Allah Azza wa
Jalla mewajibkan kita agar memiliki al-wala` kepada kaum Muslimin, dan al-bara`
terhadap orang-orang kafir.
Allah berfirman
:
“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya (wali yang ditaati), maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang”.[al-Mâidah/5:55-56]
“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya (wali yang ditaati), maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang”.[al-Mâidah/5:55-56]
“Janganlah
orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan
orang-orang mu’min. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah dia dari
pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang
ditakuti dari mereka” [Ali 'Imrân/3:28]
“Sesungguhnya
telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Nabi Ibrahim dan orang-orang yang
bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka:”Sesungguhnya kami
berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami
ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan
kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja”.
[al-Mumtahanah/60:4].
“Dan ingatlah
ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Sesungguhnya aku tidak
bertanggung jawab terhadap apa yang kamu sembah, tetapi (aku menyembah Rabb)
yang menjadikanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku”. Dan
(Ibrahim) menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya
supaya mereka kembali kepada kalimat tauhid itu”. [az-Zukhrûf/43:26-28].
“Kamu tidak
akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling
berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya,
sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara
ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang, yang Allah telah menanamkan
keimanan dalam hati mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan
dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai,
mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun merasa puas
terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah”.
[al-Mujâdilah/58:22].
Al-wala`
(loyalitas) dan al-bara` (berlepas diri) ini telah ditetapkan dalam Al-Qur’ân,
as-Sunnah dan Ijma’. Masalah ini sudah disyariatkan sebelum ada perintah
berjihad, yaitu saat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di Mekkah.
Al-wala` dan al-bara` tetap wajib, baik dalam kondisi aman maupun perang. Ia
bukan sesuatu yang baru.
Kami
menyampaikan permasalahan ini supaya diingat terus dan untuk menjelaskan
kerancuan dalam memahaminya. Karena sebagian orang yang melampaui batas, yang
berjalan di atas pemikiran Khawarij memahami ‘adâwah (permusuhan), barâ’ah
(berlepas diri), dan kebencian kepada orang-orang kafir memiliki konsekwensi,
(yaitu) haramnya bergaul dengan orang-orang kafir.
Mereka tidak
mengetahui bahwa yang dimaksud adalah berlepas diri dari agama mereka. Dalam
artian tidak mencintai mereka. Maksudnya bukan tidak boleh bergaul dengan
mereka dalam masalah yang dibolehkan Islam, ataupun menzhalimi mereka dengan
menghancurkan rumah-rumah mereka, membunuh mereka yang berada dalam jaminan
keamanan, membunuh anak-anak, kaum wanita atau juga memusnahkan harta benda
mereka. Lalu ini disebut jihad.
Sedangkan
sebagian lainnya mengira, kebencian dan berlepas diri dari orang-orang kafir
merupakan teror dan kezhaliman kepada mereka. Sebagaimana hal ini terungkap
dalam berbagai dialog maupun tulisan di sebagian media massa. Kemudian anggapan
keliru ini dimanfaat oleh orang-orang kafir dan orang munafik. Mereka
mengatakan, agama Islam itu agama teror dan buas?!
Kami (Syaikh
Shalih Fauzan) mengatakan kepada kelompok pertama dan kedua, bahwa Islam
merupakan agama rahmat bagi pemeluknya, dan agama yang mengajarkan keadilan dan
pemenuhan janji kepada para musuhnya.
Allah Azza wa
Jalla berfirman:
“Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidil Haram, mendorong kamu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya” [al-Mâidah/5:2].
$
“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah” [al-Mâidah/5:8].
“Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidil Haram, mendorong kamu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya” [al-Mâidah/5:2].
$
“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah” [al-Mâidah/5:8].
Jadi
dinul-Islam ini, meskipun memerintahkan agar memusuhi orang-orang kafir karena
agama mereka, supaya ajaran mereka tidak ada yang menelusup ke tengah kaum
Muslimin, dan ini untuk menutup celah, namun Islam mengharamkan berbuat zhalim
terhadap mereka tanpa alasan yang haq. Islam menghormati hak-hak orang-orang
kafir mu’ahad (yang sedang dalam perjanjian damai), dzimmi (orang-orang kafir
yang tinggal di tengah komunitas muslim dengan membayar pajak), musta’man
(orang kafir yang mendapatkan suaka). Islam mengharamkan darah dan harta benda
mereka. Islam juga memberikan hak-hak dan kewajiban yang sama kepada mereka,
sebagaimana hak dan kewajiban kaum Muslimin.
Allah Azza wa
Jalla berfirman :
”Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan#( janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya”.[an-Nahl/16:91].
#(
“dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggunganjawabnya”. [al-Isrâ’/17:34].
”Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan#( janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya”.[an-Nahl/16:91].
#(
“dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggunganjawabnya”. [al-Isrâ’/17:34].
