kategori-akhlak

Kamis, 12 Desember 2013

Sikap Hikmah dalam Berdakwah



Pada suatu hari, saat Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam dan para shahabatnya sedang berada di masjid, tiba-tiba datang seorang Arab Gunung (Badui) kencing pada salah satu bagian masjid. Melihat kelakuan badui ini para sahabat marah, bahkan ada sebagiannya yang hendak menarik dan menghajarnya.
“Mah! Mah!”, kata para sahabat menghardik si Badui agar tidak kencing di sana, namun tidaklah demikian dengan Rasulullah. Beliau melarang para sahabatnya berbuat kasar kepada si Badui ini. “Biarkan! Biarkan!” kata Nabi. Setelah ‘buang hajat’nya selesai, dipanggilah orang itu. Dengan lemah lembut Nabi katakan kepadanya: “Ini adalah Masjid, bukan tempat kencing dan buang kotoran. Sesungguhnya tempat ini untuk dzikrullah, shalat dan membaca al Quran”. Nabi kemudian menyuruh seseorang untuk menuangkan air pada bekas kencing orang tersebut.
Apa reaksi Arab Gunung menyaksikan kelembutan Nabi terhadap dirinya, berbeda dengan para sahabat yang tampak begitu geram, dia kagum dan berdo’a: “Ya Allah rahmatilah aku dan Muhamad dan jangan rahmati seorang pun selain kami berdua”.
Dasar memang Badui! Kemudian Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam mengingatkan orang ini dengan kelembutan. “Kenapa engkau menyempitkan sesuatu yang luas? Bukankah rahmat Allah itu luas?”. Demikianlah Imam Bukhari dan Muslim menukilkan peristiwa itu dari Sahabat Anas bin Malik.
Pada peristiwa lain disebutkan dalam suatu riwayat dari Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami, “Aku dan para shahabat sholat bersama Rasulullah. Tiba-tiba ada seseorang dari jamaah yang bersin. Lantas kukatakan: “Yarhamukallah!” Maka kudapati semua mata mengarahkan pandangannya padaku. Kukatakan: ”Ada apa dengan kalian ini”? Ketika mereka melihatku berbicara dalam sholat, mereka memukulkan tangannya pada paha-paha merekapun (sebagai isyarat untuk diam). Tatkala mereka tampak diam tanpa bicara, maka aku pun diam.
Setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam selesai shalat, maka kudapati tak ada seorang pengajarpun yang lebih baik daripada beliau. Ayah ibuku sebagai jaminan, beliau tidak menghardik, memukul atau mencelaku. Bahkan dengan sabar beliau katakan: “Kita sedang shalat, padanya tidak boleh ada perkataan manusia. Sesungguhnya dalam sholat hanyalah untuk bertasbih, bertakbir dan bacaan al-Qur’an”.(Diriwayatkan oleh Muslim dalam shahihnya).
Kesabaran dan kelembutan adalah salah satu dari sekian akhlaq mulia Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam, bahkan terhadap mereka yang pernah menyakiti dirinya sekalipun. Seperti terjadi pada kisah datangnya Malakul Jibal (malaikat penjaga gunung uhud) kepada beliau –sekembali beliau dari Thoif yang penduduknya menolak dakwah beliau, mencacinya bahkan menyakitinya. Malakul Jibal mengatakan: “Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah telah mendengar ucapan mereka terhadapmu, dan aku adalah Malakul Jibal yang diutus Allah kepadamu untuk mentaati segala apa yang engkau perintahkan. Apa yang engkau kehendaki? Jika engkau mau, niscaya akan kuratakan negeri mereka dengan tanah”. Apa jawaban Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam :

بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ مِنْ أَصْلاَبِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ وَحْدَهُ لاَ يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا.

Tidak, bahkan aku berharap dari keturunan mereka akan muncul orang yang beribadah kepada Allah yang tidak menyekutukannya.
Dalam riwayat lain beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam berdoa:

رَبِّ اغْفِرْ لِقَوْمِي فَإِنَّهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ. ]متفق عليه[

Ya Allah berikan petunjuk kepada kaumku, karena mereka orang-orang yang tidak megerti. (HR. Bukhari Muslim)Demikianlah apa yang kita dapati dari pribadi beliau dalam berdakwah, penuh kelembutan yang memang demikianlah hukum asal dalam berdakwah. Sebagaimana dikatakan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam :

إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُوْنُ فِي شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يَنْزِعُ مِنْ شَيْءٍ إِلاَّ شَانَهُ. (رواه مسلم)

Tidaklah ada kelembutan pada sesuatu, kecuali ia akan mengindahkannya. Dan tidaklah tercabut dari sesuatu, kecuali akan menjelekkannya. (HR. Muslim)
Dalam lafadz yang lain beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

مَنْ يُحْرَمُ الرِّفْقُ يُحْرَمُ الْخَيْرُ. (رواه مسلم)

Barangsiapa yang terhalang berbuat kelembutan, maka akan terhalang dari kebaikan. (HR. Muslim)
Sikap lemah-lembut ini pula yang menuai pujian Allah terhadap diri beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam, sebagaimana Allah katakan dalan firman-Nya:

وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ. [القلم: 4]

Dan sesungguhnya engkau memiliki akhlaq mulia.(al-Qalam: 4)

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ…. ]ال عمران: 159[

Dikarenakan rahmat Allah-lah engkau berlemah lembut. Sekiranya engkau berhati keras niscaya mereka akan lari dari sekitarmu. Maafkanlah mereka dan mintakan ampun untuk mereka…. (Ali Imran: 159)
Sungguhpun demikian, bukan berarti tidak pernah dicontohkan sikap keras dan marah oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam. Terkadang beliau pun bersikap tegas bahkan keras.
Pada dasarnya memang begitu, seorang penyeru atau da’i bagaikan dokter menghadapi pasiennya. Adakalanya ia memberikan obat dengan dosis rendah. Namun jika pada saat tertentu, ia akan memberikan obat dengan dosis tinggi atau bahkan mengantarkannya ke meja operasi atau amputasi. Inilah yang dinamakan hikmah yang bermakna, tepat dalam menempatkan sesuatu pada tempatnya, baik dalam ucapan maupun perbuatan. Kapan ia harus bersikap lembut dan kapan harus bersikap keras.
Terkadang, seseorang itu perlu disikapi dengan lemah lembut karena ia orang awam, belum mengerti tetang hukum dan aturan agama seperti si badui tadi, atau mungkin baru memeluk agama ini seperti Mu’awiyah bin Hakam dalam kisah di atas. Adakalanya sikap tegas dan keras diperlukan untuk menasihati seseorang yang pada dasarnya memiliki keikhlasan dalam beragama namun berbuat sesuatu yang tidak pantas ia kerjakan. Atau mereka yang terlelap dalam kelalaian yang dalam dirinya masih terselip kecenderungan untuk berbuat baik dan gelisah dengan kemungkaran dan kemaksiatan atau buat mereka yang hatinya tengah sakit sehingga dibutuhkan ‘shock terapi’ sebagai pelecut semangat dalam mengikuti kebenaran.
Kita perhatikan beberapa riwayat berikut ini yang menunjukan sikap diameteral dengan kisah-kisah tersebut di atas.
Dikisahkan dari Jabir Radiyallahu ‘anhu bahwa Mu’adz bin Jabal shalat Isya bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam. Setelah itu ia pulang ke kaumnya dan mengimami sholat di sana. Ia pada rakaat pertama membaca surat al-Baqarah. Kemudian seseorang keluar dari shalat tersebut dan melanjutkan shalat sendirian. Orang-orangpun berkata: “Engkau munafik”? Ia menjawab: “Tidak! Demi Allah, aku akan adukan kepada Rasulullah.” Mereka datang dan mengadukannya kepada Nabi. Berkata si pemuda: “Ya Rasulullah, kami adalah orang yang bekerja seharian, sesungguhnya Mu’adz shalat isya bersama engkau, setelah itu ia mengimami kami dan membaca surat al-Baqarah –padahal kami membutuhkan waktu istirahat”. Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam kemudian berpaling kepada Mu’adz seraya berkata:

يَا مُعَاذُ أَفَتَّانٌ أَنْتَ؟ اقْرَأْ بِكَذَا وَاقْرَأْ بِكَذَا. ]متفق عليه[

Ya Mu’adz, apakah kamu mau jadi tukang fitnah?! (Jika engkau mengimami) bacalah ini dan itu! (HR Bukhari dan Muslim)
Imam Muslim juga telah mengeluarkan dalam shahihnya, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam melihat seseorang mengenakan cincin dari emas di jarinya. Maka beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam mencabut dan melemparkannya seraya bersabda:
Sungguh salah seorang di antara kalian dengan sengaja melingkarkan api neraka di tangannya! Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam pergi, dikatakan pada orang tadi. “Ambil cincinmu kembali, siapa tahu ia berguna.” Maka dijawabnya: “Tidak, demi Allah aku tidak akan mengambil cincin yang telah dilemparkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam selamanya”.
Dua peristiwa di atas merupakan teguran keras dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam. Apalagi bagi seorang Mu’adz bin Jabal yang dikenal mempunyai banyak keutamaan dan merupakan kepercayaan Rasulullah. Sehingga ucapan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam yang keras itu demikian menghunjam dalam sanubarinya, dan kemudian membawanya pada sebuah kesadaran atas kekeliruan yang ia perbuat. Muadz, memang telah memberikan persaksian bagi kita bahwa beliau memang ikhlas dalam beramal yang mengantarkannya pada posisi diridhoi Allah.
Demikian halnya laki-laki bercincin emas tadi. Teguran Nabi dibarengi dengan menarik dan membuang cincin yang dikenakannya adalah sebuah tamparan keras akan kelalaiannya. Bukannya mereka kemudian lari dan menjauh dari kebenaran yang sampai kepadanya, yang ada justru semakin mengokohkan keimanannya kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam dengan tidak menghiraukan perhiasan yang memiliki nilai dalam pandangan manusia yang berorientasi terhadap dunia.
Ketegasan sikap Nabi ini diikuti pula oleh para sahabatnya yang mulia. Sahabat Nabi adalah model masyarakat yang paling ideal dan sempurna dalam mengaplikasikan risalah yang yang dibawa Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam saat itu. Mereka hidup bersama Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam, mereka menyaksikan wahyu yang diturunkan sekaligus mengerti apa yang dimaukan Rabbnya karena mendapat bimbingan langsung dari al-Khalil Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam. Oleh karenanya, kepada merekalah firman Allah tujukan:

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ. ]ال عمران: 110[

Kalian adalah umat yang terbaik. (Ali Imran: 110)
Dengan demikian jika ingin menjadi yang terbaik kita tinggal mengikuti dan mencontoh mereka. Dan kepada mereka pula Allah telah memberikan garansi keridhaan sebagaimana firman-Nya:

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ... ]التوبة: 100[

Orang-orang yang pertama kali masuk Islam dari kalangan Muhajirin dan Anshor dan yang mengikuti mereka dengan baik Allah ridho kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah…(at-Taubah: 100)
Kita lihat pensikapan generasi terbaik dalam menjalankan dan menjaga kebenaran terhadap mereka yang memang harus disikapi dengan tegas. Adalah Abdullah bin Mughaffal ketika melihat seseorang melempar (musuh dengan batu dalam suatu peperangan), ia berkata:

لاَ تَخْذِفْ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَكْرَهُ أَوْ قَالَ يَنْهَى عَنِ الْخَذْفِ فَإِنَّهُ لاَ يُصْطَادُ بِهِ الصَّيْدُ وَلاَ يُنْكَأُ بِهِ الْعَدُوُّ وَلَكِنَّهُ يَكْسِرُ السِّنَّ وَيَفْقَأُ الْعَيْن.

Jangan melempar, karena Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam membenci atau melarang melempar. Karena dengannya tidak dapat membinasakan musuh dan mengalahkannya. Ia hanya bisa merontokkan gigi dan membutakan mata.
Kemudian Abdullah bin Mughoffal setelah itu masih melihat orang tadi melempar. Maka ia katakan kepadanya. “Aku menyampaikan hadits kepadamu tentang larangan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam melempar dan tidak menyukainya tapi engkau terus melakukan itu, Aku tidak mau berbicara denganmu selamanya!” ((HR. Bukhari-Muslim)
Imam Muslim juga meriwayatkan dari Abdullah bin Umar bin Khathab, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Jika perempuan-perempuan kalian meminta izin untuk pergi ke masjid janganlah kalian melarangnya” Berkata Bilal bin Abdullah bin Umar bin Khattab: “Demi Allah, aku akan melarang mereka” Berkata (perawi): “Ibnu Umar kemudian mencelanya dengan celaan yang jelek yang tidak pernah didengarnya celaan seperti itu. Kata Ibnu Umar: “Aku kabarkan kepadamu dari Rasulullah lantas kau katakan, Demi Allah aku akan melarangnya”. Maka diriwayatkan, hingga wafatnya, Ibnu Umar tidak mau berbicara dengan anaknya, Bilal.
Sikap tegas sebagai bagian dari hikmah dalam mensikapi mereka yang lalai, atau menentang prinsip agama adalah buah dari proses tarbiyyah yang dibimbing Allah dan Rasul-Nya. Bahkan Allah membuat celaan-celaan yang vulgar seperti, “Mereka adalah binatang ternak” saat memberi julukan kepada orang yang tidak menggunakan mata, telinga dan hati untuk menerima kebenaran. (Lihat surat Al-A’raaf ayat 179). Atau Allah katakan “Keledai” kepada pembawa Taurat yang tidak memahami isinya (Surat Al-Jum’at: 5). Bahkan terhadap orang-orang kafir dan munafik Allah memerintahkan untuk bersikap keras dan melakukannya adalah Jihad.

يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ.... ]التحريم: 9[

Wahai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan munafik itu dan bersikap keraslah terhadap mereka. (at- Tahrim:9)
Sikap itu bukan muncul dari istiadat dan budaya yang sering disalahpahami banyak orang. Sekeras apapun orangnya jika memang agama ini mengharuskan ia berlaku lembut maka ia pun lembut. Sebaliknya, tipikal lembut pada seseorang tidak menghalanginya untuk berbuat tegas bahkan keras, melebihi orang yang keras sekalipun jika agama ini memerintahkannya. Kesemuanya itu muncul pada kehidupan para sahabat Nabi, semasa hidup atau sepeninggal beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam.
Menolak bersikap tegas terhadap orang yang harus disikapi tegas sama artinya dengan menolak petunjuk yang datangnya dari Allah dan RasulNya serta amalan generasi terbaik umat ini. Maka para Ulama ahlus sunnah sejak zaman salaf sampai hari ini sepakat untuk bersikap keras dan tegas kepada para munafikin dan ahlul bid’ah.
Yang menyedihkan adalah ketika mereka yang menamakan diri Komunitas Bening Hati atau para pengusung dakwah sejuk menganggap dakwah seperti itu sebagai dakwah yang keras, pemecah-belah umat, picik, tidak mau menerima perbedaan pendapat, selalu merasa diri yang paling benar, tukang cela, suka mendholimi sesama muslim, akan dijauhi umat dan seabreg tudingan lainnya.
Jawaban yang memuaskan atas kebimbangan dan kebingungan dari berbagai syubhat yang menerpa umat ini di antaranya datang dari Ulama besar, Imam Ahlus Sunnah Ahmad bin Hambal:

إِذَا سَكَتَ أَنْتَ وَسَكَتُّ أَنَا فَمَنْ يُعَرِّفُ الْجَاهِلُ الصَّحِيْحُ مِنَ السَّقِيْمِ؟

Jika engkau diam dan aku diam (tidk mau membicarakan kejelekan para rawi, pen), maka bagaimana seorang yang bodoh dapat mengetahui hadits shahih dari yang dha’if?. (lihat Irsyadul Bariyyah, hal. 103)
(Dikutip dari Bulletin Dakwah Manhaj Salaf Edisi: 15/Th. I tanggal 1 Dulhijjah 1424 H/23 Januari 2004 M, penulis Abu Zaky bin Mukhtar, judul asli “Hikmah dalam berdakwah”)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar