Pada suatu hari, saat Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam dan para
shahabatnya sedang berada di masjid, tiba-tiba datang seorang Arab Gunung
(Badui) kencing pada salah satu bagian masjid. Melihat kelakuan badui ini para
sahabat marah, bahkan ada sebagiannya yang hendak menarik dan menghajarnya.
“Mah! Mah!”, kata para sahabat menghardik si Badui agar tidak
kencing di sana, namun tidaklah demikian dengan Rasulullah. Beliau melarang
para sahabatnya berbuat kasar kepada si Badui ini. “Biarkan! Biarkan!” kata
Nabi. Setelah ‘buang hajat’nya selesai, dipanggilah orang itu. Dengan lemah
lembut Nabi katakan kepadanya: “Ini adalah Masjid, bukan tempat kencing dan
buang kotoran. Sesungguhnya tempat ini untuk dzikrullah, shalat dan membaca al
Quran”. Nabi kemudian menyuruh seseorang untuk menuangkan air pada bekas
kencing orang tersebut.
Apa reaksi Arab Gunung menyaksikan kelembutan Nabi terhadap
dirinya, berbeda dengan para sahabat yang tampak begitu geram, dia kagum dan
berdo’a: “Ya Allah rahmatilah aku dan Muhamad dan jangan rahmati seorang pun
selain kami berdua”.
Dasar memang Badui! Kemudian Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam
mengingatkan orang ini dengan kelembutan. “Kenapa engkau menyempitkan sesuatu
yang luas? Bukankah rahmat Allah itu luas?”. Demikianlah Imam Bukhari dan
Muslim menukilkan peristiwa itu dari Sahabat Anas bin Malik.
Pada peristiwa lain disebutkan dalam suatu riwayat dari Muawiyah
bin al-Hakam as-Sulami, “Aku dan para shahabat sholat bersama Rasulullah.
Tiba-tiba ada seseorang dari jamaah yang bersin. Lantas kukatakan:
“Yarhamukallah!” Maka kudapati semua mata mengarahkan pandangannya padaku.
Kukatakan: ”Ada apa dengan kalian ini”? Ketika mereka melihatku berbicara dalam
sholat, mereka memukulkan tangannya pada paha-paha merekapun (sebagai isyarat
untuk diam). Tatkala mereka tampak diam tanpa bicara, maka aku pun diam.
Setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam selesai shalat,
maka kudapati tak ada seorang pengajarpun yang lebih baik daripada beliau. Ayah
ibuku sebagai jaminan, beliau tidak menghardik, memukul atau mencelaku. Bahkan
dengan sabar beliau katakan: “Kita sedang shalat, padanya tidak boleh ada
perkataan manusia. Sesungguhnya dalam sholat hanyalah untuk bertasbih,
bertakbir dan bacaan al-Qur’an”.(Diriwayatkan oleh Muslim dalam shahihnya).
Kesabaran dan kelembutan adalah salah satu dari sekian akhlaq
mulia Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam, bahkan terhadap mereka yang
pernah menyakiti dirinya sekalipun. Seperti terjadi pada kisah datangnya
Malakul Jibal (malaikat penjaga gunung uhud) kepada beliau –sekembali beliau
dari Thoif yang penduduknya menolak dakwah beliau, mencacinya bahkan
menyakitinya. Malakul Jibal mengatakan: “Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah
telah mendengar ucapan mereka terhadapmu, dan aku adalah Malakul Jibal yang
diutus Allah kepadamu untuk mentaati segala apa yang engkau perintahkan. Apa
yang engkau kehendaki? Jika engkau mau, niscaya akan kuratakan negeri mereka
dengan tanah”. Apa jawaban Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam :
بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ مِنْ أَصْلاَبِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ وَحْدَهُ لاَ يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا.
Tidak, bahkan aku berharap dari keturunan mereka akan muncul
orang yang beribadah kepada Allah yang tidak menyekutukannya.
Dalam riwayat lain beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam berdoa:
رَبِّ اغْفِرْ لِقَوْمِي فَإِنَّهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ. ]متفق عليه[
Ya Allah berikan petunjuk kepada kaumku, karena mereka
orang-orang yang tidak megerti. (HR. Bukhari Muslim)Demikianlah apa yang kita
dapati dari pribadi beliau dalam berdakwah, penuh kelembutan yang memang
demikianlah hukum asal dalam berdakwah. Sebagaimana dikatakan oleh Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wassalam :
إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُوْنُ فِي شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يَنْزِعُ مِنْ شَيْءٍ إِلاَّ شَانَهُ. (رواه مسلم)
Tidaklah ada kelembutan pada sesuatu, kecuali ia akan
mengindahkannya. Dan tidaklah tercabut dari sesuatu, kecuali akan
menjelekkannya. (HR. Muslim)
Dalam lafadz yang lain beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam
bersabda:
مَنْ يُحْرَمُ الرِّفْقُ يُحْرَمُ الْخَيْرُ. (رواه مسلم)
Barangsiapa yang terhalang berbuat kelembutan, maka akan
terhalang dari kebaikan. (HR. Muslim)
Sikap lemah-lembut ini pula yang menuai pujian Allah terhadap
diri beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam, sebagaimana Allah katakan dalan
firman-Nya:
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ. [القلم: 4]
Dan sesungguhnya engkau memiliki akhlaq mulia.(al-Qalam: 4)
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ…. ]ال عمران: 159[
Dikarenakan rahmat Allah-lah engkau berlemah lembut. Sekiranya
engkau berhati keras niscaya mereka akan lari dari sekitarmu. Maafkanlah mereka
dan mintakan ampun untuk mereka…. (Ali Imran: 159)
Sungguhpun demikian, bukan berarti tidak pernah dicontohkan
sikap keras dan marah oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam. Terkadang
beliau pun bersikap tegas bahkan keras.
Pada dasarnya memang begitu, seorang penyeru atau da’i bagaikan
dokter menghadapi pasiennya. Adakalanya ia memberikan obat dengan dosis rendah.
Namun jika pada saat tertentu, ia akan memberikan obat dengan dosis tinggi atau
bahkan mengantarkannya ke meja operasi atau amputasi. Inilah yang dinamakan
hikmah yang bermakna, tepat dalam menempatkan sesuatu pada tempatnya, baik
dalam ucapan maupun perbuatan. Kapan ia harus bersikap lembut dan kapan harus
bersikap keras.
Terkadang, seseorang itu perlu disikapi dengan lemah lembut
karena ia orang awam, belum mengerti tetang hukum dan aturan agama seperti si
badui tadi, atau mungkin baru memeluk agama ini seperti Mu’awiyah bin Hakam
dalam kisah di atas. Adakalanya sikap tegas dan keras diperlukan untuk
menasihati seseorang yang pada dasarnya memiliki keikhlasan dalam beragama
namun berbuat sesuatu yang tidak pantas ia kerjakan. Atau mereka yang terlelap
dalam kelalaian yang dalam dirinya masih terselip kecenderungan untuk berbuat
baik dan gelisah dengan kemungkaran dan kemaksiatan atau buat mereka yang
hatinya tengah sakit sehingga dibutuhkan ‘shock terapi’ sebagai pelecut
semangat dalam mengikuti kebenaran.
Kita perhatikan beberapa riwayat berikut ini yang menunjukan
sikap diameteral dengan kisah-kisah tersebut di atas.
Dikisahkan dari Jabir Radiyallahu ‘anhu bahwa Mu’adz bin Jabal
shalat Isya bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam. Setelah itu ia
pulang ke kaumnya dan mengimami sholat di sana. Ia pada rakaat pertama membaca
surat al-Baqarah. Kemudian seseorang keluar dari shalat tersebut dan
melanjutkan shalat sendirian. Orang-orangpun berkata: “Engkau munafik”? Ia
menjawab: “Tidak! Demi Allah, aku akan adukan kepada Rasulullah.” Mereka datang
dan mengadukannya kepada Nabi. Berkata si pemuda: “Ya Rasulullah, kami adalah
orang yang bekerja seharian, sesungguhnya Mu’adz shalat isya bersama engkau,
setelah itu ia mengimami kami dan membaca surat al-Baqarah –padahal kami
membutuhkan waktu istirahat”. Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam kemudian
berpaling kepada Mu’adz seraya berkata:
يَا مُعَاذُ أَفَتَّانٌ أَنْتَ؟ اقْرَأْ بِكَذَا وَاقْرَأْ بِكَذَا. ]متفق عليه[
Ya Mu’adz, apakah kamu mau jadi tukang fitnah?! (Jika engkau
mengimami) bacalah ini dan itu! (HR Bukhari dan Muslim)
Imam Muslim juga telah mengeluarkan dalam shahihnya, bahwa Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wassalam melihat seseorang mengenakan cincin dari emas di
jarinya. Maka beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam mencabut dan melemparkannya
seraya bersabda:
Sungguh salah seorang di antara kalian dengan sengaja
melingkarkan api neraka di tangannya! Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wassalam pergi, dikatakan pada orang tadi. “Ambil cincinmu kembali, siapa tahu
ia berguna.” Maka dijawabnya: “Tidak, demi Allah aku tidak akan mengambil
cincin yang telah dilemparkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam
selamanya”.
Dua peristiwa di atas merupakan teguran keras dari Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wassalam. Apalagi bagi seorang Mu’adz bin Jabal yang dikenal
mempunyai banyak keutamaan dan merupakan kepercayaan Rasulullah. Sehingga ucapan
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam yang keras itu demikian menghunjam dalam
sanubarinya, dan kemudian membawanya pada sebuah kesadaran atas kekeliruan yang
ia perbuat. Muadz, memang telah memberikan persaksian bagi kita bahwa beliau
memang ikhlas dalam beramal yang mengantarkannya pada posisi diridhoi Allah.
Demikian halnya laki-laki bercincin emas tadi. Teguran Nabi
dibarengi dengan menarik dan membuang cincin yang dikenakannya adalah sebuah
tamparan keras akan kelalaiannya. Bukannya mereka kemudian lari dan menjauh
dari kebenaran yang sampai kepadanya, yang ada justru semakin mengokohkan
keimanannya kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam dengan tidak
menghiraukan perhiasan yang memiliki nilai dalam pandangan manusia yang
berorientasi terhadap dunia.
Ketegasan sikap Nabi ini diikuti pula oleh para sahabatnya yang
mulia. Sahabat Nabi adalah model masyarakat yang paling ideal dan sempurna
dalam mengaplikasikan risalah yang yang dibawa Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam
saat itu. Mereka hidup bersama Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam, mereka
menyaksikan wahyu yang diturunkan sekaligus mengerti apa yang dimaukan Rabbnya
karena mendapat bimbingan langsung dari al-Khalil Muhammad Shalallahu ‘alaihi
wassalam. Oleh karenanya, kepada merekalah firman Allah tujukan:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ. ]ال عمران: 110[
Kalian adalah umat yang terbaik. (Ali Imran: 110)
Dengan demikian jika ingin menjadi yang terbaik kita tinggal
mengikuti dan mencontoh mereka. Dan kepada mereka pula Allah telah memberikan
garansi keridhaan sebagaimana firman-Nya:
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ... ]التوبة: 100[
Orang-orang yang pertama kali masuk Islam dari kalangan
Muhajirin dan Anshor dan yang mengikuti mereka dengan baik Allah ridho kepada
mereka dan merekapun ridha kepada Allah…(at-Taubah: 100)
Kita lihat pensikapan generasi terbaik dalam menjalankan dan
menjaga kebenaran terhadap mereka yang memang harus disikapi dengan tegas.
Adalah Abdullah bin Mughaffal ketika melihat seseorang melempar (musuh dengan
batu dalam suatu peperangan), ia berkata:
لاَ تَخْذِفْ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَكْرَهُ أَوْ قَالَ يَنْهَى عَنِ الْخَذْفِ فَإِنَّهُ لاَ يُصْطَادُ بِهِ الصَّيْدُ وَلاَ يُنْكَأُ بِهِ الْعَدُوُّ وَلَكِنَّهُ يَكْسِرُ السِّنَّ وَيَفْقَأُ الْعَيْن.
Jangan melempar, karena Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam
membenci atau melarang melempar. Karena dengannya tidak dapat membinasakan
musuh dan mengalahkannya. Ia hanya bisa merontokkan gigi dan membutakan mata.
Kemudian Abdullah bin Mughoffal setelah itu masih melihat orang
tadi melempar. Maka ia katakan kepadanya. “Aku menyampaikan hadits kepadamu
tentang larangan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam melempar dan tidak
menyukainya tapi engkau terus melakukan itu, Aku tidak mau berbicara denganmu
selamanya!” ((HR. Bukhari-Muslim)
Imam Muslim juga meriwayatkan dari Abdullah bin Umar bin
Khathab, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Jika
perempuan-perempuan kalian meminta izin untuk pergi ke masjid janganlah kalian
melarangnya” Berkata Bilal bin Abdullah bin Umar bin Khattab: “Demi Allah, aku
akan melarang mereka” Berkata (perawi): “Ibnu Umar kemudian mencelanya dengan
celaan yang jelek yang tidak pernah didengarnya celaan seperti itu. Kata Ibnu
Umar: “Aku kabarkan kepadamu dari Rasulullah lantas kau katakan, Demi Allah aku
akan melarangnya”. Maka diriwayatkan, hingga wafatnya, Ibnu Umar tidak mau
berbicara dengan anaknya, Bilal.
Sikap tegas sebagai bagian dari hikmah dalam mensikapi mereka
yang lalai, atau menentang prinsip agama adalah buah dari proses tarbiyyah yang
dibimbing Allah dan Rasul-Nya. Bahkan Allah membuat celaan-celaan yang vulgar
seperti, “Mereka adalah binatang ternak” saat memberi julukan kepada orang yang
tidak menggunakan mata, telinga dan hati untuk menerima kebenaran. (Lihat surat
Al-A’raaf ayat 179). Atau Allah katakan “Keledai” kepada pembawa Taurat yang
tidak memahami isinya (Surat Al-Jum’at: 5). Bahkan terhadap orang-orang kafir
dan munafik Allah memerintahkan untuk bersikap keras dan melakukannya adalah
Jihad.
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ.... ]التحريم: 9[
Wahai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan munafik itu dan
bersikap keraslah terhadap mereka. (at- Tahrim:9)
Sikap itu bukan muncul dari istiadat dan budaya yang sering disalahpahami
banyak orang. Sekeras apapun orangnya jika memang agama ini mengharuskan ia
berlaku lembut maka ia pun lembut. Sebaliknya, tipikal lembut pada seseorang
tidak menghalanginya untuk berbuat tegas bahkan keras, melebihi orang yang
keras sekalipun jika agama ini memerintahkannya. Kesemuanya itu muncul pada
kehidupan para sahabat Nabi, semasa hidup atau sepeninggal beliau Shalallahu
‘alaihi wassalam.
Menolak bersikap tegas terhadap orang yang harus disikapi tegas
sama artinya dengan menolak petunjuk yang datangnya dari Allah dan RasulNya
serta amalan generasi terbaik umat ini. Maka para Ulama ahlus sunnah sejak
zaman salaf sampai hari ini sepakat untuk bersikap keras dan tegas kepada para
munafikin dan ahlul bid’ah.
Yang menyedihkan adalah ketika mereka yang menamakan diri
Komunitas Bening Hati atau para pengusung dakwah sejuk menganggap dakwah
seperti itu sebagai dakwah yang keras, pemecah-belah umat, picik, tidak mau
menerima perbedaan pendapat, selalu merasa diri yang paling benar, tukang cela,
suka mendholimi sesama muslim, akan dijauhi umat dan seabreg tudingan lainnya.
Jawaban yang memuaskan atas kebimbangan dan kebingungan dari
berbagai syubhat yang menerpa umat ini di antaranya datang dari Ulama besar,
Imam Ahlus Sunnah Ahmad bin Hambal:
إِذَا سَكَتَ أَنْتَ وَسَكَتُّ أَنَا فَمَنْ يُعَرِّفُ الْجَاهِلُ الصَّحِيْحُ مِنَ السَّقِيْمِ؟
Jika engkau diam dan aku diam (tidk mau membicarakan kejelekan
para rawi, pen), maka bagaimana seorang yang bodoh dapat mengetahui hadits
shahih dari yang dha’if?. (lihat Irsyadul Bariyyah, hal. 103)
(Dikutip dari Bulletin Dakwah Manhaj Salaf Edisi: 15/Th. I
tanggal 1 Dulhijjah 1424 H/23 Januari 2004 M, penulis Abu Zaky bin Mukhtar,
judul asli “Hikmah dalam berdakwah”)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar