Kata ihsan (berbuat baik) merupakan kebalikan dari kata
al isaa-ah (berbuat buruk), yakni perbuatan seseorang untuk melakukan perbuatan
yang ma’ruf dan menahan diri dari dosa. Dia mendermakan kebaikan kepada hamba
Allah yang lainnya baik melalui hartanya, kehormatannya, ilmunya, maupun
raganya.
Adapun yang dimaksud ihsan bila dinisbatkan kepada
peribadatan kepada Allah adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Rasululluah
shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadist Jibril :
قَالَ فَأَخْبِرْنِى عَنِ الإِحْسَانِ. قَالَ «
أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
»
“’Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab,
‘Kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak
melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (H.R. Muslim 102).[3]
Dalam hadits Jibril, tingkatan Islam yang ketiga ini
memiliki satu rukun. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan mengenai
ihsan yaitu ‘Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan
jika engkau tidak mampu melihat-Nya, Allah akan melihatmu.’ Itulah pengertian
ihsan dan rukunnya.
Syaikh ‘Abdurrahman as Sa’di rahimahullah menjelaskan
bahwa ihsan mencakup dua macam, yakni ihsan dalam beribadah kepada Allah dan
ihsan dalam menunaikan hak sesama makhluk. Ihsan dalam beribadah kepada Allah
maknanya beribadah kepada Allah seolah-olah melihat-Nya atau merasa diawasi
oleh-Nya. Sedangkan ihsan dalam hak makhluk adalah dengan menunaikan hak-hak
mereka. Ihsan kepada makhluk ini terbagi dua, yaitu yang wajib dan sunnah. Yang
hukumnya wajib misalnya berbakti kepada orang tua dan bersikap adil dalam
bermuamalah. Sedangkan yang sunnah misalnya memberikan bantuan tenaga atau
harta yang melebihi batas kadar kewajiban seseorang. Salah satu bentuk ihsan
yang paling utama adalah berbuat baik kepada orang yang berbuat jelek kepada
kita, baik dengan ucapan atau perbuatannya.[4]
Tingkatan Ihsan
Syaikh Sholeh Alu Syaikh hafidzahullah menmberikan
penjelasan bahwa inti yang dimaksud dengan ihsan adalah membaguskan amal.
Batasan minimal seseorang dapat dikatakan telah melakukan ihsan di dalam
beribadah kepada Allah yaitu apabila di dalam memperbagus amalannya niatnya
ikhlas yaitu semata-mata mengharap pahala-Nya dan sesuai dengan sunnah Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah kadar ihsan yang wajib yang harus
ditunaikan oleh setiap muslim yang akan membuat keislamannya menjadi sah.
Adapun kadar ihsan yang mustahab (dianjurkan) di dalam beribadah kepada Allah
memiliki dua tingkatan, yaitu :
Pertama, tingkatan muroqobah.
Yakni seseorang yang beramal senantiasa merasa diawasi
dan diperhatikan oleh Allah dalam setiap aktivitasnya. Ini berdasarkan sabda
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
(jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu).Tingkatan
muroqobah yaitu apabila seseorang tidak mampu memperhatikan sifat-sifat Allah,
dia yakin bahwa Allah melihatnya. Tingkatan inilah yang dimiliki oleh
kebanyakan orang. Apabila seseorang mengerjakan shalat, dia merasa Allah
memperhatikan apa yang dia lakukan, lalu dia memperbagus shalatnya tersebut.
Hal ini sebagaimana Allah firmankan dalam surat Yunus,
وَمَاتَكُونُ فِي شَأْنٍ وَمَاتَتْلُوا مِنْهُ مِنْ
قُرْءَانٍ وَلاَتَعْمَلُونَ مِنْ عَمَلٍ إِلاَّ كُنَّا عَلَيْكُمْ شُهُودًا إِذْ تُفِيضُونَ
فِيهِ …{61}
“Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca
suatu ayat dari Al Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan
Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya…” (QS. Yunus: 61)
Kedua, tingkatan musyahadah
Tingkatan ini lebih tinggi dari yang pertama, yaitu
seseorang senantiasa memeperhatikan sifat-sifat Allah dan mengaitkan seluruh
aktifitasnya dengan sifat-sifat tersebut. Inilah realisasi dari sabda
Nabi أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاه (‘Kamu menyembah Allah seakan-akan
kamu melihat-Nya).Pada tingkatan ini seseorang beribadah kepada Allah,
seakan-akan dia melihat-Nya. Perlu ditekankan bahwa yang dimaksudkan di sini
bukanlah melihat dzat Allah, namun melihat sifat-sifat-Nya, tidak sebagaimana
keyakinan orang-orang sufi. Yang mereka sangka dengan tingkatan musyahadah
adalah melihat dzat Allah. Ini jelas merupakan kebatilan. Yang dimaksud adalah
memperhatikan sifat-sifat Allah, yakni dengan memperhatikan pengaruh
sifat-sifat Allah bagi makhluk. Apabila seorang hamba sudah memiliki ilmu dan
keyakinan yang kuat terhadap sifat-sifat Allah, dia akan mengembalikan semua
tanda kekuasaan Allah pada nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Dan inilah tingkatan
tertinggi dalam derajat ihsan.[5]
Keutamaan Ihsan
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
إِنَّ اللهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ
هُم مُّحْسِنُونَ {128}
“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan
orang-orang yang berbuat ihsan.” (QS. An Nahl: 128).
Dalam ayat ini Allah menunjukkan keutamaan seorang muhsin
yang bertakwa kepada Allah, yang tidak meninggalkan kewajibannya dan menjauhi
segala yang haram. Kebersamaan Allah dalam ayat ini adalah kebersamaan yang
khusus. Kebersamaan khusus yakni dalam bentuk pertolongan, dukungan, dan
petunjuk jalan yang lurus sebagai tambahan dari kebersamaan Allah yang umum
(yakni pengilmuan Allah). Makna dari firman Allah وَالَّذِينَ هُم مُّحْسِنُونَ
( dan orang-orang yang berbuat ihsan) adalah yang mentaati Rabbnya, yakni
dengan mengikhlaskan niat dan tujuan dalam beribadah serta melaksankanan
syariat Allah dengan petunjuk yang telah dijelasakan oleh Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam.[6]
Dalam ayat lain Allah berfirman,
وَأَنفِقُوا فِي سَبِيلِ اللهِ وَلاَ تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ
إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ {195}
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan
janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat
baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat ihsan.”
(Al Baqarah:195)
Ketika menafsirkan ayat ini Syaikh As Sa’di menjelaskan
bahwa ihsan pada ayat ini mecakup seluruh jenis ihsan. Hal ini karena tidak ada
pembatasan pada ayat ini. Maka termasuk di dalamnya ihsan dengan harta,
kemuliaan, pertolongan, perbuatan memrintahkan yang ma’ruf dan mencegah dari
yang mungkar, mengajarkan ilmu yang bermanfaat, dan perbuatan ihasan lain yng
diperintahkan oleh Allah. Termasuk di dalamnya juga adalah ihsan dalam
beribadah kepada Allah. Hal ini sebagaimnan sabda Nabi ‘Kamu menyembah Allah
seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya maka
sesungguhnya Dia melihatmu.. Barangsiapa yang memiliki sifat ihsan tersebut,
maka dia tergolong orang-orang yang Allah terangkan dalam firman-Nya لِلَّذِينَ
أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ “Bagi orang-orang yang berbuat ihsan, ada
pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya (melihat wajah Allah ta’ala)” (QS
Yunus: 26) Allah akan bersamanya, memberinya petunjuk, membimbingnya, serta
menolongnya dalam setiap urusannya.[7].
Allah Ta’ala juga berfirman,
وَإِن كُنتُنَّ تُرِدْنَ اللهَ وَرَسُولَهُ وَالدَّارَ
اْلأَخِرَةَ فَإِنَّ اللهَ أَعَدَّ لِلْمُحْسِنَاتِ مِنكُنَّ أَجْرًا عَظِيمًا
{29}
“Dan jika kamu sekalian menghendaki (keridhaan) Allah dan
Rasulnya-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah
menyediakan bagi siapa yang berbuat ihsan (kebaikan) diantaramu pahala yang
besar.” (QS. Al Ahzab: 29)
Penerapan Makna Ihsan dalam Kehidupan
Pembaca yang dirahmati Allah, sikap ihsan ini harus
berusaha kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Jika kita berbuat amalan
kataatan, maka perbuatan itu selalu kita niatkan untuk Allah. Sebaliknya jika
terbesit niat di hati kita untuk berbuat keburukan, maka kita tidak
mengerjakannya karena sikap ihsan yang kita miliki. Seseorang yang sikap
ihsannya kuat akan rajin berbuat kebaikan karena dia berusaha membuat senang
Allah yang selalu melihatnya. Sebaliknya dia malu berbuat kejahatan karena dia
selalu yakin Allah melihat perbuatannya. Ihsan adalah puncak prestasi dalam
ibadah, muamalah, dan akhlak seorang hamba. Oleh karena itu, semua orang yang
menyadari akan hal ini tentu akan berusaha dengan seluruh potensi diri yang
dimilikinya agar sampai pada tingkat tersebut. Siapa pun kita, apa pun profesi
kita, di mata Allah tidak ada yang lebih mulia dari yang lain, kecuali mereka
yang telah naik ke tingkat ihsan dalam seluruh amalannya. Kalau kita cermati
pembahasan di atas, untuk meraih derajat ihsan, sangat erat kaitannya
dengan benarnya pengilmuan seseorang tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah.
Semoga kita semua dapat mewujudkan ihsan dalam diri kita,
sebelum Allah mengambil ruh ini dari jasad kita. Semoga bermanfaat.
Allahul musta’an..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar