menurut pendapat yang kuat. Perbedaan antara tingkatan
ini dengan tingkatan sebelumnya cukup jelas. Yaitu karena dalam tingkatan ini
ada tidaknya musibah itu terasa sama saja dalam hal keridhaan terhadapnya.
Adapun dalam tingkatan sebelumnya terjadinya musibah itu masih dirasakan
sebagai sesuatu yang sukar baginya, namun dia masih tetap bersabar.
Tingkatan
Keempat: Bersyukur
Inilah
tingkatan yang tertinggi. Yaitu dengan justru bersyukur kepada Allah atas
musibah yang menimpanya. Dia sadar bahwa pada hakikatnya musibah adalah faktor
penyebab terhapusnya dosa-dosanya, bahkan terkadang bisa menjadi sumber
penambahan amal kebaikannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Tiada sebuah musibah pun yang menimpa seorang muslim, kecuali
pasti Allah hapuskan (dosanya) dengan sebab musibah itu, bahkan sekalipun duri
yang menusuknya.” (HR. Bukhari (5640) dan Muslim (2572)). (Diterjemahkan
dengan penyesuaian redaksional dari Fatawa Arkanil Islam, hal. 126-127)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar