Allah Subhanahu
wa Ta’ala memerintahkan kita untuk saling berta’awun (bekerja sama) di dalam
kebajikan dan ketakwaan, dan melarang dari saling berta’awun di dalam perbuatan
dosa dan permusuhan. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman.
“Artinya : Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah
amat berat siksa-Nya.” [Al-Ma’idah : 2]
Pertama, Ta’awun yang syar’iy di dalam kebajikan dan
ketakwaan merupakan kalimat yang mencakup seluruh kebajikan, yang akan membawa
kebaikan bagi masyarakat muslim dan keselamatan dari keburukan serta sadarnya
individu akan peran tanggung jawab yang diemban di atas bahunya. Karena ta’awun
di dalam kehidupan umat merupakan manifestasi dari kepribadiannya dan merupakan
pondasi di dalam membina perabadan umat.
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata di dalam
Tafsir Al-Qur’anil Azhim (II/7) menafsirkan ayat diatas [Al-Ma’idah : 2]
“Artinya : Allah Ta’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya
yang mukmin agar saling berta’awun di dalam aktivitas kebaikan yang mana hal
ini merupakan al-Birr (kebajikan) dan agar meninggalkan kemungkaran yang mana
hal ini merupakan at-Taqwa. Allah melarang mereka dari saling bahu membahu di
dalam kebatilan dan tolong menolong di dalam perbuatan dosa dan keharaman.”
Termasuk dalam pengertian ini adalah apa yang
diriwayatkan oleh Muslim di dalam Shahih-nya dari hadits Tamim ad-Dari
Radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa salam
bersabda : “Agama itu nasehat”, beliau ditanya : “Bagi siapa wahai
Rasulullah?”, Rasulullah menjawab : “Bagi Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin
kaum muslimin dan masyarakat umum.”
An-Nushhu (nasehat) ditinjau menurut bahasa, artinya
adalah mengikhlaskan diri terhadap sesuatu tanpa disertai tipuan dan khianat.
Hal ini merupakan kewajiban ulama dan para penuntut ilmu yang pertama kali
sebelum lainnya. Karena mereka (para ulama) adalah pewaris para nabi, khalifah
(pengganti) Rasul di dalam menerangkan kebenaran, berdakwah kepada Allah,
bersabar atas segala rintangan dan mengemban segala kesukaran. Allah Ta’ala
berfirman :
“Artinya : Siapakah yang lebih baik perkataannya
daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan
berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?”
[Fushshilat : 33]
Kedua, Ta’awun yang syar’iy merupakan konsekuensi dari
wala’ (loyalitas) kepada kaum muslimin. Allah Ta’ala berfirman :
“Artinya : Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan
perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang
lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar”
[At-Taubah : 71]
Barangsiapa yang meninggalkan nasehat kepada saudaranya
dan menelantarkannya, maka pada hakikatnya ia adalah seorang penipu dan bukan
pembela mereka. Karena merupakan konsekuensi dari loyalitas adalah menasehati
dan menolong mereka di dalam kebajikan dan ketakwaan.
Ketiga, Ta’awun diantara kaum muslimin merupakan
kekuatan dan pelindung. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam telah menyerupakan
ta’awun kaum muslimin, persatuan dan berpegang teguhnya mereka (pada agama
Allah) dengan bangunan yang dibangun dengan batu bata yang tersusun rapi kuat
sehingga menambah kekokohannya. Demikianlah kaum muslimin, semakin bertambah
kokoh dengan saling tolong menolong di antara mereka. Sebagaimana sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa salam :
“Artinya : Seorang mukmin dengan mukmin lainnya
bagaikan satu bangunan yang sebagiannya menguatkan bagian lainnya.”
Tidaklah umat Islam ini menjadi lemah dan
musuh-musuhnya menguasai mereka, melainkan dikarenakan berpecah belah dan
berselisihnya mereka, walaupun kuantitas dan jumlah mereka banyak. Allah Ta’ala
berfirman :
“Artinya : Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan
janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan
hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang
sabar” [Al-Anfal : 46]
Perkara ini adalah suatu hal yang telah dikenal oleh
fitrah yang lurus dan diketahui oleh akal yang sehat, sebagaimana dikatakan
oleh seorang penyair yang bijaksana :
Tombak-tombak enggan menjadi hancur apabila mereka
bergabung
Namun apabila berpisah maka akan hancur satu persatu
Namun apabila berpisah maka akan hancur satu persatu
Semua ini, tidak akan bisa ditegakkan melainkan di
atas kalimat tauhid, karena kalimat tauhid merupakan pondasinya persatuan umat
.
Keempat, Ta’awun dan ittihad (persatuan).[2]
Sebagaimana firman Allah Ta’ala
“Artinya : Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku.” [Al-Mu’minun : 52]
.
Keempat, Ta’awun dan ittihad (persatuan).[2]
Sebagaimana firman Allah Ta’ala
“Artinya : Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku.” [Al-Mu’minun : 52]
Dan firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala :
“Artinya : Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah
agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku.”
[Al-Anbiya’ : 92]
Ta’awun dan persatuan selayaknya ditegakkan di atas
kebajikan dan ketakwaan, jika tidak, akan menghantarkan pada kelemahan yang
parah, berkuasanya para musuh Islam, terampasnya tanah air, terinjak-injaknya
kehormatan dan terenggutnya tanah muqoddas (Palestina). Sebagai pembenar apa
yang diberitakan oleh Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Salam :
“Kalian nyaris diperebutkan oleh umat-umat selain
kalian sebagaimana makanan di sebuah tempayan yang diperebutkan manusia.” Para
sahabat bertanya : “apa jumlah kita pada saat itu sedikit wahai Rasulullah?”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Bahkan jumlah kalian pada
saat itu banyak, akan tetapi kalian bagaikan buih, dan Allah akan mengangkat
rasa takut kepada kalian dari dada musuh-musuh kalian, dan Allah akan
menancapkan al-Wahn ke dalam hati-hati kalian.” Para sahabat bertanya : “apakah
al-Wahn itu wahai Rasulullah?”, Rasulullah menjawab : “cinta dunia dan takut
mati.”[Hadits Riwayat Bukhari Muslim]
Hadits ini mengisyaratkan tentang kesudahan umat ini
yang berada di dalam kelemahan walaupun banyak jumlahnya, namun mereka
berserakan, berjalan tanpa arah dan bergerak tanpa tujuan, maka Allah timpakan
atas mereka kehinaan yang akan menetap di bujur dan lintang (bumi ini).
Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alahi wa salam :
“Jika kalian telah sibuk dengan jual beli inah (sistem
jual beli yang terdapat unsur riba, pent.), kalian terbuai dengan peternakan
dan bercocok tanam, dan kalian tinggalkan jihad, maka akan Allah timpakan di
atas kalian kehinaan yang tidak akan terangkat sampai kalian kembali ke agama
kalian.” [Hadits Shahih Riwayat Abu Daud] [3]
Seorang muslim, haruslah memiliki solidaritas dengan
saudaranya, turut merasakan kesusahannya, tolong menolong di dalam kebajikan
dan ketakwaan, agar umat Islam dapat menjadi satu tubuh yang hidup, sebagaimana
sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam:
“Perumpamaan kaum mukminin di dalam cinta, kasih
sayang dan kelembutan bagaikan tubuh yang satu, apabila salah satu anggota
tubuh mengeluh maka akan memanggil seluruh anggota tubuh lainnya dengan terjaga
dan demam.” [Muttafaq ‘alaihi]
Kelima, Tawaashi (saling berwasiat) di dalam kebenaran
dan kesabaran merupakan sebab keselamatan dari kerugian. Saling berwasiat di
dalam kebenaran dan kesabaran termasuk manifestasi nyata dari ta’awun syar’iy
di dalam kebajikan dan ketakwaan. Dengan kedua hal ini, akan terpelihara agama
ini, dan keduanya termasuk amar ma’ruf nahi munkar, merupakan sebab
diperolehnya kebaikan bagi negeri dan penduduknya. Allah Ta’ala berfirman :
“Artinya : Demi masa. Sesungguhnya manusia itu
benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat
menasehati supaya menetapi kesabaran.” [Al-Ashr]
Kesempurnaan dan totalitas perkara ini adalah dengan
saling berwasiat di dalam kasih sayang, kecintaan, loyalitas, kelembutan dan
perhatian…
Para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Salam tidak pernah berselisih kecuali mereka membaca surat Al-Ashr[4]
Para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Salam tidak pernah berselisih kecuali mereka membaca surat Al-Ashr[4]
Keenam, Diantara bentuk manifestasi ta’awun syar’iy di
dalam kebajikan dan ketakwaan adalah : menghilangkan kesusahan kaum muslimin,
menutup aib mereka, mempermudah urusan mereka, menolong mereka dari orang yang
berbuat aniaya, mengajari orang yang bodoh dari mereka, mengingatkan orang yang
lalai diantara mereka, mengarahkan orang yang tersesat di kalangan mereka,
menghibur atas duka cita mereka, membantu atas musibah yang yang menimpa
mereka, menyokong jihad dan dakwah mereka, menyertai mereka di dalam sholat
jum’at, sholat jama’ah dan ied (perayaan) mereka, mengunjungi orang yang sakit,
memenuhi undangan, mengantarkan jenazah, mendo’akan orang yang bersin dan
menolong mereka dalam segala hal yang baik.
Ketujuh, Allah sungguh telah mencela tafarruq (perpecahan),
karena perpecahan menghilangkan ta’awun (kerja sama), pertautan (hati),
kecintaan, dan menghantarkan kepada perselisihan, kesedihan dan kebencian.
Alloh Ta’ala berfirman :
“Artinya : Dan janganlah kamu termasuk orang-orang
yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka
dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan
apa yang ada pada golongan mereka.” [Ar-Rum : 31-32]
Perpecahan merupakan syiar (semboyan) kaum musyrikin,
bukan syiarnya kaum muwahidin (orang yang bertauhid) lagi mukmin. Oleh karena
itu kaum salaf membenci tahazzub (berpartai-partai) dan tafarruq
(bergolong-golongan). Bahkan mereka memerangi dan mengharamkannya.
Kedelapan, Kita telah merasakan dan melihat sendiri
apa yang telah dilakukan oleh hizbiyah (fanatisme) yang membinasakan, berupa
keburukan-keburukan dan bencana. Mereka memasukan rasa permusuhan dan kebencian
di antara manusia, dikarenakan mereka berinteraksi dengan selain mereka dengan
asas hizbi (kepartaian). Loyalitas mereka hanyalah untuk hizbi dan tanzhim
(organisasi), tidak untuk Islam dan agama. Mereka lebih mendahulukan ukhuwah
hizbiyah (persaudaraan kepartaian) ketimbang ukhuwah imaniyah (persaudaraan
keimanan). Menurut mereka, ta’awun disyaratkan haruslah berafiliasi dulu dengan
partai mereka [5]. Adapun muslim non partisan, sekalipun ia teman lama dan
sahabat akrabnya, prinsip mereka terhadapnya adalah “ini termasuk kelompoknya
dan ini termasuk musuhnya”.
Termasuk keburukan dan penyimpangan mereka lainnya
adalah mereka lebih mengedepankan orang-orang bodoh, menjadikan gerakannya
sebagai ‘gerakan bawah tanah’, melemparkan benih-benih keraguan di
tengah-tengah kaum muslimin, mencampuradukkan antara yang haq dan yang bathil,
menjadikan luapan semangat dan perasaan sebagai asas, menomorakhirkan ilmu dan
membuat keragu-raguan terhadap para ulama…
Inilah intisari ringkas keadaan kelompok-kelompok dan
partai-partai yang mengikat dengan belenggu hizbiyah, yang menyembunyikan
‘desahan nafas’nya dengan ikatan rahasia. Apabila seorang muslim dari luar
barisan mereka maju, maka mereka akan menuduhnya sebagai : mutsabbithun
(pengendor semangat), musyawwisyun (penyulut kebingungan) dan murjifun
(penggoncang barisan) yang menghendaki porak-porandanya barisan Islam dan terbukanya
rahasia kepada musuh-musuh Islam.
Apabila datang seorang pemberi nasehat yang jujur dari
barisan mereka, niscaya mereka akan menuduhnya sebagai : orang yang menyeleweng
dari manhaj, orang yang menghendaki perpecahan dan menelantarkan teman seperjuangan.
Imam Robbani, Syaikhul Islam kedua, Ibnu Qoyyim
al-Jauziyah Rahimahulahu berkata di dalam Madarijus Salikin (III/200) :
“Apabila seorang mukmin yang telah dianugrahi oleh
Allah berupa bashiroh (ilmu yang mendalam) di dalam agama, pengetahuan akan sunnah
Rasul-Nya dan pemahaman akan kitab-Nya dan diperlihatkan hawa nafsu, bid’ah,
kesesatan dan jauh dari shirothol mustaqim, jalannya Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa salam dan para sahabatnya. Apabila ia menghendaki untuk menempuh
jalan ini, maka hendaklah ia persiapkan dirinya untuk dicemooh orang bodoh dan
ahlul bid’ah, dicela dan dihina serta ditahdzir mereka. Sebagaimana pendahulu
mereka melakukannya kepada panutan dan imam kita Rasul Shallallahu ‘alaihi wa
salam.
Adapun apabila ia menyeru kepada hal ini dan mencemooh
apa-apa yang ada pada mereka, maka mereka akan murka dan membuat makar padanya,
Maka dirinya menjadi orang yang :
Asing didalam agamanya dikarenakan rusaknya agama
mereka
Asing didalam berpegangteguhnya ia kepada sunnah, dikarenakan berpegangnya mereka dengan kebid’ahan
Asing didalam aqidahnya dikarenakan rusaknya aqidah mereka
Asing didalam sholatnya dikarenakan rusaknya sholat mereka
Asing didalam manhajnya dikarenakan sesat dan rusaknya manhaj mereka
Asing didalam penisbatannya dikarenakan berbedanya penisbatan mereka dengannya
Asing didalam pergaulannya terhadap mereka dikarenakan ia mempergauli mereka di atas apa yang tidak disenangi hawa nafsu mereka
Asing didalam berpegangteguhnya ia kepada sunnah, dikarenakan berpegangnya mereka dengan kebid’ahan
Asing didalam aqidahnya dikarenakan rusaknya aqidah mereka
Asing didalam sholatnya dikarenakan rusaknya sholat mereka
Asing didalam manhajnya dikarenakan sesat dan rusaknya manhaj mereka
Asing didalam penisbatannya dikarenakan berbedanya penisbatan mereka dengannya
Asing didalam pergaulannya terhadap mereka dikarenakan ia mempergauli mereka di atas apa yang tidak disenangi hawa nafsu mereka
Kesimpulannya: ia adalah orang yang asing di dalam
urusan dunia dan akhiratnya, yang masyarakat tidak ada yang mau menolong dan
membantunya.
Karena dirinya adalah :
Seorang yang berilmu di tengah-tengah orang yang bodoh
Penganut sunnah di tengah-tengah pelaku bid’ah
Penyeru kepada Allah dan Rasul-Nya di tengah-tengah penyeru hawa nafsu dan bid’ah
Seorang yang berilmu di tengah-tengah orang yang bodoh
Penganut sunnah di tengah-tengah pelaku bid’ah
Penyeru kepada Allah dan Rasul-Nya di tengah-tengah penyeru hawa nafsu dan bid’ah
Penyeru kepada yang ma’ruf dan pencegah dari yang
mungkar di tengah-tengah kaum yang menganggap suatu hal yang ma’ruf sebagai
kemungkaran dan suatu hal yang mungkar sebagai ma’ruf.”[6]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar