Salah
satu watak bawaan manusia sejak diciptakan Allah Ta’ala adalah kecenderungan untuk
selalu meniru dan mengikuti orang lain yang dikaguminya, baik dalam kebaikan
maupun keburukan. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam:
“الأرواح
جنود مجندة، فما تعارف منها ائتلف وما تناكر اختلف”
“Ruh-ruh
manusia adalah kelompok yang selalu bersama, maka yang saling bersesuaian di
antara mereka akan saling dekat, dan yang tidak bersesuaian akan saling
berselisih”[1].
Oleh
karena itulah, metode pendidikan dengan menampilkan contoh figur untuk
diteladani adalah termasuk salah satu metode pendidikan yang sangat efektif dan
bermanfaat.
Dalam
banyak ayat al-Qur’an Allah Ta’ala
menceritakan kisah-kisah keteladanan para Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
menjadi panutan bagi orang-orang yang beriman dalam meneguhkan keimanan mereka.
Allah Ta’ala
berfirman:
{وَكُلا
نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ وَجَاءَكَ فِي هَذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ}
“Dan
semua kisah para rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang
dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu
kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman” (QS
Huud:120).
Ketika
menjelaskan makna ayat ini, Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah
berkata: “Yaitu: supaya hatimu tenang dan teguh (dalam keimanan), dan (supaya
kamu) bersabar seperti sabarnya para Rasul Shallallahu
‘alaihi wa sallam, karena jiwa manusia (cenderung) senang meniru
dan mengikuti (orang lain), dan (ini menjadikannya lebih) bersemangat dalam
beramal shaleh, serta berlomba dalam mengerjakan kebaikan…”[2].
Menjadikan
diri sebagai panutan dalam keluarga
Termasuk
teladan kebaikan yang utama bagi keluarga kita adalah diri kita sendiri, karena
tentu saja kita adalah orang yang paling dekat dengan mereka dan paling mudah
mempengaruhi akhlak dan tingkah laku mereka. Maka menampilkan teladan yang baik
dalam sikap dan tingkah laku di depan anggota keluarga adalah termasuk metode
pendidikan yang paling baik dan utama. Bahkan para ulama menjelaskan bahwa
pengaruh yang ditimbulkan dari perbuatan dan tingkah laku yang langsung
terlihat terkadang lebih besar dari pada pengaruh ucapan[3].
Hal
ini disebabkan jiwa manusia itu lebih mudah mengambil teladan dari contoh yang
terlihat di hadapannya, dan menjadikannya lebih semangat dalam beramal serta
bersegera dalam kebaikan[4].
Oleh
karena itu, seorang pendidik yang ingin berhasil dalam mendidik anggota
keluarganya, hendaknya berusaha memanfaatkan keberadaannya di tengah-tengah
keluarganya untuk mendidik dan mengarahkan mereka kepada petunjuk Allah Ta’ala, bukan hanya
dengan ucapan dan nasehat, tapi lebih dari itu, dengan menampilkan teladan baik
yang langsung terlihat di mata mereka. Hal ini disamping membiasakan mereka
melihat praktek amal-amal kebaikan, juga akan menumbuhkan kecintaan dan
kekaguman dalam diri mereka terhadapnya, yang pada gilirannya akan memudahkan
mereka untuk mengikuti semua bimbingan dan petunjuknya.
Dalam
hal ini, imam Ibnul Jauzi rahimahullah
membawakan sebuah ucapan seorang ulama salaf yang terkenal, Ibarahim al-Harbi rahimahullah [5]. Dari Muqatil bin
Muhammad al-’Ataki rahimahullah,
beliau berkata: Aku pernah hadir bersama ayah dan saudaraku menemui Abu Ishak
Ibrahim al-Harbi, maka beliau bertanya kepada ayahku: “Mereka ini
anak-anakmu?”. Ayahku menjawab: “Iya”. (Maka) beliau berkata (kepada ayahku):
“Hati-hatilah! Jangan sampai mereka melihatmu melanggar larangan Allah,
sehingga (wibawamu) jatuh di mata mereka”[6].
Syaikh
Bakr Abu Zaid rahimahullah,
ketika menjelaskan pengaruh tingkah laku buruk seorang ibu dalam membentuk
kepribadian buruk anaknya, beliau berkata: “Jika seorang ibu tidak memakai
hijab (pakaian yang menutup aurat), tidak menjaga kehormatan dirinya, sering
keluar rumah (tanpa ada alasan yang dibenarkan agama), suka berdandan dengan
menampakkan (kecantikannya di luar rumah), senang bergaul dengan kaum lelaki
yang bukan mahramnya,
dan lain sebagainya, maka ini (secara tidak langsung) merupakan pendidikan
(yang berupa) praktek (nyata) bagi anaknya, untuk (mengarahkannya kepada)
penyimpangan (akhlak) dan memalingkannya dari pendidikan baik yang membuahkan
hasil yang terpuji, berupa (kesadaran untuk) memakai hijab (pakaian yang
menutup aurat), menjaga kehormatan dan kesucian diri, serta (memiliki) rasa
malu, inilah yang dinamakan dengan ‘pengajaran pada fitrah (manusia)’ “[7].
Memberi
manfaat rohani bagi anggota keluarga
Seorang
pendidik yang berilmu diperumpamakan seperti hujan yang baik, dimanapun dia
berada maka dia akan memberi manfaat bagi orang-orang di sekitarnya[8].
Inilah
makna firman Allah Ta’ala
tentang ucapan Nabi Isa ‘alaihis
salam:
{وَجَعَلَنِي مُبَارَكاً أَيْنَ مَا كُنتُ}
“Dan
Dia menjadikan aku seorang yang diberkahi di mana saja aku berada” (QS
Maryam:31).
Artinya:
Dia menjadikan aku bermanfaat bagi orang-orang yang hidup di sekitarku, dengan
aku mengajarkan kebaikan kepada mereka, memerintahkan kepada kebaikan dan
melarang dari kemungkaran, serta menyeru mereka ke jalan Allah dengan ucapan
dan perbuatanku”[9].
Di
dalam biografi beberapa ulama salaf, kita dapati banyak kisah nyata peranan
seorang pendidik dalam memberikan manfaat kebaikan bagi orang-orang yang hidup
di sekitarnya.
Misalnya,
apa yang disebutkan dalam biografi salah seorang Imam besar dari kalangan
tabi’in, Hasan bin Abil Hasan Al Bashri rahimahullah
[10], ketika Khalid bin
Shafwan[11] menerangkan
sifat-sifat Hasan Al Bashri kepada Maslamah bin Abdul Malik[12] dengan berkata: “Dia
adalah orang yang paling sesuai antara apa yang disembunyikannya dengan apa
yang ditampakkannya, paling sesuai ucapan dengan perbuatannya, kalau dia duduk
di atas suatu urusan maka diapun berdiri di atas urusan tersebut…dan
seterusnya”, setelah mendengar penjelasan tersebut Maslamah bin Abdul Malik
berkata: “Cukuplah (keteranganmu), bagaimana mungkin suatu kaum akan tersesat
(dalam agama mereka) kalau orang seperti ini (sifat-sifatnya) ada di
tengah-tengah mereka?”[13].
Demikian
pula apa yang disebutkan dalam biografi imam Abdur Rahman bin Aban bin ‘Utsman
bin ‘Affan al-Qurasyi[14], bahwa beliau adalah
seorang yang sangat tekun beribadah, maka suatu hari imam Ali bin Abdullah bin
‘Abbas[15] melihatnya dan kagum
dengan ketekunannya beribadah, maka beliaupun meneladaninya dalam kebaikan[16].
Inilah
gambaran keberkahan hidup dan manfaat keberadaan seorang pendidik di tengah
masyarakatnya, terlebih lagi di tengah keluarganya, orang-orang yang paling
berhak mendapatkan manfaat baik darinya.
Sebaik-baik
teladan bagi keluarga muslim
Tentu
saja, sebaik-baik teladan bagi keluarga muslim adalah Nabi mereka, nabi
Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam, yang diutus oleh Allah Ta’ala untuk
menyempurnakan akhlak yang mulia, sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Aku diutus (oleh Allah Ta’ala)
untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”[17].
Beliau
r adalah orang yang paling kuat dan sempurna dalam menjalankan petunjuk Allah Ta’ala, mengamalkan
isi al-Qur’an, menegakkan hukum-hukumnya dan menghiasi diri dengan adab-adabnya[18]. Oleh karena itulah
Allah Ta’ala
sendiri yang memuji keluhuran budi pekerti beliau dalam firman-Nya:
{وَإِنَّكَ
لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ}
“Dan
sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung” (QS al-Qalam:4).
Dan
ketika Ummul mu’minin ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha ditanya tentang ahlak (tingkah laku) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
beliau menjawab: “Sungguh akhlak Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah al-Qur’an”[19].
Beliau
Shallallahu ‘alaihi
wa sallam adalah sosok teladan dan idola yang sempurna bagi
orang-orang yang beriman kepada Allah yang menginginkan kebaikan dan keutamaan
dalam hidup mereka.
Allah
Ta’ala
berfirman:
{لَقَدْ
كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا}
“Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan pada) hari kiamat dan
dia banyak menyebut Allah” (QS al-Ahzaab:21).
Dalam
ayat yang mulia ini, Allah Ta’ala
sendiri yang menamakan semua perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai
“teladan yang baik”, yang ini menunjukkan bahwa orang yang meneladani sunnah
Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam berarti dia telah menempuh ash-shirathal mustaqim
(jalan yang lurus) yang akan membawanya mendapatkan kemuliaan dan rahmat Allah Ta’ala[20].
Kemudian
setelah itu, idola yang utama bagi seorang mukmin adalah orang-orang yang teguh
dalam menegakkan tauhid dan keimanan mereka, sehingga Allah Ta’ala sendiri yang
memuji perbuatan mereka sebagai “suri teladan yang baik” dalam firman-Nya:
{قَدْ
كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآَءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ}
Sesungguhnya
telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada diri (nabi) Ibrahim dan
orang-orang yang bersamanya (yang mengikuti petunjuknya); ketika mereka berkata
kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa
yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata
antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu
beriman kepada Allah semata” (QS al-Mumtahanah:4).
Ketika
mengomentari ayat ini, Syaikh Abdurrahman as-Sa’di i rahimahullah berkata: “Sesungguhnya
keimanan dan pengharapan balasan pahala (dalam diri seorang muslim) akan
memudahkan dan meringankan semua yang sulit baginya, serta mendorongnya untuk
senantiasa meneladani hamba-hamba Allah yang shaleh, (utamanya) para Nabi dan
Rasul ‘alahis salam,
karena dia memandang dirinya sangat membutuhkan semua itu” [21].
Demikian
pula para sahabat Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah teladan shaleh yang utama bagi orang yang
beriman, karena Allah Ta’ala
memuji mereka dalam banyak ayat al-Qur’an, di antaranya firman-Nya:
{مُحَمَّدٌ
رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ
فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآَزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا}
“Muhammad
itu adalah utusan Allah Ta’ala
dan orang-orang yang bersama dia (para sahabat) adalah keras terhadap
orang-orang kafir, tetapi penyayang di antara sesama mereka, kamu lihat mereka
ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda meraka
tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam
Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman mengeluarkan
tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia
dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati
penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir
(dengan kekuatan orang-orang mu’min). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala
yang besar” (QS al-Fath:29).
Dalam
hal ini, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu
‘anhu berkata: “Barangsiapa di antara kamu yang ingin mengambil
teladan, maka hendaknya dia berteladan dengan para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
karena mereka adalah orang-orang yang paling baik hatinya di umat ini, paling
dalam pemahaman (agamanya), paling jauh dari sikap berlebih-lebihan, paling
lurus petunjuknya, dan paling baik keadaannya, mereka adalah orang-orang yang
dipilih oleh Allah untuk menjadi sahabat nabi-Nya, maka kenalilah keutaman
mereka dan ikutilah jejak-jejak mereka, karena sesungguhnya mereka berada di
atas petunjuk yang lurus”[22].
Pengaruh
positif teladan yang baik bagi keluarga
Diantara
pengaruh positif teladan yang baik adalah hikmah yang Allah Ta’ala sebutkan
dalam firman-Nya:
{وَكُلا
نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ وَجَاءَكَ فِي هَذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ}
“Dan
semua kisah para rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang
dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu
kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman” (QS
Huud:120).
Dalam
ayat ini jelas sekali menunjukkan bahwa kisah-kisah dalam al-Qur’an tentang
ketabahan dan kesabaran para Nabi r dalam memperjuangkan dan mendakwahkan agama
Allah Ta’ala
sangat berpengaruh besar dalam meneguhkan hati dan keimanan orang-orang yang
beriman di jalan Allah Ta’ala.
Ketika
menafsirkan ayat ini, imam Ibnu Katsir rahimahullah
berkata: “Allah Ta’ala
berfirman: semua yang kami ceritakan padama tentang kisah para rasul r yang terdahulu
bersama umat-umat mereka, ketika mereka berdialog dan beradu argumentasi
(dengan umat-umat mereka), ketabahan para Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
(menghadapi) pengingkaran dan penyiksaan (dari musuh-musuh mereka), serta
bagaimana Allah Ta’ala
menolong golongan orang-orang yang beriman dan menghinakan musuh-musuh-Nya
(yaitu) orang-orang kafir, semua ini adalah termasuk perkara yang (membantu)
meneguhkan hatimu, wahai Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam, agar engkau bisa mengambil teladan dari
saudara-saudaramu para Nabi yang terdahulu”[23].
Imam
Abu Hanifah rahimahullah
pernah berkata: “Kisah-kisah (keteladanan) para ulama dan duduk di majelis
mereka lebih aku sukai dari pada kebanyakan (masalah-masalah) fikh, karena
kisah-kisah tersebut (berisi) adab dan tingkah laku mereka (untuk diteladani)” [24].
Demikian
pula termasuk manfaat besar teladan yang baik bagi keluarga adalah menumbuh
suburkan rasa kagum dan cinta dalam diri mereka kepada orang-orang bertakwa dan
mulia di sisi Allah Ta’ala,
yang ini merupakan sebab utama meraih kemuliaan yang agung di sisi Allah Ta’ala, yaitu
dikumpulkan bersama orang-orang shaleh tersebut di surga kelak, karena
seseorang akan dikumpulkan bersama orang yang dicintainya pada hari kiamat
nanti.
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda: “Engkau bersama orang yang kamu cintai (di
surga kelak)”. Sahabat yang mulia, Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, yang meriwayatkan
hadits ini dari Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, berkata: “Kami (para sahabat) tidak pernah
merasakan suatu kegembiraan (setelah masuk Islam) seperti kegembiraan kami
sewaktu mendengar sabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam: “Engkau bersama orang yang kamu cintai (di surga
kelak)”, maka aku mencintai Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, Abu Bakr dan Umar radhiyallahu ‘anhuma, dan aku berharap
akan (dikumpulkan oleh Allah Ta’ala)
bersama mereka (di surga nanti) karena kecintaanku kepada mereka, meskipun aku
belum mengerjakan amalan seperti amalan mereka”[25].
Penutup
Demikianlah,
semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua kaum muslimin, utamanya bagi mereka
yang memiliki tanggung jawab mendidik anggota keluarganya.
Dan
kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allah Ta’ala dengan nama-nama-Nya yang maha
indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar Dia senantiasa melimpahkan
taufik-Nya kepada kita semua, dan memudahkan kita menjadi penyebab kebaikan
bagi orang-orang di sekitar kita, utamanya keluarga kita, sesungguhnya Dia Maha
Mendengar dan Maha Mengabulkan doa.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota
Kendari, 25 Sya’ban 1431 H
Abdullah
bin Taslim al-Buthoni di www.manisnyaiman.com
Artikel:
ibnuabbaskendari.wordpress.com
Catatan
Kaki:
[1] HSR al-Bukhari (no.
3158) dan Muslim (no. 2638).
[2] Kitab “Taisiirul
Kariimir Rahmaan” (hal. 392).
[3] Lihat “al-Mu’in ‘ala
tahshili adabil ‘ilmi” (hal. 50) dan “Ma’alim fi thariqi thalabil ‘ilmi” (hal.
124).
[4] Lihat keterangan
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah
dalam tafsir beliau (hal. 271).
[5] Beliau adalah Imam
besar, penghafal hadits, Syaikhul Islam Ibrahim bin Ishak bin Ibrahim bin
Basyir al-Baghdadi al-Harbi rahimahullah
(wafat 285 H), biografi beliau rahimahullah
dalam “Siyaru a’alamin nubala’” (13/356).
[6] Kitab “Shifatush
shafwah” (2/409).
[7] Kitab “Hirasatul
fadhiilah” (hal. 127-128).
[8] Lihat kitab “Ma’aalimu
fi thariiqi thalabil ‘ilmi” (hal. 131).
[9] Lihat kitab “Fathul
Qadiir” (4/454) dan “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 492).
[10] Beliau rahimahullah adalah
Imam besar dan terkenal dari kalangan Tabi’in ‘senior’ (wafat 110 H), memiliki
banyak keutamaan sehingga sebagian dari para ulama menobatkannya sebagai
tabi’in yang paling utama, biografi beliau dalam kitab “Tahdziibul kamaal”
(6/95) dan “Siyaru a’laamin nubala’” (4/563).
[11] Beliau adalah Abu Bakr
Khalid bin Shafwan bin Al Ahtam Al Minqari Al Bashri rahimahullah,
seorang yang sangat fasih dalam bahasa Arab, biografi beliau dalam kitab
“Siyaru a’laamin nubala’” (6/226).
[12] Beliau adalah Maslamah
bin Abdil Malik bin Marwan bin Al Hakam rahimahullah
(wafat 120 H), seorang gubernur dari Bani Umayyah, saudara sepupu Umar bin
Abdul Aziz dan meriwayatkan hadits darinya, biografi beliau dalam kitab
“Tahdziibul kamaal” (27/562) dan “Siyaru a’laamin nubala’” (5/241).
[13] Kitab “Siyaru a’laamin
nubala’” (2/576).
[14] Beliau adalah cucu
sahabat yang mulia ‘Utsman bin ‘Affan t, seorang imam ahli ibadah dan
terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lihat
kitab “Taqriibut tahdziib” (hal. 335).
[15] Beliau adalah putra
sahabat yang mulia Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu
‘anhu, seorang imam ahli ibadah dan terpercaya dalam meriwayatkan
hadits Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Lihat kitab “Taqriibut tahdziib” (hal. 403).
[16] Kitab “Siyaru a’laamin
nubala’” (5/10-11).
[17] HR Ahmad (2/381) dan
al-Hakim (no. 4221), dishahihkan oleh al-Hakim rahimahullah dan disetujui oleh adz-Dzahabi
rahimahullah,
serta dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah
dalam “Silsilatul ahaadiitsish shahiihah” (no. 45).
[18] Lihat keterangan imam
an-Nawawi rahimahullah
dalam kitab “Syarh shahih Muslim” (6/26).
[19] HSR Muslim (no. 746).
[20] Lihat keterangan
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah
dalam tafsir beliau (hal. 481).
[21] Kitab “Taisiirul
Kariimir Rahmaan” (hal. 856).
[22] Dinukil oleh imam Ibnu
‘Abdil Barr rahimahullah
dengan sanadnya dalam kitab “Jaami’u bayaanil ‘ilmi wa fadhlihi” (no. 1118).
[23] Kitab “Tafsir Ibnu
Katsir” (2/611).
[24] Dinukil oleh imam Ibnu
‘Abdil Barr dengan sanadnya dalam kitab “Jaami’u bayaanil ‘ilmi wa fadhlihi”
(no. 595).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar