Landasan Utama
Sifat wara’ dan
sikap meninggalkan hal-hal yang berbau syubhat dilandasi oleh sebuah hadits Rasulullah
shallallahu ‘alihi wasallam yang sangat terkenal, yaitu yang
diriwayatkan dari an-Nu’man bin Basyir, dia berkata, “Aku telah mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam bersabda, ‘Yang halal itu
sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas. Sedangkan di antara keduanya
terdapat hal-hal yang samar (syubhat), tidak diketahui oleh banyak orang; siapa
saja yang menjauhi syubhat tersebut, maka ia telah berlepas diri bagi agama dan
kehormatannya, dan siapa saja yang terjerumus ke hal yang syubhat, maka berarti
ia telah terjerumus ke dalam hal yang haram, ibarat seorang penggembala yang
menggembala di seputar pagar larangan di mana hampir saja gembalanya memakan
tumbuhan yang ada di dalamnya. Ketahuilah, sesungguhnya setiap raja memiliki
pagar larangan. Ketahuilah bahwa pagar larangan Allah Subhannahu wa Ta’ala
adalah hal-hal yang diharamkan nya. Ketahuilah, sesungguhnya di dalam jasad itu
ada segumpal daging; bila ia baik, maka baiklah seluruh jasad dan bila ia
rusak, maka rusaklah seluruh jasad. Ketahuilah, bahwa ia adalah qalbu.” (Muttafaqun
‘alaih)
Makna Syubhat
Terkait dengan
hadits di atas, al-Hafizh Ibn Rajab berkata, “Maknanya adalah bahwa yang halal
secara murni itu sudah jelas sekali, tidak ada kesamaran sedikit pun, demikian
juga dengan yang haram, akan tetapi di antara kedua hal tersebut terdapat
hal-hal yang masih samar bagi kebanyakan orang; apakah ia halal ataukah haram?
Ada pun bagi orang-orang yang mumpuni ilmu (agama)-nya, maka tidak ada
kesamaran sedikit pun. Mereka mengetahui mana yang termasuk dalam kedua bagian
tersebut.”
Sementara Imam
Ahmad menafsirkan syubhat dengan “Suatu posisi yang berada di antara halal dan
haram. Yakni, antara halal murni dan haram murni.” Dalam hal ini, beliau
mengatakan, “Barangsiapa yang menjauhinya, maka ia telah berlepas diri untuk
agamanya.” Terkadang beliau menafsirkannya dengan “percampuran antara halal dan
haram.”
Sikap Manusia
terhadap Syubhat
Terdapat empat
kelompok manusia dalam menyikapi syubhat:
Pertama; Orang yang mengetahui hukumnya; apakah ia halal atau
haram. Artinya, ia beramal berdasarkan ilmunya. Ini merupakan kelompok yang
paling baik.
Ke-dua; Orang yang tidak mengetahui hukumnya namun ia
mengambil sikap menjauhi. Artinya, ia tidak mau memasukinya karena masih samar
baginya. Inilah orang yang disebut telah berlepas diri untuk dien dan
kehormatannya itu.
Ke-tiga; Orang yang tidak mengetahui hukumnya tetapi ia
terjerumus ke dalamnya padahal baginya masih samar. Ini kelompok yang hampir
terjerumus ke dalam haram murni.
Ke-empat; Orang yang terjerumus ke dalamnya padahal ia
mengetahui bahwa syubhat tersebut termasuk dalam jenis haram murni. Ini adalah
kelompok paling buruk.
Ada lagi
kelompok ke lima, yaitu orang yang meninggalkan sesuatu yang diyakininya halal
padahal menurut anggapan banyak orang termasuk syubhat. Hal ini ia lakukan
(meninggalkannya) sebagai bentuk berlepas diri untuk kehormatannya. Ini pada
hakikatnya dapat dimasukkan ke dalam kelompok pertama di atas.
Dalam hal ini,
Ibn Rajab mengatakan bahwa orang yang semacam ini bila melakukannya, pada
dasarnya tidak apa-apa di sisi Allah subhanahu wata’ala, akan tetapi
bila ia khawatir mendapat tudingan miring dari orang-orang karena hal itu, maka
meninggalkannya merupakan bentuk berlepas diri untuk kehormatannya dan ini
adalah baik. Sama halnya dengan bila orang tersebut melakukannya karena menurut
keyakinannya adalah halal, baik melalui ijtihad yang dapat ditolerir atau pun
taqlid yang dapat ditolerir lalu keyakinannya itu ternyata salah. Sebaliknya,
bila ijtihadnya itu lemah atau bukan termasuk taqlid yang dapat ditolerir
tetapi hanya karena mengikuti hawa nafsu, maka posisinya sama dengan orang yang
melakukan syubhat padahal masih samar baginya. Dan orang seperti ini
sebagaimana dikabarkan Nabi shallallahu ‘alihi wasallam telah terjerumus
ke dalam hal yang haram.
Di sini
terdapat dua penafsiran:
Pertama; Bahwa orang tersebut melakukan syubhat disertai
keyakinan bahwa ia adalah syubhat supaya dapat menjadi alasan melakukan hal
yang haram di mana menurutnya hanya haram secara bertahap dan masih ada
toleransi.
Ke dua; Bahwa orang yang nekad melakukan hal yang menurutnya
syubhat itu tidak tahu apakah itu halal atau haram. Maka ketika itu ia juga
tidak dapat menjamin keharaman urusan tersebut, lalu melanggarnya sedangkan dia
tidak mengetahui bahwa itu haram.
Definisi Wara’
Ibrâhim bin
Ad-ham berkata, “Wara’ artinya meninggalkan semua syubhat, sedangkan
meninggalkan apa yang tidak menjadi kepentinganmu yaitu meninggalkan hal-hal
sampingan (yang melebihi dari urusan).”
Yahya bin
Mu’âdz berkata, “Wara’ artinya berhenti sebatas ilmu yang dimiliki tanpa
menakwilnya.”
Abu Sulaimân
ad-Darâny berkata, “Wara’ adalah hal pertama dari zuhud sebagaimana qana’ah
(rasa puas diri) merupakan hal pertama dari ridha.”
Yûnus bin
‘Ubaid berkata, “Wara’ adalah keluar dari semua syubhat dan menghitung diri
(muhasabah) dalam setiap saat.”
Pendapat lain
mengatakan bahwa Wara’ adalah keluar dari hawa nafsu dan meninggalkan hal-hal
yang buruk.
Urgensi Wara’
Dan Buahnya
Imam Ibn
al-Qayyim berkata di dalam kitabnya Madârij as-Sâlikîn (II:23), “Yang
dimaksud bahwa Wara’ dapat menyucikan kotoran dan najis yang menempel di hati
sebagaimana air menyucikan kotoran dan najis yang ada pada pakaian. Nabi shallallahu
‘alihi wasallam telah menghimpun makna Wara’ semuanya dalam satu kalimat, “Termasuk
baiknya keislaman seseorang, meninggalkan hal yang tidak menjadi kepentingannya
(yang tidak perlu).” (HR.at-Turmudzi dan Ibn Majah)
Ini mencakup
juga meninggalkan hal-hal seperti berbicara, melihat, mendengar, bertindak
keras (dengan tangan), berjalan, berfikir dan seluruh gerakan yang kelihatan
secara fisik atau pun abstrak. Kalimat tersebut sudah lebih dari cukup ketika
berbicara tentang Wara’.”
Sedangkan di
antara buah dari sikap Wara’ adalah:
-Sebagaimana
ucapan Abu ‘Utsmân al-Hiry, “Pahala sikap Wara’ adalah mendapat keringanan
hisab kelak.
-Sebagaimana
ucapan al-Hasan al-Bashary, “Wara’ yang seberat Dzarrah adalah lebih baik
daripada puasa dan shalat yang seberat Dzarrah.”
-Meraih surga
dan menjadi dekat kepada Allah. Abu Hurairah berkata, “Teman-teman duduk
Allah kelak adalah orang-orang yang
bersikapI Wara’ dan zuhud.”
-Menghitung
diri (muhasabah) dan menyesali perbuatan yang telah lalu. Abu ‘Utsman al-Hiri
berkata, “Begitu aku melakukan suatu dosa, aku terus menangis sejak empat puluh
tahun yang lalu. Ceritanya, suatu ketika saudaraku mengunjungiku, lalu aku
membeli ikan panggang seharga seperenam dirham (satu Dâniq). Setelah selesai,
aku mengambil sebongkah tanah dari dinding tetanggaku hingga ia membasuhnya
dengan tangannya padahal aku belum meminta dihalalkan kepadanya.”
Kisah lainnya,
diceritakan bahwa Ibn al-Mubarak pernah pulang lagi dari Marw menuju Syam
gara-gara pena yang dipinjamnya belum ia kembalikan kepada pemiliknya.
-Meninggalkan
hal yang sebenarnya tidak apa-apa hanya untuk menghindari hal yang ada
apa-apanya. Mengenai ini, terdapat hadits dari Hanzhalah al-Usaidy, ia berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam bersabda,
”Seorang hamba belum mencapai kedudukan orang-orang yang bertaqwa hingga ia meninggalkan hal yang sebenarnya tidak apa-apa hanya untuk menghindari hal yang ada apa-apanya.” (HR.at-Turmudzi dan Ibn Majah)
”Seorang hamba belum mencapai kedudukan orang-orang yang bertaqwa hingga ia meninggalkan hal yang sebenarnya tidak apa-apa hanya untuk menghindari hal yang ada apa-apanya.” (HR.at-Turmudzi dan Ibn Majah)
Sebagian
shahabat berkata, “Kami meninggalkan 70 pintu halal karena khawatir terjerumus
ke dalam satu pintu haram.”
Tingkatan Wara’
Di dalam kitab Mukhtashar
Minhâj al-Qâshidîn hal. 91 disebutkan, “Wara’ memiliki empat tingkatan:
-Pertama, Menarik diri dari setiap hal yang oleh fatwa
diindikasikan haram.
-Ke dua, Wara’ dari setiap syubhat yang tidak wajib
menjauhinya tetapi dianjurkan.
-Ke tiga, Wara’ dari sebagian yang halal karena khawatir
terjerumus ke dalam hal yang haram.
-Ke empat, Wara’ dari semua hal yang bukan karena Allah Ta’ala.
Inilah Wara’ ash-Shiddiqin.
Sumber: Kutaib,
“Khairu dinikum al-Wara’, al-Qism al-Ilmi Darul Wathan (Abu Shafiyah)
http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatannur&id=323
Tidak ada komentar:
Posting Komentar