“Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taati Rasul-Nya dan Ulil Amri
diantara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur`an) dan Rasul (sunnahnya) jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir, yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa: 59)
I.
Makna Lafadz
Berkata
Atha’: “taat kepada Rasul dengan mengikuti sunnahnya.”
- Berkata Ibnu Zaid: “(taat kepada Rasul) bila masih hidup.”
- Berkata Ibnu Jarir: “yang benar dari perkataan di atas adalah: ini merupakan perintah dari Allah untuk taat kepada apa yang diperintahkan dan dilarang oleh Rasul-Nya semasa beliau masih hidup. Adapun setelah beliau wafat, dengan mengikuti sunnahnya.”
- Berkata Abu Hurairah: “mereka adalah Umara’.”
- Berkata Maimun bin Mahran: “para panglima perang di zaman Rasulullah.”
- Berkata Atha’: “para fuqaha (ahli fikih) dan ulama.”
- Berkata Ikrimah: “Abu Bakar dan Umar.” (At-Thabari 4/150-153)
- Berkata Ad-Dhahhak: “mereka adalah para shahabat Rasulullah dan mereka adalah perawi hadits dan para da’i.” (Ad-Durrul Mantsur 2/575)
- Berkata Abu Bakar Ibnul ‘Arabi: “menurut saya, yang benar adalah mereka itu para Umara dan ulama.” (Ahkamul Qur’an 1/452)
- Berkata Mujahid: “Kitabullah dan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
- Berkata Maimun bin Mahran: “kembali kepada Allah adalah kembali kepada kitab-Nya dan kembali kepada rasul-Nya semasa beliau hidup, dan ketika Allah mewafatkannya maka kembali kepada sunnahnya.” (At-Thabari 4/154)
- Berkata Qatadah: “lebih baik pahala dan akibatnya.”
- Berkata Mujahid: “lebih baik balasannya.” (At-Thabari 4/155)
- Berkata Ibnu Zaid: “(taat kepada Rasul) bila masih hidup.”
- Berkata Ibnu Jarir: “yang benar dari perkataan di atas adalah: ini merupakan perintah dari Allah untuk taat kepada apa yang diperintahkan dan dilarang oleh Rasul-Nya semasa beliau masih hidup. Adapun setelah beliau wafat, dengan mengikuti sunnahnya.”
- Berkata Abu Hurairah: “mereka adalah Umara’.”
- Berkata Maimun bin Mahran: “para panglima perang di zaman Rasulullah.”
- Berkata Atha’: “para fuqaha (ahli fikih) dan ulama.”
- Berkata Ikrimah: “Abu Bakar dan Umar.” (At-Thabari 4/150-153)
- Berkata Ad-Dhahhak: “mereka adalah para shahabat Rasulullah dan mereka adalah perawi hadits dan para da’i.” (Ad-Durrul Mantsur 2/575)
- Berkata Abu Bakar Ibnul ‘Arabi: “menurut saya, yang benar adalah mereka itu para Umara dan ulama.” (Ahkamul Qur’an 1/452)
- Berkata Mujahid: “Kitabullah dan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
- Berkata Maimun bin Mahran: “kembali kepada Allah adalah kembali kepada kitab-Nya dan kembali kepada rasul-Nya semasa beliau hidup, dan ketika Allah mewafatkannya maka kembali kepada sunnahnya.” (At-Thabari 4/154)
- Berkata Qatadah: “lebih baik pahala dan akibatnya.”
- Berkata Mujahid: “lebih baik balasannya.” (At-Thabari 4/155)
II.
Asbabun Nuzul (sebab turunnya ayat)
Dari
As-Suddi, dia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim
sepasukan sariyyah (pasukan yang tidak dipimpin oleh Rasulullah) di bawah
komando Khalid bin Al-Walid. Diantara mereka ada Ammar bin Yasir. Mereka
kemudian berangkat menuju suatu kaum yang diinginkan dan ketika sudah dekat,
mereka pun berhenti (untuk beristirahat). Setelah itu datang kepada kaum
tersebut Dzul Uyainatain (pengintai musuh) dan memberitahukan tentang
kedatangan pasukan Khalid. Mereka pun lari semua kecuali seorang laki-laki. Ia
menyuruh keluarganya untuk mengumpulkan barang-barangnya. Kemudian dia berjalan
di kegelapan malam hingga sampai di pasukan Khalid. Di sana ia bertanya tentang
Ammar bin Yasir. Setelah itu didatanginya (Ammar bin Yasir) dan bertanya
kepadanya: “Wahai Abu Yaqdzan, sesungguhnya aku telah Islam dan telah
bersyahadat bahwa tidak ada sesembahan yang hak kecuali Allah dan Muhammad
adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya. Sesungguhnya kaumku telah lari ketika mendengar
kabar kedatangan kalian dan hanya aku yang tinggal. Apakah Islamku bermanfaat
bagiku besok? Kalau tidak aku pun lari.” Ammar berkata: “Ya, keislamanmu akan
bermanfaat bagimu, maka tetaplah kamu di tempat.” Maka laki-laki itu pun
menetap. Ketika pagi datang, Khalid bin Walid menyerbu mereka dan tidak
menjumpai siapa-siapa selain laki-laki tadi. Maka dia ditangkap dan diambil
hartanya, khabar (penangkapan) tersebut akhirnya sampai kepada Ammar. Ia segera
datang kepada Khalid seraya berkata: “Lepaskan laki-laki ini karena
sesungguhnya dia telah Islam dan dia dalam jaminan keamanan dariku.” Berkata
Khalid: “Kenapa kamu lindungi dia?” Maka keduanya saling menyalahkan dan
mengadukannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah
membolehkan jaminan keamanan dari Ammar tetapi melarang Ammar untuk melanggar
hak-hak Amir lagi untuk kedua kalinya. Maka Allah menurunkan ayat yang artinya:
“Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan Ulil Amri diantara kalian.”
(At-Thabari 4/151)
III.
Tafsir
Al-Qurthubi
berkata: “Di dalam ayat ini Allah memerintahkan untuk taat kepada-Nya, kemudian
kepada Rasul-Nya, kemudian kepada para Umara, menurut perkataan jumhur, Abu
Hurairah, ibnu Abbas, dll.”
Ibnu
Khuwaidzi Mandad berkata: “Adapun taat kepada sultan maka wajib dalam rangka
taat kepada Allah dan tidak wajib dalam perkara maksiat kepada Allah…”
(Al-Jami’ lil Ahkamil Qur`an 5/167, 168)
Syaikh
Abdur Rahman As-Sa’di berkata: “(Dalam ayat ini) Allah memerintahkan (kaum
mukminin) untuk taat kepada-Nya dan taat kepada Rasul-Nya yaitu dengan
mengerjakan perintah keduanya baik yang wajib maupun yang sunnah dengan
menjauhi larangan keduanya. Dan Allah juga memerintahkan (kepada kaum mukminin)
untuk taat kepada Ulil Amri, yaitu orang yang mengurusi kepentingan umat, baik
itu Umara, pemerintah maupun mufti-mufti karena sesungguhnya tidak akan
konsisten urusan Dien dan dunia kecuali dengan taat kepada mereka dan tunduk
kepada perintah-perintah mereka dalam rangka taat kepada Allah dan mengharap
pahala yang ada di sisi-Nya. Akan tetapi dengan syarat mereka tidak
memerintahkan kepada kemaksiatan. Apabila mereka memerintahkan kepada
kemaksiatan, maka tidak ada taat kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah.
Barangkali inilah rahasia dibuangnya fi’il athi’u (taatilah) dalam perintah
taat kepada Ulil Amri. Di samping itu disebutkannya perintah taat kepada mereka
itu menyertai taat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena
Rasul tidak pernah memerintahkan selain kepada Allah sehingga barangsiapa yang
taat kepadanya (Rasulullah) maka dia telah taat kepada Allah. Adapun syarat
taat kepada Ulil Amri adalah jika tidak ada unsur-unsur maksiat kepada Allah.
Di
samping itu Allah memerintahkan untuk mengembalikan segala permasalahan yang
diperselisihkan oleh umat manusia kepada Allah dan Rasul-Nya, yakni taat kepada
Kitab (Al-Qur`an) dan As-Sunnah. Ini karena Al-Qur`an dan As-Sunnah adalah
hakim yang menyelesaikan segala permasalahan khilafiyyah (permasalahan yang
diperselisihkan) baik itu dari nash yang sharih (jelas), nash umum, syarat,
peringatan, maupun pemahaman ayat. Agama ini dibangun di atas pondasi Al-Qur`an
dan As-Sunnah sehingga tidak akan istiqamah (komitmen) iman seseorang kecuali
dengan berpegangan kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah. Oleh karena itulah kembali
kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah merupakan syarat keimanan. Allah berfirman (yang
artinya): “Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir…”
(An-Nisa: 59)
Maka
ayat ini menunjukkan bahwasanya orang-orang yang tidak mengembalikan masalah
khilafiyyah kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah, dia bukanlah seorang mukmin yang
hakiki, bahkan dia adalah seorang yang beriman kepada thaghut (sebagaimana yang
akan disebutkan dalam ayat sesudahnya 4:60).
Kembali
kepada Allah dan Rasul-Nya itu lebih baik balasannya dan lebih baik akibatnya,
karena hukum Allah dan Rasul-Nya adalah sebaik-baik hukum dan merupakan hukum
yang membawa maslahah (kebaikan) bagi umat manusia baik itu dalam urusan Dien
(agama) maupun urusan dunia. (Taisirul Karimir Rahman fi Tafsiri Kalamil Mannan
2/89-90)
Menyoroti
ayat ini, Ibnul Qayyim berkata dalam I’lamul Muwaqqi’in 1/38:
“(Dalam ayat ini) Allah memerintahkan (kaum muslimin) untuk taat kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya, dan Allah mengulangi fi’il (أَطِيْعُوْا) (=taatilah) sebagai i’lam (pemberitahuan) bahwa taat kepada rasul itu harus disendirikan dengan tanpa dicocokkan terlebih dahulu kepada apa yang Allah perintahkan dalam Al-Qur`an. Jadi, kalau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan sesuatu maka wajib ditaati secara mutlak, baik perintah itu ada dalam Al-Qur`an maupun tidak, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi Al-Qur`an dan juga semisalnya (As-Sunnah).
“(Dalam ayat ini) Allah memerintahkan (kaum muslimin) untuk taat kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya, dan Allah mengulangi fi’il (أَطِيْعُوْا) (=taatilah) sebagai i’lam (pemberitahuan) bahwa taat kepada rasul itu harus disendirikan dengan tanpa dicocokkan terlebih dahulu kepada apa yang Allah perintahkan dalam Al-Qur`an. Jadi, kalau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan sesuatu maka wajib ditaati secara mutlak, baik perintah itu ada dalam Al-Qur`an maupun tidak, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi Al-Qur`an dan juga semisalnya (As-Sunnah).
Dalam
ayat ini juga, Allah tidak memerintahkan untuk menyendirikan taat kepada Ulil
Amri. Bahkan Allah membuang fi’il (أَطِيْعُوْا) dan menjadikannya di dalam kandungan
taat kepada Rasul, sebagai pemberitahuan bahwa mereka (Ulil Amri) itu ditaati
dalam rangka taat kepada
Rasul.” (lihat Hujiyyatu Ahaditsil Ahad fil Ahkami Al-Aqaid hal. 11-12)
IV.
Perintah untuk Taat Rasul dan Peringatan dari Menyelisihinya
Allah
Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan kepada hamba-hamba-Nya untuk taat kepada
Rasul-Nya dan menjadikan ittiba’ (mengikuti) Rasul-Nya sebagai dalil (bukti)
kecintaan hamba kepada Rabb-Nya. Allah berfirman:
“Katakanlah:
jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan
mencintai dan mengampuni dosa-dosamu, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (Ali Imran: 31)
“…Apa
yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu maka
tinggalkanlah…” (Al-Hasyr: 7)
“Dari
Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau
bersabda: ‘setiap umatku akan masuk surga kecuali orang yang enggan.’ Para
shahabat bertanya: ‘wahai Rasulullah, siapakah orang yang enggan itu?’
Rasulullah menjawab: ‘barangsiapa yang taat kepadaku maka dia masuk surga dan
barangsiapa yang durhaka kepadaku maka sungguh dia telah enggan’.” (HR. Bukhari
13/214 dan Ahmad 2/361)
Dalam
Asy-Syifa’ 2/6, Al-Qadhi Iyadh berkata: “Allah Azza wa Jalla menjadikan
ketaatan kepada Rasul-Nya seperti ketaatan kepada-Nya dan menggandengkan
ketaatan kepada Ulil Amri dengan ketaatan kepada Rasul-Nya. Allah menjanjikan
pahala yang besar bagi orang yang taat kepada Rasul-Nya dan mengancam
orang-orang yang menyelisihi perintah Rasul-Nya dengan adzab yang pedih. Allah
juga mewajibkan (kepada kaum mukminin) untuk mengerjakan perintah Rasul-Nya dan
menjauhi segala larangan-Nya.” (Lihat Hujjiyyatu Ahaditsil Ahad fi Ahkam wal
Aqaid karya Muhammad hal. 10)
Allah
melarang dan memperingatkan kaum mukminin untuk menyelisihi perintah Rasul-Nya
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengancam oang-orang yang berbuat demikian
(menyelisihi perintah Rasul-Nya) dengan firman-Nya:
“…Maka
hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa fitnah
atau ditimpa adzab yang pedih.” (An-Nur: 63)
Berkata
Ibnu Katsir dalam Tafsirnya 3/410: “yakni hendaklah takut orang-orang yang
menyalahi syariat Rasul secara dhahir dan bathin takut akan ditimpa fitnah
dalam hatinya yang berupa kekufuran, nifaq dan bid’ah atau ditimpa adzab yang
pedih di dunia yang berupa pembunuhan, hukum hadd, dipenjara atau yang
lainnya.”
“Dan
barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas baginya kebenaran dan mengikuti
jalan yang bukan jalan orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan
yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia dalam Jahannam, dan Jahannam
itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa: 115)
Dari
Al-Irbadh bin Sariyyah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda: ‘berpegang teguhlah kalian dengan sunnahku dan sunnah
Khulafa`ur Rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku. Pegang erat-erat sunnah
itu, gigitlah sunnah itu dengan gigi-gigi geraham dan hati-hatilah kalian
dengan perkara yang diada-adakan karena setiap perkara yang diada-adakan itu
adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu adalah sesat.” (HR. Tirmidzi 5/44 (2676):
hadits HASAN SHAHIH, dan dishahihkan pula oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim,
disepakati oleh Imam Dzahabi)
V.
Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam Bermu’amalah dengan Wulatul Umur
(Pemerintah muslimin, baik itu Umara maupun sulthan).
Manhaj
Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam bermuamalah dengan Wulatul Umur adalah manhaj
yang adil dan pertengahan, yang tegak di atas asas ittiba’ kepada atsar (sunnah-sunnah).
Mereka ittiba’ dan tidak berbuat bid’ah dan tidak mempertentangkan sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan akal fikiran dan hawa nafsu
mereka.
Dalam
hal ini, Ibnu Mas’ud berkata: “ittiba’lah kalian dan jangan kalian ibtida’ (berbuat
bid’ah), karena kalian telah dicukupi (dengan syariah ini) dan setiap
kebid’ahan adalah sesat.” Beliau juga mengatakan: “hati-hatilah kalian dengan
perbuatan bid’ah dan menfasih-fasihkan dalam berbicara masalah agama. Berpegang
teguhlah kalian dengan atsar (sunnah) orang dahulu (Salafus Shalih).”
(Al-Ibanah 1/321, 324)
Di
dalam kitab yang sama, Abul Aliyah Ar-Rayahi juga berkata: “Pelajarilah oleh
kalian akan Islam. Bila kalian telah mempelajarinya maka kalian jangan
membencinya. Dan berjalanlah kalian di atas jalan yang lurus, karena jalan yang
lurus itu adalah Islam. Janganlah kalian menyeleweng dari jalan yang lurus ke
arah kanan dan kiri. Berpegang teguhlah kalian dengan sunnah Nabi, dan
hati-hatilah kalian dengan hawa nafsu yang melemparkan rasa permusuhan dan
kebencian di kalangan orang-orang yang berpegang teguh dengan sunnah.”
(Al-Ibanah 1/338)
Oleh
sebab itu, barangsiapa yang ingin berbahagia di dunia dan akhirat, hendaklah ia
menempuh jalan mereka (Salafus Shalih) dan mengikuti manhaj mereka.
Adapun
manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam bermuamalah dengan Wulatul Umur adalah:
wajib mendengar dan taat kepada mereka, baik mereka itu orang yang baik (adil)
maupun yang dhalim. Ketaatan kepada mereka dibatasi dalam hal kebaikan. Apabila
mereka memerintahkan kepada kemaksiatan, maka tidak ada ketaatan kepada makhluk
dalam bermaksiat kepada Allah. Ahlus Sunnah justru menasehati dan tidak
membiarkan mereka (Wulatul Umur), bahkan mendoakan kebaikan buat mereka. Ahlus
Sunnah tidak memandang adanya kebolehan untuk keluar dari mereka, memerangi
mereka dan tidak pula mencabut ketaatan dari mereka, sekalipun mereka itu
dhalim dan bertindak sewenang-wenang. Bahkan Salafus Shalih menggolongkan
perbuatan yang demikian (keluar dari mereka, memberontak dan memerangi mereka)
ke dalam perbuatan bid’ah yang diada-adakan.
Imam
Ahlus Sunnah (Imam Ahmad) berkata: “Ushul-ushul sunnah menurut kami adalah
berpegang teguh dengan apa yang dipahami dan diamalkan oleh para shahabat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ittiba’ kepada mereka dan tidak
berbuat bid’ah karena setiap bid’ah adalah sesat. Tidak berdialog dan
duduk-duduk bersama Ahli Bid’ah dan tidak berdebat tentang masalah agama.
Sedangkan Sunnah menurut kami adalah atsar-atsar Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Sunnah digunakan sebagai tafsir bagi Al-Qur`an. Tidak ada qiyas
dalam sunnah dan sunnah tidak bisa dipahami dengan akal dan hawa nafsu, tapi
dipahami dengan ittiba’ dan meninggalkan hawa nafsu. Dan termasuk sunnah-sunnah
lazimah yang bila ditinggalkan salah satu daripadanya, seseorang itu tidak
dikatakan Ahlus Sunnah.”
Kemudian
Imam Ahmad menyebutkan beberapa hal yang antara lain: “mendengar dan taat
kepada para imam dan amirul mukminin (pemimpin kaum mukminin), baik yang shalih
(adil) maupun yang fajir (dhalim), dan taat kepada khalifah yang disepakati dan
diridhai oleh kaum mukminin. Jihad bersama mereka (yang adil maupun yang
dhalim) secara terus menerus hingga hari kiamat, mengadakan pembagian harta
faik (harta rampasan yang diperoleh tanpa ada perlawanan), juga terus menerus
menjalankan hukum-hukum had. Tidak boleh bagi siapapun mencela dan menyelisihi
mereka, mengerjakan shalat Jum’at di belakang mereka dua rakaat. Barangsiapa
yang mengulangi shalatnya, maka dia adalah mubtadi’ (ahli bid’ah) yang
meninggalkan atsar, menyelisihi sunnah dan tidak mendapat keutamaan Jum’at
sedikitpun. Barangsiapa yang memberontak pada Imam kaum muslimin yang telah
disepakati dan diakui kekhilafahannya, maka sungguh dia telah memecahkan
tonggak kaum muslimin dan telah menyalahi atsar-atsar yang datang dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apabila dia mati ketika melakukan hal
itu, dia mati secara jahiliyyah. Dan tidak halal (diharamkan) bagi siapapun
untuk memerangi sulthan dan memberontaknya. Barangsiapa yang berbuat demikian,
dia adalah mubtadi’ yang tidak berjalan di atas sunnah dan tidak pula berjalan
di atas jalan yang lurus.” (Syarah Ushul I’tiqad 1/160-161)
Abu
Muhammad Abdur Rahman bin Abi Hatim Ar-Razy berkata: “Saya bertanya kepada
bapakku dan Abu Zur’ah tentang madzhab Ahlus Sunnah dalam Ushuluddin dan apa
yang beliau berdua yakini dalam hal ini. Maka beliau berdua berkata: “Kami
jumpai para ulama di seluruh penjuru negeri, di Hijaz, Irak, Syam, dan Yaman
beri’tiqad. Kemudian beliau berdua menyebutkan beberapa hal antara lain: dan
kita menegakkan jihad dan haji bersama imam-imam kaum muslimin di sepanjang
zaman. Kita tidak memberontak dan tidak pula memerangi mereka karena
dikhawatirkan fitnah. Kita mendengar dan taat kepada Wulatul Umur. Demikian pula
kita tidak mencabut ketaatan dari mereka. Kita ittiba’ kepada sunnah dan jamaah
dan menjauhi persengketaan dan perpecahan. Jihad bersama mereka tetap berjalan
sejak diutusnya Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai hari kiamat
kelak, tidak ada sesuatupun yang membatalkannya dan begitu juga haji.” (Syarah
Ushul I’tiqad 1/176-180)
Sahl
bin Abdullah At-Tustani berkata ketika ditanya: “kapankah seseorang itu
mengetahui bahwa dirinya di atas sunnah dan jama’ah? Seseorang itu di atas
sunnah dan jamaah bila mengetahui adanya sembilan (9) hal pada dirinya:
1.
Dia tidak meninggalkan jamaah.
2. Dia tidak mencela para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
3. Dia tidak memberontak umat ini dengan pedang.
4. Dia tidak mendustakan takdir.
5. Dia tidak ragu-ragu dalam beriman.
6. Dia tidak memperdebatkan masalah agama.
7. Dia menshalati Ahlul Kiblat yang mati dalam keadaan berdosa.
8. Dia mengusap kedua sepatu pada waktu bepergian atau mukim (yaitu mengimani adanya sunnah tersebut. red.).
9. Dia tidak meninggalkan shalat di belakang Wulatul Umur baik itu yang adil maupun yang dhalim.
2. Dia tidak mencela para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
3. Dia tidak memberontak umat ini dengan pedang.
4. Dia tidak mendustakan takdir.
5. Dia tidak ragu-ragu dalam beriman.
6. Dia tidak memperdebatkan masalah agama.
7. Dia menshalati Ahlul Kiblat yang mati dalam keadaan berdosa.
8. Dia mengusap kedua sepatu pada waktu bepergian atau mukim (yaitu mengimani adanya sunnah tersebut. red.).
9. Dia tidak meninggalkan shalat di belakang Wulatul Umur baik itu yang adil maupun yang dhalim.
Berkata
Abu Ja’far At-Thahawi: “kita tidak memandang adanya kebolehan untuk memberontak
imam-imam dan Wulatul Umur sekalipun mereka itu dhalim dan kita tidak mendoakan
kejelekan buat mereka. Kita tidak mencabut tangan ketaatan kepada mereka dan
kita pun memandang ketaatan kepada mereka merupakan bagian dari ketaatan kepada
Allah, selama mereka tidak memerintahkan kepada kemaksiatan. Kita juga
mendoakan kebaikan buat mereka.” (Syarah Aqidah Thahawiyyah 368)
Imam Al-Barbahari berkata: “ketahuilah, bahwa kedhaliman sulthan tidak mengurangi sedikitpun kewajiban yang diwajibkan oleh Allah melalui lisan Rasul-Nya (yakni untuk taat kepada sulthan), kedhaliman dia (sulthan) atas dirinya dan ketaatan serta kebaikanmu bersamanya, sempurna insya Allah, yakni ketaatan kau berjamaah, shalat Jum’at dan jihad bersamanya, dan bergabunglah bersamanya dalam setiap amalan ketaatan. Bila kamu melihat seseorang mendoakan kejelekan buat sulthan maka ketahuilah bahwa dia pelaku bid’ah. Dan bila kamu mendengarkan seseorang mendoakan kebaikan buatnya, maka ketahuilah bahwa dia itu Ahlus Sunnah, insya Allah.” (Syarhus Sunnah 51)
Imam Al-Barbahari berkata: “ketahuilah, bahwa kedhaliman sulthan tidak mengurangi sedikitpun kewajiban yang diwajibkan oleh Allah melalui lisan Rasul-Nya (yakni untuk taat kepada sulthan), kedhaliman dia (sulthan) atas dirinya dan ketaatan serta kebaikanmu bersamanya, sempurna insya Allah, yakni ketaatan kau berjamaah, shalat Jum’at dan jihad bersamanya, dan bergabunglah bersamanya dalam setiap amalan ketaatan. Bila kamu melihat seseorang mendoakan kejelekan buat sulthan maka ketahuilah bahwa dia pelaku bid’ah. Dan bila kamu mendengarkan seseorang mendoakan kebaikan buatnya, maka ketahuilah bahwa dia itu Ahlus Sunnah, insya Allah.” (Syarhus Sunnah 51)
Fudhail
bin Iyadh berkata: “Kalaulah aku punya doa yang mustajab (terkabulkan), niscaya
aku gunakan buat (kebaikan) sulthan, karena kita diperintah untuk mendoakan
kebaikan buat mereka. Kita tidak diperintah untuk mendoakan kejelekan buat
mereka sekalipun mereka dhalim dan bertindak sewenang-wenang, karena kedhaliman
mereka berakibat fatal bagi diri mereka sendiri dan juga bagi kaum mukminin.
Demikian pula sebaliknya, kebaikan mereka bermanfaat bagi diri mereka sendiri
dan juga bagi kaum mukminin.” (Thabaqat fi Bayanil Mahajjah 1/236)
Imam
Ismail Ash-Shabuni berkata: “Ashabul Hadits menasehatkan untuk shalat Jum’at,
Hari Raya, dan shalat-shalat lainnya di belakang imam kaum muslimin, yang baik
maupun yang fajir. Demikian juga jihad bersama mereka sekalipun mereka dhalim
dan bertindak semena-mena. Dan mereka mendoakan kebaikan buat imam kaum
muslimin: berdoa supaya mereka diberi taufik oleh Allah dan supaya mereka
berbuat adil terhadap rakyat. Mereka tidak memberontak kepada Umara sekalipun
mereka melihat penyimpangan-penyimpangan yang dilakukannya dan sekalipun mereka
(Umara) berbuat dhalim dan bengis. Dan mereka (Ashabul Hadits) memerangi
kelompok-kelompok yang memberontak kepada Umara, sampai mau kembali taat
kepadanya.” (Aqidah Salaf Ashabul Hadits 92, 93)
Pendapat
para ulama Ahlus Sunnah tentang masalah ini banyak sekali dan bisa dilihat
dalam kitab-kitab para ulama Ahlus Sunnah seperti: Kitab As-Sunnah karya Ibnu
Bathah, Syarah Ushul I’tiqad karya Al-Lalika’i, Aqidah Salaf Ashabul Hadits
karya Ismail As-Shabuni, Al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah karya Abul Qasim
Al-Asbahani, Syarah Aqidah Thahawiyyah karya Ibnu Abil Izz, dll. Semua kitab
itu bisa menjelaskan manhaj Ahlus Sunnah dalam bermuamalah dengan Umara,
sulthan, dan Wulatul Umur.
Pendapat-pendapat
itu tidak hanya tertulis di kitab-kitab saja, tetapi juga telah dipraktekkan
secara langsung oleh para ulama Ahlus Sunnah, diantaranya:
1.
Imam Ahmad bin Hambal
Pernah
datang kepada beliau sekelompok Ahli Fikih (fuqaha) Baghdad untuk bermusyawarah
dengan beliau agar meninggalkan dan tidak ridha dengan pemerintahan Al-Watsiq.
Al-Watsiq telah mempopulerkan pendapat “Al-Qur`an itu makhluk.” Dia
mendakwahkannya dan memerintahkan anak-anak mereka untuk mempelajarinya. Bahkan
ia mengasingkan, menjauhkan dan memenjarakan orang-orang yang menyelisihinya.
Mendengar hal itu, Imam Ahmad mengingkari usulan-usulan mereka dan melarang
mereka dengan keras. Semua itu menunjukkan ketegasan beliau dalam bersikap.
Beliau berkata: Janganlah kalian mencabut ketaatan dan janganlah kalian
memecahkan tonggak kaum muslimin. Jangan pula kalian tumpahkan darah-darah
kalian dan darah-darah kaum muslimin bersama kalian. Lihatlah oleh kalian
akibat perkara kalian ini dan janganlah kalian tergesa-gesa (dalam berbuat)…”
(Dzikru Mihnah Imam Ahmad bin Hambal hal. 70)
Dalam
kitab itu pula, Hambal bin Ishaq bin Hambal berkata: “…ketika Al-Watsiq
memunculkan perkataan ini (bahwa Al-Qur`an itu makhluk), memukul dan
memenjarakan orang yang menyelisihinya, datanglah sekelompok fuqaha dari
Baghdad kepada Imam Ahmad. Diantaranya terdapat Bakr bin Abdillah, Ibrahim bin
Ali Mathbahi, Fadl bin Ashim dan yang lainnya. Mereka mendatangi Abu Abdillah
(Imam Ahmad) dan minta izin untuk menemuinya. Setelah diizinkan mereka pun
masuk dan berkata: “Wahai Abu Abdillah, sesungguhnya urusan ini sudah tersebar
luas dan nampak sampai pada puncaknya, sedang kita khawatir laki-laki ini akan
berbuat lebih dari yang dia lakukan.” Mereka pun kemudian menyebutkan bahwa
Ibnu Abi Daud[1] menyuruh para guru untuk mengajari anak-anak bahwa Al-Qur`an
adalah begini dan begitu (yakni bahwa Al-Qur`an itu makhluk). Mendengar hal
itu, Imam Ahmad berkata: “Lalu apa yang kalian maukan?” Mereka menjawab: “Kami
datang kepadamu untuk bermusyawarah tentang apa yang kami inginkan.” Imam Ahmad
bertanya lagi: “Apa yang kalian inginkan?” Mereka berkata: “(yang kami inginkan
adalah) kami tidak ridha dengan kesultanan dan kepemimpinan dia (Al-Watsiq).”
Maka Imam Ahmad mendebat mereka beberapa saat sampai beliau berkata kepada
mereka -sedangkan saya (Hambal bin Ishaq bin Hambal) hadir di situ-: “Bagaimana
pendapat kalian kalau perkara ini tidak tuntas? Bukankah ini akan menyeret
kalian pada hal-hal yang tidak kalian inginkan? Pikirkanlah masak-masak,
janganlah kalian cabut tangan ketaatan dan janganlah kalian memecah tonggak.
Lihatlah akibat urusan kalian ini dan janganlah tergesa-gesa. Bersabarlah
kalian sampai tenang (dipimpin) Imam yang adil.” Maka terjadilah pembicaraan
panjang diantara mereka yang tidak aku (Hambal bin Ishaq) hafal, dan Abu
Abdillah telah membantah dengan perkataannya tadi. Berkatalah sebagian dari
mereka: “sesungguhnya kita khawatir akan anak cucu kami bila hal ini (perkataan
bahwa Al-Qur`an itu makhluk) nampak dan yang lain-lainnya tidak diketahui oleh
mereka. Dan kami khawatir Islam akan hancur dan punah.” Maka Abu Abdillah
berkata: “sekali-kali tidak demikian. Sesungguhnya Allah-lah yang menolong
agama-Nya. Agama ini punya Rabb yang akan menolongnya, dan sesungguhnya Islam
ini adalah agama yang mulia dan mencegah adanya pertumpahan darah (suka
perdamaian).” Akhirnya mereka pun meninggalkan Abu Abdillah, sedang Abu
Abdillah tidak memenuhi sedikitpun yang mereka inginkan. Bahkan beliau melarang
mereka dan mendebat mereka supaya mereka mau mendengar dan taat kepada
pemerintah sampai Allah bukakan jalan keluar dari permasalahan ini. Tetapi
mereka tidak mau menerima nasihat Abu Abdillah.
Maka
tatkala mereka keluar, berkatalah sebagian mereka kepadaku (Hambal bin Ishaq):
“Ikutlah dengan kami ke rumah orang (yang mereka sebut) untuk kita ajak
berunding tentang perkara yang kita inginkan.” Maka saya beritahukan hal ini
kepada ayahku (Ishaq bin Hambal). Ayahku berkata: “Kamu jangan ikut pergi dan
carilah alasan untuk tidak ikut mereka. Aku tidak merasa aman kalau nanti
mereka akan melibatkan kamu dalam masalah ini, sehingga nama Abu Abdillah akan
ikut disebut-sebut.” Maka aku pun mencari alasan untuk tidak ikut dengan
mereka. Tatkala mereka pergi, aku dan ayahku mendatangi Abu Abdillah lalu
berkatalah Abu Abdillah kepada ayahku: “Wahai Abu Yusuf, aku kira yang membuat
mereka begini ini telah meresap pada hati mereka. Kita minta keselamatan kepada
Allah. Aku tidak senang ada orang berbuat seperti mereka ini.” Maka aku (Ishaq
bin Hambal) bertanya kepadanya: “Wahai Abu Abdillah, apakah yang mereka perbuat
ini menurutmu benar?” Imam Ahmad menjawab: “Tidak, tidak benar. Perbuatan
seperti ini menyalahi atsar-atsar yang memerintahkan kita untuk bersabar.”
Kemudian beliau berkata “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Kalau dia (sulthan) memukulmu, maka sabarlah, dan kalau dia memerangimu, maka
sabarlah … dan berkata Ibnu Mas’ud: begini dan begitu. Abu Abdillah kemudian
menyebutkan hal-hal yang tidak aku hafal.” Akhirnya Ishaq bin Hambal berkata:
“Maka kaum itupun melaksanakan apa yang mereka inginkan. Mereka tidak
mendapatkan apa yang mereka inginkan dari perbuatan mereka yang tidak terpuji
ini. Mereka malah lari terbirit-birit dari serangan sulthan dan akhirnya, ada
diantara mereka yang tertangkap, dipenjara dan mati di dalamnya.” (Dzikru
Mihnati Al-Imam Ahmad bin Hambal 70-72)
Kisah
ini adalah mau’idzah (nasehat) yang jelas sekali tentang bahayanya menyelisihi
manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah demi asas yang agung ini dan bahwa menyelisihi
manhaj mereka akan mengakibatkan hal-hal seperti tersebut di atas.
2.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
Beliau hidup di zaman kesultanan yang bengis dan dhalim. Beliau disiksa dan dianiaya oleh pihak kesultanan karena menyebarkan aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah dan membantahi firqah-firqah yang sesat seperti sufi, Asy’ari, dan yang lainnya. Bahkan beliau dipenjara berkali-kali disebabkan hal ini sehingga sampai matipun beliau dalam keadaan di penjara.
Beliau hidup di zaman kesultanan yang bengis dan dhalim. Beliau disiksa dan dianiaya oleh pihak kesultanan karena menyebarkan aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah dan membantahi firqah-firqah yang sesat seperti sufi, Asy’ari, dan yang lainnya. Bahkan beliau dipenjara berkali-kali disebabkan hal ini sehingga sampai matipun beliau dalam keadaan di penjara.
Walaupun
demikian, beliau sangat keras memperingatkan umat untuk tidak memberontak dan
taat kepada sulthan. Perbuatan ini (memberontak sulthan) menurut beliau akan
mengakibatkan kerusakan yang lebih fatal dibandingkan kedhaliman dan kefasikan
sulthan.
Beliau
menegaskan: “Oleh karena inilah yang masyhur dari madzhab Ahlus Sunnah wal
Jamaah, yaitu tidak memberontak atau tidak memerangi Umara dengan pedang
sekalipun mereka itu dhalim dan bertindak semena-mena. Ini sesuai dengan yang
ditunjukkan oleh hadits-hadits shahih yang masyhur dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, karena kerusakan yang ada pada peperangan dan pemberontakan
lebih fatal daripada kerusakan yang ada pada kedhaliman dan kelaliman sulthan.
Dan hampir-hampir tidak diketahui adanya suatu kelompok yang memberontak
pemerintah melainkan hanya mengakibatkan kerusakan yang lebih fatal
dibandingkan kerusakan yang ingin dihilangkan (kedhaliman dan kelaliman
sulthan).” (Minhajus Sunnah 3/391)
VI.
Hadits-hadits yang Memerintahkan untuk Taat kepada Ulil Amri
Hadits-hadits
yang memerintahkan untuk taat kepada Ulil Amri sangat banyak dan bisa dijumpai
dalam kitab-kitab hadits yang ditulis para ulama. Di sini akan disebutkan
beberapa hadits shahih tentang masalah ini:
1.
Dari Abdullah bin Umar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Wajib
bagi setiap muslim untuk mendengar dan taat (kepada sulthan), baik dalam
perkara yang dia senangi maupun dia benci, kecuali kalau dia diperintah dalam
perkara maksiat, maka dia tidak boleh mendengar maupun taat.” (HR. Bukhari
4/329 Muslim 3/1469)
2.
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
“Wajib
atasmu untuk mendengar dan taat (kepada sulthan) dalam kesulitanmu dan
kemudahanmu, dalam perkara yang menyenangkanmu dan yang kamu benci, dan tidak
kamu sukai.” (HR. Muslim 3/1467)
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Makna (أُثْرَةٍ) adalah: sekalipun para sulthan ini
memonopoli perkaramu, sehingga mereka tidak berlaku adil terhadapmu dan mereka
tidak menunaikan hakmu,” seperti yang tersebut dalam Bukhari dan Muslim dari
Usaid bin
Hudhair bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya
kalian akan menemui perkara yang tidak disenangi setelahku, maka hendaklah
kalian bersabar sampai kalian berjumpa denganku di telaga haudh nanti.” (HR.
Bukhari 3/41 dan Muslim 3/1474)
Dan
juga dalam riwayat lain dari Abdullah bin Mas’ud, dia berkata: Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“‘Sesungguhnya
akan ada sepeninggalku perkara yang tidak kamu senangi dan kalian ingkari.’
Para shahabat bertanya: ‘Wahai Rasulullah, apa yang engkau perintahkan kepada
orang dari kalangan kami yang menjumpainya?’ Beliau menjawab: “Kalian tunaikan
kewajiban kalian dan kalian minta kepada Allah akan hak kalian.” (HR. Bukhari
4/312 dan Muslim 3/1472)
3.
Dari Wail bin Hujr radhiallahu ‘anhu, dia berkata: Salamah bin Yazid Al-Ju’ti
pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai
Rasulullah, kalau kita diperintah oleh sulthan yang meminta haknya, tapi tidak
mau menunaikan hak kami, apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Maka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpaling darinya. Kemudian Salamah
bertanya lagi dan Rasulullah pun berpaling lagi. Kemudian Salamah bertanya lagi
untuk yang ketiga kalinya, maka ia ditarik oleh Al-Asy’ats bin Qais. Maka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Dengar
dan taatlah kalian, karena mereka akan memikul dosa-dosa mereka dan kalian juga
akan memikul dosa-dosa kalian (sendiri).” (Muslim 3/1474)
Berkata
Ibnu Abil Izzi Al-Hanafi: “Adapun hikmah komitmen dalam mentaati mereka (Umara)
sekalipun mereka dhalim adalah karena memberontak dan tidak taat kepada mereka
akan mengakibatkan kerusakan yang fatal, lebih dari kedhaliman mereka sendiri,
bahkan bersabar dalam menghadapi kedhaliman mereka itu bisa menghapuskan
dosa-dosa dan bisa melipat gandakan pahala. Ini karena Allah tidak menguasakan
mereka atas kita melainkan karena rusaknya amalan kita. Maka wajib bagi kita
untuk bersungguh-sungguh dalam beristighfar, taubat, dan memperbaiki amal.
Allah berfirman (yang artinya):
“Dan
apa saja yang menimpa kamu maka disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri
dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (Asy-Syura:
30)
Maka
apabila rakyat ingin lepas dari belenggu kedhaliman Umara, maka hendaklah
mereka itu (rakyat) meninggalkan kedhaliman pula.” (Syarh Aqidah Thahawiyyah
370)
4.
Dari Abu Dzar Al-Ghifari radhiallahu ‘anhu, dia berkata: Kekasihku (Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam) pernah berwasiat kepadaku:
“Dengar
dan taatilah (Umara), sekalipun budak Habasyi yang juling matanya.” Dan dalam
riwayat Bukhari: “sekalipun diperintah oleh budak Habasyi yang panjang dan lebat
rambut kepalanya.” (HR. Muslim 3/1467 dan Bukhari 1/30)
5.
Dari Auf bin Malik radhiallahu ‘anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, beliau bersabda:
“Sebaik-baik
pimpinan kalian adalah kalian mencintai mereka dan mereka mencintai kalian. Kalian
doakan kesejahteraan bagi mereka dan mereka doakan kesejahteraan buat kalian.
Dan sejelek-jelek pimpinan kalian adalah kalian membenci mereka dan mereka
membenci kalian. Kalian melaknati mereka dan mereka melaknati kalian.” Kami,
para shahabat, bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah mereka boleh kita perangi
ketika terjadi demikian?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
“Tidak, selama mereka masih shalat bersama kalian. Ketahuilah barangsiapa
urusannya diurusi oleh Ulil Amri (sulthan) kemudian dia melihatnya berbuat
maksiat kepada Allah, maka hendaklah dia benci terhadap maksiat yang dia
perbuat dan sungguh jangan cabut tangan ketaatan padanya.” (HR. Muslim 3/1482)
6.
Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhu, dia berkata bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa
yang melihat Amirnya berbuat sesuatu yang dia benci, maka hendaklah dia
bersabar karena tidak ada seorangpun di kalangan manusia yang keluar dari
sulthan sejengkal, kemudian dia mati atas perbuatannya ini melainkan dia mati
secara jahiliyah.” (Bukhari 4/313 dan Muslim 3/1478)
7.
Dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
“Tidak
ada ketaatan dalam maksiat kepada Allah. Ketaatan itu hanya dalam perkara yang
ma’ruf (baik).” (HR. Bukhari 4/355 dan Muslim 3/1469)
VII.
Fatwa Para Syaikh dan Ulama tentang Masalah ini
1.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Bazz
Beliau
pernah ditanya: “Apakah termasuk manhaj salaf mengkritik sulthan di atas
mimbar? Bagaimana manhaj salaf dalam mengkritik mereka?”
Maka beliau menjawab:
Maka beliau menjawab:
“Bukan
termasuk manhaj salaf memasyhurkan dan menyebut-nyebut kejelekan sulthan di
atas mimbar, karena akan mengakibatkan kekacauan yang fatal dan akan menjurus
kepada perbincangan yang tak ada manfaatnya, bahkan bermadharat. Tetapi jalan
yang diikuti oleh para Salafus Shalih ialah menyampaikan nasehat empat mata
antara mereka (salaf) dengan sulthan, atau dengan mengirim surat kepadanya.
Bisa juga dengan melalui ulama yang biasa berhubungan dengan sulthan, atau dengan
mengirim surat kepadanya. Bisa juga dengan melalui ulama yang bisa
menasehatinya dengan baik. (Dan perlu diketahui) bahwa mengingkari kemungkaran
bisa dilakukan tanpa menyebutkan pelakunya. Demikian juga mengingkari zina,
khamr, riba dan yang lainnya bisa dilakukan tanpat menyebut pelakunya.
Ketika
terjadi fitnah di jaman kekhilafahan Utsman, berkata sebagian orang kepada
Usamah bin Zaid radhiallahu anhu: “Apakah kamu tidak mengingkari perbuatan
Utsman?” Maka Zaid menjawab: “Aku tidak mau mengingkarinya di depan masyarakat,
tetapi aku ingkari perbuatannya dengan (melakukan pembicaraan red.) empat mata
antara aku dengannya, karena aku tidak mau membukakan pintu kerusakan atas
manusia.” Maka ketika mereka membuka pintu kerusakan pada jaman Utsman
radhiallahu ‘anhu dan mengingkari perbuatan Utsman secara terang-terangan,
memuncaklah fitnah dan terjadilah pembunuhan, peperangan dan kerusakan fatal
yang tidak pernah punah bekasnya sampai sekarang. Akhirnya terjadilah fitnah
antara Ali dan Muawiyyah, dan terbunuhlah Utsman, Ali dan banyak dari kalangan
para shahabat disebabkan pengingkaran yang dilakukan secara terang-terangan.
Kita mohon keselamatan kepada Allah.” (Huququl Ra’i wa Ra’iyyah 27-28)
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa
yang ingin menasehati sulthan, maka janganlah dia jelaskan terang-terangan (di
depan mata), tapi hendaklah dia ambil tangan sulthan dan menyendiri dengannya.
Kalau sulthan itu menerima nasehatnya, maka dia telah menasehatinya dan kalau
sulthan itu tidak mau menerima, maka dia telah menunaikan kewajibannya.” (HR.
Ahmad 3/403)
2.
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan
Beliau pernah ditanya: “Bagaimana manhaj salaf dalam bermuamalah dengan pemerintah Islam.”
Beliau pernah ditanya: “Bagaimana manhaj salaf dalam bermuamalah dengan pemerintah Islam.”
Maka
beliau menjawab:
“Manhaj kita dalam bermuamalah dengan pemerintah Islam adalah mendengar dan taat kepada mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya): “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan Ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu (hal) maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur`an) dan Rasul (As-Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa: 59)
“Manhaj kita dalam bermuamalah dengan pemerintah Islam adalah mendengar dan taat kepada mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya): “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan Ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu (hal) maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur`an) dan Rasul (As-Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa: 59)
Demikian
pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk takwa kepada Allah, mendengar dan taat (kepada sulthan) sekalipun kalian diperintah oleh budak (Habasyi), karena sesungguhnya barangsiapa diantara kalian yang hidup sepeninggalku, niscaya dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka (pada saat itu) wajib atas kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafa`ur Rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku. Gigitlah ia dengan gigi geraham.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan ia berkata: HASAN SHAHIH. Dishahihkan pula oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ 2546)
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk takwa kepada Allah, mendengar dan taat (kepada sulthan) sekalipun kalian diperintah oleh budak (Habasyi), karena sesungguhnya barangsiapa diantara kalian yang hidup sepeninggalku, niscaya dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka (pada saat itu) wajib atas kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafa`ur Rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku. Gigitlah ia dengan gigi geraham.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan ia berkata: HASAN SHAHIH. Dishahihkan pula oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ 2546)
Hadits
ini sesuai betul dengan ayat tersebut di atas. Begitu juga hadits-hadits shahih
lain yang menganjurkan untuk mendengar dan taat kepada pemerintahan Islam.
Pemerintah Islam harus ditaati dalam perkara taat kepada Allah. Tetapi kalau
memerintah kepada maksiat, maka tidak boleh ditaati. Sedangkan dalam masalah
selain ini (selain maksiat kepada Allah) mereka harus ditaati.” (Wujub Tha’ati
Sulthan 25-26)
Wallahu
A’lam bi Shawab.
Maraji’:
1. Tafsir At-Thabari oleh Ibnu Jarir At-Thabari
2. Tafsir Ibnu Katsir oleh Abu Fida Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi
3. Al-Jami’ lil Ahkamil Qur`an oleh Imam Al-Qurthubi
4. Durrul Mantsur oleh Imam Suyuthi
5. Ahkamul Qur`an oleh Abu Bakar Ibnul Arabi
6. Taisirul Karimir Rahman oleh Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di
7. Hujiyyatu Ahaditsil Ahad oleh Syaikh Ahmad Muhammad Amis
8. Qaidah Mukhtasharah oleh Ibnu Taimiyyah
9. Wujub Tha’ati Sulthan oleh Muhammad bin Nashir Al-Uraini
10. Huququ Ra’iyyah karya Syaikh Al-Utsaimin
—————————————————–
[1] Salah satu tokoh Mu’tazilah yang mendakwahkan bahwa Al-Qur`an itu makhluk, dan dia adalah orang yang mempengaruhi Khalifah Al-Watsiq sehingga Imam Ahmad dipenjara.
(Dikutip
dari artikel berjudul Makna Taat kepada Allah, Rasul dan Ulil Amri, karya al
Ustadz Muhammad Afifuddin, sumber Majalah Salafy edisi IV/Dzulqa’dah/1416/1996
rubrik Tafsir, sumber http://salafy.iwebland.com/baca.php?id=41, Link URL Salafy Online)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar