Silaturahmi
merupakan ibadah yang sangat agung, mudah dan membawa berkah. Kaum muslimin
hendaknya tidak melalaikan dan melupakannya. Sehingga perlu meluangkan waktu
untuk melaksanakan amal shalih ini. Demikian banyak dan mudahnya alat
transportasi dan komunikasi, seharusnya menambah semangat kaum muslimin
bersilaturahmi. Bukankah silaturahmi merupakan satu kebutuhan yang dituntut
fitrah manusia? Karena dapat menyempurnakan rasa cinta dan interaksi sosial
antar umat manusia. Silaturahmi juga merupakan dalil dan tanda kedermawanan
serta ketinggian akhlak seseorang.
Silaturahim
termasuk akhlak yang mulia. Dianjurkan dan diseru oleh Islam. Diperingatkan
untuk tidak memutuskannya. Allah Ta’ala telah menyeru hambanya berkaitan dengan
menyambung tali silaturahmi dalam sembilan belas ayat di kitab-Nya yang mulia.
Allah Ta’ala memperingatkan orang yang memutuskannya dengan laknat dan adzab,
diantara firmanNya,
فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِن تَوَلَّيْتُمْ أَن تُفْسِدُوا فِي اْلأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ أُوْلَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ
Artinya: “Maka
apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan
memutuskan hubungan kekeluargaan ? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati
Allah dan ditulikanNya telinga mereka, dan dibutakanNya penglihatan mereka.”
(QS Muhammad 47:22-23).
وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Artinya: “Dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) namaNya kamu saling
meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS An Nisaa’ 4:1).
Juga sabda
Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam ,
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
Artinya: “Barangsiapa
yang senang untuk dilapangkan rizkinya dan diakhirkan ajalnya (dipanjangkan
umurnya), maka hendaklah ia menyambung (tali) silaturahim.”
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini di riwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya, Kitabul Adab, bab Man Busitha Lahu Minar Rizqi Bi Shilatirrahim (10/429). Muslim dalam Shahihnya, Kitabul Birri Wal Shilah Wal Adab, bab Shilaturrahim Wa Tahrimu Qathi’atiha (16/330). Abu Daud dalam Sunannya, kitab Az Zakat, Bab Fi Shilaturrahmi no. 1693, dengan lafadz,
Hadits ini di riwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya, Kitabul Adab, bab Man Busitha Lahu Minar Rizqi Bi Shilatirrahim (10/429). Muslim dalam Shahihnya, Kitabul Birri Wal Shilah Wal Adab, bab Shilaturrahim Wa Tahrimu Qathi’atiha (16/330). Abu Daud dalam Sunannya, kitab Az Zakat, Bab Fi Shilaturrahmi no. 1693, dengan lafadz,
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
Artinya: “Barangsiapa
yang suka dilapangkan rizkinya dan diakhirkan ajalnya, maka sambunglah
silaturahim.”
At Tirmidzi
dalam Jami’nya, no. 1865, Ibnu Majah dalam Sunannya no. 3663 dan Ahmad dalam
Musnadnya sebanyak 10 riwayat.
MAKNA KOSA KATA
HADITS
- الأَثَ bermakna ajal, karena dia ikuti kepada kehidupan dalam jejak-jejaknya, dan
- بَسْطُ رِزْقِهِ bermakna dilapangkan dan diperbanyak, dikatakan pula bermakna berkah di dalamnya (yakni diberkahi rizkinya).
FAIDAH HADITS
Hadits yang agung ini memberikan salah satu gambaran tentang keutamaan silaturahmi. Yaitu dipanjangkan umur pelakunya dan dilapangkan rizkinya.
Adapun penundaan ajal atau perpanjangan umur, terdapat satu permasalahan; yaitu bagaimana mungkin ajal
Hadits yang agung ini memberikan salah satu gambaran tentang keutamaan silaturahmi. Yaitu dipanjangkan umur pelakunya dan dilapangkan rizkinya.
Adapun penundaan ajal atau perpanjangan umur, terdapat satu permasalahan; yaitu bagaimana mungkin ajal
diakhirkan? Bukankah ajal telah ditetapkan dan tidak
dapat bertambah dan berkurang sebagaimana firmanNya,
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَآءَ أَجَلُهُمْ لاَيَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلاَيَسْتَقْدِمُونَ
Artinya: “Maka
apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang
sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (QS Al A’raf: 34).
Jawaban para
ulama tentang masalah ini sangatlah banyak. Di antaranya,
Pertama. Yang dimaksud dengan tambahan di sini, yaitu
tambahan berkah dalam umur. Kemudahan melakukan ketaatan dan menyibukkan diri
dengan hal yang bermanfaat baginya di akhirat, serta terjaga dari kesia-siaan.
Kedua. Berkaitan dengan ilmu yang ada pada malaikat yang
terdapat di Lauh Mahfudz dan semisalnya. Umpama usia si fulan tertulis dalam
Lauh Mahfuzh berumur 60 tahun. Akan tetapi jika dia menyambung silaturahim,
maka akan mendapatkan tambahan 40 tahun, dan Allah telah mengetahui apa yang
akan terjadi padanya (apakah ia akan menyambung silaturahim ataukah tidak).
Inilah makna firman Allah Ta’ala ,
يَمْحُو اللهُ مَايَشَآءُ وَيُثْبِتُ
Artinya: “Allah
menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki).”
(QS Ar Ra’d:39).
Demikian ini
ditinjau dari ilmu Allah. Apa yang telah ditakdirkan, maka tidak akan ada
tambahannya. Bahkan tambahan tersebut adalah mustahil. Sedangkan ditinjau dari
ilmu makhluk, maka akan tergambar adanya perpanjangan (usia).
Dan yang ketiga. Yang dimaksud, bahwa namanya tetap diingat dan
dipuji. Sehingga seolah-olah ia tidak pernah mati. Demikianlah yang diceritakan
oleh Al Qadli, dan riwayat ini dha’if (lemah) atau bathil. Wallahu a’lam.
[Shahih Muslim dengan Syarah Nawawi, bab Shilaturrahim Wa Tahrimu
Qathi’atiha (16/114)]
Demikian pula
Syaikhul Islam berkomentar tentang permasalahan ini dengan pernyataan beliau :
Adapun firman Allah Ta’ala ,
Adapun firman Allah Ta’ala ,
وَمَايُعَمَّرُ مِن مُّعَمَّرٍ وَلاَيُنقَصُ مِنْ عُمُرِهِ …..
Arinya: “Dan
sekali-kali tidak diperpanjang umur seorang yang berumur panjang, dan tidak
pula dikurangi umurnya…… ” (QS Fathir:11).
Bermakna umur
manusia tidak akan diperpanjang, dan tidak pula akan dikurangi. Adapun maksud
diperpanjangan dan pengurangan disini, bermakna dua hal, yaitu :
Pertama. Si fulan berumur panjang, sedangkan lainnya berumur
pendek. Maka pengurangan umur di sini merupakan kekurangannya dibanding yang
lainnya, sebagaimana orang yang panjang umurnya berumur panjang dan yang lain
berumur pendek. Maka pengurangan umurnya menunjukkan dia lebih pendek
dibandingkan yang pertama sebagaimana perpanjangan merupakan tambahan dibanding
yang lainnya.
Kedua. Bisa jadi makna kurang disini ialah kurang dari umur
yang telah ditentukan, sebagaimana yang dimaksud dengan tambahan adalah
tambahan dari umur yang telah ditentukan. Sebagaimana dalam Shahihain dari Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam, beliau bersabda,
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
Artinya: “Barangsiapa
yang suka dilapangkan rizkinya dan diakhirkan ajalnya, maka sambunglah
silaturahim.”
Sebagian orang
berkata, yang dimaksud adalah barakah dalam umurnya dengan beramal dengan waktu
yang singkat sesuatu yang diamalkan oleh orang lain dalam waktu yang lama.
Mereka beralasan, karena rizki dan ajal telah ditakdirkan dan ditentukan. Maka
dikatakan kepada mereka, bahwa barakah tadi bermakna tambahan dalam amal dan
manfaat. Padahal hal tersebut juga telah ditakdirkan. Bahkan ketentuan tersebut
meliputi semua hal.
Jawaban yang
benar ialah : Bahwa Allah telah menetapkan ajal hamba dalam catatan malaikat.
Apabila ia menyambung silaturahim, maka akan ditambahkan pada apa yang tertulis
dalam catatan malaikat tersebut. Jika ia melakukan amalan yang menyebabkan
umurnya berkurang, maka akan dikurangkan dari apa yang telah tertulis tersebut.
Pandangan ini berdasarkan apa yang ada dalam Sunan Tirmidzi dan lainnya dari
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam , beliau bersabda,
أَنَّ آدم لَمَّا طَلَبَ مِنَ اللهِ أَنْ يُرَيَهُ صُوْرَةَ الأَنْبِيَاءِ مِنْ ذُرِّيَتِهِ فَأَرَاهُ إِيَاهُمْ فَرَأَى فِيْهِمْ رَجُلاً لَهُ بَصِيْصٌ فَقَالَ مَنْ هَذَا يَا رَبِّ؟ فَقَالَ ابْنُكَ دَاوُد فَقَالَ فَكَمْ عُمْرُهُ؟ قَالََ أَرْبَعِوْنَ سَنَةً قَالَ وَكَمْ عُمْرِيْ ؟ قَالَ أَلْفُ سَنَةٍ قَالَ فَقَدْ وَهَبْتُ لَهُ مِنْ عُمْرِي سِتِّينَ سَنَةً فَكَتَبَ عَلَيْهِ كِتَابٌ وَشَهِدَتْ عَلَيْهِ الْمَلاَئِكَةُ فَلَمَّا حَضَرَتِ الْوَفَاةُ قَالَ قَدْ بَقِيَ مِنْ عُمْرِي سِتُُّوْنَ سَنَةً قَالُوْا قَدْ وَهَبْتَهَا لإِبْنِكَ دَاوُدَ فَأَنْكَرَ ذَلِكَ فَأَخْرَجُوْا الْكِتَابَ قَالَ النَّبِيِّ : فنُسِّيَ آدَمُ فَنُسِّيَتْ ذُرِّيَّتُهَُوَجَحَدَ آدَمُ فَجَحَدَتْ ذُرِّيَّتُهُ
Artinya: “Sesungguhnya
Adam ketika meminta kepada Allah agar diperlihatkan kepadanya wajah-wajah para
nabi dari keturunannya, maka Allah pun memperlihatkannya. Kemudian dia melihat
seorang laki-laki yang memiliki cahaya. Adam bertanya,”Ya Rabbi, siapakah ini?”
Allah menjawab,”Anakmu, Daud.” Lalu beliau bertanya lagi,”Berapa umurnya?”
Dijawab,”Umurnya 40 tahun” , beliau bertanya lagi,”Berapa umur saya?”
Dijawab,”Seribu tahun”, Adam berkata,”Saya berikan enam puluh tahun umur saya
kepadanya.” Maka ditulis atasnya suatu kitab yang disaksikan oleh malaikat.
Sehingga ketika akan meninggal dia berkata,”Umur saya masih tersisa enam puluh
tahun.” Malaikat menjawab,”Kamu telah memberikannya kepada anakmu Daud.” Lalu
Adam mengingkarinya dan dikeluarkanlah kitab tadi. Nabi Shallallahu’Alaihi
Wasallam bersabda, “Adam telah lupa, maka anak keturunannya pun (punya sifat)
lupa. Dan Adam telah mengingkari, maka anak keturunannya pun (punya sifat)
mengingkari.” ” [Riwayat Tirmidzi dalam tafsir Surat Al A’raf dan dia
berkata,”Hadits ini hasan gharib dari jalan ini (11/196). Berkata Al Arnauth
dalam Jami’ul Ushul (2/141). Diriwayatkan oleh Al Hakim, dan beliau
menshahihkannya serta disepakati oleh Adz Dzahabi. Syeikh Al Albani
menshahihkannya dalam Shahihul Jami' No. 5209]
Dan telah
diriwayatkan, bahwa umur Adam disempurnakan. Demikian juga umur Daud telah
ditetapkan empat puluh tahun, kemudian ditambah*) enam puluh tahun. Inilah
makna perkataan Umar,”Ya Allah jika Engkau telah menulis, bahwa saya termasuk
orang yang sengsara, maka hapuslah dan tulis saya sebagai orang yang
berbahagia, karena Engkau menghapus apa yang Engkau kehendaki dan menetapkan
(apa yang Engkau kehendaki).” Allah telah mengetahui apa yang sudah terjadi,
yang sedang terjadi dan yang belum terjadi, dan seandainya terjadi bagaimana
cara terjadinya. Allah mengetahui apa yang telah ditulis bagi seorang hamba,
dan apa yang akan ditambahkan kepadanya. Sedangkan para malaikat tidak
mengetahui, kecuali apa yang telah Allah beritahukan kepada mereka. Allah
mengetahui segala sesuatu sebelum dan sesudah terjadinya. Oleh karena itu para
ulama mengatakan, bahwa penghapusan dan penetapan itu terjadi pada catatan
malaikat. Adapun ilmu Allah, maka tidak akan berbeda dan tidak ada yang baru
yang belum diketahuinya. Sehingga tidak ada penghapusan dan penetapan.[Majmu’
Fatawa Ibnu Taimiyyah (14/490)]
[*) Barangkali yang benar adalah,“ditambah baginya” sebagai ganti dari “dijadikannya”, karena Adam as telah memberikan kepada Daud 60 tahun dari umurnya, sehingga umur Daud menjadi 100 tahun bukan 60 tahun]
Berkata di tempat lain :
Ajal itu ada dua. Ajal mutlak dan ajal muqayyad. Dengan ini maka jelaslah makna sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ,
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
Artinya: “Barangsiapa
yang suka dilapangkan rizkinya dan diakhirkan ajalnya, maka sambunglah
silaturrahim.”
Karena Allah
memerintahkan malaikat untuk menulis ajal seseorang, kemudian berfirman (yang
artinya),“Apabila dia menyambungkan silaturahmi, maka tambah sekian dan
sekian.” Dan malaikat tidak mengetahui, apakah akan ditambahkan ataukah
tidak. Sedangkan Allah mengetahui apa yang akan terjadi. Sehingga apabila
datang waktunya, maka tidak bisa dimajukan ataupun dimundurkan.[Majmu’
Fatawa Ibnu Taimiyyah (8/517)]
Ibnu Hajar Rahimahullah
menjawab permasalahan ini, ”Berkata Ibnu Tin, ‘Secara lahiriah, hadits ini
bertentangan dengan firman Allah,
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَآءَ أَجَلُهُمْ لاَيَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلاَيَسْتَقْدِمُونَ
Artinya: “Maka
apabila telah datang ajal mereka, mereka tidak dapat mengundurkannya barang
sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (QS Al A’raf:34).
Untuk mancari
titik temu kedua dalil tersebut dapat ditempuh melalui dua jalan. Pertama,
tambahan (umur) yang dimaksud yaitu kinayah dari usia yang diberi berkah,
karena mendapat taufiq (kemudahan) menjalankan ketaatan, menyibukkan waktunya
dengan hal yang bermanfaat di akhirat, serta menjaga waktunya dari kesia-siaan.
Hal ini seperti sabda Nabi Shallallahu’Alaihi Wasallam , bahwa umur umat
ini lebih pendek dibandingkan umur umat-umat yang terdahulu. Tetapi kemudian
Allah menganugerahi lailatul qadar (malam qadar).
Kesimpulannya,
silaturahim dapat menjadi sebab mendapatkan taufiq (kemudahan) menjalankan
ketaatan dan menjaga dari kemaksiatan. Sehingga namanya akan tetap dikenang.
Seolah-olah seseorang itu tidak pernah mati. Dan di antara hal yang bisa
mendatangkan taufiq, yaitu ilmu yang bermanfaat bagi orang setelahnya, shadaqah
jariyah dan anak keturunan yang shalih.
Kedua, tambahan
itu secara hakikat atau sesungguhnya. Hal itu berkaitan dengan ilmu malaikat
yang diberi tugas mengenai umur manusia. Adapun yang ditunjukkan oleh ayat
pertama di atas, maka hal itu berkaitan dengan ilmu Allah Ta’ala . Umpamanya
dikatakan kepada malaikat, umur si fulan 100 tahun jika ia menyambung
silaturahmi, dan 60 tahun jika ia memutuskannya.
Dalam ilmu
Allah telah diketahui, bahwa fulan tersebut akan menyambung atau memutuskan
silaturahim, maka yang ada dalam ilmu Allah tidak akan maju atau mundur,
sedangkan yang ada dalam ilmu malaikat itulah yang mungkin bisa bertambah atau
berkurang. Demikianlah yang diisyaratkan oleh firman Allah,
يَمْحُو اللهُ مَايَشآءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ
Artinya: “Allah
menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki),
dan di sisiNya-lah tedapat Ummul Kitab (Lauh Mahfudz).” (QS Ar Ra’d:39).
Jadi, yang
dimaksud dengan menghapuskan dan menetapkan dalam ayat itu ialah yang ada dalam
ilmu malaikat. Adapun yang ada di Lauh Mahfuzh itu, merupakan ilmu Allah yang
tidak akan ada penghapusan (perubahan) selama-lamanya. Itulah yang disebut
dengan al qadha al mubram (takdir atau putusan yang pasti). Sedangkan
yang pertama (ilmu malaikat) disebut al qadha al mu’allaq (takdir atau
putusan yang masih menggantung).
Yang pertama
tampak lebih cocok dengan lafadz hadits di atas. Karena al atsar ialah
sesuatu yang mengikuti yang lain. Apabila diakhirkan, maka menjadi baik untuk
membawanya kepada keharuman nama setelah meninggalnya. Ath Thibbi berkata,
”Jalan yang pertama lebih jelas…” [Fathul Bari, Kitabul Adab, bab
Man Busitha Lahu Fir Rizqi Bi Shilatirrahim (10/429)]
Berdasarkan
nukilan ini, jelaslah, bahwa para ulama Rahimahumullah mempunyai tiga
pendapat dalam menafsirkan penambahan umur. Pendapat pertama, barakah. Pendapat
kedua, perpanjangan hakiki atau sesungguhnya. Pendapat ketiga, keharuman nama
setelah meninggalnya.
Akhirnya, inti
yang wajib kita jadikan jalan keluar dari perselisihan makna memanjangkan umur
baik bermakna hakikat ataupun majaz (kiasan), yaitu memperpanjang umur tersebut
dengan menggunakan dan menghabiskannya untuk mendapatkan tambahan kebaikan.
Adapun seseorang yang panjang umurnya tetapi jelek amalannya, maka ia termasuk
sejelek-jelek orang, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
dalam hadits Abu Bakrah Radhiyallahu’anhu.
Keutamaan inipun
dikuatkan dengan hadits Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu’anhu dari
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, yang berbunyi,
صِلَةُ الرَّحِمِ تَزِيْدُ الْعُمُرَ
Artinya: “Silaturahim
bisa menambah umur.” [Dikeluarkan oleh Al Qadha’i dalam Musnad Asy Syihab
dan dihasankan oleh Al Munawi dalam Faidhul Qadir (4/192) dan Al Albani
menshahihkannya dalam Shahihul Jami' no. 3776]
Keutamaan
silaturahmi yang lainnya, dijelaskan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
dalam banyak hadits. Diantaranya ialah :
Pertama. Silaturahmi merupakan salah satu tanda dan kewajiban
iman. Sebagaimana dijelaskan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
dalam hadits Abu Hurairh, beliau bersabda,
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
Artinya: “Barangsiapa
yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah bersilaturahmi.”
(Mutafaqun ‘alaihi).
Kedua. Mendapatkan rahmat dan kebaikan dari Allah Ta’ala .
Sebagaimana sabda beliau Shallallahu’alaihi Wasallam ,
خَلَقَ اللَّهُ الْخَلْقَ فَلَمَّا فَرَغَ مِنْهُ قَامَتْ فَقَالَتْ هَذَا مَقَامُ الْعَائِذِ بِكَ مِنْ الْقَطِيعَةِ قَالَ أَلَا تَرْضَيْنَ أَنْ أَصِلَ مَنْ وَصَلَكِ وَأَقْطَعَ مَنْ قَطَعَكِ قَالَتْ بَلَى يَا رَبِّ
Artinya: “Allah
menciptakan makhlukNya, ketika selesai menyempurnakannya, bangkitlah rahim dan
berkata,”Ini tempat orang yang berlindung kepada Engkau dari pemutus rahim.”
Allah menjawab, “Tidakkah engkau ridha, Aku sambung orang yang menyambungmu dan
memutus orang yang memutusmu?” Dia menjawab,“Ya, wahai Rabb.”” (Mutafaqun
‘alaihi).
Ibnu Abi Jamrah
berkata,“Kata ‘Allah menyambung’, adalah ungkapan dari besarnya karunia
kebaikan dari Allah kepadanya.”
Sedangkan Imam
Nawawi menyampaikan perkataan ulama dalam uraian beliau,“Para ulama berkata,
‘hakikat shilah adalah kasih-sayang dan rahmat. Sehingga, makna kata ‘Allah
menyambung’ adalah ungkapan dari kasih-sayang dan rahmat Allah.” [Lihat syarah
beliau atas Shahih Muslim 16/328-329]
Ketiga. Silaturahmi adalah salah satu sebab penting masuk
syurga dan dijauhkan dari api neraka. Sebagaimana sabda beliau Shallallahu’alaihi
Wasallam,
<=”"
p=”">
Artinya: “Dari
Abu Ayub Al Anshari, beliau berkata, seorang berkata,”Wahai Rasulullah,
beritahulah saya satu amalan yang dapat memasukkan saya ke dalam syurga.”
Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam menjawab,“Menyembah Allah dan tidak
menyekutukanNya, menegakkan shalat, menunaikan zakat dan bersilaturahmi.””
(Diriwayatkan oleh Jama’ah).
Silaturahmi
adalah ketaatan dan amalan yang mendekatkan seorang hamba kepada Allah Ta’ala,
serta tanda takutnya seorang hamba kepada Allah. Sebagaimana firman Allah
Ta’ala (yang artinya), “Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang
Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Rabbnya dan takut
kepada hisab yang buruk.” (QS Arra’d 13:21).
Demikianlah
sebagian keutamaan silaturahim. Tentunya tidak seorangpun dari kita yang ingin
melewatkan keutamaan ini. Apalagi bila melihat akibat buruk dan adzab pedih
yang Allah Ta’ala siapkan bagi orang yang memutus tali silaturahim. Karenanya,
orang-orang shalih dari pendahulu umat ini membiasakan diri menyambung
silaturahim, walaupun sulit sarana komunikasi pada jaman mereka. Sedangkan pada
zaman sekarang ini, dengan tercukupinya sarana transportasi dan komunikasi,
semestinya membuat kita lebih aktif melakukan silaturahim. Kemudahan yang Allah
Ta’ala berikan kepada kita tersebut, hendaknya dipergunakan untuk silaturahim.
Mungkin salah seorang dari kita melakukan perjalanan ke negeri yang jauh untuk
wisata, akan tetapi dia merasa berat untuk mengunjungi salah seorang kerabatnya
yang masih satu kota dengannya -kalau tidak saya katakan satu daerah dengannya-
padahal paling tidak hubungan tersebut dapat dilakukan dengan hanya mengucapkan
salam. Apa beratnya mempergunakan telepon untuk menghubungi salah satu kerabat
kita dan mengucapkan salam kepadanya?
Ibnu Abbas Radhiyallahu’anhu
meriwayatkan, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
بَلُوْا أَرحَامَكُمْ وَلَوْ بِالسَّلاَمِ
Artinya: “Sambunglah
keluargamu meskipun dengan salam.” [Riwayat Al Bazzar, Ath Thabrani dan Al
Baihaqi. Berkata Al Munawi dalam Faidhul Qadir, “Berkata Al-Bukhari,’Semua
jalannya dha’if, akan tetapi saling menguatkan (3/207)’.” Al Albani
menghasankannya dalam Shahihul Jami' no. 2838]
Mungkin ada
yang mengatakan, di antara penyebab terputusnya silaturahmi ialah banyaknya
kesibukan manusia pada hari ini dan keluasan wilayah. Tetapi orang yang
memperhatikan keadaan semisal Abu Bakar dan Umar Al Faruq Radhiyallahu’anhuma
. Pada masa pemerintahannya, meskipun banyak beban yang harus dipikul di pundak
mereka dan belum lengkapnya sarana transformasi dan komunikasi modern, akan
tetapi mereka tetap memiliki waktu untuk mengunjungi kerabatnya dan membantu
tetangganya. Sedangkan diri kita sering mengunjugi dan bercengkrama dengan
sahabat-sahabat, tetapi tidak pernah memasukkan ke dalam agenda kegiatan untuk
berkunjung ke salah satu kerabat, meskipun satu kali dalam sebulan.
Tampaknya sebab
utama yang menghalangi kita bersilaturahim, karena buruknya pengaturan dan
manajemen waktu. Atau karena kita kurang begitu mengerti besarnya dosa memutus
silaturahim. Kemudian dengan kesibukan yang berlebihan dalam kehidupan dunia,.
hingga kita mendapati seseorang bekerja pada pagi hari. Setelah itu menyibukkan
diri dengan pekerjaan lain pada sisa harinya. Padahal sudah berkecukupan dalam
hal rizki. Lantas, mengabaikan hak-hak keluarga, anak-anak, kedua orang tua dan
kerabatnya.
Maka
sepatutnyalah engkau, wahai saudaraku muslim. Hendaklah bersemangat memanjangkan
umurmu dengan bersilaturahim. Ketahuilah, barangsiapa yang menyambungnya,
niscaya Allah Ta’ala akan berhubungan dengannya. Dan barangsiapa memutuskannya,
maka Allah pun akan memutuskan hubungan dengannya. [Untuk tambahan, lihat kitab
Al Adab Asy Syar’iyyah Wal Minah Al Mur’iyyah, oleh Ibnu Muflih, Juz
Tidak ada komentar:
Posting Komentar