Aku bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang
berhak untuk disembah kecuali Allah saja dan tidak ada syarikat bagiNya, dan
aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba Allah dan rasulNya, pilihanNya,
dan kekasihNya, semoga Allah senantiasa mencurahkan salawat dan salam yang
banyak kepadanya, kepada keluarganya, para sahabatya hingga hari akhir.
Topik pembahasan pada pelajaran kali ini adalah
hak-hak persaudaraan (perkara-perkara yang hendaknya ditunaikan oleh
orang-orang yang saling bersaudara-pen), dan yang kami maksudkan dengan hak-hak
persaudaraan adalah yang mencakup hak yang mustahab dan hak yang diwajibkan,
bukanlah maksudnya untuk memperinci mana diantara hak-hak tersebut yang wajib
dan manakah yang mustahab?, akan tetapi maksudnya adalah menyebutkan hak-hak
tersebut secara global yang diantara hak-hak tersebut ada yang wajib dan ada
yang mustahab. Dan ada hak-hak yang lain yang tidak dibahas di sini karena
waktu yang sempit[2].
Kedudukan hal ini -yaitu hak-hak persaudaraan, hak-hak
persahabatan, hak seseorang atas saudaranya- termasuk kedudukan yang agung yang
ditekankan dalam dalil-dalil, sangat ditekankan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah,
maka perhatian terhadap hal ini merupakan perhatian terhadap suatu ibadah dan
melalaikannya adalah bentuk melalaikan salah satu jenis ibadah, karena hakikat
dari ibadah adalah sebuah nama yang mencakup seluruh perkara yang dicintai oleh
Allah dan diridhoi-Nya baik berupa perkataan maupun perbuatan, baik yang nampak
maupun yang batin. Diantara perkataan dan perbuatan yang diridhoi oleh Allah
adalah perkara yang telah diperintahkan oleh Allah berupa penunaian hak
seseorang terhadap saudaranya, terlebih lagi jika telah terjalin antara dia
dengan saudaranya tersebut kasih sayang yang sepesial, rasa cinta yang khusus.
Persahabatan yang khusus melebihi hanya sekedar hubungan biasa antar kaum
muslimin yang lain. Di sana ada hak seorang muslim -yang harus ditunaikan- bagi
muslim yang lain yang hak ini dimiliki oleh saudaranya tersebut karena ia
adalah seorang muslim, dan hak tersebut lebih ditekankan lagi dan lebih kuat
jika terjalin persahabatan yang khusus antara seseorang dengan saudaranya
sesama muslim, terjalin antara mereka berdua kecintaan khusus, mereka berdua
saling bersahabat, saling mencintai, saling berpartisipasi dalam mewujudkan
rasa cinta karena Allah, dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah, saling menunjukkan
kepada kebaikan, saling mengantarkan kepada petunjuk kebenaran, saling mengajak
untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka ada hak-hak (yang lebih khusus)
antara mereka berdua. Dan seorang muslim hendaknya memperhatikan hak-hak ini,
baik yang telah tua maupun yang belum, demikian juga hendaknya diperhatikan
oleh seorang muslimah. Maka jika kami mengatakan hak-hak seorang muslim atas
seorang muslim yang lain dan hak-hak persaudaraan maka mencakup hak-hak antara
kaum muslimin baik antar kaum tua, antar kawula muda, antar kaum lelaki, dan
juga antar para wanita.
Allah dalam Al-Qur’an yang agung telah menganugerahkan
kenikmatan bagi hamba-hambaNya dengan menjadikan mereka -dengan anugerahNya,
dengan Islam- menjadi saling bersaudara. Allah berfirman
فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتٌمْ عَلَى شَفَى حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا
“Lalu menjadilah kalian karena nikmat Allah
orang-orang yang bersaudara, dan kalian dahulu berada di tepi jurang neraka
lalu Allah menyelamatkan kalian darinya” (QS Ali ‘Imron 103)
Dan Allah telah menganugerahkan kenikmatan bagi
hamba-hambaNya yang beriman dengan menyatukan hati-hati mereka, dengan
anugerah-Nya Allah menjadikan mereka saling bersaudara, yang hal ini menunjukan
kepada kita bahwa kecintaan karena Allah dan bahwasanya persaudaraan karena
Allah adalah merupakan kenikmatan yang sangat agung yang telah Allah tanamkan
di antara hati-hati orang-orang yang beriman, satu dengan yang lainnya dan
hendaknya memperhatikan kenikmatan yang agung ini, menjaganya, dan mengakui
bahwa ia adalah anugerah dari Allah, oleh karena anugerah dari Allah hendaknya
dijaga dan kesengsaraan hendaknya dijauhi dan diwaspadai. Oleh karena itu Allah
berfirman فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا ((Lalu
menjadilah kalian karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara)), berkata
sebagian Ulama menafsirkan firman Allah بِنِعْمَتِهِ (karena
nikmat-Nya), ini adalah peringatan bahwasanya terjalinnya tali persaudaraan
dan terjalinnya tali cinta kasih diantara kaum mu’minin hanyalah karena karunia
Allah, sebagaimana dijelaskan dalam ayat yang lain:
لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِيْ الْأَرْضِ جَمِيْعًا مَا أَلَّفْت بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ وَلَكِنَّ اللهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ
“Walaupun engkau membelanjakan semua (kekayaan) yang
ada di bumi niscaya engkau tidak bisa mempersatukan hati mereka, akan tetapi
Allah-lah yang telah mempersatukan hati mereka” (QS Al-Anfal:63)
Maka yang menjadikan seseorang mencintai yang lainnya
dan menjadikan hati-hati manusia menjadi bersatu padahal mereka berasal dari
penjuru dunia yang beraneka ragam, dari ras dan bangsa yang bermacam-macam,
dari martabat yang bertingkat-tingkat, yang menjadikan mereka saling mencintai,
menjadikan mereka sama dalam perkara yang satu yaitu beribadah kepada Allah
–yaitu mereka menjadi saling bersaudara karena Allah- adalah Allah dengan
karunia nikmat-Nya. Allah berfirman:
?قُلْ بِفَضْلِ اللهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوْا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُوْنَ?
“Katakanlah: “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya,
hendaknya dengan itu mereka bergembira. Karunia dan rahmat Allah itu lebih baik
dari yang mereka kumpulkan” (QS Yunus 58)
Dan merupakan kenikmatan yang paling agung dan rahmat
yang paling agung yang digembirakan adalah Al-Qur’an yang agung ini dan sunnah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibnu Abi Hatim telah meriwayatkan tatkala
menafsirkan ayat ini
?قُلْ بِفَضْلِ اللهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوْا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُوْنَ?
“Katakanlah: “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya,
hendaknya dengan itu mereka bergembira. Karunia dan rahmat Allah itu lebih baik
dari yang mereka kumpulkan” (QS Yunus 58)
Ia (Ibnu Abi Hatim) meriwayatkan bahwanya tatkala
barang-barang zakat datang ke Madinah[3] maka Umar bin Al-Khotthob radhiyallahu
‘anhu dan budaknya keluar menuju tempat dikumpulkannya zakat atau di tempat
dikumpulkannya unta-unta zakat maka tatkala budaknya melihat unta yang
jumlahnya begitu banyak dan juga zakat-zakat yang lainnya yang banyak yang akan
dibagikan kepada kaum muslimin maka iapun berkata kepada Umar, “Ini adalah
karunia dari Allah dan rahmatNya wahai Amrul mukminin”. Maka Umarpun berkata,
“Engkau berdusta, tapi (yang benar bahwasanya) karunia Allah dan rahmatNya
adalah Al-Qur’an .[4] ((Katakanlah: “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya,
hendaknya dengan itu mereka bergembira. Karunia dan rahmat Allah itu lebih baik
dari yang mereka kumpulkan)) . Maka perkara yang paling agung untuk
digembirakan adalah seorang hamba adalah melaksanakan perkara-perkara yang
datang dalam Al-Qur’an, yaitu melaksanakan perintah-perintah Allah dan
meninggalkan larangan-larangan Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an karena
Al-Qur’an adalah sesuatu yang terbaik bagi kita baik di kehidupan dunia maupun
di akhirat kelak.
Hadits-hadits yang menganjurkan seorang muslim untuk
bersahabat dan disahabati sangat banyak sekali. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah menganjurkan hal ini dan menjelaskan keutamaan persaudaraan karena
Allah, keutamaan saling mencintai karena Allah, dan menjelaskan keutamaan
seorang mukmin yang bergaul (bersahabat) dan (bisa) disahabati dan hendaknya
seorang mukmin dekat dengan saudara-saudaranya dalam banyak hadits. Diantaranya
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
إن أقربَكم مني مجلسا يوم القيامة أحاسنُكم أخلاقا، المُوَطَّئُوْنَ أكنافا الذين يَأْلَفُوْنَ ويُؤْلَفُوْنَ
((Sesungguhnya yang terdekat denganku tempat duduknya
pada hari kiamat yaitu mereka yang terbaik akhlaknya diantara kalian yang
pundak-pundak mereka terbentang[5] yang bersahabat dan disahabati))[6]
Dan dalam hadits yang lain yang diriwayatkan oleh Imam
Ahmad dan yang lainnya yang diriwayatkan dari beberapa jalan dan ia adalah
hadits yang shahih bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
المؤمن يألف ويؤلف
((Seorang mukmin itu bersahabat dan disahabati))[7]
Dalam lafal yang lain المؤمن مَألفة ((Seorang
mukmin itu adalah tempat untuk persahabatan))[8], orang yang melihatnya merasa
srek (merasa tenang) bersahabat dengannya karena tidaklah yang ia menampakkan
pada saudara-saudaranya dan pada masyarakat kecuali kebaikan. Allah telah
memerintahkan hal itu kepada seluruh manusia dalam firmanNya ?وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا? ((serta
ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia)), (QS. 2:83).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
المؤمن يألف ويؤلف ولا خير فيمن لا يألف ولا يؤلف
((Orang mukmin adalah bersahabat dan disahabati dan
tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak bersahabat dan tidak disahabati))[9]
Dan telah shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam sebagaimana dalam shahih Musilm bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda
إن الله جل جلاله يقول يوم القيامة أين المتحابون بجلالي اليوم أظلهم في ظلي يوم لا ظل إلا ظلي
Bahwasaya Allah berfirman pada hari kiamat “Dimanakah
orang-orang yang saling mengasihi dengan keagunganKu, maka pada hari ini aku menaungi
mereka di bawah naunganku pada hari tidak ada naungan kecuali naunganKu” [10]
Firman Allah ((Dimanakah orang-orang yang saling
mengasihi dengan keagunganKu)) yaitu orang-orang yang saling bersaudara yang
didasari oleh kecintaan karena Allah, karena mengharapkan pahala Allah,
bukanlah yang mendekatkan mereka adalah harta benda, bukanlah juga
keturunan, namun yang satu mencintai yang lainnya karena saling mencintai
karena Allah bukan karena kepentingan duniawi tetapi karena Allah. Inilah yang
ditunjukan oleh hadits lain yang disepakati -oleh para ulama- akan
keshahihannya yang terkenal سبعة يظلهم الله في ظله يوم لا ظل إلا ظله ((Tujuh
golongan yang akan Allah naungi di bawah naungan-Nya pada hari tidak ada naungan
kecuali naungan-Nya))[11] dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyebutkan diantara mereka adalah dua orang yang saling mencintai karena Allah
yang mereka berdua saling berkumpul karena kecintaan karena Allah dan demikian
pula saling berpisah karena Allah. Dalil-dalil ini menunjukan akan agungnya
perkara saling mencintai karena Allah dan menunjukan pula akan agungnya
tegaknya persaudaraan karena Allah yang dibangun di atas landasan kecintaan
(karena Allah) yang tersebut dalam dalil-dalil yang banyak dalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah.
Dan jika demikian perkaranya, yaitu jika saling
mencintai karena Allah memiliki keutamaan yang agung maka di sana ada hak-hak
(kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan) diantara orang-orang yang saling
mencintai karena Allah, di sana ada hak-hak persaudaraan antara seorang muslim
yang mencintai muslim yang lainnya, hak bagi seorang muslim yang telah terjalin
antara dia dan sudaranya tali persaudaraan, ikatan persaudaraan atas landasan
keimanan. Allah berfirman
?وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنْ الْمُنكَرِ?[التوبة:71]
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan,
sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh
(mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar. (QS. 9:71)
Para ulama mengatakan bahwa firman Allah { بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ} ((Sebagian
mereka dari sebagian yang lain)) yaitu sebagian mereka menolong sebaian yang
lain, sebagian mereka mengasihi sebagian yang lain, sebagian mereka mencintai
sebagian yang lain dan seterusnya demikan pula pada hak-hak persaudaraan yang
lainnya.
Maka saling berwala (sikap loyalitas diantara kaum
mukminin) merupakan ikatan yang terjalin antara seorang mukmin dengan mukmin
yang lain, antara seorang muslim dengan muslim yang lain, dan hal ini
(loyalitas tersebut) memiliki tingkatan-tingkatan berdasarkan tingkat hubungan
diantara mereka, berdasarkan tingkat kasih sayang antara seseorang dengan
saudaranya, dan hak-hak (persaudaraan) ini banyak macamnya dan kami hanya
menyebutkan sebagian saja.
Hak pertama: Hendaknya seorang mukmin tidak mencintai
saudaranya kecuali karena Allah, bukan karena kepentingan dunia. Ini adalah
bentuk keikhlasan dalam ibadah tersebut (yaitu persahabatan dengan saudaranya).
Hendaknya antara dia dan saudarnya sesama muslim,
antara dia dan sahabatnya, terjalin tali cinta karena Allah, bukan karena
kepentingan dunia. Jika persaudaraan dan persahabatan dilandasi karena Allah
maka persahabatan tersebut akan langgeng. Adapun jika persahabatan karena
kepentingan dunia maka kecintaan dan persahabatan tersebut akan pudar dan
sirna. Bentuk keihklasan dalam tali cinta, bentuk keikhlasan dalam hubungan
persaudaraan, adalah hendaknya seorang hamba mencitai dan bersahabat karena
Allah, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
”Tiga perkara yang jika terdapat pada diri seorang
maka ia akan merasakan manisnya iman: (1) Jika Allah dan Rasul-Nya lebih ia
cintai daripada selain keduanya. (2) Ia mencintai seseorang yang mana tidaklah
ia mencintainya melainkan karena Allah. (3) Ia benci untuk kembali kepada
kekafiran setelah Allah menyelamatkannya dari kekafiran tersebut, sebagaimana
ia benci untuk dilempar ke dalam Neraka”[12]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan
bahwa jika tiga perkara ini terkumpul pada diri seseorang maka ia akan
merasakan manisnya iman. Diantara tiga perkara tersebut adalah tidaklah ia
mencintai seseorang melainkan karena Allah.
Karena itu, perkara yang penting bukanlah sekedar
engkau mencintai saudaramu, tetapi yang penting -dalam ibadah, melaksanakan
perintah Allah ini- hendaknya kecintaanmu kepada sahabat karibmu, kepada
saudaramu, adalah karena Allah bukan karena faktor dunia. Jika engkau mencintai
saudaramu maka hendaknya karena apa yang terdapat dalam hati saudaramu, berupa
tauhid, pengagungan terhadap Allah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, serta amalannya yang sesuai dengan sunnah. Inilah hakekat dari
kecintaan karena Allah, yang merupakan hak ukhuwwah yang pertama.
Maknanya, jika seseorang hendak bergaul dengan orang
lain, atau menjalin hubungan dengan saudaranya, maka tidaklah ia melakukan hal
itu kecuali semata-mata karena Allah. Jika ia bersahabat dengan saudaranya
seiman, lalu ia menampakkan kepada saudaranya bahwa persahabatannya karena
Allah, tetapi ternyata dalam hatinya menyimpan sebagian kepentingan dunia, maka
ia pada hakikatnya telah menipu dan berbuat curang kepada saudaranya tadi.
Sebab, saudaranya tersebut tidak mengetahui isi hatinya dan ia menyangka bahwa
persahabatan mereka karena Allah, padahal tidaklah demikian.
Kecintaan seorang terhadap saudaranya karena Allah
akan membuahkan buah yang manis. Diantaranya ia akan menunaikan hak-hak ukhuwah
(yang akan dijelaskan rinciannya). Karena tidaklah ia bermu’amalah dengan saudaranya
–apa saja bentuk mu’amalah tersebut- kecuali ia dalam keadaan takut pada Allah.
Sebab, tidaklah dia bersahabat kecuali semata-mata karena Allah. Barang siapa
yang tertanam dalam hatinya hakikat ini, kemudian dia menerapkannya -yaitu ia
tidak mencintai seseorang kecuali karena Allah- maka akan tampak buah yang
manis pada tindakan-tindakannya sesuai dengan kadar keikhlasannya. Buah yang
manis itu juga akan tampak pada hak-hak ukhuwwah lainnya -yang akan
dijelaskan-.
Diantara buah yang manis dari hasil persahabatan
karena Allah adalah persahabatan itu akan langgeng. Adapun persahabatan dan
persaudaraan yang tidak didasari karena Allah, maka akan pudar dan sirna. Hal
ini bisa kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Kita bisa melihat relasi
diantara manusia, hubungan mereka dengan saudara mereka yang seiman, hubungan
mereka dengan ulama, dengan penuntut ilmu, dengan sebagian saudara mereka yang
memiliki harta, memiliki perniagaan, atau memiliki kedudukan, atau terpandang,
jika seseorang bersahabat dan bersaudara dengan mereka bukan karena Allah,
namun karena memperoleh kepentingan dunia maka ketika ia sudah memperoleh
kepentingannya akan terputuslah tali persaudaraannya tersebut. Bahkan dia tidak
berterima kasih terhadap saudaranya, tidak menghubunginya lagi, bahkan lebih
dari itu -semoga Allah melindungi kita dari sifat seperti ini-, ia malah
mencela saudaranya tadi dan membeberkan aib-aib saudaranya yang dulu pernah ia
lihat tatkala bersahabat.
Tidak diragukan lagi bahwa hak ini adalah hak
ukhuwwah yang pertama, hendaknya seseorang mengkondisikan dirinya untuk tidak
mencintai seseorang melainkan karena Allah, sehingga membuahkan faidah yang
sangat besar dalam relasinya dengan saudaranya, dalam bermu’amalah, dalam
menjaga hak-hak saudaranya, dan dalam ibadah -yang merupakan perkara paling
agung-.
bersambung…
Yogyakarta, 15 Agustus 2005
Penerjemah : Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
Artikel: www.firanda.com
Catatan Kaki:
[1] Ditrjemahkan dari tulisan yang ditranskrip dari muhadhoroh (ceramah) Syaikh Sholeh Alu Syaikh yang berjudul “huququl ukhuwah”
[1] Ditrjemahkan dari tulisan yang ditranskrip dari muhadhoroh (ceramah) Syaikh Sholeh Alu Syaikh yang berjudul “huququl ukhuwah”
[2] Karena ini beliau sampaikan dalam ceramah beliau
yang waktu ceramah sangatlah terbatas.
[3] Yang datang dari negeri Iraq sebagaimana
disebutkan dalam riwayat tersebut
[4] Tafsir Ibnu Abi Hatim 6/1960 no 10435
[5] المُوَطَّئُوْنَ yaitu dengan
sighoh isim maf’ul diambil dari kalimat التوطئة yang maknanya
membentangkan (merendahkan). Disebut فراش وطيء tempat tidur
yang terbentang jika tidak mengganggu lambung yang tidur di atasnya. Dan
yang dimaksud dengan الأكناف adalah sisi-sisi tubuh seseorang
dan maskud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang-orang yang sisi-sisi
mereka terbentang yang memungkinkan dijadikan sahabat dengan tidak merasa
terganggu, dan ini merupakan balagoh yang sangat baik (Faidul Qodir 3/464-465)
[6] Mushonnaf Abdurrozaq As-Shon’ani 11/144 no 0153,
At-Tobroni dalam Al-Mu’jam As-Shogir 2/89 no 835, Al-Baihaqi dalam Syu’abul
Iman 6/270 no 8118, Syaikh Al-Albani menyatakan bahwa hadits ini
(dengan lafal seperti ini) adalah hasan ligoirihi (Shahih At-Targhib wat tarhib
no 2658).
[7] HR At-Thobroni dalam Al-Mu’jam Al-Awshoth 6/58 no
5787. Berkata Al-Haitsami رواه أحمد والبزار ورجال أحمد رجال الصحيح “Hadits ini diriwayatkan
oleh Ahmad dan Al-Bazzar dan para perowi Ahmad adalah para perowi as-shahih”
(Majma’Az-Zawaid 8/87)
[8] HR Ahmad 5/335 no 22891, Al-Baihaqi dalam Syu’abul
Iman 6/271 no 8120, At-Thobroni dalam Al-Mu’jam Al-Kabir 6/131 no 5744 dan
dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah 1/784 no 425
[9] Lihat As-Shahihah 1/784 no 425
[10] HR Muslim no 2566, dari hadits Abu Hurairah,
kitabul Adab, bab Fadlul hubbi fillah
[11] HR Al-Bukhari 1/234 no 629, Muslim 2/715 no 1031
[12] HR al-Bukhari (16 dan 21), serta Muslim (43).
persaudaraan dan persahabatan yang
khusus? Bagaimana mungkin ia tidak menjaga kehormatan saudaranya itu? Padahal
telah terjalin antara mereka tali persaudaraan khusus yang tidak terjalin untuk
selain mereka. Jika seorang muslim diperintahkan untuk menjaga kehormatan
saudaranya yang jauh darinya, padahal diantara mereka tidak ada ikatan atau
kecintaan yang khusus, maka bagaimana lagi dengan sesama saudaranya yang
diantara mereka terdapat hubungan dan rasa cinta, ada saling-menolong dalam
mengerjakan kebaikan dan ketakwaan, usaha untuk taat kepada Allah dan beribadah
kepada-Nya, memperoleh kebajikan, serta menjauh dari dosa?!
Bentuk-bentuk
menjaga kehormatan dan harga diri saudara seiman (baik yang memiliki tali
ukhuwwah yang khusus maupun yang umum):1. Hendaknya engkau menahan diri untuk tidak menyebutkan kejelekan-kejelekannya. Karena persahabatan atau ukhuwwah yang khusus mengharuskan engkau mengetahui perkara-perkara pribadi yang timbul dari sahabatmu. Misalnya dia mengucapkan suatu perkataan atau melakukan suatu perbuatan (yang kurang baik atau bersifat rahasia tatkala sedang bersamamu). Makna dari ukhuwwah yang khusus adalah engkau amanah terhadap apa-apa yang kau lihat dan kau dengar dari sahabatmu. Jika tidak demikian, maka setiap orang akan menghindar dari orang yang mau berhubungan dengannya. Tidak ada yang namanya sahabat karib, sahabat yang menjaga kehormatan saudaranya, baik dihadapannya maupun dibelakangnya. Ada seseorang yang tatkala melihat bahwa pada zamannya tidak didapatkan seorang sahabat sejati dan kekasih yang menjaga kehormatan saudaranya serta menepati janji-janjinya, mendorongnya untuk menulis sebuah kitab yang dia beri judul:
تَفْضِيْلُ الْكِلاَبِ عَلَى كَثِيْرٍ مِمَّنْ لَبِسَ الثِّيَابِ
Pengutamaan
anjing-anjing atas banyak orang yang memakai pakaian.[2]
Penulis buku tersebut mendapati bahwa seekor
anjing, jika pemiliknya berbuat baik kepadanya maka ia akan menunaikan
tugasnya. Bahkan si anjing rela mengorbankan nyawanya demi membela pemiliknya
yang telah berbuat baik kepadanya. Akhirnya penulis tadi berkata, ”Pengutamaan
anjing-anjing atas banyak orang yang memakai pakaian,” disebabkan banyaknya
orang yang berkhianat. Dia bersahabat dengan saudaranya dengan tali
persahabatan yang khusus, dia mengetahui rahasia-rahasia pribadi saudaranya,
namun tidak lama kemudian dia menyebarkan, membeberkan, dan menyebutkan aib-aib
saudaranya yang terlihat olehnya. Seandainya saudaranya itu mengetahui bahwa ia
akan membeberkan rahasia-rahasia pribadinya, maka ia akan menjadikannya sebagai
musuh, tidak akan menganggapnya sebagai seorang sahabat yang terpercaya dan
menunaikan janji. Oleh karena itu, termasuk hak saudaramu adalah engkau diam,
tidak menyebutkan aib saudaramu kepada orang lain, baik di hadapannya, terlebih
lagi di belakangnya. Sesungguhnya hak seorang muslim atas saudaranya adalah
harga dirinya dijaga, terlebih lagi jika terjalin tali hubungan yang khusus.
2. Engkau tidak bertanya secara detail kepada
saudaramu, tidak mencari tahu, dan turut campur pada permasalahan-permasalahan
yang tidak dia tampakkan kepadamu. Contohnya engkau melihatnya berada di suatu
tempat tertentu, lantas engkau bertanya, “Apa yang menyebabkan engkau datang ke
tempat itu? Apa yang kau bawa? Mengapa engkau pergi ke Fulan? Ada apa antara
engkau dengan Fulan?,” dan pertanyaan-pertanyaan lain yang merupakan bentuk
turut campur pada perkara yang bukan kepentinganmu. Jika sahabatmu ingin agar
engkau turut campur dalam masalahnya tentu ia akan mengabarkannya kepadamu.
Jika dia menyembunyikan hal itu, maka tentu karena ada maslahatnya. Disamping
itu, merupakan kebaikan nilai keislaman seseorang jika ia meninggalkan apa yang
bukan merupakan kepentingannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:“Termasuk kebaikan keislaman seseorang jika ia meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat baginya.”[3].
Jika engkau melihat saudaramu pada suatu keadaan, jika engkau melihatnya pergi ke suatu tempat, maka janganlah engkau bertanya kepadanya tentang keadaannya, janganlah engkau bertanya tempat yang ia tuju, karena tali persaudaraan tidaklah mengharuskan saudaramu memberitahumu tentang segala sesuatu. Sesungguhnya manusia memiliki rahasia-rahasia pribadi sekaligus privasi.
3. Engkau menjaga rahasia-rahasia pribadinya yang ia ceritakan padamu, baik tentang pengamatannya, maupun tentang pendapatnya pada suatu permasalahan. Kalian berbicara tentang seseorang, maka dia pun mengabarkan kepadamu tentang pendapatnya mengenai orang tersebut. Kalian berbicara tentang suatu permasalahan, ia memiliki pendapat tentang permasalahan tersebut, maka ia kabarkan kepadamu karena engkau adalah orang khusus, karena engkau adalah sahabatnya. Terkadang pendapatnya benar dan terkadang juga keliru. Jika engkau adalah sahabat sejatinya, maka tidaklah saudaramu itu mengabarkan kepadamu melainkan untuk dijaga, bukan disebarkan (meskipun dia tidak memintamu untuk merahasiakannya). Karena konsekuensi dari tali persaudaraan yang khusus adalah adanya rahasia diantara mereka. Sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya:
الرَّجُلُ إِذَا حَدَّثَ الرَّجُلَ بِحَدِيْثٍ ثُمَّ الْتَفَتَ عَنْهُ فَهِيَ أَمَانَةٌ
“Jika
seseorang mengabarkan kepada orang lain suatu kabar, kemudian ia berpaling dari
orang yang dikabari tersebut[4] maka kabar itu adalah amanah (atas orang yang
dikabari)”[5].
Hal ini merupakan amanah, dan Allah
memerintahkan kita untuk menjaga amanah serta menjaga kehormatan. Sebab, jika
engkau menceritakan pendapatnya, maka orang-orang akan merendahkannya. Engkau
melihat pendapatnya yang aneh, lalu engkau ceritakan kepada orang-orang, “Fulan
talah berpendapat seperti ini; Fulan telah berkata tentang si Fulan begini dan
begitu.” Kalau begitu, apa artinya persaudaraan?! Apa makna persaudaraan jika
engkau menyebarkan darinya apa yang dia tidak sukai untuk disebarkan?!
Dan yang lebih parah dari ini, seseorang datang
kepada saudaranya, yang diantara mereka terjalin tali persaudaraan yang khusus,
lalu dia meminta saudaranya untuk merahasiakan apa yang akan dia ceritakan. Dia
berkata, “Pembicaraan kita ini khusus, hanya engkau yang tahu jangan kau
beritahu siapapun juga!” Namun kemudian saudaranya mengabarkannya kepada orang
ketiga, sambil berkata: “Pembicaraan ini khusus antara kita, jangan kau
beritahukan kepada siapapun.” Akhirnya kabar tersebut pun tersebar di
masyarakat dan orang yang pertama tidak mengetahui hal ini.Sebagaimana dikatakan oleh penyair,
وَكُلُّ سِرِّ جَاوَزَ الإِثْنَيْنِ فَإِنَّهُ بِنَفْسٍ وَتَكْسِيْرِ الْحَدِيْثِ قَمِيْنُ
Setiap
rahasia yang diketahui lebih dari dua orang maka lebih baik disimpan di hati
dan tidak usah diceritakan[6]
Ini merupakan realita. Jika seseorang
memilih orang lain untuk menjadi sahabat atau saudaranya, lalu ia menceritakan
rahasianya kepadanya, maka harus disembunyikan (tidak diceritakan kepada orang
ketiga). Terlebih lagi jika dia memang meminta hal itu. Jika dia tidak
memintanya, maka keadaannya adalah sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam:
الرَّجُلُ إِذَا حَدَّثَ الرَّجُلَ بِحَدِيْثٍ ثُمَّ الْتَفَتَ عَنْهُ فَهِيَ أَمَانَة
“Seseorang
jika mengabarkan orang lain suatu kabar kemudian ia berpaling dari orang yang
dikabari tersebut maka kabar itu adalah amanah (atas orang yang dikabari).”
Bagaimana lagi jika dia meminta
sahabatnya untuk merahasiakannya dan tidak mengizinkannya untuk menceritakannya
kepada orang lain?![7].
Diantara bentuk hak yang ketiga ini adalah seorang
muslim hendaknya menahan diri dari menyebutkan aib yang dilihatnya pada
saudaranya, keluarga saudaranya, karib kerabatnya, atau pada aib yang dia
dengar dari saudaranya itu. Misalnya seseorang menelepon saudaranya –dan
saudaranya ini tinggal bersama keluarganya atau tinggal sendirian- lalu ia
mendengar dari rumah saudaranya itu sesuatu yang tidak diridhai, kemudian dia
berkata kepada orang-orang, “Saya mendengar ini dan itu dirumah si fulan.” Atau
ia melihatnya dalam keadaan yang tidak baik, kemudian ia kabarkan aib-aib
tersebut. Ini bukanlah termasuk menjaga kehormatan saudara sesama muslim.
Bahkan ini termasuk menodai kehormatan saudara.Wajib bagimu untuk menjaga kehormatan saudaramu jika engkau mendengar sesuatu yang jelek tentang dirinya atau engkau melihatnya dalam keadaan yang tidak terpuji, atau ia mengucapkan perkataan yang tidak baik, atau yang semisalnya. Menjaga kehormatannya hukumnya wajib. Bukan justru engkau korbankan kehormatannya dan menyebarkannya. Sebaliknya, engkau diperintahkan untuk menjaga kehormatan dan harga dirinya. “Seorang muslim atas muslim yang lain diharamkan darahnya, hartanya, dan kehormatannya”.
Mengenai pembahasan nasehat antar saudara seiman maka akan ada penjelasannya tersendiri.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
لا تَحَسَّسُوا وَلاَ تَجَسَّسُوا وَلاَ تَقَاطَعُوا وَلاَ تَدَابَرُوا وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهِ إِخِوَانًا
“Janganlah
kalian ber-tahassus, jangan ber-tajassus, jangan saling memutuskan hubungan,
dan jangan saling bertolak belakang. Jadilah kalian saling bersaudara wahai
hamba-hamba Allah.”[8]
Hadits ini mengandung dua kalimat.
Yaitu sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hadits yang
disepakati keshahihannya ini:
لا تَحَسَّسُوا وَلاَ تَجَسَّسُوا
“Janganlah
kalian saling ber-tahassus dan jangan saling ber-tajassus.”
Perbedaan antara tahassus dan tajassus, menurut sebagian ulama –ada khilaf dalam masalah
ini[9]-, tajassus (adalah mencari-cari kejelekan orang) dengan menggunakan
indra penglihatan, sedangkan tahassus dengan (mendengar) kabar berita. Dalilnya
adalah firman Allah:
يا بنيَّ اذْهَبُوا فَتَحَسٍّسُوا مِنْ يُوْسُفَ وَ أَخِيْهِ وَلاَتَيْئَسُوا مِنْ رَوْحِ اللهِ
“Wahai
anak-anakku pergilah kalian dan carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan
janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah.” (Yusuf: 87)
Firman Allah:
فَتَحَسٍّسُوا مِنْ يُوْسُفَ وَ أَخِيْهِ
“carilah berita tentang Yusuf dan
saudaranya”, diambil dari kalimat tahassus, yaitu mencari berita.
Adapun tajassus, maka Allah melarangnya
dalam firman-Nya:
وَلاَ تَجَسَّسُوا وَلاَ يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا
“Janganlah
kalian mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kalian
menggunjing sebahagian yang lain” (Yusuf: 87)
Tajassus
adalah mencari-cari kesalahan orang
lain dengan menggunakan mata. Dimulai dengan melihat saudaramu, lalu engkau
mengamati gerak-geriknya. Engkau melihatnya berjalan di suatu jalan, kemudian
engkau mengikutinya hingga engkau tahu aibnya. Janganlah kau lakukan hal ini.
Pujilah Allah karena engkau tidaklah melihat dari saudaramu kecuali kebaikan-kebaikannya.
Begitu juga dengan tahassus. Janganlah engkau
bertanya-tanya tentang aib saudaramu, padahal ia termasuk saudara-saudaramu
seiman dan para sahabatmu yang sejati. Terjalin antara engkau dengan mereka
tali kasih sayang. Terjalin antara engkau dengan mereka tali persahabatan.
Janganlah engkau ber-tahassus dan janganlah engkau ber-tajassus terhadapnya.
Seorang muslim dilarang melakukan hal itu terhadap saudara-saudaranya sesama
kaum muslimin secara umum, bagaimana lagi dengan orang-orang yang terjalin
antara engkau dengan mereka tali ukhuwwah yang khusus.“Janganlah bertahassus,” yaitu janganlah mencari-cari berita saudaramu (untuk mencari-cari kesalahannya), dan “janganlah bertajassus,” yaitu janganlah engkau mengamati apa yang dilakukannya, karena sesungguhnya hal ini terlarang dan termasuk perkara yang diharamkan oleh Allah.
bersambung ….
Yogyakarta, 15 Agustus 2005
Penerjemah : Abu Abdilmuhsin Firanda
Andirja
Catatan
kaki:
[1] HR al-Bukhari (1742) dan (6043).
[2] Penulis tersebut bernama Abu Bakr Muhammad bin
Khalaf bin al-Marzaban. Beliau meninggal tahun 309 H. Lihat al-Bidayah wan
Nihaayah (XI/314) dan al-Waafi bil Wafayaat (III/37).Risalah ini sudah dicetak dengan tahqiq Ibrahim Yusuf, diterbitkan oleh Daarul Kutub al-Mishriyah, terdiri dari 39 halaman. Penulis berkata di awal risalahnya:
“Aku menyebutkan (kepadamu) –semoga Allah memuliakanmu- tentang zaman kita dan rusaknya hubungan kasih sayang antara orang-orang di zaman ini. Akhlak mereka rusak dan tabiat mereka tercela. Orang yang paling jauh perjalanannya adalah orang yang mencari sahabat yang baik. Barangsiapa berusaha mencari seorang sahabat yang bisa dipercaya untuk tidak menceritakan aibnya dan persahabatan yang langgeng, maka ia seperti seorang yang sedang tersesat di sebuah jalan yang membingungkan, semakin ia ikuti jalan tersebut, maka ia semakin jauh dari tujuan. Kenyataannya sebagaimana yang aku paparkan. Diriwayatkan dari Abu Dzarr al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia berkata, “Dahulu manusia seperti dedaunan yang tidak ada durinya, tetapi kemudian mereka menjadi duri-duri yang tidak ada daunnya.” Sebagian mereka berkata, “Dahulu kami khawatir para sahabat kami ditimpa kebanyakan janji dan terlalu sering minta maaf (karena menyelisihi janji). Kami khawatir mereka mencampurkan janji-janji mereka dengan kedustaan dan mencampurkan permintaan maaf mereka dengan sedikit kedustaan. Namun, sekarang orang yang beralasan dengan kebaikan telah pergi dan orang yang minta maaf karena berbuat dosa telah meninggal… (maksudnya, jika orang-orang sekarang menyelisihi janji atau berbuat salah mereka cuek dan tidak minta maaf).” Fadhlul Kilab, hal 5-6.
Beliau juga berkata, “Ketahuilah –semoga Allah memuliakanmu- bahwa anjing lebih sayang kepada pemiliknya dibandingkan sayangnya seorang ayah kepada anaknya dan seorang sahabat kepada sahabatnya yang lain. Hal ini karena anjing menjaga tuannya sekaligus apa-apa yang dimiliki oleh tuannya, baik tuannya ada maupun tidak ada, tidur maupun terjaga. Si anjing tetap menjalankan tugas dengan baik, meskipun tuannya bersikap kasar kepadanya. Ia tidak akan merendahkan tuannya meskipun tuannya merendahkannya. Diriwayatkan kepada kami bahwa ada seseorang berkata kepada salah seorang yang bijak, “Berilah wasiat kepadaku!” Orang bijak itu berkata, “Zuhudlah engkau di dunia dan janganlah engkau berdebat dengan penduduk dunia. Berbuat baiklah karena Allah, sebagaimana anjing yang berbuat baik kepada tuannya. Pemilik anjing membuat anjing itu lapar dan memukulnya, namun ia tetap menjalankan tugasnya.” ‘Umar pernah melihat seorang arab badui yang membawa seekor anjing. Maka ‘Umar pun berkata kepadanya, “Apa yang bersamamu?” Orang arab badui menjawab, “Wahai Amirul mukminin, sebaik-baik sahabat adalah yang jika engkau memberinya maka ia berterimakasih, dan jika engkau tidak memberinya maka ia bersabar.” Maka ‘Umar berkata, “Itulah sahabat yang terbaik, maka jagalah sahabatmu.” Ibnu ‘Umar pernah melihat seorang arab badui dengan seekor anjing, maka ia berkata kepadanya, “Apa yang bersamamu?” Orang arab badui itu menjawab, “Ini adalah yang berterimakasih kepadaku dan menyembunyikan rahasiaku.” Fadhlul Kilab, hal 12.
[3] HR At-Tirmidzi (2317) dan Ibnu Majah (3976). Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani.
[4] Ada dua pendapat ulama tentang makna berpaling dalam hadits ini. Pertama, makna berpaling yaitu si penyampai kabar tatkala hendak menyampaikan kabarnya menengok ke kanan dan ke kiri karena kahwatir ada yang mendengar. Sikapnya memandang ke kanan dan ke kiri menunjukkan bahwa dia takut kalau ada orang lain yang ikut mendengar pembicaraannya, dan dia mengkhususkan kabar ini hanya kepada yang akan disampaikan kabar tersebut. Seakan-akan dengan sikapnya itu ia berkata kepada orang yang diajak bicara, “Rahasiakanlah kabar ini!” Pandapat yang kedua, makna berpaling adalah, setelah menyampaikan kabar dia berpaling dari yang disampaikan kabar (pergi meninggalkannya). Pendapat pertama dikuatkan oleh Syamsul Haqq al-‘Azhim Abadi. Dari penjelasan Syaikh Shalih Alu Syaikh, sepertinya beliau lebih condong kepada pendapat yang kedua.
Lihat Tuhfatul Ahwadzi (VI/81) dan ‘Aunul Ma’bud (XIII/178)
[5] HR At-Tirmidzi (1959) dan Abu Dawud (4868). Hadits ini dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam as-Shahiihah (1090).
[6] Maksudnya, jika rahasia sudah diketahui oleh lebih dari dua orang, maka itu bukan rahasia lagi. Sebab, jika orang kedua mengabarkan rahasia tersebut kepada orang ketiga, biasanya rahasia tersebut akan segera diketahui oleh lebih banyak lagi karena orang ketiga pun akan membeberkannya kepada orang keempat, dan seterusnya, sehingga lama-lama menjadi rahasia umum.
[7] Menjaga rahasia bukanlah perkara yang mudah, padahal dia merupakan amanah. Syaitan akan datang menggelitik hatinya agar membeberkan rahasia saudaranya tersebut. Hanya orang mulia yang bisa menjaga rahasia saudaranya. Berkata sebagian orang bijak:
قٌلٌوْبُ الأَحْرَارِ قُبُوْرُ الأَسْرَارِ
“Hati-hati orang yang mulia merupakan kuburan bagi
rahasia-rahasia.”Dikisahkan bahwa ada seseorang menyampaikan sebuah rahasia kepada sahabatnya. Seusai selesai mengabarkannya, dia bertanya, “Sudah engkau hafalkan?”
Sahabatnya menjawab, “Tidak, bahkan saya telah melupakannya.”
Tatkala orang ini lupa, berarti rahasia tersebut terkubur dan tidak bakal keluar dari dalam hatinya.
Yang lebih menyedihkan, tatkala timbul perselisihan antara dua orang yang dulunya bersahabat, maka masing-masing mengungkapkan rahasia temannya yang buruk demi menjatuhkannya. Dikatakan dalam syair,
ليس الكريم الذي إن زلّ صاحبُه بثّ الذي كان مِنْ أسراره عَلِمَا
إن الكريم الذي تبقى مودته ويحفظ السِّرَّ إن صافى وإن صَرمَا
Bukanlah orang yang mulia yang jika bersalah
sahabatnya,diapun menyebarkan rahasia sahabatnya yang dulu dia ketahui.
Sesungguhnya orang yang mulia adalah yang tetap cinta kepada sahabatnya,
tetap menjaga rahasia pribadinya, tatkala bersahabat ataupun tidak
Lihat Adabul ‘Isyrah, hal 33.
[8] HR Al-Bukhari no 6064, 6066
[9] Lihat Fat-hul Baari (X/592) dan Tafsir Ibn Katsir, Surat al-Hujuraat: 12.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar