Pergulatan antara penganut kebenaran dan pengikut kebatilan adalah kepastian dari Allah Subhanahu wata’ala. Dengan ilmu dan kekuasaan-Nya yang sempurna Dia Subhanahu wata’ala telah menakdirkan terjadinya sampai datangnya hari kiamat. Allah Subhanahu wata’ala mengabarkan tentang awal pergulatan tersebut, yaitu antara Bapak kita, Adam ‘Alaihissalam, dan Iblis la’natullah ‘alaih. Iblis telah menyatakan permusuhan kepada manusia di hadapan Allah Subhanahu wata’ala, sebagaimana firman-Nya (yang artinya),
Iblis menjawab, “Karena Engkau telah
menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi)
mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi
mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri
mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur
(taat).” Allah berfirman, “Keluarlah kamu dari surga itu sebagai orang
terhina lagi terusir. Sesungguhnya barang siapa di antara mereka
mengikuti kamu, benarbenar Aku akan mengisi neraka Jahanam dengan kamu
semuanya.” (Dan Allah berfirman), “Hai Adam bertempat tinggallah kamu
dan istrimu di surga serta makanlah olehmu berdua (buahbuahan) di mana
saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu berdua mendekati pohon ini,
lalu menjadilah kamu berdua termasuk orang-orang yang lalim.”
Maka setan membisikkan pikiran jahat
kepada keduanya untuk menampakkan kepadakeduanya apa yang tertutup dari
mereka, yaitu auratnya dan setan berkata, “Rabb kamu tidak melarangmu
dari mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi
malaikat atau tidak menjadi orang yang kekal (dalam surga).” Dan dia
(setan) bersumpah kepada keduanya, “Sesungguhnya saya adalah termasuk
orang yang memberi nasihat kepada kamu berdua,” maka setan membujuk
keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya
telah merasakan buah pohon itu, tampaklah bagi keduanya aurat-auratnya,
dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian Rabb
mereka menyeru mereka, “Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari
pohon kayu itu dan Aku katakan kepadamu sesungguhnya setan itu adalah
musuh yang nyata bagi kamu berdua?” (al-A’raf: 16—22)
Kepastian ini juga akan dihadapi oleh seluruh nabi setelah Adam beserta para pengikut mereka. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَكَذَٰلِكَ
جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنسِ وَالْجِنِّ
يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا ۚ وَلَوْ
شَاءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُ ۖ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi
tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan
(dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang
lain perkataan-perkataan yang indahindah untuk menipu (manusia). Jika
Rabbmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka
tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka adaadakan.” (al-An’am: 112)
Terlebih lagi pergulatan yang harus dihadapi oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melawan pembela kebatilan sehingga Allah Subhanahu wata’alamengibur beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana firman- Nya (yang artinya),
“Sesungguhnya, Kami mengetahui
bahwasanya apa yang mereka katakan itu menyedihkan hatimu, (janganlah
kamu bersedih hati), karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu,
akan tetapi orang-orang yang zalimitu mengingkari ayat-ayat Allah.
Sesungguhnya telah didustakan (pula) rasul-rasul sebelum kamu, akan
tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang
dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Kami kepada
mereka. Tak ada seorang pun yang dapat mengubah kalimat-kalimat
(janji-janji) Allah. Dan sesungguhnya telah datang kepadamu sebahagian
dari berita rasul-rasul itu.” (al-An’am:33—34)
Kita meyakini bahwa perseteruan yang
terjadi antara ahlul haq (pengikut kebenaran) dan ahlul batil (pengikut
kebatian) di dunia fana ini terjadi dengan takdir Allah Subhanahu wata’ala dan disertai oleh hikmah- Nya yang sempurna karena Allah Subhanahu wata’ala adalah Yang Mahabijaksana. Allah Subhanahu wata’ala menjelaskan hikmah tersebut dalam firman-Nya,
وَجَعَلْنَا بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةً أَتَصْبِرُونَ ۗ وَكَانَ رَبُّكَ بَصِيرً
“Dan Kami jadikan sebagian kamu sebagai cobaan bagi sebagian yang lain. Maukah kamu bersabar? Dan adalah Rabbmu Maha Melihat.” (al-Furqan:20)
وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُم بِبَعْضٍ لَّفَسَدَتِ الْأَرْضُ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ ذُو فَضْلٍ عَلَى الْعَالَمِينَ
“Seandainya Allah tidak menolak
(keganasan) sebagian manusia terhadap sebagian yang lain, pasti rusaklah
bumi ini. Tetapi, Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas
semesta alam.” (al-Baqarah: 251)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir
as-Sa’di menjelaskan, “Di antara hikmah Allah menjadikan musuh-musuh
bagi para nabi dan adanya pembela kebatilan yang mengajak pada
kebatilannya adalah sebagai ujian dan cobaan bagi para hamba-Nya. Dengan
demikian, akan terpisahkan antara yang jujur dan yang berdusta, yang
berakal sehat dan yang jahil, serta yang melihat (dengan mata hatinya)
dan yang buta. Selain itu, hikmah (adanya ujian dan cobaan tersebut)
adalah penjelasan dan penerangan tentang kebenaran karena kebenaran akan
bercahaya dan tampak jelas saat kebatilan menghadang dan memeranginya.
Saat itu terpisahkanlah dalil-dalil dan saksisaksi yang menunjukkan pada
kebenaran tersebut beserta hakikatnya, dengan kerusakan-kerusakan yang
ditimbulkan oleh kebatilan. Hal ini (terpisahnya kebenaran dan
kebatilan) termasuk hal yang paling dicari oleh para hamba.” (Taisir al-Karimirrahman hlm. 270)
Dua Sebab Maraknya Ideologi Sempalan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
اصْبِرُوا فَإِنَّهُ لَا يَأْتِي عَلَيْكُمْ زَمَانٌ إِلَّا الَّذِي بَعْدَهُ شَرٌّ مِنْهُ حَتَّى تَلْقَوْا رَبَّكُم
“Sabarlah kalian karena tidak datang
sebuah masa kecuali yang setelahnya lebih jelek dari yang sebelumnya,
sampai kalian bertemu dengan Rabb kalian.” (HR.al-Bukhari dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)
Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda pula,
إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يُرْفَعَ الْعِلْمُ وَيَظْهَرَ الْجَهْلُ
“Sesungguhnya termasuk tanda-tanda kiamat adalah dicabutnya ilmu dan merebaknya kebodohan.” (Muttafaqunalaih dari Anas bin Malik)
Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam yang lain,
إِنَّ اللَّهِ
لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ
وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ
يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا
فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
“Sesungguhnya Allah 'azzawajalla tidak
akan mencabut ilmu dari manusia dengan sekaligus. Akan tetapi, Dia akan
mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama (ahli ilmu).Ketika Dia tidak
menyisakan seorang alim pun, umat manusia akan menjadikan orang-orang
jahil sebagai pemimpin mereka, kemudian para pemimpin itu ditanya.
Mereka pun berfatwa tanpa ilmu sehingga mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. al-Bukhari dari Abdullah binAmr radhiyallahu ‘anhuma)
Tiga hadits di atas menunjukkan bahwa
merebak dan semaraknya berbagai kesesatan dalam agama ini disebabkan
oleh jauhnya umat manusia dari ilmu Kitabullah dan Sunnah Rasulullah
serta ahlinya (para ulama). Lebih jelasnya, kedua sebab itu adalah
sebagai berikut.
1. Kebodohan
Kebodohan terhadap syariat Islam yang
mulia dan sempurna adalah penyakit yang membahayakan dan membinasakan.
Namun, tidak ada yang menyadari bahwa kebodohan itu adalah penyakit,
selain orang yang dirahmati oleh Allah Subhanahu wata’ala. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَلَا سَأَلُوا إِذَا لَمْ يَعْلَمُوا، إِنَّمَا شِفَاءُ الْعَيِّ السُّؤَالُ
“Mengapa mereka tidak bertanya ketika tidak tahu? Hanyalah obat ketidaktahuan (kebodohan) adalah bertanya.” ( HR. Abu Dawud dan
dinyatakan sahih oleh al-Albani) Asy-Syaikh Muhammad al-Imam hafizhahullah berkata (Bidayatul Inhiraf hlm. 133), “Kebodohan adalah musuh semua risalah yang dibawa oleh para rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wata’ala memisalkan orang yang bodoh sebagai makhluk yang paling jelek yang berjalan di muka bumi ini. Firman-Nya,
إِنَّ شَرَّ الدَّوَابِّ عِندَ اللَّهِ الصُّمُّ الْبُكْمُ الَّذِينَ لَا يَعْقِلُونَ
“Sesungguhnya binatang (makhluk)
yang paling buruk pada sisi Allah ialah orang-orang yang pekak dan tuli
yang tidak mengerti apa pun.” (al-Anfal: 22)
أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ ۚ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ ۖ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا
“Atau apakah kamu mengira bahwa
kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain,
hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya
(dari binatang ternak itu).” (al-Furqan: 44)
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahmenjelaskan akibat jelek dari kebodohandalam kitabnya, Miftah Dar as- Sa’adah (1/382), “Pohon kejahilan akan membuahkan seluruh kejelekan, kezaliman, permusuhan (tanpa alasanyang benar), ….
Seluruh kejelekan dan kerusakan yang
telah dan akan terjadi di alam semesta ini hingga hari kiamat dan
setelahnya (yakni di akhirat) disebabkan oleh penyelisihan terhadap apa
yang dibawa oleh para rasul baik dalam hal ilmu maupun amalan.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata, “Sesungguhnya pelopor dan perintis mazhab Syiah Rafidhah
adalah seorang zindiq kafir yang memusuhi agama Islam dan kaum muslimin.
Dia bukan ahli bdi’ah yang sesat karena takwil, seperti Khawarij dan
Qadariyah. Meski demikian, keyakinan-keyakinan Syiah Rafidhah laris di
kalangan kaum muslimin yang masih memiliki iman karena sangat bodohnya
mereka.” (Minhajus Sunnah 4/363)
2. Jauhnya umat dari ulama syariat
Allah Subhanahu wata’ala menjadikan para ulama syariat sebagai para pemimpin yang harus ditaati dalam urusan yang ma’ruf sebagaimana dalam firman-Nya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (an-Nisa: 59)
Mereka adalah tempat untuk mengembalikan
dan mengadukan seluruh problem umat manusia, terkhusus dalam masalah
agama. Umat senantiasa menunggu dan mengharapkan bimbingan dan nasihat
mereka. Sebab, mereka adalah orang yang paling memahami syariat dan
hal-hal yang akan bermanfaat bagiumat, baik yang terkait dengan urusan
dunia maupun agama. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَإِذَا
جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِّنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ ۖ وَلَوْ
رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَىٰ أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ
الَّذِينَ يَسْتَنبِطُونَهُ مِنْهُمْ ۗ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ
عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا
“Dan apabila datang kepada mereka
suatu berita tentang keamanan atau pun ketakutan, mereka lalu
menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil
Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui
kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil
Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu,
tentulah kamu mengikut setan, kecuali sebahagian kecil saja (di
antaramu).” (an-Nisa: 83)
Di samping itu, mereka adalah orang yang paling peduli dan penyayang terhadap umat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَثَلِي
وَمَثَلُكُمْ كَمَثَلِ رَجُلٍ أَوْقَدَ نَارًا فَجَعَلَ الْجَنَادِبُ
وَالْفَرَاشُ يَقَعْنَ فِيهَا وَهُوَ يَذُبُّهُنَّ عَنْهَا وَأَنَا آخِذٌ
بِحُجَزِكُمْ عَنْ النَّارِ وَأَنْتُمْ تَفَلَّتُونَ مِنْ يَدِي
“Permisalanku dengan kalian ibarat
seorang yang menyalakan api (di malam hari). Lalu datanglah serangga dan
kupu-kupu ingin masuk ke dalamnya dalam keadaan dia menghalanginya agar
tidak masuk ke dalam api. Dan aku memegangi pinggang kalian (supaya
kalian selamat) dari api (neraka), namun kalian senantiasa berusaha
melepaskan diri dari kedua tanganku.” (HR. Muslimdari Jabir radhiyallahu ‘anhu)
Yahya bin Mu’adz ar-Razi rahimahullahberkata, “Para ulama lebih sayang terhadap umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam dari pada ayah dan ibu mereka.” Beliau rahimahullahditanya,
“Bagaimana itu terjadi?” Jawab beliau, “Ayah dan ibu mereka menjaga
mereka (agar selamat) dari api dunia,sedangkan para ulama menjaga mereka
(sehingga selamat) dari api neraka.”(Mukhtashar Nashihati Ahlil Hadits hlm. 167)
Itulah kedudukan mulia dan urgensi
keberadaan ulama di tengah-tengah umat yang tergambarkan dalam beberapa
ayat dan hadits. Lantas apa yang terjadi ketika umat jauh dari mereka?
Rasululllah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengabarkan
tentang umat yang jauh dari ilmu dan ulama dalam hadits Abdullah bin Amr
di atas. Disebutkan bahwa umat akan menjadikan orang-orang bodoh
sebagai pimpinan mereka sehingga mereka sesat dan menyesatkan umat.
Tidak ada musibah yang lebih dahsyat yang menimpa sebuah umat selain
jauhnya mereka dari ilmu dan ulama sehingga rusaklah urusan dunia dan
agama mereka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ
“Apabila sebuah urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, tunggulah kehancurannya.” (HR. al-Bukhari)
Al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Kalau bukan karena adanya ulama, sungguh umat manusia akan seperti binatang ternak.” (Mukhtashar Nashihati Ahlil Hadits)
Ada dua kemungkinan yang menyebabkan umat jauh dari ulama syariat.
a. Sedikitnya jumlah ulama dibandingkan dengan kebutuhan umat.
Hal ini adalah salah satu tanda semakin dekatnya hari kiamat sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma
di atas. Keadaan ini dimanfaatkan oleh para dai yang mengajak umat
kepada berbagai kesesatan, seperti sufi, hizbiyah (fanatisme golongan),
politik, dan sebagainya.
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata,
“Hati-hatilah kalian dari para dai yang menyeru kepada kesesatan.
Mereka memburu para pemuda dan berusaha memutuskan hubungan para pemuda
itu dengan keluarga dan masyarakatnya. Lantas mereka mencekoki para
pemuda tersebut dengan berbagai pemikiran sesat. Akhirnya, Anda akan
dapati seorang pemuda terpisah dari kedua orang tua dan keluarganya,lalu
menjauh dari masjid-masjid kaum muslimin, shalat Jumat,dan shalat
jamaah. Setelah itu tidak diketahui lagi di mana dia, sampai terdengar
berita bahwa dia terbunuh bersama perusuh atau ditangkap bersama mereka
oleh aparat. Inilah buah yang akan dipetik apabila para pemuda tidak
memedulikan dan mengikuti nasihat para ulama.
Mereka tidak mau mengambil sabda Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam
yang memerintahkan untuk berpegang teguh dengan jamaah kaum muslimin,
penguasa mereka, berbakti dan membantu kedua orang tua, dan menjaga
shalat Jumat dan shalat jamaah. Tatkala mereka tidak memerhatikan
hal-hal ini, niscaya mereka akan jatuh ke tangan musuh mereka.
Musuh-musuh itu akan mencari mereka, lalu mencekoki dengan
doktrin-doktrin yang akan menghancurkan kehidupan mereka. Kalaupun
sebagian mereka masih tersisa, akan susah sekali diobati karena
pemikirannya sudah rusak dan sudah dicuci otak. Mereka layaknya orang
yang terkena penyakit yang belum ada obatnya semacam kanker atau
lainnya.” (al-Ajwibah al-Mufidah hlm. 36)
b. Dijatuhkannya kewibawaan para ulama di hadapan umat Islam dengan berbagai cara.
Di antara cara yang ditempuh adalah
menjuluki ulama syariat sebagai ulama sulthan (pemerintah), ulama haid
dan nifas yang tidak paham realitas, ulama antijihad, dan sebagainya.
Kalau kita perhatikan, cara yang mereka lakukan untuk menjauhkan umat
dari para ulamanya adalah cara-cara orang kafir yang menentang dakwah
para nabi dan rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Subhanahuwata’ala mengabarkan kepada para hamba-Nya,
كَذَٰلِكَ مَا أَتَى الَّذِينَ مِن قَبْلِهِم مِّن رَّسُولٍ إِلَّا قَالُوا سَاحِرٌ أَوْ مَجْنُونٌ (52) أَتَوَاصَوْا بِهِ ۚ بَلْ هُمْ قَوْمٌ طَاغُونَ
Demikianlah tidak seorang rasul pun
yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka, melainkan mereka
mengatakan, “Ia adalah seorang tukang sihir atau orang gila.” Apakah
mereka saling berpesan tentang apa yang dikatakan itu? Sebenarnya mereka
adalah kaum yang melampaui batas. (adz-Dzariyat: 52—53)
Bahkan, ketika Fir’aun berusaha
menghadang dakwah tauhid yang dibawa oleh Nabi Musa ‘Alaihissalam, dia
mengatakan kepada umatnya,
ذَرُونِي أَقْتُلْ مُوسَىٰ وَلْيَدْعُ رَبَّهُ ۖ إِنِّي أَخَافُ أَن يُبَدِّلَ دِينَكُمْ أَوْ أَن يُظْهِرَ فِي الْأَرْضِ الْفَسَادَ
“Biarkanlah aku membunuh Musa dan
hendaklah ia memohon kepada Rabbnya, karena sesungguhnya aku khawatir
dia akan menukar agama kalian atau menimbulkan kerusakan di muka bumi.” (Ghafir: 26)
Demikian pula, cara inilah yang ditempuh
oleh ahli bid’ah untuk menjauhkan umat dari para ulama. Cara ini mereka
warisi dari generasi ke generasi. Karena itu, al-Imam Abu Utsman Ismail
ash-Shabuni mengatakan, “Ciri-ciri ahli bid’ah itu tampak sekali pada
orangnya. Ciri dan tanda yang paling jelas adalah sangat kerasnya
permusuhan, pelecehan, dan penghinaan mereka terhadap para pembawa
hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam (yakni para ulama ahli hadits).” (‘Aqidatu as-Salaf hlm. 101)
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata,
“Kaum muslimin wajib menghormati para ulama karena mereka adalah
pewaris para nabi. Melecehkan mereka berarti melecehkan kedudukan mereka
sebagai pewaris Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sekaligus
ilmu syariat yang mereka bawa. Barang siapa berani melecehkan ulama,
tentu lebih berani melecehkan kaum muslimin selain mereka. Para ulama
adalah orang-orang yang wajib dihormati karena ilmu dan kedudukan mereka
di tengah-tengah umat, serta tanggung jawab yang mereka emban demi
kebaikan Islam dan kaum muslimin. Apabila para ulama sudah tidak
dipercaya, siapa lagi yang akan dipercaya? Apabila kepercayaan umat
terhadap para ulama telah hilang, kepada siapa lagi kaum muslimin bisa
mengadukan berbagai problem mereka? Siapa lagi yang dipercaya
menjelaskan hukum-hukum syariat? Ketika semua itu terjadi, umat pun akan
terlantar, kekacauan pun akan tersebar.” (al-Ajwibah al-Mufidah hlm. 188)
Semoga Allah Subhanahuwata’ala
senantiasa melimpahkan hidayah taufik kepada kita semua untuk senantiasa
ikhlas, sabar, dan istiqamah untuk menuntut ilmu Kitabullah dan Sunnah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan pemahaman
salafus saleh, di bawah bimbingan para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah,
agar selamat jiwa kita dan keluarga kita serta seluruh kaum muslimin. Amin. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar