Kata “takwa”
sangat sering kita dengar dalam ceramah-ceramah agama, sebagaimana kalimat ini
mudah dan ringan diucapkan di lisan kita. Akan tetapi, sudahkah hakikat kalimat
ini terwujud dalam diri kita secara nyata? Sudahkah misalnya ciri-ciri orang
yang bertakwa yang disebutkan dalam ayat berikut ini terealisasi dalam diri
kita?
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ، وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“(Yaitu)
orang-orang yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu lapang maupun sempit, dan
orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah
menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang
apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat
akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang
dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah. Dan mereka tidak meneruskan
perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengatahui.” (Qs. Ali ‘Imran: 134-135)
Maka
mempraktekkan kalimat ini tidak semudah mengucapkannya, khususnya kalau kita
mengetahui bahwa takwa yang sebenarnya adalah amalan hati dan bukan sekedar apa
yang tampak pada anggota badan.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Takwa itu terletak di sini”, sambil
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjuk ke dada/hati beliau tiga
kali[1].
Di sinilah
letak sulitnya merealisasikan takwa yang hakiki, kecuali bagi orang-orang yang
dimudahkan oleh Allah Ta’ala, karena kalau anggota badan mudah kita kuasai dan
tampakkan amal baik padanya, maka tidak demikian keadaan hati, sebab hati manusia
tidak ada seorangpun yang mampu menguasainya kecuali Allah Ta’ala. Allah Ta’ala
berfirman,
وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ
“Dan ketahuilah
bahwa sesungguhnya Allah membatasi (menghalangi) antara manusia dan hatinya.” (Qs. al-Anfaal: 24)
Dan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya semua hati manusia berada di
antara dua jari dari jari-jari ar-Rahman (Allah Ta’ala), seperti hati yang
satu, yang Dia akan membolak-balikkan hati tersebut sesuai dengan kehendak-Nya”,
kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa: “Wahai
Allah Yang membolak-balikkan hati (manusia), palingkanlah hati kami untuk
(selalu) taat kepad-Mu.” [2]
Takwa yang
Hakiki
Imam Ibnu
Qayyim al-Jauziyyah berkata, “Ketahuilah, sesungguhnya seorang hamba hanyalah
mampu melalui tahapan-tahapan perjalanan menuju (ridha) Allah dengan hati dan
keinginannya yang kuat, bukan (cuma sekedar) dengan (perbuatan) anggota
badannya. Dan takwa yang hakiki adalah takwa (dalam) hati dan bukan takwa (pada)
anggota badan (saja). Allah Ta’ala berfirman,
ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ
“Demikianlah
(perintah Allah), dan barangsiapa yang mengagungkan syi’ar-syi’ar (perintah dan
larangan) Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan (dalam) hati.” (Qs. al-Hajj: 32)
(Dalam ayat
lain) Allah berfirman,
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ
“Daging-daging
unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah,
tetapi ketakwan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (Qs. al-Hajj: 32)
Dan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
التقوى ههنا. ويشير إلى صدره ثلاث مرات.
“Takwa itu
(terletak) di sini”, dan beliau
menunjuk ke dada (hati) beliau tiga kali[3], …[4]
Imam an-Nawawi
ketika menjelaskan makna hadits di atas, beliau berkata, “Artinya:
Sesungguhnya amalan perbuatan yang tampak (pada anggota badan) tidaklah (mesti)
menunjukkan adanya takwa (yang hakiki pada diri seseorang). Akan tetapi, takwa
(yang sebenarnya) terwujud pada apa yang terdapat dalam hati (manusia), berupa
pengagungan, ketakutan dan (selalu) merasakan pengawasan Allah Ta’ala.”[5]
Makna takwa
yang hakiki di atas sangatlah jelas, karena amal perbuatan yang tampak pada
anggota badan manusia tidak mesti ditujukan untuk mencari ridha Allah Ta’ala
semata. Lihatlah misalnya orang-orang munafik di zaman Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, mereka menampakkan Islam secara lahir, dengan tujuan
untuk melindungi diri mereka dari kaum muslimin, padahal dalam hati mereka
tersimpan kekafiran dan kebencian yang besar terhadap agama Islam. Allah Ta’ala
berfirman:
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاؤُونَ النَّاسَ وَلا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلاً
“Sesungguhnya
orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah membalas tipu daya mereka, dan
apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas-malasan, mereka
bermaksud riya’/pamer (dengan shalat) di hadapan manusia, dan tidaklah mereka
menyebut nama Allah kecuali sedikit sekali.” (Qs. An-Nisaa’: 142)
Demikianlah
keadaan manusia dalam mengamalkan agama Islam secara lahir, tidak semua
bertujuan untuk mencari ridha-Nya. Bahkan di antara mereka ada yang mengamalkan
Islam hanya ketika dirasakan ada manfaat pribadi bagi dirinya, dan ketika
dirasakan tidak ada manfaatnya maka dia langsung berpaling dari agama Islam.
Mereka inilah
yang dimaksud dalam firman Allah Ta’ala,
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ عَلَى حَرْفٍ فَإِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ اطْمَأَنَّ بِهِ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ انْقَلَبَ عَلَى وَجْهِهِ خَسِرَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةَ ذَلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ
“Dan di antara
manusia ada orang yang beribadah kepada Allah dengan berada di tepi (untuk
memuaskan kepentingan pribadi), jika mendapatkan kebaikan (untuk dirinya), dia
akan senang, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana/hilangnya nikmat,
berbaliklah ia ke belakang (berpaling dari agama). Rugilah dia di dunia dan
akhirat, yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” (Qs. al-Hajj: 11)
Artinya: Dia
masuk ke dalam agama Islam pada tepinya (tidak sepenuhnya), kalau dia
mendapatkan apa yang diinginkannya maka dia akan bertahan, tapi kalau tidak
didapatkannya maka dia akan berpaling[6].
Beberapa Contoh
Pengamalan Takwa yang Hakiki
Beberapa contoh
berikut ini merupakan pengamalan takwa yang hakiki, karena dilakukan semata-semata
karena mencari ridha Allah dan bukan untuk memenuhi kepentingan pribadi dan
hawa nafsu.
1- Firman Allah
Ta’ala,
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ
“(Yaitu)
orang-orang yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu lapang maupun sempit, dan
orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain.” (Qs. Ali ‘Imran: 134)
Ketiga
perbuatan ini, berinfak/bersedekah dalam keadaan lapang maupun sempit, menahan
kemarahan di saat kita mampu melampiaskannya dan memaafkan kesalahan orang yang
berbuat salah kepada kita, adalah perbuatan yang bersumber dari ketakwaan hati
dan bersih dari kepentingan pribadi serta memperturutkan hawa nafsu.
2- Firman Allah
Ta’ala,
وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ على أَلاَّ تَعْدِلُوْا اِعْدِلُوْا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى
“Dan janganlah
sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku
tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (Qs. al-Maaidah: 8)
Imam Ibnul
Qayyim membawakan ucapan seorang ulama salaf yang menafsirkan sikap adil dalam
ayat ini, beliau berkata, “Orang yang adil adalah orang yang ketika dia marah
maka kemarahannya tidak menjerumuskannya ke dalam kesalahan, dan ketika dia
senang maka kesenangannya tidak membuat dia menyimpang dari kebenaran.”[7]
Kebanyakan
orang bisa bersikap baik dan adil kepada orang lain ketika dia sedang senang
dan ridha kepada orang tersebut, karena ini sesuai dengan kemauan hawa
nafsunya. Tapi sikap baik dan adil meskipun dalam keadaan marah/benci kepada
orang lain, hanya mampu dilakukan oleh orang yang memiliki ketakwaan dalam
hatinya.
3- Doa yang
diucapkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits
yang shahih:
اللهم وأسألك خشيتك في الغيب والشهادة وأسألك كلمة الحق في الرضا والغضب وأسألك القصد في الفقر والغنى
“Ya Allah, aku
minta kepada-Mu rasa takut kepada-Mu di waktu sendirian maupun di hadapan orang
lain, dan aku minta kepada-Mu ucapan yang benar dalam keadaan senang maupun
marah, dan aku minta kepada-Mu kesederhanaan di waktu miskin maupun kaya.”[8]
Takut kepada
Allah di waktu sendirian, ucapan yang benar dalam keadaan marah dan sikap
sederhana di waktu kaya hanya bisa dilakukan oleh orang yang memiliki takwa
dalam hatinya.
4- Ucapan Yahya
bin Mu’adz ar-Raazi[9], “Cinta karena Allah yang hakiki adalah jika
kecintaan itu tidak bertambah karena kebaikan (dalam masalah pribadi/dunia) dan
tidak berkurang karena keburukan (dalam masalah pribadi/dunia)”[10]
Cinta yang
dipengaruhi dengan kebaikan/keburukan yang bersifat duniawai semata bukanlah
cinta yang dilandasi ketakwaan dalam hati.
Kiat untuk
Mencapai Takwa yang Hakiki
Berdasarkan
keterangan para ulama ahlus sunnah, satu-satu cara untuk mewujudkan ketakwaan
dalam hati, setelah berdoa kepada Allah Ta’ala, adalah dengan melakukan
tazkiyatun nufus (pensucian jiwa/pembersihan hati), karena ketakwaan kepada
Allah Ta’ala yang sebenarnya (ketakwaan dalam hati) tidak akan mungkin dicapai
kecuali dengan berusaha mensucikan dan membersihkan jiwa dari kotoran-kotoran
yang menghalangi seorang hamba untuk dekat kepada Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala
Menjelaskan hal ini dalam firman-Nya,
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاها قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا
“Dan (demi)
jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa
itu (jalan) kefasikan dan ketakwaan, Sesungguhnya beruntunglah orang yang
mensucikan jiwa itu (dengan ketakwaan), dan sesungguhnya merugilah orang yang
mengotorinya (dengan kefasikan).” (Qs. Asy
Syams: 7-10)
Demikian juga
sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam doa beliau, “Ya
Allah, anugerahkanlah kepada jiwaku ketakwaannya, dan sucikanlah jiwaku (dengan
ketakwaan itu), Engkau-lah Sebaik-baik Yang Mensucikannya, (dan) Engkau-lah
Yang Menjaga serta Melindunginya.” [11]
Imam Maimun bin
Mihran[12] berkata, “Seorang hamba tidak akan mencapai takwa (yang hakiki)
sehingga dia melakukan muhasabatun nafsi (introspeksi terhadap keinginan jiwa
untuk mencapai kesucian jiwa) yang lebih ketat daripada seorang pedagang yang
selalu mengawasi sekutu dagangnya (dalam masalah keuntungan dagang). Oleh
karena itu ada yang mengatakan bahwa jiwa manusia itu ibaratnya seperti sekutu
dagang yang suka berkhianat. Kalau Anda tidak selalu mengawasinya, dia akan
pergi membawa hartamu (sebagaimana jiwa akan pergi membawa agamamu)”[13]
Ketika
menerangkan pentingnya pensucian jiwa ini, Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah
berkata, “Orang-orang yang menempuh jalan (untuk mencari keridhaan) Allah,
meskipun jalan dan metode yang mereka tempuh berbeda-beda, (akan tetapi) mereka
sepakat (mengatakan) bahwa nafsu (jiwa) manusia adalah penghalang (utama) bagi
hatinya untuk sampai kepada (ridha) Allah (sehingga) seorang hamba tidak (akan)
mencapai (kedekatan) kepada Allah kecuali setelah dia (berusaha) menentang dan
menguasai nafsunya (dengan melakukan tazkiyatun nufus).” [14]
Kemudian,
pensucian jiwa yang benar hanyalah dapat dicapai dengan memahami dan
mengamalkan petunjuk Allah dalam al-Qur’an dan sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Allah Ta’ala
menjelaskan salah satu fungsi utama diturunkannya Al Qur-an, yaitu membersihkan
hati dan mensucikan jiwa manusia dari noda dosa dan maksiat yang mengotorinya,
dalam firman-Nya,
أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَسَالَتْ أَوْدِيَةٌ بِقَدَرِهَا فَاحْتَمَلَ السَّيْلُ زَبَداً رَابِياً وَمِمَّا يُوقِدُونَ عَلَيْهِ فِي النَّارِ ابْتِغَاءَ حِلْيَةٍ أَوْ مَتَاعٍ زَبَدٌ مِثْلُهُ كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْحَقَّ وَالْبَاطِلَ فَأَمَّا الزَّبَدُ فَيَذْهَبُ جُفَاءً وَأَمَّا مَا يَنْفَعُ النَّاسَ فَيَمْكُثُ فِي الْأَرْضِ كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ
“Allah
menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah
menurut ukurannya, maka aliran air itu itu membawa buih yang mengambang (di
permukaan air). Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat
perhiasaan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu.Demikianlah
Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih, akan
hilang sebagai sesuatu yang tidak berguna; adapun yang memberi manfaat kepada
manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat
perumpamaan-perumpamaan.” (Qs. Ar Ra’d:
17)
Ketika
menafsirkan ayat di atas, Imam Ibnul Qayyim berkata, “(Dalam ayat ini) Allah Ta’ala
mengumpamakan ilmu yang diturunkan-Nya kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi
wa sallam dengan air (hujan), karena keduanya membawa kehidupan dan manfaat
bagi manusia dalam kehidupan mereka di dunia dan akhirat. Kemudian Allah
mengumpamakan hati manusia dengan lembah (sungai, danau dan lain-lain), hati
yang lapang (karena bersih dari kotoran) akan mampu menampung ilmu yang banyak
sebagaimana lembah yang luas mampu menampung air yang banyak, dan hati yang
sempit (karena dipenuhi kotoran) hanya mampu menampung ilmu yang sedikit
sebagaimana lembah yang sempit hanya mampu menampung air yang sedikit, Allah
berfirman (yang artinya), “…Maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut
ukurannya (daya tampungnya).” (Kemudian Allah berfirman yang artinya), “…Maka
aliran air itu itu membawa buih yang mengambang (di permukaan air).” Ini
adalah perumpamaan yang Allah sebutkan bagi ilmu (wahyu dari-Nya) ketika
kemanisan ilmu tersebut masuk dan meresap ke dalam hati manusia, maka ilmu
tersebut akan mengeluarkan (membersihkan) dari hati manusia buih (kotoran)
syubhat (kerancuan dalam memahami dan mengamalkan agama) yang merusak sehingga
kotoran tersebut akan mengambang (tidak menetap) di permukaan hati, sebagaimana
aliran air akan mengeluarkan kotoran dari lembah sehingga kotoran tersebut akan
mengambang di permukaan air. Dan Allah Ta’ala mengabarkan bahwa kotoran
tersebut mengambang dan mengapung di atas permukaan air, tidak menetap (dengan
kuat) di atas tanah. Demikian pula (keadaan kotoran) syubhat yang rusak ketika
ilmu mengeluarkan (membersihkan)nya (dari hati), syubhat tersebut akan
mengambang dan mengapung di atas permukaan hati, tidak menetap dalam hati,
bahkan (kemudian) akan dibuang dan disingkirkan (dari hati), sehingga (pada
akhirnya) yang menetap pada hati tersebut adalah petunjuk (ilmu) dan agama yang
benar (amal shaleh) yang bermanfaat yang bermanfaat bagi orang tersebut dan
orang lain, sebagaimana yang akan menetap pada lembah adalah air yang jernih
dan buih (kotoran) akan tersingkirkan sebagai sesuatu yang tidak berguna.
Tidaklah mampu (memahami) perumpaan-perumpaan dari Allah kecuali orang-orang
yang berilmu.” [15]
Kemudian
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih mempertegas perumpaan di
atas dalam sabda beliau, “Sesungguhnya perumpaan bagi petunjuk dan ilmu yang
Allah wahyukan kepadaku seperti air hujan (yang baik) yang Allah turunkan ke
bumi…”[16]
Imam Ibnu Hajar
dalam kitab Fathul Baari membawakan ucapan para ulama dalam menerangkan
makna hadits ini, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat perumpamaan
bagi agama yang beliau bawa (dari Allah) seperti air hujan (yang baik) yang
merata dan turun ketika manusia (sangat) membutuhkannya, seperti itu jugalah
keadaan manusia sebelum diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
maka sebagaimana air hujan tersebut memberi kehidupan (baru) bagi negeri yang
mati (kering dan tandus), demikian pula ilmu agama akan memberi kehidupan bagi
hati yang mati…” [17]
Oleh karena
itulah, Imam Ibnul Jauzi di sela-sela sanggahan beliau terhadap sebagian
orang-orang ahli tasawuf yang mengatakan bahwa ilmu tentang syariat Islam tidak
diperlukan untuk mencapai kebersihan hati dan kesucian jiwa, beliau berkata,
“Ketahuilah bahwa hati manusia tidak (mungkin) terus (dalam keadaan) bersih.
Akan tetapi (suatu saat mesti) akan bernoda (karena dosa dan maksiat), maka
(pada waktu itu) dibutuhkan pembersih (hati), dan pembersih hati itu adalah
menelaah kitab-kitab ilmu (agama untuk memahami dan mengamalkannya)” [18]
Penutup
Setelah membaca
tulisan di atas, jelaslah bagi kita bagaimana pentingnya mengkaji dan memahami
ilmu agama, karena inilah satu-satunya cara untuk meraih kemuliaan tingi dalam
agama, yaitu ketakwaan hati dan kesucian jiwa. Oleh karena itu, sangat wajar
kalau kita dapati para ulama Ahlus Sunnah menggambarkan kebutuhan manusia
terhadap ilmu agama melebihi besarnya kebutuhan mereka terhadap semua kebutuan
pokok dalam kehidupan mereka.
Alangkah indahnya ucapan Imam Ahmad bin Hambal, Imam ahlus Sunnah di jamannya, ketika menggambarkan kebutuhan manusia terhadap ilmu agama ini dalam ucapan beliau yang terkenal: “Kebutuhan manusia terhadap ilmu (agama) melebihi besarnya kebutuhan mereka terhadap makan dan minum, karena makan dan minum dibutuhkan sekali atau dua kali dalam sehari, adapun ilmu (agama) dibutuhkan (sesuai) dengan hitungan nafas manusia (setiap waktu).” [19]
Alangkah indahnya ucapan Imam Ahmad bin Hambal, Imam ahlus Sunnah di jamannya, ketika menggambarkan kebutuhan manusia terhadap ilmu agama ini dalam ucapan beliau yang terkenal: “Kebutuhan manusia terhadap ilmu (agama) melebihi besarnya kebutuhan mereka terhadap makan dan minum, karena makan dan minum dibutuhkan sekali atau dua kali dalam sehari, adapun ilmu (agama) dibutuhkan (sesuai) dengan hitungan nafas manusia (setiap waktu).” [19]
Akhirnya, kami
menutup tulisan ini dengan doa:
Ya Allah, anugerahkanlah kepada jiwa-jiwa kami semua ketakwaannya,
dan sucikanlah jiwa kami (dengan ketakwaan itu),
Engkau-lah Sebaik-baik Yang Mensucikannya,
(dan) Engkau-lah Yang Menjaga serta Melindunginya.
Ya Allah, anugerahkanlah kepada jiwa-jiwa kami semua ketakwaannya,
dan sucikanlah jiwa kami (dengan ketakwaan itu),
Engkau-lah Sebaik-baik Yang Mensucikannya,
(dan) Engkau-lah Yang Menjaga serta Melindunginya.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, 13 Ramadhan 1430 H
***
Penulis: Ustadz
Abdullah Taslim, M.A.
Artikel www.muslim.or.id
Artikel www.muslim.or.id
Footnote:
[1] HSR Muslim
(no. 2564).
[2] HSR Muslim
(no. 2654).
[3] HSR Muslim
(no. 2564).
[4] Kitab al-Fawa-id
(hal. 185).
[5] Kitab Syarh
Shahih Muslim (16/121).
[6] Lihat Tafsir
Ibnu Katsir (3/281).
[7] Kitab ar-Risalatut
Tabuukiyyah (hal. 33).
[8] HR
an-Nasa-i (3/54) dan Ahmad (4/264), dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani.
[9] Biografi
beliau dalam kitab Siyaru A’laamin Nubalaa’ (13/15).
[10] Dinukil
oleh Imam Ibnu Hajar al-’Asqalaani dalam Fathul Baari (1/62).
[11] HSR Muslim
dalam Shahih Muslim (no. 2722).
[12] Beliau
adalah Abu Ayyub Al Jazari Al Kuufi, seorang ulama tabi’in yang terpercaya
(dalam meriwayatkan hadits) dan berilmu tinggi, beliau wafat tahun 117 H. Lihat
kitab Taqriibut Tahdziib tulisan Imam Ibnu Hajar (hal. 513).
[13] Dinukil
oleh Imam Ibnul Qayyim dalam Ighaatsatul Lahfaan (hal. 147- Mawaaridul
Amaan).
[14] Kitab Ighaatsatul
Lahfaan (hal. 132 – Mawaaridul Amaan).
[15] Kitab Miftaahu
Daaris Sa’aadah (1/61).
[16] HSR Al
Bukhari (no. 79) dan Muslim (no. 2282).
[17] Fathul
Baari (1/177).
[18] Kitab Talbiisu
Ibliis (hal.398).
[19] Dinukil
oleh Imam Ibnul Qayyim dalam kitab beliau Miftaahu Daaris Sa’aadah
(1/61) dan (1/81).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar