Oleh
Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi Al-Atsari
URGENSI
PERSATUAN ISLAM
Persatuan Islam termasuk dari maqoshid syar’iyyah (tujuan syari’at) yang paling
penting yang terkandung dalam agama ini. Al Qur`an dan Rasulullah senantiasa
menyerukannya. Persatuan dalam masalah aqidah, ibadah, dan akhlak, semuanya
diperhatikan dan diserukan oleh Islam. Diharapkan akan terbentuk persatuan di
atas petunjuk dan kebenaran. Bukan persatuan semu, yang tidak ada kenyataan,
karena tidak ada faidahnya.
Allah
Subhanahu wa Ta’ala satu, Nabi kita satu, kiblat dan aqidah kita juga satu, ini
semua termasuk dari salah satu sisi persatuan dalam berakidah. Begitu juga
persatuan dalam masalah ibadah. Kita dapat melihat, bagaimana kaum Muslimin
berkumpul setiap harinya sebanyak lima kali di masjid-masjid mereka; ini adalan
salah satu fonemena dari persatuan. Juga bagaimana mereka berkumpul dengan
jumlah yang lebih besar pada setiap hari Jum’at, berpuasa secara serempak di
seluruh penjuru dunia dalam waktu yang sama, atau mereka saling memanggil ke
suatu tempat bagi orang yang mampu untuk melaksanakan kewajiban haji, dengan
menggabungkan usaha harta dan badan di satu tempat dan waktu yang sama; ini
semua adalah bagian dari fonemena persatuan Islam di dalam mewujudkan hakekat
akidah yang terbangun atas dasar tauhid. Karena sesungguhnya persatuan kalimat
tidaklah akan menjadi benar, melainkan dengan kalimat tauhid, dengan fenomena
persatuan akidah dan ibadah seperti yang telah ditunjukkan di atas.
Sebenarnya
telah ada fonemena persatuan di dalam perilaku kaum Muslimin, antara satu
dengan yang lainnya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ
وَتَعَاطُفِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ الْوَاحِدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى
لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Perumpamaan
kaum Muslimin dalam saling mengasihi, saling menyayangi, dan saling menolong di
antara mereka seperti perumpamaan satu tubuh. Tatkala salah satu anggota tubuh
merasakan sakit, maka anggota tubuh yang lainnya akan merasakan pula dengan
demam dan tidak bisa tidur” [1].
الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ
بَعْضُهُ بَعْضًا
“Seorang
mukmin terhadap mukmin lainnya seperti satu bangunan, sebagiannya menguatkan
yang lainnya.”[2]
لاَ
يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Salah
seorang dari kalian tidak beriman (dengan sempurna, Red) sampai ia mencintai
(kebaikan) untuk saudaranya dengan apa yang dia dicintai dirinya” [3].
الْمُؤْمِنُ مِرْآةُ الْمُؤْمِنِ
“Seorang
mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya”.
الْمُؤْمِنُ أَخُو الْمُؤْمِنِ لَا يخذلهُ ولا يحقره
وَلَا يُسْلِمُهُ
“Seorang
mukmin adalah saudara bagi mukmin lainnya, dia tidak membiarkannya (di dalam
kesusahan), tidak merendahkannya, dan tidak menyerahkannya (kepada musuh)”.
Semua
ini adalah pemandangan yang mengkuatkan dan menyatukan hati, menghantarkan
kepada anggota tubuh lainnya. Bahkan apabila kita memperhatikan firman Allah :
“Demi
masa. Sesungguhnya semua manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali
orang-orang yang beriman, dan mengerjakan amal shalih, dan nasihat-menasihati
supaya mentaati kebenaran, dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran”.
[al ‘Ashr : 1-3].
Jika
kita memperhatikan firman Allah di atas (yang artinya) “dan mereka saling
memberikan nasihat ”, ini juga termasuk fonemena persatuan. Karena saling
menasihati tidak akan terjadi pada satu orang saja, akan tetapi terjadi pada
suatu kelompok antara satu dengan yang lain, saling mengingatkan, menasehati
dan saling meluruskan.
Allah
berfirman:
#(
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai-berai”. [Ali Imran: 103]
Ini
juga fonemena persatuan. Berpegang teguhlah dengan tali persatuan, kesatuan dan
kebersamaan.
CARA
DAN LANDASAN MEWUJUDKAN PERSATUAN
Tetapi bagaimanakah cara mewujudkan persatuan dan atas dasar apa? Apakah
kebersamaan dan berkelompok berdasarkan (persamaan) ras, negara, daerah, warna
(kulit) atau bahasa? Ataukah berkumpul atas dasar agama?.
Pertama
kali yang difirmankan Allah dalam ayat di atas:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ
Berpegang
teguh dengan Tali Allah!
Yaitu
dengan agama Allah, Kitab Allah, syariat Allah, dan Sunnah NabiNya. Allah tidak
menyerahkan perkara (persatuan ini) pada akal, sehingga bisa memilih apa yang
dikehendaki. Akan tetapi Allah menegaskan “berpegang teguhlah kalian semua
dengan tali Allah”.
Sesungguhnya
firman Allah “berpegang teguhlah” telah mengandung makna, berkumpul dan
bersatu, akan tetapi Allah menekankannya lagi sebagai tambahan penjelasan
“berpegang teguhlah kamu semua dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai- berai”.
Terdapat
tiga penekanan dalam satu nash [4], semuanya mempunyai makna persatuan dan
kesatuan. Dan persatuan ini tidak akan terwujud, kecuali atas dasar tauhid
diikat dengan tali Allah. Maka berpegang teguhlah kalian semua dengan tali
Allah dan jangan bercerai berai.
Persatuan
yang ada hendaknya atas dasar agama, akidah dan mengikuti Sunnah Rasulullah.
Makna ini telah dijelaskan dalam banyak nash. Di antaranya firman Allah dalam
kitabNya :
“Dan
bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia;
dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu
mencerai-beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah
kepadamu agar kamu bertakwa” [al An’am :153]
Allah
telah menjadikan jalanNya dibangun di atas Sunnah, yang mana ia adalah jalan
Islam atau ditafsirkan dengan al Qur`an dengan segala kandungan hukum-hukumnya,
yang di dalamnya terdapat argumen dan penjelasan. Allah berfirman (artinya):
Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah
dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain)!
Tatkala
Rasulullah bersama para sahabatnya, ia menggaris di atas tanah garis yang lurus
dan menggariskan garis-garis lain di kanan dan kirinya. Kemudian beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjuk garis lurus tersebut seraya berkata:
“Ini adalah jalan Allah”. Dan beliau menunjuk garis-garis yang bercabang di
kanan dan di kirinya dengan mengatakan: ”Ini adalah jalan-jalan sesat, di
setiap ujung jalan-jalan ini terdapat setan yang menyeru kepadanya”. Kemudian
beliau membaca ayat ini (QS al An’am : 153). [5]
Oleh
karena itu, setiap hawa-nafsu, pendapat, bid’ah dan perkara baru (dalam agama),
pemikiran yang menyeleweng dan jauh dari al Kitab dan as Sunnah, jauh dari
dalil dan hujjah, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Katakanlah:
“Tunjukkanlah bukti kebenarannmu jika kamu orang-orang yang benar”. [an Naml :
64].
Itu
semua memisahkan dan menjauhkan dari kebenaran yang ada, serta mengikuti hawa
nafsu belaka.
Seorang
hamba diperintahkan untuk mengikuti perintah Allah dan RasulNya, agar ia
menjadi seorang hamba yang mengikuti jalan Allah yang lurus. Bagaimana dia
tidak mengamalkan perintah ini? Dan bagaimana mungkin ia tidak ingin melakukan
dan berusaha untuk mengikutinya? Sementara ia telah berdo’a siang dan malam
kepada Rabb-nya dalam setiap shalatnya, minimal 17 kali dengan mengatakan :
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus”. [Al Fatihah:6]
Bagaimana
mungkin ia meminta hidayah untuk ditunjukkan jalan yang lurus? Padahal ia
sendiri menyelisihi dan mengikuti hawa nafsunya, mengikuti perkara-perkara baru
(dalam agama), mengikuti fikiran dan akal yang dangkal dan kurang sehat.
Allah
telah menjadikan hidayah kepada jalan lurus ini terikat dengan dua perkara:
Pertama
dan yang paling penting adalah, taat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Sebagaimana firman Allah, di dalam kitab yang menerangkan syarat
hidayah ini:
وَإِن
تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا
“Dan
jika kamu ta’at kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk”. [an Nuur : 54].
Dan
ketaatan ini tidak akan bisa dilakukan dengan sempurna oleh seseorang, kecuali
bila ia beriman sebagaimana para sahabat beriman, bermanhaj dan berpaham
seperti manhaj dan pemahaman para sahabat, sebagaimana firman Allah:
“Dan
barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan dia
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa
terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami akan memasukkannya ke
dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali”.
[an-Nisa':115]
Bahkan
Allah Azza wa Jalla mengaitkan syarat hidayah dengan keimanan sebagaimana
keimanan para sahabat. Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Maka
jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh
mereka telah mendapat petunjuk”. [al Baqarah : 137].
Maksudnya,
apabila mereka beriman -yakni orang-orang setelah kalian- seperti iman kalian
terhadapnya, yakni seperti para sahabat Rasul, maka mereka akan mendapatkan
hidayah. Ini adalah syarat dan pondasi pokok. Apabila hilang syarat ini, maka
janji dan hasil yang dikatakan serta permintaaan kita terhadap hidayah tidak
ada faidahnya dan sia-sia belaka.
Dengan
ini semuanya, hendaknya kita mengoreksi diri dengan segala apa yang kita
lakukan, kita pikirkan dan kita bicarakan. Sehingga kita akan tetap terus
berada di atas jalan Allah yang lurus untuk terus melakukan ketaatan kepadaNya,
mengikuti kebenaran, untuk menuju kebenaran, yaitu Sunnah Nabi kita.
Terdapat
dalam Sunnah Rasulullah yang menyebutkan secara jelas tentang gambaran dan
ibrah perpecahan yang ada, ia Shallallahu ‘alaihi wa sllam bersabda :
افْتَرَقَتْ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِينَ
فِرْقَةً وَتَفَرَّقَتْ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَسَتَفْتَرِقُ
أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً
, قَالُوا مَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ هي الجماعة (وفي رواية) هِيَ التي مَا
أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
“Kaum
Yahudi terpecah menjadi 71 golongan, kaum Nashara terpecah menjadi 72 golongan,
dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya di neraka kecuali satu.
Para sahabat bertanya,“Siapakah mereka, wahai Rasulullah?” Beliau
menjawab,“Satu golongan itu adalah jama’ah.” (Dalam riwayat lain): “Mereka itu
adalah orang-orang yang berjalan di atas jalan yang pernah aku tempuh”.
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
الْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ
“Al
jama’ah adalah rahmat dan perpecahan adalah azab”
Ini
semua menunjukkan penekanan terhadap makna persatuan umat. Dan persatuan ini
tidak akan terbangun kecuali di atas kebenaran yang berdasarkan Kitab Allah dan
Sunnah RasulNya, di atas manhaj para sahabat Rasul yang masih belum terlumuri
dengan perkara- perkara bid’ah dan kesesatan. Para sahabat adalah manusia
paling baik hatinya dibandingkan manusia lain, paling dalam ilmu, paling besar
kecintaan dan ittiba` kepada Rasulullah. Karena kecintaan yang murni adalah
kecintaan yang terbangun di atas ittiba`, sebagaimana firman Allah Ta’ala :
“Katakanlah:
“Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi
dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. [Ali
Imran : 31].
Jadi,
asas cinta kepada Rasulullah adalah ittiba’ (mengikuti) rasul dalam segala
ajarannya.
Adapun
kecintaan yang dibarengi dengan penyelewengan, rasa cinta dan melakukan bid’ah,
maka hal ini tidaklah akan bertemu. Sebagaimana perkataan syair:
Kamu
bermaksiat kepada Rasul, dan kamu mengaku mencintai beliau
Demi Allah, ini adalah permisalan yang sangat jelek.
Persatuan
dalam Islam terbangun atas tauhid, ittiba` Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan manhaj Salaf dari para sahabat, tabiin dan tabiut tabiin yang
merupakan manusia terbaik, sebagaimana yang dikabarkan oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
خَيْرُالناس قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik
manusia adalah manusia pada zamanku, kemudian yang berikutnya dan berikutnya”.
Dan
ada tambahan di selain Shahihain :
ثُمَّ يَأْتِي أَقْوَامٌ لاَ خَيْرَ فِيْهِمْ
“Kemudian
datang suatu kaum yang tidak ada kebaikan di dalamnya”.
Kenapa
hal ini bisa terjadi? Karena kaum ini telah menyelisihi manhaj generasi terbaik
yang telah mengikuti dan berjalan di atas petunjuk Rasul. Maka dicabutlah
kebaikan dari mereka sesuai dengan penyelewengan mereka dari para salaf.
Persatuan
dalam Islam adalah hal utama yang diminta dari umat, dan wajib bagi kita terus
bersemangat untuk merealisasikannya, menjalankan dan menyerukan persatuan
tersebut.
Di
dalam al Qur`an banyak contoh yang menerangkan kepada kita hakikat persatuan,
antara ada dan tiada.
Contoh
yang menjelaskan, bagaimana persatuan dalam berakidah dan manhaj yang benar
telah menjadikan satu orang bisa dianggap satu jamaah. Dan contoh yang
menjelaskan, bagaimana kelemahan dan kegagalan bisa menjadikan suatu jamaah
dianggap seperti satu orang, bahkan individu-individu yang saling bertikai
antara satu dengan yang lainnya, Allah Azza wa Jalla menceritakan tentang
bapaknya para nabi, yaitu Nabi Ibrahim Alaihissalam :
“Sesungguhnya
Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada
Allah dan hanif”. [an Nahl : 120].
Padahal
beliau Alaihissallam hanya seorang diri. Akan tetapi, seakan ia bagaikan satu
umat, umat yang menjadi panutan atau umat bagi dirinya sendiri. Sebaliknya,
Allah menyebutkan mencotohkan lawan dari sebelumnya, gambaran dari sifat teman-teman
kera, babi yang telah membunuh para nabi, menyelewengkan aqidah yang benar dan
merubah agama mereka. Dalam firmanNya, Allah mengkabarkan :
تَحْسَبُهُمْ جَمِيعًا وَقُلُوبُهُمْ شَتَّى
“Kamu
kira mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah-belah”. [al Hasyr : 14].
Kemudian
contoh ketiga adalah gambaran untuk para sahabat nabi, yang mana persatuan
mereka adalah anugerah dari Rabb mereka, karena mereka sebaik-baik orang yang
telah melanjutkan tongkat estafet kebenaran setelah para nabi, semoga Allah
meridhai mereka semua. Allah berfirman :
“Walaupun
kamu membelanjakan (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat
mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka”.
[al Anfal : 63].
Sungguh,
hati dan badan-badan mereka saling bersatu. Dalam firman Allah “kalau
seandainya kalian menginfakkan seluruh isi dunia”, hal ini termasuk mengaitkan
sesuatu dengan hal yang mustahil bagi seorang manusia untuk melakukannya,
karena tidak mungkin ada seseorang yang bisa menginfakkan semua itu, baik emas,
uang dan barang berharga lainnya.
Kalaupun
kamu bisa menginfakkan itu semua, maka kamu tidak akan dapat menyatukan hati
mereka, hati-hati mereka akan tetap bercerai-berai.
Bangsa
Arab sebelum Islam termasuk dari umat yang tidak punya persatuan, bahkan tidak
dikenal kecuali dengan peperangan di antara mereka dan saling membanggakan diri
satu sama lain di dalam perkara atau sebab yang banyak. Peperangan-peperangan
ini merupakan bukti kuat, bahwa bangsa Arab sebelum Islam tidaklah berarti.
Kemudian datang Islam, turun kepada mereka al Qur`an dan petunjuk yang benar,
serta diutusnya Rasul Allah yang haq, merupakan nikmat dari Allah dan Ia pun
menyatukan hati-hati mereka.
Bagian
awal dari ayat, Allah Azza wa Jalla menyebutkan “kamu tidak akan dapat
menyatukan hati-hati mereka”, lalu di bagian akhir disebutkan “akan tetapi
Allah menyatukan mereka”. Allah telah menganugerahkan kepadamu, sesuatu yang
lebih besar dari yang engkau inginkan. Engkau ingin menyatukan hati-hati
mereka, akan tetapi Allah menganugerahkan penyatuan hati dan badan. Tidak hanya
hati mereka, bahkan Allah telah menyatukan di antara mereka (hati dan badan
mereka), sehingga itu merupakan anugerah umatnya dari Allah, dengan
bergabungnya antara persatuan dengan tauhid. Allah berfirman :
وَمَابِكُم مِّن نِّعْمَةٍ فَمِنَ اللهِ
“Dan
apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya)”. [an Nahl
: 53].
Dan
firmanNya :
وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللهِ لاَتُحْصُوهَا
“Dan
jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah kamu dapat menghitungnya”. [Ibrahim
: 34].
Pembicaraan
masalah persatuan dan kesatuan umat sangatlah luas, dalil-dalil yang berkenaan
dengan itu juga sangat banyak, akan tetapi karena perbedaan kaumlah yang telah
melupakan satu dengan yang lainnya.
Karena
itu aku tutup pembicaraan ini dengan mengingatkan hadits Tamim ad Daariy, ia
berkata: bersabda Rasulullah :
الدِّينُ النَّصِيحَةُ ثَلَاثَ مِرَارٍ قَالُوا
يَا رَسُولَ اللَّهِ لِمَنْ قَالَ لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ
وَعَامَّتِهِمْ
“Din
(agama) ini adalah nasihat” (tiga kali). Para sahabat bertanya : “Nasihat bagi
siapa, wahai Rasulullah?”. Nabi menjawab,”Nasihat terhadap Allah (maksudnya
dengan mentauhidkan Allah dan mengikhlaskan niat dalam beribadah, Red), nasihat
terhadap kitabNya (maksudnya, dengan mengimaninya dan mengamalkan isinya, Red),
nasihat terhadap para pemimpin kaum Muslimin (maksudnya, dengan mentaati mereka
dan tidak memberontak) dan nasihat bagi kaum Muslimin secara umum”.
Juga,
tauhid mengantarkan kepada tauhid (persatuan), persatuan akidah menyeru kepada
persatuan kata. Sehingga mereka saling bersatu sebagaimana yang diperintahkan
Allah k . Dan saling tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan takwa, dan
jangan saling membantu dalam hal dosa dan permusuhan.
Di
suatu hadits Abdullah bin Jarir berkata : Rasullah bersabda,”Baaya`na
Rasulullah ala sami wa toat … … wannush likulli muslim”. ia
menambahkan,”Rasulullah membebankan kepada kita dengan apa yang kita mampu”.
Semuai
ini bertujuan untuk mengagungkan persatuan dalam jiwa-jiwa. Dan hendaknya
diketahui, bahwa hak saudaramu padamu, sama seperti hakmu pada mereka. Dan
sesungguhnya tidaklah sempurna iman seseorang, sampai ia mencintai bagi
saudaranya dengan apa yang ia cintai untuk dirinya.
Renungkanlah,
betapa indahnya tatanan masyarakat ini, yang saling mencintai satu sama lain,
saling menolong, mengingatkan, menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar,
dengan penuh kecintaan, kasih-sayang, rahmat dan kelembutan. Membayangkan
bagaimana bersatunya masyarakat dengan menampakkan persatuan kata yang hanya
dilandasi atas persatuan tauhid.
Saya
berdoa kepada Allah agar menyatukan kaum Muslimin di atas Kitab dan Sunnah
RasulNya, menjauhkan dari segala fitnah yang ada, baik yang nampak atau yang
tidak, menghilangkan setiap bentuk kesyirikan, bidah dan perbedaan. Sebagaimana
firman Allah Azza wa Jalla :
“Dan
janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan
hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang
sabar”. [al Anfal : 46].
Firman
Allah :
“Dan
janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu
orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa
golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan
mereka”. [Ar Ruum : 31-32]
Allah
telah menjadikan sikap perpecahan sebagai ciri dari orang musyrik; bertauhid
dan bersatu sebagai ciri dari kaum Mukminin. Semoga Allah menjadikan kita semua
dari orang-orang yang selalu berpegang teguh di atas kebenaran, mewafatkan kita
di atasnya dan Sunnah RasulNya dengan tidak melakukan bid’ah, penyelewengan,
kerusakan dan kehinaan. Maha suci Allah yang kuasa untuk melakukan ini semua.
Wasallahu
‘alan nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wasahbihi ajma’in.
Wa akhiru dakwana alhamdulillhi rabbil ‘alamin.
[Diangkat
dari ceramah Syaikh Ali Hasan –hafizhahullah- di Masjid al Muhajirin Malang, Kamis,
16 Februari 2006M]
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun X/1427H/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183
Telp. 0271-761016]
________
Footnotes
[1]. HR Imam Muslim dalam Shahih-nya.
[2]. HR Bukhari dan Muslim.
[3]. HR Bukhari dan Muslim.
[4]. Yaitu : 1) Firman Allah “berpegang teguhlah”, perintah ini sudah mencakup
semua umat Islam. 2) FirmanNya “kamu semua”. 3) FirmanNya : “janganlah kamu
bercerai-berai”. (Red).
[5]. HR Ibnu Majah.