“kecuali
orang-orang musyirikin yang kamu mengadakan perjanjian (dengan mereka), dan
mereka tidak mengurangi sesuatupun (dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula)
mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu
penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertakwa”.[at-Taubah/9:4].
‘Abdullah bin
Rawahah Radhiyallahu ‘anhu menceritakan, ketika ia diutus oleh Nabi Shallallahu
‘alaihi w sallam ke penduduk Khaibar untuk menaksir atau menghitung dengan
perkiraan hasil buah-buahan agar menjadi pijakan pemungutan pajak dari Yahudi,
lalu ada orang Yahudi yang hendak menyuap agar ia (‘Abdullah bin Rawahah
Radhiyallahu ‘anhu ) meringankan mereka.
Menerima
perlakuan ini, beliau berkata: “Wahai kawan-kawan (dari kaum yang dirubah
menjadi, Red.) kera! Kalian adalah orang yang paling aku benci di dunia ini,
namun kebencianku tidak membuaku berlaku zhalim terhadap kalian.”
Orang-orang
Yahudi (itupun) menimpalinya: “Dengan inilah, langit dan bumi menjadi tegak.”
Begitu juga
tidak ada larangan melakukan akad jual beli atau sewa-menyewa dengan
orang-orang kafir. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membeli makanan
untuk keluarga beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari seorang Yahudi. Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menggadaikan baju besinya kepada seorang
Yahudi. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memakan makanan mereka, dan
menghadiri undangan mereka. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadakan
perjanjian damai dengan orang-orang kafir, seperti perjanjian Hudaibiyah dengan
orang-orang musyrik, perjanjian damai dengan orang Yahudi di Madinah,
perjanjian dengan kaum Nashara di Najran. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan agar berlaku baik kepada tetangga dan para tawanan. Sebagaimana
firman Allah Azza wa Jalla :
“Dan mereka
memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang
yang ditawan”.[al-Insân/76:8].
Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memenuhi perjanjian bersama mereka, dan Allah
Azza wa Jalla memerintahkan kepada seorang anak untuk berbuat baik kepada orang
tuanya yang kafir. Allah Azza wa Jalla berfirman, yang artinya: “Dan
pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang
kembali kepada-Ku”,[Luqman/31:15].
Bahkan dalam
keadaan hendak memerangi mereka pun, sebelum menyerang, Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan agar mendakwahi mereka, melarang membunuh orang
tua, para pendeta, anak-anak dan kaum wanita, dan juga melarang melakukan
perusakan. Adakah perlakuan kepada musuh yang lebih baik dan lebih indah dari
perbuatan ini?
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita membunuh kaum kuffar yang sedang
terikat perjanjian. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ
“(barang siapa
yang membunuh orang kafir yang sedang dalam perjanjian, maka tidak akan mencium
aroma surga)”, padahal kaum kuffar ini sangat membenci kita, sebagaimana Allah
Azza wa Jalla berfirman :
“Jika mereka
menangkap kamu, niscaya mereka bertindak sebagai musuh bagimu dan melepaskan
tangan dan lidah mereka kepadamu dengan menyakiti (mu); dan mereka ingin supaya
kamu (kembali) kafir”.[al-Mumtahanah/60:2].
“Bagaimana bisa
(ada perjanjian dari sisi Allah dan Rasul-Nya dengan orang-orang musyirikin),
padahal jika mereka memperoleh kemenangan terhadap kamu, mereka tidak
memelihara hubungan kekerabatan terhadap kamu dan tidak (pula mengindahkan)
perjanjian”.[at-Taubah/9:8]
“Beginilah
kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu
beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka
berkata:”Kami beriman”; dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung
jari lantaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada
mereka):”Matilah kamu karena kemarahanmu itu”. Sesungguhnya Allah mengetahui
segala isi hati. Jika kamu memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati,
tetapi jika kamu mendapat bencana, mereka bergembira karenanya” [Ali Imrân/3 :
119-120].
“Sesungguhnya
kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang
yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang
musyrik”.[al-Mâidah/5:82].$
“Orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Rabb-mu” [al-Baqarah/2:105].
Pemberitaan
Allah Azza wa Jalla ini terlihat nyata dalam perlakuan mereka saat ini terhadap
kaum Muslimin, yaitu berupa pembunuhan, pengusiran, penyiksaan, penghancuran
terhadap negara mereka dengan tanpa perasaan dan kasih sama sekali.[3]
Meski demikian,
ketika kaum Muslimin berada pada posisi di atas, mereka tidak akan membalas
dengan perlakuan serupa, sebagai realisasi dari ajaran agama mereka yang lurus.
Lantas, bagaimana mungkin dikatakan “Islam itu agama teror dan biadab?” Dan
dakwah perbaikan dalam Islam, seperti dakwah Syaikhul-Islam Ibnu taimiyyah dan
Syaikh Muhammad bin Abdul-Wahhab, dan dakwah perbaikan lainnya adalah dakwah
teroris?
Perkataan ini
tidak lain hanyalah memutarbalikkan fakta dan membuat kerancuan di tengah umat.
(Karena) sebenarnya teror dan biadab merupakan perlakuan orang-orang kafir
terhadap kaum Muslimin, saat mereka berkuasa.
Al-wala` dan
al-bara` dalam Islam tidak berarti teror dan berbuat zhalim terhadap pemeluk
agama samawi. Namun hanya berarti memerangi musuh-musuh Allah Azza wa Jalla,
sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla, yang artinya: “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman
setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa
kasih sayang” [Mumtahanah/60 ayat 1]- supaya ada garis pembeda antara muslim
dan kafir, sehingga seorang muslim terjaga keislaman dan aqidahnya, serta
merasa bangga dengan agamanya. Allah berfirman :
“Padahal
kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang
beriman” [Ali 'Imrân/3:139].
“Tiada sama
penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni surga” [Al-Hasyr/59 : 20].
“Katakanlah:
“Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu
menarik hatimu, maka bertaqwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar
kamu mendapat keberuntungan”. [al-Mâidah/5 : 100].
“Patut Kami
menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang
kafir) Mengapa kamu (berbuat demikian); bagaimanakah kamu mengambil keputusan”
[al-Qalam/68 : 35-36].
“Patutkah Kami
menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih sama
dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah (pula) Kami
menganggap orang-orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat
maksiat?” [Shâd/38 : 28]
Jadi seseorang
harus bangga dengan keislamannya. Kepribadiaanya tidak boleh bercampur aduk
dengan yang tidak muslim. Dia harus mengatakan:
“Untukmulah
agamamu dan untukkulah agamaku” [al-Kâfirûn/109 : 6]
Jika mereka
mendustakan kamu, maka katakanlah Bagiku pekerjaanku dan bagimu pekerjaanmu.
Kamu berlepas diri terhadap apa yang aku kerjakan, dan aku berlepas diri
terhadap apa yang kamu kerjakan (Qs Yûnus/10 : 41),
Oleh karena
itu, seorang muslim dilarang menyerupai non muslim. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“(barangsiapa
yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari kaum itu)”, karena
menyerupai mereka secara fisik menunjukkan adanya kecintaan hati kepada mereka.
Jadi al-wala`
wal-bara` bukan bermakna teror dan berlaku zhalim. Seorang muslim mendakwahi
manusia dengan amal perbuatan sebelum berdakwah dengan lisan. Dakwah dengan
lisan dengan cara hikmah, peringatan yang baik, dan debat dengan cara yang
terbaik. Sebagaimana Allah Azza wa Jalla memerintahkan hal itu kepada Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga kepada Nabi Musa dan Harun
Alaihissalam ketika mereka diutus kepada Fir’aun. Allah berfirman, yang
artinya: Maka berbicalah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah
lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut. [Thâha/20 : 44]
Seorang muslim,
meskipun membenci orang-orang kafir karena agama mereka, namun ia tetap
menghiasi diri dengan akhlak luhur, pergaulan yang bagus, adil terhadap kaum
Muslimin ataupun non muslim, baik dengan perkataan maupun tindakan.
Allah Azza wa
Jalla berfirman, yang artinya: “Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu
berlaku adil” [al-An’âm/6 : 152]
.
“Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu”. [an-Nahl/16 : 126]
.
Demikianlah, kita memohon kepada Allah agar Dia menunjukkan kepada kita kebenaran itu sebagai sebuah kebenaran dan memberikan kekuatan untuk mengikutinya, serta menunjukkan kepada kita kebathilan itu sebagai sebuah kebathilan dan memberikan kekuatan untuk menjauhinya.
.
“Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu”. [an-Nahl/16 : 126]
.
Demikianlah, kita memohon kepada Allah agar Dia menunjukkan kepada kita kebenaran itu sebagai sebuah kebenaran dan memberikan kekuatan untuk mengikutinya, serta menunjukkan kepada kita kebathilan itu sebagai sebuah kebathilan dan memberikan kekuatan untuk menjauhinya.
وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ
[Diterjemahkan
dari kitab Al-Bayan Li Akhthai Ba'dhil Kuttab, cetakan Darubnil-Jauzi
(2/160-164]
[Disalin dari
majalah As-Sunnah Edisi Khusus/Tahun IX/1426H/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183
Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Al-Wala berarti kecintaan, kesetiakawanan, loyalitas, pembelaan dan makna senada lainnya, red
[2]. Al-Bara.artinya berlepas diri, melakukan permusuhan dan memberikan kebencian, red
[3]. Semoga Allah Azza wa Jalla segera memberikan balasan yang stimpal terhadap mereka, -red
________
Footnote
[1]. Al-Wala berarti kecintaan, kesetiakawanan, loyalitas, pembelaan dan makna senada lainnya, red
[2]. Al-Bara.artinya berlepas diri, melakukan permusuhan dan memberikan kebencian, red
[3]. Semoga Allah Azza wa Jalla segera memberikan balasan yang stimpal terhadap mereka, -red
Tidak ada komentar:
Posting Komentar