Mengkonsumsi
makanan yang halal lagi baik akan memberikan pengaruh yang signifikan dalam
proses pembersihan jiwa, terkabulnya do’a dan diterimanya amal ibadah.
Sebaliknya, mengkonsumsi makanan yang haram, akan menghalangi terkabulnya doa
dan diterimanya ibadah. Allah berfirman tentang orang-orang Yahudi.
أُوْلاَئِكَ الَّذِينَ لَمْ يُرِدِ اللهُ أَن يُطَهِّرَ قُلُوبَهُمْ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْيُُ وَلَهُمْ فِي اْلأَخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمُُ {41} سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ
“Mereka
itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak menyucikan hati mereka. Mereka
beroleh kehinaan di dunia dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.
Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong dan banyak
memakan makanan yang haram” [Al-Maidah ; 41-42]
As-Suhtu
maksudnya adalah makanan yang haram. Barangsiapa yang keadaannya demikian,
bagaimana mungkin Allah membersihkan hatinya dan mengabulkan permohonannya ?
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “ Sesungguhnya Allah Maha Baik, tidak
menerima kecuali hal yang baik. Dan sesungguhnya Allah memerintahkan kaum
mukminin dengan perintah yang diarahkan kepada para rasulNya. Allah Ta’ala
berfirman.
يَآأَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا
“Hai
para rasul, makanlah dari makanan yang baik dan kerjakanlah amalan yang shalih”
[Al-Mukminun : 51]
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُلُوا مِن طَيِّبَاتِ مَارَزَقْنَاكُمْ
“Hai
orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami
berikan kepadamu” [Al-Baqarah : 172]
Sesudah
itu, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan keadaan seseorang yang
sedang dalam perjalanan jauh. Orang tersebut rambutnya kusut, tubuhnya penuh
debu, menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya memanjatkan (permohonan
do’a) : ‘Wahai, Rabb-ku, wahai Rabb-ku”, namun makanannya haram, minumannya
haram dan pakaiannya haram. Dia tumbuh dengan makanan yang haram, bagaimana
mungkin dikabulkan ?[1]
Makanan
yang halal maupun yang haram, tidak hanya berpengaruh pada hati individu dan
perangainya saja, yang berpotensi memperbaiki atau menyimpangkannya, tetapi
efek negatif tersebut juga merambah mempengaruhi masyarakat. Sebab sebuah
komunitas terdiri dari sekelompok individu.
Masyarakat
yang di dominasi dengan kejujuran dalam bermua’malah, mengkonsumsi makanan yang
diperbolehkan, ia akan tumbuh menjadi sebuah komunitas yang bersih, teladan dan
saling menolong lagi kokoh.
Sebaliknya,
masyarakat yang terkungkung oleh praktek risywah (suap), tipu menipu dan
tersebarnya makanan yang haram, akan menjadi komunitas yang ternoda, tercerai
berai, indiviudalis, tak mengenal kerjasama saling menolong, hina di mata
masyarakat lain, (juga sebagai) ladang subur bagi perkembangan sifat-sifat
buruk. Pada gilirannya, akan menyeret masyarakat tersebut pada kondisi yang
lemah, tidak lama kemudian akan sirna oleh arus yang kecil sekalipun.
Pasalnya,
makanan-makanan yang buruk tersebut bisa merusak tabiat manusia, “Allah
mengharamkan makanan-makanan yang buruk lantaran mengandung unsur yang dapat
menimbulkan kerusakan, baik pada akal, akhlak ataupun aspek lainnya. Keganjilan
prilaku akan nampak pada orang-orang yang menghalalkan makanan dan minuman yang
haram tersebut, sesuai dengan kadar kerusakan yang terkandung (dalam makanan
tersebut). Seandainya, mereka tidak mencari-cari alasan takwil (sebagai
pembenaran), niscaya sudah pantas untuk ditimpa siksa (dari Allah)” [2]
[Dikutip
dari kitab Al-Ath’imah, Syaikh Al-Fauzan, hal. 18-19, Maktabah Al-Ma’arif,
Riyadh Cet. II, Th 1419/1999]
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun X/1427H/2006M Diterbitkan Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183
Telp. 08121533647, 08157579296]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar