عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ
اللهِ : إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَ أَمْوَالِكُمْ وَ لَكِنْ يَنْظُرُ
إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَ أَعْمَالِكُمْ
Dari
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Nabi Shallallahu ‘alihi wa sallam
telah bersabda,”Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupa kalian, juga
tidak kepada harta kalian, akan tetapi Dia melihat kepada hati dan amal
kalian”.
Dalam
mendefinisikan ikhlas, para ulama berbeda redaksi dalam menggambarkanya. Ada
yang berpendapat, ikhlas adalah memurnikan tujuan untuk mendekatkan diri kepada
Allah. Ada pula yang berpendapat, ikhlas adalah mengesakan Allah dalam
beribadah kepadaNya. Ada pula yang berpendapat, ikhlas adalah pembersihan dari
pamrih kepada makhluk.
Al
‘Izz bin Abdis Salam berkata : “Ikhlas ialah, seorang mukallaf melaksanakan
ketaatan semata-mata karena Allah. Dia tidak berharap pengagungan dan
penghormatan manusia, dan tidak pula berharap manfaat dan menolak bahaya”.
Al
Harawi mengatakan : “Ikhlas ialah, membersihkan amal dari setiap noda.” Yang
lain berkata : “Seorang yang ikhlas ialah, seorang yang tidak mencari perhatian
di hati manusia dalam rangka memperbaiki hatinya di hadapan Allah, dan tidak
suka seandainya manusia sampai memperhatikan amalnya, meskipun hanya seberat
biji sawi”.
Abu
‘Utsman berkata : “Ikhlas ialah, melupakan pandangan makhluk, dengan selalu
melihat kepada Khaliq (Allah)”.
Abu
Hudzaifah Al Mar’asyi berkata : “Ikhlas ialah, kesesuaian perbuatan seorang
hamba antara lahir dan batin”.
Abu
‘Ali Fudhail bin ‘Iyadh berkata : “Meninggalkan amal karena manusia adalah
riya’. Dan beramal karena manusia adalah syirik. Dan ikhlas ialah, apabila
Allah menyelamatkan kamu dari keduanya”.[1]
Ikhlas
ialah, menghendaki keridhaan Allah dalam suatu amal, membersihkannya dari
segala individu maupun duniawi. Tidak ada yang melatarbelakangi suatu amal,
kecuali karena Allah dan demi hari akhirat. Tidak ada noda yang mencampuri
suatu amal, seperti kecenderungan kepada dunia untuk diri sendiri, baik yang
tersembunyi maupun yang terang-terangan, atau karena mencari harta rampasan
perang, atau agar dikatakan sebagai pemberani ketika perang, karena syahwat,
kedudukan, harta benda, ketenaran, agar mendapat tempat di hati orang banyak,
mendapat sanjungan tertentu, karena kesombongan yang terselubung, atau karena
alasan-alasan lain yang tidak terpuji; yang intinya bukan karena Allah, tetapi
karena sesuatu; maka semua ini merupakan noda yang mengotori keikhlasan.
Landasan
niat yang ikhlas adalah memurnikan niat karena Allah semata. Setiap bagian dari
perkara duniawi yang sudah mencemari amal kebaikan, sedikit atau banyak, dan
apabila hati kita bergantung kepadanya, maka kemurniaan amal itu ternoda dan
hilang keikhlasannya. Karena itu, orang yang jiwanya terkalahkan oleh perkara
duniawi, mencari kedudukan dan popularitas, maka tindakan dan perilakunya
mengacu pada sifat tersebut, sehingga ibadah yang ia lakukan tidak akan murni,
seperti shalat, puasa, menuntut ilmu, berdakwah dan lainnya.
Syaikh
Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin berpendapat, arti ikhlas karena Allah ialah,
apabila seseorang melaksanakan ibadah yang tujuannya untuk taqarrub kepada
Allah dan mencapai tempat kemuliaanNya.
SULITNYA
MEWUJUDKAN IKHLAS
Mewujudkan ikhlas bukan pekerjaan yang mudah seperti anggapan orang jahil. Para ulama yang telah meniti jalan kepada Allah telah menegaskan sulitnya ikhlas dan beratnya mewujudkan ikhlas di dalam hati, kecuali orang yang memang dimudahkan Allah.
Mewujudkan ikhlas bukan pekerjaan yang mudah seperti anggapan orang jahil. Para ulama yang telah meniti jalan kepada Allah telah menegaskan sulitnya ikhlas dan beratnya mewujudkan ikhlas di dalam hati, kecuali orang yang memang dimudahkan Allah.
Imam
Sufyan Ats Tsauri berkata,”Tidaklah aku mengobati sesuatu yang lebih berat
daripada mengobati niatku, sebab ia senantiasa berbolak-balik pada diriku.” [2]
Karena
itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a:
يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ، ثَبِّتْ قَلْبِيْ عَلَى
دِيْنِكَ
Ya,
Rabb yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku pada agamaMu.
Lalu
seorang sahabat berkata,”Ya Rasulullah, kami beriman kepadamu dan kepada apa
yang engkau bawa kepada kami?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab,”Ya, karena sesungguhnya seluruh hati manusia di antara dua jari
tangan Allah, dan Allah membolak-balikan hati sekehendakNya. [HR Ahmad, VI/302;
Hakim, I/525; Tirmidzi, no. 3522, lihat Shahih At Tirmidzi, III/171 no. 2792;
Shahih Jami’ush Shagir, no.7987 dan Zhilalul Jannah Fi Takhrijis Sunnah, no.
225 dari sahabat Anas].
Yahya
bin Abi Katsir berkata,”Belajarlah niat, karena niat lebih penting daripada
amal.” [3]
Muththarif
bin Abdullah berkata,”Kebaikan hati tergantung kepada kebaikan amal, dan
kebaikan amal bergantung kepada kebaikan niat.” [4]
Pernah
ada orang bertanya kepada Suhail: “Apakah yang paling berat bagi nafsu
manusia?” Ia menjawab,”Ikhlas, sebab nafsu tidak pernah memiliki bagian dari
ikhlas.” [5]
Dikisahkan
ada seorang ‘alim yang selalu shalat di shaf paling depan. Suatu hari ia datang
terlambat, maka ia mendapat shalat di shaf kedua. Di dalam benaknya terbersit
rasa malu kepada para jama’ah lain yang melihatnya. Maka pada saat itulah, ia
menyadari bahwa sebenarnya kesenangan dan ketenangan hatinya ketika shalat di
shaf pertama pada hari-hari sebelumnya disebabkan karena ingin dilihat orang
lain. [6]
Yusuf
bin Husain Ar Razi berkata,”Sesuatu yang paling sulit di dunia adalah ikhlas.
Aku sudah bersungguh-sungguh untuk menghilangkan riya’ dari hatiku, seolah-olah
timbul riya, dengan warna lain.” [7]
Ada
pendapat lain, ikhlas sesaat saja merupakan keselamatan sepanjang masa, karena
ikhlas sesuatu yang sangat mulia. Ada lagi yang berkata, barangsiapa melakukan
ibadah sepanjang umurnya, lalu dari ibadah itu satu saat saja ikhlas karena
Allah, maka ia akan selamat.
Masalah
ikhlas merupakan masalah yang sulit, sehingga sedikit sekali perbuatan yang
dikatakan murni ikhlas karena Allah. Dan sedikit sekali orang yang
memperhatikannya, kecuali orang yang mendapatkan taufiq (pertolongan dan
kemudahan) dari Allah. Adapun orang yang lalai dalam masalah ikhlas ini, ia
akan senantiasa melihat pada nilai kebaikan yang pernah dilakukannya, padahal
pada hari kiamat kelak, perbuatannya itu justru menjadi keburukan. Merekalah
yang dimaksudkan oleh firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
وَبَدَا لَهُم مِّنَ اللهِ مَالَمْ يَكُونُوا يَحْتَسِبُونَ
وَبَدَا لَهُمْ سَيِّئَاتُ مَاكَسَبُوا وَحَاقَ بِهِم مَّاكَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِءُونَ
Dan
jelaslah bagi mereka adzab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan.Dan
jelaslah bagi mereka akibat buruk dari apa yang telah mereka perbuat … [Az Zumar
: 47-48]
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِاْلأَخْسَرِينَ أَعْمَالاً
الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ
يُحْسِنُونَ صُنْعًا
Katakanlah:”Apakah
akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi
perbuatannya”. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam
kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat
sebaik-baiknya. [Al Kahfi : 103-104].[8]
Bila
Anda melihat seseorang, yang menurut penglihatan Anda telah melakukan amalan
Islam secara murni dan benar, bahkan boleh jadi dia juga beranggapan seperti
itu. Tapi bila Anda tahu dan hanya Allah saja yang tahu, Anda mendapatkannya
sebagai orang yang rakus terhadap dunia, dengan cara berkedok pakaian agama.
Dia berbuat untuk dirinya sendiri agar dapat mengecoh orang lain, bahwa
seakan-akan dia berbuat untuk Allah.
Ada
lagi yang lain, yaitu beramal karena ingin disanjung, dipuji, ingin dikatakan
sebagai orang yang baik, atau yang paling baik, atau terbetik dalam hatinya
bahwa dia sajalah yang konsekwen terhadap Sunnah, sedangkan yang lainnya tidak.
Ada
lagi yang belajar karena ingin lebih tinggi dari yang lain, supaya dapat
penghormatan dan harta. Tujuannya ingin berbangga dengan para ulama,
mengalahkan orang yang bodoh, atau agar orang lain berpaling kepadanya. Maka
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam orang itu dengan ancaman, bahwa
Allah akan memasukkannya ke dalam neraka jahannam. Nasalullaha As Salamah wal
‘Afiyah. [9]
Membersihkan
diri dari hawa nafsu yang tampak maupun yang tersembunyi, membersihkan niat
dari berbagai noda, nafsu pribadi dan duniawi, juga tidak mudah. memerlukan
usaha yang maksimal, selalu memperhatikan pintu-pintu masuk bagi setan ke dalam
jiwa, membersihkan hati dari unsur riya’, kesombongan, gila kedudukan, pangkat,
harta untuk pamer dan lainnya.
Sulitnya
mewujudkan ikhlas, dikarenakan hati manusia selalu berbolak-balik. Setan selalu
menggoda, menghiasi dan memberikan perasaan was-was ke dalam hati manusia,
serta adanya dorongan hawa nafsu yang selalu menyuruh berbuat jelek. Karena itu
kita diperintahkan berlindung dari godaan setan. Allah berfirman, yang artinya
: Dan jika kamu ditimpa suatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [Al A’raf : 200].
Jadi,
solusi ikhlas ialah dengan mengenyahkan pertimbangan-pertimbangan pribadi,
memotong kerakusan terhadap dunia, mengikis dorongan-dorongan nafsu dan
lainnya.
Dan
bersungguh-sunguh beramal ikhlas karena Allah, akan mendorong seseorang melakukan
ibadah karena taat kepada perintah Allah dan Rasul, ingin selamat di
dunia-akhirat, dan mengharap ganjaran dari Allah.
Upaya
mewujudkan ikhlas bisa tercapai, bila kita mengikuti Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan jejak Salafush Shalih dalam beramal dan taqarrub kepada
Allah, selalu mendengar nasihat mereka, serta berupaya semaksimal mungkin dan
bersungguh-sungguh mengekang dorongan nafsu, dan selalu berdo’a kepada Allah
Ta’ala.
HUKUM
BERAMAL YANG BERCAMPUR ANTARA IKHLAS DAN TUJUAN-TUJUAN LAIN
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ’Utsaimin menjelaskan tentang seseorang yang beribadah kepada Allah, tetapi ada tujuan lain. Beliau membagi menjadi tiga golongan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ’Utsaimin menjelaskan tentang seseorang yang beribadah kepada Allah, tetapi ada tujuan lain. Beliau membagi menjadi tiga golongan.
Pertama
: Seseorang bermaksud untuk taqarrub kepada selain Allah dalam ibadahnya, dan
untuk mendapat sanjungan dari orang lain. Perbuatan seperti membatalkan amalnya
dan termasuk syirik, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, Allah berfirman:
أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ ، مَنْ
عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيْهِ مَعِي غَيْرِيْ تَرَكْتُهُ وَ شِرْكَهُ
Aku
tidak butuh kepada semua sekutu. Barangsiapa beramal mempersekutukanKu dengan
yang lain, maka Aku biarkan dia bersama sekutunya. [HSR Muslim, no. 2985; Ibnu
Majah, no. 4202 dari sahabat Abu Hurairah].
Kedua
: Ibadahnya dimaksudkan untuk mencapai tujuan duniawi, seperti ingin menjadi
pemimpin, mendapatkan kedudukan dan harta, tanpa bermaksud untuk taqarrub
kepada Allah. Amal seperti ini akan terhapus dan tidak dapat mendekatkan diri
kepada Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مَن كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا
نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لاَيُبْخَسُونَ أُوْلَئِكَ
الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي اْلأَخِرَةِ إِلاَّ النَّارَ وَحَبِطَ مَاصَنَعُوا فِيهَا
وَبَاطِلٌ مَّاكَانُوا يَعْمَلُونَ
Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya,
niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan
sempurna, dan mereka di dunia tidak dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak
memperoleh di akhirat kecuali neraka, dan lenyaplah di akhirat itu apa yang
telah mereka usahakan di dunia, dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.
[Hud : 15-16].
Perbedaan
antara golongan kedua dan pertama ialah, jika golongan pertama bermaksud agar
mendapat sanjungan dari ibadahnya kepada Allah; sedangkan golongan kedua tidak
bermaksud agar dia disanjung sebagai ahli ibadah kepada Allah dan dia tidak ada
kepentingan dengan sanjungan manusia karena perbuatannya.
Ketiga
: Seseorang yang dalam ibadahnya bertujuan untuk taqarrub kepada Allah
sekaligus untuk tujuan duniawi yang akan diperoleh. Misalnya :
•-
Tatkala melakukan thaharah, disamping berniat ibadah kepada Allah, juga berniat
untuk membersihkan badan.
•- Puasa dengan tujuan diet dan taqarrub kepada Allah.
•- Menunaikan ibadah haji untuk melihat tempat-tempat bersejarah, tempat-tempat pelaksaan ibadah haji dan melihat para jamaah haji.
•- Puasa dengan tujuan diet dan taqarrub kepada Allah.
•- Menunaikan ibadah haji untuk melihat tempat-tempat bersejarah, tempat-tempat pelaksaan ibadah haji dan melihat para jamaah haji.
Semua
ini dapat mengurangi balasan keikhlasan. Andaikata yang lebih banyak adalah
niat ibadahnya, maka akan luput baginya ganjaran yang sempurna. Tetapi hal itu
tidak menyeret pada dosa, seperti firman Allah tentang jama’ah haji disebutkan
dalam KitabNya:[10]
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَبْتَغُوا فَضْلاً
مِّن رَّبِّكُمْ
Tidak
ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki) dari Rabb-mu……[Al Baqarah :
198].
Namun,
apabila yang lebih berat bukan niat untuk beribadah, maka ia tidak memperoleh
ganjaran di akhirat, tetapi balasannya hanya diperoleh di dunia; bahkan
dikhawatirkan akan menyeretnya pada dosa. Sebab ia menjadikan ibadah yang
mestinya karena Allah sebagai tujuan yang paling tinggi, ia jadikan sebagai
sarana untuk mendapatkan dunia yang rendah nilainya. Keadaan seperti itu
difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala :
وَمِنْهُم مَّن يَلْمِزُكَ فِي الصَّدَقَاتِ فَإِنْ
أُعْطُوا مِنْهَا رَضُوا وَإِن لَّمْ يُعْطَوْا مِنْهَآ إِذَا هُمْ يَسْخَطُونَ
Dan
di antara mereka ada yang mencelamu tentang pembagian zakat, jika mereka diberi
sebagian darinya mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebagian
darinya, dengan serta mereka menjadi marah. [At Taubah : 58].
Dalam
Sunan Abu Dawud [11], dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ada seseorang
bertanya: “Ya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ! Seseorang ingin
berjihad di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ingin mendapatkan harta
(imbalan) dunia?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Tidak ada
pahala baginya,” orang itu mengulangi lagi pertanyaannya sampai tiga kali, dan
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salalm menjawab,”Tidak ada pahala baginya.”
Di
dalam Shahihain (Shahih Bukhari, no.54 dan Shahih Muslim, no.1907), dari Umar
bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda :
مَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا
، أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَىمَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Barangsiapa
hijrahnya diniatkan untuk dunia yang hendak dicapainya, atau karena seorang
wanita yang hendak dinikahinya, maka nilai hijrahnya sesuai dengan tujuan niat
dia berhijrah.
Apabila
ada dua tujuan dalam takaran yang berimbang, niat ibadah karena Allah dan tujuan
lainnya beratnya sama, maka dalam masalah ini ada beberapa pendapat ulama.
Pendapat yang lebih dekat dengan kebenaran ialah, bahwa orang tersebut tidak
mendapatkan apa-apa.
Perbedaan
golongan ini dengan golongan sebelumnya, bahwa tujuan selain ibadah pada
golongan sebelumnya merupakan pokok sasarannya, kehendaknya merupakan kehendak
yang berasal dari amalnya, seakan-akan yang dituntut dari pekerjaannya hanyalah
urusan dunia belaka.
Apabila
ditanyakan “bagaimana neraca untuk mengetahui tujuan orang yang termasuk dalam
golongan ini, lebih banyak tujuan untuk ibadah atau selain ibadah?”
Jawaban
kami: “Neracanya ialah, apabila ia tidak menaruh perhatian kecuali kepada
ibadah saja, berhasil ia kerjakan atau tidak. Maka hal ini menunjukkan niatnya
lebih besar tertuju untuk ibadah. Dan bila sebaliknya, ia tidak mendapat
pahala”.
Bagaimanapun
juga niat merupakan perkara hati, yang urusannya amat besar dan penting.
Seseorang, bisa naik ke derajat shiddiqin dan bisa jatuh ke derajat yang paling
bawah disebabkan dengan niatnya.
Ada
seorang ulama Salaf berkata: “Tidak ada satu perjuangan yang paling berat atas
diriku, melainkan upayaku untuk ikhlas. Kita memohon kepada Allah agar diberi
keikhlasan dalam niat dan dibereskan seluruh amal” [12].
IKHLAS
ADALAH SYARAT DITERIMANYA AMAL
Di dalam Al Qur`an dan Sunnah banyak disebutkan perintah untuk berlaku ikhlas, kedudukan dan keutamaan ikhlas. Ada disebutkan wajibnya ikhlas kaitannya dengan kemurnian tauhid dan meluruskan aqidah, dan ada yang kaitannya dengan kemurnian amal dari berbagai tujuan.
Di dalam Al Qur`an dan Sunnah banyak disebutkan perintah untuk berlaku ikhlas, kedudukan dan keutamaan ikhlas. Ada disebutkan wajibnya ikhlas kaitannya dengan kemurnian tauhid dan meluruskan aqidah, dan ada yang kaitannya dengan kemurnian amal dari berbagai tujuan.
Yang
pokok dari keutamaan ikhlas ialah, bahwa ikhlas merupakan syarat diterimanya
amal. Sesungguhnya setiap amal harus mempunyai dua syarat yang tidak akan di
terima di sisi Allah, kecuali dengan keduanya. Pertama. Niat dan ikhlas karena
Allah. Kedua. Sesuai dengan Sunnah; yakni sesuai dengan KitabNya atau yang
dijelaskan RasulNya dan sunnahnya. Jika salah satunya tidak terpenuhi, maka
amalnya tersebut tidak bernilai shalih dan tertolak, sebagaimana hal ini
ditunjukan dalam firmanNya:
وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَآءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ
عَمَلاً صَالِحًا وَلاَيُشْرِكُ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
Barangsiapa
mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah dia mengerjakan amal
shalih dan janganlah dia mempersekutukan seorangpun dengan Rabb- nya. [Al Kahfi
: 110].
Di
dalam ayat ini, Allah memerintahkan agar menjadikan amal itu bernilai shalih,
yaitu sesuai dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, kemudian
Dia memerintahkan agar orang yang mengerjakan amal shalih itu mengikhlaskan
niatnya karena Allah semata, tidak menghendaki selainNya.[13]
Al
Hafizh Ibnu Katsir berkata di dalam kitab tafsir-nya [14]: “Inilah dua landasan
amalan yang diterima, ikhlas karena Allah dan sesuai dengan Sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”.
Dari
Umamah, ia berkata: Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam seraya berkata,”Bagaimanakah pendapatmu (tentang) seseorang
yang berperang demi mencari upah dan sanjungan, apa yang diperolehnya?”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Dia tidak mendapatkan
apa-apa.” Orang itu mengulangi pertanyaannya sampai tiga kali, dan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa salalm selalu menjawab, orang itu tidak mendapatkan
apa-apa (tidak mendapatkan ganjaran), kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda :
إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبَلُ مِنَ العَمَلِ إِلاَّ
مَا كَانَ لَهُ خَالِصاً وَ ابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ
Sesungguhnya
Allah Azza wa Jalla tidak menerima amal perbuatan, kecuali yang ikhlas dan
dimaksudkan (dengan amal perbuatan itu) mencari wajah Allah. [HR Nasa-i, VI/25
dan sanad-nya jayyid sebagaimana perkataan Imam Mundziri dalam At Targhib Wat
Tarhib, I/26-27 no. 9. Dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib
Wat Tarhib, I/106, no. 8].
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun IX/1426H/2005M Diterbitkan Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo
57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Al Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Imam An Nawawi (I/16-17), Cet. Darul Fikr; Madarijus Salikin (II/95-96), Cet. Darul Hadits Kairo; Al Ikhlas, oleh Dr. Sulaiman Al Asyqar, hlm. 16-17, Cet. III, Darul Nafa-is, Tahun 1415 H; Al Ikhlas Wasy Syirkul Asghar, oleh Abdul Lathif, Cet. I, Darul Wathan, Th. 1412 H.
[2]. Al Majmu’ Syarhul Muhadzdzab (I/17); Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam (I/70).
[3]. Jami’ul Ulum Wal Hikam (I/70).
[4]. Ibid. (I/71).
[5]. Madarijus Salikin (II/95).
[6]. Tazkiyatun Nufus, hlm. 15-17.
[7]. Madarijus Salikin (II/96).
[8]. Tazkiyatun Nufus, hlm. 15-17.
[9]. Lihat hadits yang semakna dalam Shahih At Targhib Wat Tarhib (I/153-155); At Tarhib Min Ta’allumil Ilmi Lighairi Wajhillah Ta’ala, hadits no. 105-110; dan hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah.
[10]. Ada beberapa amal lain yang mirip dengan contoh di atas, seperti:
• Menunaikan ibadah haji dan umrah, disamping bertujuan ibadah, juga untuk bertamasya (tour).
• Mendirikan shalat malam, tujuannya supaya lulus ujian, usahanya berhasil dan lainnya.
• Berpuasa, agar tidak boros dan tidak disibukkan dengan urusan makan.
• Menjenguk orang sakit, agar ia dijenguk pula bila ia sakit.
• Mendatangi walimah nikah, agar yang mengundang datang bila diundang.
• I’tikaf di masjid, supaya ringan biaya kontrak (sewa) tempat, atau untuk melepas kepenatan mengurus keluarga.
Apapun yang mendorongnya, semua pekerjaan yang tujuannya taqarrub, akan menjadi berkurang nilainya dan bisa jadi terhapus. Wallahu a’lam. (Pen).
[11]. Sunan Abu Dawud, Kitabul Jihad, Bab Fi Man Yaghzu Yaltamisud Dunya, no. 2516. Hadits ini dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud, no. 2196.
[12]. Majmu’ Fatawaa wa Rasa-il, I/98-100, Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Tartib Fahd bin Nashir bin Ibrahim As Sulaiman, Cet. II Darul Wathan Lin Nasyr, Th. 1413 H.
[13]. Lihat At Tawassul Anwa’uhu Wa Ahkamuhu, Fadhilatus Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Cet. III, Darus Salafiyyah, Th. 1405 H.
[14]. Tafsir Ibnu Katsir (III/120-121), Cet. Maktabah Darus Salam
_______
Footnote
[1]. Al Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Imam An Nawawi (I/16-17), Cet. Darul Fikr; Madarijus Salikin (II/95-96), Cet. Darul Hadits Kairo; Al Ikhlas, oleh Dr. Sulaiman Al Asyqar, hlm. 16-17, Cet. III, Darul Nafa-is, Tahun 1415 H; Al Ikhlas Wasy Syirkul Asghar, oleh Abdul Lathif, Cet. I, Darul Wathan, Th. 1412 H.
[2]. Al Majmu’ Syarhul Muhadzdzab (I/17); Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam (I/70).
[3]. Jami’ul Ulum Wal Hikam (I/70).
[4]. Ibid. (I/71).
[5]. Madarijus Salikin (II/95).
[6]. Tazkiyatun Nufus, hlm. 15-17.
[7]. Madarijus Salikin (II/96).
[8]. Tazkiyatun Nufus, hlm. 15-17.
[9]. Lihat hadits yang semakna dalam Shahih At Targhib Wat Tarhib (I/153-155); At Tarhib Min Ta’allumil Ilmi Lighairi Wajhillah Ta’ala, hadits no. 105-110; dan hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah.
[10]. Ada beberapa amal lain yang mirip dengan contoh di atas, seperti:
• Menunaikan ibadah haji dan umrah, disamping bertujuan ibadah, juga untuk bertamasya (tour).
• Mendirikan shalat malam, tujuannya supaya lulus ujian, usahanya berhasil dan lainnya.
• Berpuasa, agar tidak boros dan tidak disibukkan dengan urusan makan.
• Menjenguk orang sakit, agar ia dijenguk pula bila ia sakit.
• Mendatangi walimah nikah, agar yang mengundang datang bila diundang.
• I’tikaf di masjid, supaya ringan biaya kontrak (sewa) tempat, atau untuk melepas kepenatan mengurus keluarga.
Apapun yang mendorongnya, semua pekerjaan yang tujuannya taqarrub, akan menjadi berkurang nilainya dan bisa jadi terhapus. Wallahu a’lam. (Pen).
[11]. Sunan Abu Dawud, Kitabul Jihad, Bab Fi Man Yaghzu Yaltamisud Dunya, no. 2516. Hadits ini dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud, no. 2196.
[12]. Majmu’ Fatawaa wa Rasa-il, I/98-100, Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Tartib Fahd bin Nashir bin Ibrahim As Sulaiman, Cet. II Darul Wathan Lin Nasyr, Th. 1413 H.
[13]. Lihat At Tawassul Anwa’uhu Wa Ahkamuhu, Fadhilatus Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Cet. III, Darus Salafiyyah, Th. 1405 H.
[14]. Tafsir Ibnu Katsir (III/120-121), Cet. Maktabah Darus Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar