Abul
Hasan Nuurudiin Al-Bakri adalah salah seorang tokoh sufi yang membolehkan
beristighotsah kepada Nabi setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
yang pemikirannya telah dibantah oleh Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya
“Al-Istighootsah fi Ar-Rod ‘alaa Al-Bakriy”. Al-Bakri telah menyatakan bahwa
Ibnu Taimiyyah adalah seorang zindiiq bahkan terkadang ia mengkafirkan Ibnu Taimiyyah.
Bahkan ia bersama pengikutnya telah mengeroyok untuk memukul Ibnu Taimiyyah.
Tatkala orang-orang semakin banyak berkumpul melihat pengkeroyokan tersebut
maka Al-Bakry pun kabur karena ketakutan. Akhirnya datanglah banyak orang dan
juga tentara kepada Ibnu Taimiyyah meminta izin kepada beliau untuk menghukumi
Al-Bakri akibat perbuatannya. Akan tetapi Ibnu Taimiyyah berkata, “Aku tidak
mau membela diriku”. Akan tetapi mereka tetap ngotot agar menghukumi perbuatan
Al-Bakri. Akhirnya Ibnu Taimiyyah berkata, “Kalau bukan hak menghukuminya
merupakan hak saya, atau merupakan hak kalian atau merupakan hak Allah. Jika
hak tersebut adalah hak saya maka Al-Bakriy telah saya maafkan, dan jika hak
menghukum adalah hak kalian maka jika kalian tidak mendengar nsehatku maka
jangan meminta fatwa kepadaku, dan silahkan kalian melakukan apa yang kalian
kehendaki. Dan jika hak adalah milik Allah maka Allah akan mengambil hakNya
sesuai kehendakNya dan kapan saja Ia kehendaki”.
Maka
tatkala kerajaan mencari-cari Al-Bakry untuk dihukum maka Al-Bakriy pun lari
dan bersembunyi di rumah Ibnu Taimiyyah –tatkala beliau bermukim di Mesir-
hingga akhirnya Ibnu Taimiyyah member syafaat agar Raja mengampuni Al-Bakriy,
dan akhirnya iapun dimaafkan” (Silahkan lihat kisah ini di Al-Bidaayah wa
An-Nihaayah 14/76 (tahqiq Ahmad Fatiih, cet pertama, daarul hadiits
Al-Qoohiroh) dan Adz-Dzail ‘alaa Tobaqoot Al-Hanaabilah 2/400)
Para
pembaca yang budiman… sungguh akhlaq yang sangat mulia dari Syaikul Islam Ibnu
Taimiyyah. Tatkala tiba kesempatan baginya untuk membalas dendam justru ia
malah memaafkan musuh-musuhnya dari kalangan Ahlul Bid’ah. Hal ini bahkan telah
dipersaksikan dan diakui oleh musuh-musuhnya. Diantaranya ada yang berkata,
مَا رَأَيْنَا مِثْلَ ابْنِ تَيْمِيَّةَ، حرَّضنَا عَلَيْهِ فَلَمْ نَقْدِرْ عَلَيْهِ، وقَدِرَ عَلَينَا فَصَفَحَ عَنَّا، وَحَاجَجَ عَنَّا
“Kami
tidak pernah melihat seorangpun seperti Ibnu Taimiyyah, kami berusaha untuk
mengganggunya namun kami tidak mampu untuk menjatuhkannya, dan tatkala ia mampu
untuk menjatuhkan kami maka iapun memaafkan kami bahkan membela kami” (Ini
merupakan perkataan Ibnu Makhluuf, silahkan lihat Al-Bidaayah wa An-Nihaayah
18/95 tahqiq At-Turki)
Itulah
Ibnu Taimiyyah yang berjiwa besar, mengambil tindakan bukan dengan hawa
nafsunya, akan tetapi dengan dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal ini tidak
mungkin bisa dilakukan kecuali oleh seseorang yang telah mengumpulkan keyakinan
yang tinggi akan janji Allah dan kesabaran. Karena dengan dua sikap inilah
(yakin dan sabar) maka seseorang akan meraih kepemimpinan dalam agama,
sebagaimana yang telah diraih oleh Ibnu Taimiyyah. Beliu berkata dalam kalimat
emasnya;
بِالصَّبْرِ وَالْيَقِيْنِ تُنَالُ الإِمَامَةُ فِي الدِّيْنِ
“Dengan
kesabaran dan keyakinan maka akan diraih kepimimpinan dalam agama” (Al-Mustadrok
‘alaa Majmuu’ Al-Fataawaa 1/145)
Allah
telah berfirman
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ
Dan
Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk
dengan perintah Kami ketika mereka sabar dan adalah mereka meyakini ayat-ayat
kami (As-Sajdah ayat 24)
Para
pembaca yang budiman… sungguh merupakan perkara yang sangat menyedihkan tatkala
kita melihat diri kita atau sebagian kita yang sangat jauh dari akhlak orang
yang kita kagumi ini yaitu Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah, yang seluruh hidupnya
ia korbankan demi menegakkan aqidah dan manhaj salaf. Sungguh hati ini merasa
sedih dan tersayat tatkala melihat sebagian kita mencela dan menghabisi
sebagian yang lain diantara ahlus sunnah… lihatlah sikap Ibnu Taimiyyah
terhadap Ahlul bid’ah yang memusuhi beliau… bahkan mengkafirkan beliau… bahkan
mengroyok beliau…, ini sikap beliau terhadap Ahlul Bid’ah, bagaimana lagi sikap
terhadap sesame ahlus sunnah. Ya Allah Engkau Maha Tahu bahwasanya kami para
dai jauh dari sikap dan akhlaq tersebut, maka ampunilah kami Yaa Gofuur Yaa
Rohiim.
Apa
yang saya tuliskan ini bukan berarti saya mengingkari praktek hajr terhadap
pelaku maksiat ataupun kepada ahlul bid’ah… semuanya tetap berlaku dengan
menimbang antara maslahat dan mudhorot sebagaimana telah saya jelaskan dalam
tulisan-tulisan saya yang lalu. Allahul Musta’aan (Silahkan lihat kembali
http://www.firanda.com/index.php/artikel/manhaj/97-salah-kaprah-tentang-hajr-boikot-terhadap-ahlul-bidah-seri-2-hajr-bukan-merupakan-ghoyah-tujuan-akan-tetapi-merupakan-wasilah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar